ㅡ; A Promise (2)
Uh, meskipun angin hanya bergerak sepoi-sepoi namun rasanya sore ini terasa begitu dingin. Gumpalan abstrak awan yang selama beberapa jam tadi berwarna abu-abu kini mulai bergeser dan berganti tugas dengan mereka yang berwarna putih cerah. Matahari yang sempat hilang dan akan kembali hilang dalam beberapa jam lagi juga mulai nampak dibalik salah satu guratan awan yang cukup besar.
Guanlin kembali kesini. Tempat dimana pertama kali ia mengajak Jihoon untuk berkenalan.
Wangi ˈpeˌtrīkôr; petrichor adalah salah satu aroma yang begitu Guanlin sukai. Wanginya memiliki aura tenang dan damai. Membuat siapa saja yang senang menghirupnya kadang kala memutar otak dan berujung mengingat kenangan di masa lalu.
Ah, kenangan di masa lalu, ya?
Jika dihitung secara detail, ini sudah hampir sebulan berlalu sejak terakhir Guanlin bertemu dengan si Cupu pemilik kacamata kuda yang kini sedang Guanlin genggam di atas telapak tangan lebarnya.
Guanlin melirik kacamata itu sekilas, lalu senyum miris terukir di sudut bibir kirinya.
Dua puluh tujuh hari yang lalu, tepatnya pada tanggal sebelas Januari, atau yang lebih tepatnya lagi dua hari setelah tragedi yang terjadi di rumah Jihoon, Guanlin kembali menginjakkan kakinya di sana. Di depan pintu utama rumah Jihoon, dengan tak adanya kemauan untuk sekedar menekan bel atau mengetuk pintu.
Sebenarnya, Guanlin ingin sekali bertanya pada Jihoon soal DanielㅡPak Danielㅡ atau siapa lah itu, sekaligus ingin mengembalikan kacamata milik Jihoon yang ternyata tertinggal di saku jaketnya, namun lagi dan lagi ia harus pulang dengan perasaan kecewa yang sialnya, lagi dan lagi, hanya bisa ia pendam sendiri.
Bukan Jihoon yang ia temui malam itu. Melainkan Daniel yang tanpa permisi langsung mendaratkan bogeman sebanyak dua kali untuk pipi kanan dan kiri Guanlin secara bergantian.
Apa Guanlin membalasnya?
Tentu.
Meski hanya sebatas rasa 'ingin' dan tertinggal sebagai angan semata, karena Guanlin masih terlalu sadar, suka atau tidak, terima atau tidak, Daniel masih menyandang gelar sebagai seorang guru di sekolahnya.
Sejak saat itu, Guanlin berhenti untuk kembali ke rumah Jihoon. Ketidaktahuan-nya atas kesalahan apa yang sebenarnya telah ia perbuat sehingga Daniel begitu anti padanya, membuat Guanlin jengah dan mengambil pilihan untuk menyerah mendekati Jihoon.
Terlalu banyak halangan. Guanlin tau itu.
Kepalanya terangkat, matanya kembali menerawang ke arah langit, dan seketika bayang-bayang dimana Jihoon menjadi bahan mainan anak-anak di sekolah kembali melintas di dalam sirkuit ingatan Guanlin. Benang kusut yang terisi dengan jalannya memori dimana dulu ia pertama kali melihat Jihoon sedang berjalan dengan kepala tertunduk, dan tak sengaja menabrak seorang siswa yang sialnya membuat minuman yang dibawa siswa itu jatuh membasahi seragam keduanya, sedikit terjadi keributan meskipun Jihoon sama sekali tak melawan. Guanlin mengingat jelas kejadian itu, dimana ia tengah duduk di pinggir lapangan dengan keadaan tubuh yang basah bermandikan keringat serta telinganya yang dipenuhi gelak tawa terbahak-bahak teman satu tim basketnya yang juga melihat kejadian tersebut. Lalu, saat beberapa siswi yang sengaja menghalang-halangi jalannya saat Jihoon sedang menaiki satu persatu tangga menuju lantai dua sekolah. Jihoon tetap tak melakuan apapun saat itu, seolah tingkah menyebalkan orang-orang itu adalah sesuatu yang dapat dimaklumi. Dan juga, pada saat semua orang meneriakinya dengan sebutan 'Cupu' atau yang lebih parah 'Kampungan' , Jihoon tetap diam seolah semua cacian itu tak mampu menembus gendang telinganya. Guanlin ingat semua itu.
Terlebih pada satu saat dimana akhirnya Guanlin gerah dan tak bisa berdiam diri menikmati tontonan gratis yang sungguh memuakkan itu.
Guanlin menancap gas si Niko dengan kecepatan seada-adanya, melaju cepat dengan target yang sedang melangkah bersama segerombolan temannya di atas trotoar sambil tertawa.
Sebenarnya hujan sudah berhenti sejak tadi pagi, namun genangan air bekas hujan masih memenuhi hampir di setiap sisi jalan. Dan, ini adalah jalan termulus untuk memudahkan rencana Guanlin.
BYURRR
"Woi, anjing!"
Bodo amat. Emang Guanlin pikirin. Siapa suruh tadi pagi nendangin air becekan bekas hujan ke seragam si Manis!
Dan nggak cuma sampai disitu. Guanlin bahkan dengan sengaja menarik gas motor bututnya dengan kuat hingga menimbulkan kepulan asap yang memburamkan mata dan baunya menyumbat indera penciuman.
Berbagai cacian kebun binatang pun ditujukan untuk Guanlin. Tapi ya, emang Guanlin pikirin?
Guanlin pun langsung tancap gas lagi tanpa memikirkan sumpah serapah dari merekaㅡ yang sebenarnya Guanlin nggak tau siapaㅡ yang udah nyari masalah sama si Manis tadi pagi.
Kalau mereka berani gangguin Manis, itu artinya mereka harus berani digangguin balik sama Guanlin. Nggak ada penolakan, itu udah hukum alam.
Guanlin mendengus. Sudah bertahun-tahun ia selalu menjadi benteng tak kasat mata bagi Jihoon, tapi ini kah balasan yang pantas untuknya?
Ini tuh kayak, ketika lo dapet jackpot untuk bisa deketin si doi tapi doi malah ngedepak lo jauh-jauh.
Sadis.
Sebentar.
Ini kok jadi kayak Guanlin mau nyerah, ya? Cemen banget lo, Maleeen!
Lagi, senyum kecil terbit di ujung bibir tebal Guanlin, saat sebuah ide brilian melintas dalam otaknya.
Guanlin? Nyerah? Huh, mimpi aja!
※※※
"Heh, punya mata, 'kan?"
Helaan nafas berat lolos dari celah bibir mungil Jihoon. Dengan gelagat yang sama sekali tak pernah berubah dari dirinyaㅡ menunduk sambil meremat ujung-ujung tali tas ranselnya, Jihoon terpaksa menghentikan laju langkahnya.
Kepala yang tertunduk itu langsung berhadapan dengan bola basket yang berada tepat di depan ujung sepatunya. Tadinya, Jihoon ingin mengabaikan saja bola basket tersebut, namun seuntai teriakan berhasil membuatnya berhenti.
"Heh Cupu, siniin bolanya!"
Jihoon masih diam. Berada pada titik teratas ambang kebingungannya, haruskah ia membungkuk dan meraih bola basket itu lalu memberikannya pada seseorang yang tadi meneriakinya, atau haruskah ia bergeser dan melangkah secepat mungkin untuk menghindari interaksi yang mungkin saja akan terjadi pada mereka setelahnya?
"Heh, denger gue nggak, sih? Siniin bolanya!!"
Meski ragu, Jihoon pun pada akhirnya menunduk dan kedua tangannya terulur untuk meraih bola basket tersebut. Namun, belum sempat ujung jarinya menyentuh tekstur kasar dari bagian terluar bola basket itu, Jihoon kini terhenyak ke belakang saat sebuah tarikan yang cukup keras pada tasnya memberi fakta bahwa seseorang yang lain kini seolah sedang berusaha agar Jihoon tak menyentuh bola basket itu sedikitpun.
"Ambil sendiri!!"
Dan sedetik setelahnya, Jihoon merasa kakinya beranjak dengan cepat saat seseorang yang kini menarik tas ranselnya membawa Jihoon pergi dari sana. Nggak perlu mendongak, Jihoon jelas tau siapa pemilik suara itu.
Begitu keduanya tiba di ujung koridor, tanpa disengaja Daniel lewat dengan pakaian formal dan juga sebuah tas jinjing berisi laptop yang ada di tangan kirinya.
Waktu seolah berhenti tanpa diminta. Ketiganya terdiam, saling melempar tatapan tajam dan datar satu sama lain.
Daniel memusatkan tatapan matanya pada Guanlin, pemuda yang seolah tak punya rasa kapok untuk menantang dan bermain-main dengan kesabarannya.
Guanlin pun sama. Tatapan datarnya lurus terpusat menembus sampai pada manik cokelat gelap milik Daniel. Sikap tenang yang Guanlin perlihatkan sekarang, seolah sedang berteriak pada Danial bahwa Guanlin sama sekali tidak takut. Bahkan sampai kapanpun itu, Guanlin tidak akan takut.
Dan yang terakhir adalah Jihoon. Jika kalian menebak Jihoon pasti sedang menundukkan kepalanya lalu jari-jari mungilnya sibuk memelintir ujung-ujung tali tas ranselnya, maka kalian salah besar.
Kepala yang terdoktrin untuk selalu menunduk itu kini terangkat dengan begitu tegas. Matanya menatap lurus pada Daniel yang Jihoon tau kalau Daniel sedang menatap pada sosok yang berdiri di sampingnya dengan tatapan penuh kebencian.
Bukan tanpa alasan mengapa tatapan penuh kebencian Daniel itu terpusat pada Guanlin. Jihoon tau, dan Jihoon mengerti dengan semuanya. Semua yang telah dan sedang terjadi.
Hanya saja, bolehkah Jihoon berharap agar Daniel tidak berpikiran untuk menyelesaikannya disini?
Kalau begini caranya, ya Jihoon nggak bisa diam aja. Cuma dia yang bisa menjadi penengah diantara perang dingin dalam kebisuan yang sedang terjadi antara Daniel dan juga Guanlin.
Meski merasa sedikit ragu, juga dengan degub jantung yang bekerja diatas ambang normal, Jihoon melangkah maju dan meraih tangan besar Daniel untuk ia genggam. Tangan besar itu dingin dan tegang, Jihoon dapat merasakan amarah tertanam dibalik halusnya telapak tangan Daniel. Tak hanya itu, Jihoon turut menyelipkan jari-jari mungilnya di setiap sela jari-jari panjang Daniel dan disertai dengan usapan lembut yang cukup menenangkan. Sampai akhirnya Jihoon bisa bernafas dengan lega, saat Daniel membalas genggamannya dan membawanya pergi sejauh mungkin dari jangkauan Guanlin.
Percobaan satu: gagal.
Lagi dan lagi, target pergi tanpa permisi seolah tak ada pertolongan kecil yang sudah Guanlin lakukan untuknya.
※※
"Mau sampe kapan kamu nangis terus?"
Lima belas kali sudah pertanyaan serupa terucap dari bibir Daniel. Tangan besarnya masih terus mengusap lembut punggung Jihoon yang kini sedang menangis di dalam peluknya. Daniel bahkan bisa merasakan basah pada bahu kanannya, dimana Jihoon menyembunyikan wajahnya disana untuk menumpahkan semua air matanya.
Hening. Tak ada yang mampu menembus isakan putus-putus yang berasal dari mulut Jihoon, sekalipun Daniel akan melayangkan pertanyaan yang sama satu kali lagi.
"Aku nggak suka kamu nangis karena dia." ucap Daniel seraya mendorong pelan bahu Jihoon agar mau melepas pelukannya. Bukannya terlepas, pelukan itu justru semakin mengerat seiring dengan isakan yang kini berubah menjadi tangis. Lagi.
Salah satu tangan Daniel yang berada di belakang tubuh Jihoon mengepal. Menahan desiran panas yang secara tiba-tiba memenuhi seluruh rongga yang ada di hatinya. Demi Tuhan, Daniel tak akan tinggal diam jika ada orang lain yang berani menyentuh Jihoon-nya.
"Diem, Ji."
Ucapan Daniel terbalaskan dengan isakan yang begitu pedih. Daniel menggeram. Sungguh ia tak suka melihat Jihoon menangis sesedih ini hanya karena satu orang asing yang bahkan belum lama dikenalnya.
Padahal, di saat semua teman-teman mereka mati di tangan Daniel, Jihoon bahkan tak mengeluarkan air mata satu tetes pun.
Tatapan mata yang dahulu lembut dan selalu bersinar di kala Jihoon, Daniel, dan teman-teman mereka menghabiskan waktu bersama sudah hilang, sudah mati, sudah lenyap, entah sejak kapan Daniel bahkan terlambat untuk menyadarinya.
Dan sekarang, hanya karena Daniel berusaha menjauhkan Guanlin dari Jihoon, Jihoon rela menumpahkan air matanya yang begitu berharga?
Seriously, just because that stranger damn guy?
Daniel tersadar dari lintas pemikirannya sendiri saat Jihoon mulai melepas pelukan mereka. Daniel menghembuskan nafasnya dengan kasar, kala mata tajamnya mendapati wajah Jihoon yang sembab dan hidungnya yang memerah.
Hatinya sakit. Jujur. Jihoon bahkan tak pernah menangisinya barang hanya satu kali saja.
"Niel,"
Satu helaan nafas kasar kembali terhembus dari belah bibir Daniel, "if you intend to beg me, then you already know what my answer will be. I don't grant whatever you will ask. You know it, baby."
Dan satu garis senyum meremehkan terlukis di ujung bibir Daniel, tangannya terangkat untuk menangkup wajah Jihoon yang menunduk di depannya.
Daniel mengangkat sedikit wajah Jihoon,
shit. Hatinya begitu teriris begitu melihat sepasang mata yang sejatinya menyimpan galaksi di dalamnya kini basah dan berkabut, seolah sedang meraung memohon lewat kedua manik yang menyiratkan setumpuk kesedihan itu.
Daniel menjauhkan tangannya, lalu mengalihkan pandangan matanya ke arah kanan, dimana ia tak lagi bertatapan langsung dengan tatapan sedih Jihoon.
Melihat Daniel yang sepertinya tidak akan melunak dalam waktu dekat, Jihoon kembali melingkarkan tangannya di sekitar pinggang Daniel. Salah satu telapak tangannya meremat ujung kemeja Daniel yang sudah keluar dari tempatnya. Jihoon mendekat pada dada Daniel, menopangkan dagunya disana dengan kepala yang terangkat untuk menatap Daniel dari bawah.
Jihoon mengeratkan pelukannya, "Niel,"
Daniel mendengus. Kepalanya menoleh sedikit sampai dua pasang mata beda sorot itu kembali saling beradu pandang.
"Kamu selalu kayak gini tau, nggak? Memohon demi orang lain. Bahkan sekarang kamu nangis cuma karena orang asing yang baru sore kemarin kamu temui, Jihoon. Kamu bahkan nggak pernah memohon demi aku satu kalipun. Kamu nyadar itu?"
Jihoon hanya bisa diam. Matanya yang berkabut itu terus berusaha untuk mengunci tatapan jengah dan penuh amarah milik Daniel. Tanpa sadar, Jihoon memanyunkan sedikit bibirnya.
Dan itu berhasil membuat amarah Daniel semakin terbakar.
"Kamu suka sama dia? Iya?" sambung Daniel.
Jihoon diam. Pemuda manis itu hanya bisa menelan salivanya tanpa berniat untuk membuka bibirnya.
"Kamu suka sama dia."
Begitu ucapan final terucap dari mulut Daniel, Jihoon langsung menggeleng dengan cepat. Berusaha meyakinkan Daniel bahwa ia sama sekali tak menyukai Guanlin. Ia sama sekali tak memiliki perasaan apapun pada Guanlin, ya, itu yang harus Daniel pahami sebagai jawaban mutlak.
Meski pada kenyataannya, Jihoon tak tau. Apakah perasaan nyaman dan welcome yang dia miliki untuk Guanlin adalah perasaan suka atau hanya sebuah perasaan normal layaknya seseorang yang baru saja memiliki teman baru.
Selama Jihoon duduk di bangku sekolah menengah atas ini, memang tak pernah sekalipun Jihoon berusaha untuk mencari dan mendapatkan teman. Daniel menyuruhnya untuk berpenampilan seburuk mungkin, dan menyuruhnya untuk memanipulasi segala sifat aslinya.
Kacamata kuda, buku-buku tebal, sepatu hitam, seragam yang agak kebesaran di tubuhnya, juga kepala yang tertunduk setiap saat, semua adalah perintah Daniel yang sampai kapanpun tak akan pernah bisa Jihoon abaikan. Itu adalah satu-satunya perintah, yang tak bisa diganggu gugat.
Ya, jadi, begitu lah. Saat dimana Guanlin terang-terangan menyelamatkannya dan membawanya ke atap sekolah lalu mereka sedikit berbicara disana adalah saat pertama dimana akhirnya Jihoon bisa merasakan kehangatan memiliki orang lain di sisinya lagi. Hatinya yang sempat kebas dan mati rasa itu kini perlahan mulai sembuh.
Kalau saja Guanlin tak pernah memulai interaksi padanya, Jihoon yakin sampai selamanya pun ia akan tetap menjadi sosok yang seperti mayat hidup.
Jihoon tak pernah mau meladeni Hyungseob karena Jihoon tak mau Hyungseob habis di tangan Daniel. Hyungseob terlalu baik untuknya, dan Jihoon tak akan pernah rela jika orang sebaik Hyungseob harus secara sukarela menjadi tumbal.
Lalu, apakah ini artinya Jihoon merelakan Guanlin sebagai tumbal?
Tentu saja tidak. Percaya atau tidak, Jihoon yakin Guanlin tak akan semudah itu untuk dikalahkan. Jihoon menaruh kepercayaan yang besar pada Guanlin. Meskipun jauh di dalam lubuk hatinya, rasa takut itu pasti ada. Jihoon menyimpan ketakutan yang besar, bagaimana jika suatu saat nanti Guanlin kalah dan menyerah di tangan Daniel? Bagaimana kalau Daniel benar-benar akan mengulang perang darah yang terjadi dua tahun silam?
Tuhan, tolong jangan.
"Aku nggak suka sama Guanlin." balas Jihoon, dengan suara yang bergetar.
Daniel berdecak, "terus, kamu pikir aku percaya sama kamu?"
"Guanlin cuma temen buat aku. Disaat semua orang menganggap aku sampah, Guanlin justru menganggap aku sebagai manusia, Niel."
"Aku nggak termasuk di deretan orang-orang yang menganggap kamu sampah, Ji."
Jihoon tersenyum lalu mengangguk, "hmm, aku tau."
Keduanya terdiam dengan pandangan mata yang masih saling terkunci. Begitu genangan air kembali mengendap di mata Jihoon, cepat-cepat Daniel menyeka cairan bening itu. Membuat Jihoon tersenyum, dengan setetes air mata yang tak sengaja jatuh melewati jari-jari panjang Daniel.
Daniel mendorong wajah Jihoon agak kasar, membuat Jihoon mundur beberapa langkah.
"Aku bilang berhenti nangisin dia! Aku nggak suka!"
Jihoon menunduk. Meremas telapak tangannya dengan gusar, dan tanpa sadar ia baru saja membuat bibir bawahnya terluka karena digigit begitu keras.
"Jangan pernah kamu bikin Danik marah, Jihoon."
So, Danik mode is back.
Tetes tetes cairan bening lain mulai membasahi wajah Jihoon. Jantungnya berdegub semakin kencang disaat nama Danik terucap dari bibir Daniel.
Ya, Danik, sisi kejam lain dalam diri Daniel yang dua tahun lalu menembak mati empat temannya. Ralat, empat teman mereka. Hanya karena Jihoon dan keempat temannya itu menghabiskan waktu di sebuah klub malam, meminum beberapa botol minuman beralkohol dengan kadar alkohol yang cukup tinggi. Mabuk-mabukan. Dan semuanya berujung kematian di depan mata keduanyaㅡ Jihoon dan Daniel.
Jihoon tak akan membiarkan Danik menyentuh Guanlin. Sedikitpun tidak akan pernah.
Wajah Jihoon terangkat secara paksa saat Daniel menangkup wajahnya dan mencengkeram sisi-sisi rahangnya.
"Aku cuma minta satu hal sama kamu, apa itu susah, Ji? Hm?"
"Jangan pernah memiliki teman lain selain aku, atau mereka semua akan mati sia-sia di depan mata kamu."
Ya, memang hanya itu permintaan Daniel.
Jihoon sudah berjanji untuk menyanggupi permintaan itu. Bahkan Jihoon juga sudah menuruti aturan main Daniel untuk merubah penampilannya menjadi buruk. Tak ada satu orang pun yang ingin menjadi temannya, selain Hyungseob yang sudah jelas selalu Jihoon abaikan, dan bukankah itu yang Daniel inginkan?
Ya, memang benar. Tapi kehadiran Guanlin berhasil membuat Jihoon nyaris saja melupakan bahkan melanggar janjinya.
Cengkraman jari-jari Daniel yang semula begitu kuat kini berganti dengan usapan lembut yang memenuhi setiap sisi wajah Jihoon. Jihoon memejamkan matanya, kala menikmati sentuhan lembut Daniel di wajahnya.
"Aku nggak pernah liat kamu nangis separah ini. Aku nggak suka liat kamu nangis, Ji. Hati aku sakit." ucap Daniel yang lebih terdengar seperti seuntai lirihan.
Perlahan, pejaman mata Jihoon terbuka sampai netranya kembali terkunci pada tatapan Daniel yang... terlihat begitu terpukul?
Sepasang mata yang sempat menyorotkan amarah dan sarat akan kebencian itu kini sudah sirna berganti dengan tatapan sendu yang sedikit berkabut. Genangan air menampung di lapisan terluar mata Daniel, dan jika satu kali saja Daniel berkedip, maka secara perdana pria itu akan menangis untuk pertama kali dalam hidupnya.
Cepat-cepat Jihoon menangkup wajah Daniel. Jari-jari mungilnya bergerak untuk menghapus genangan air mata itu agar Daniel tak jadi menumpahkan air matanya. Jihoon menggeleng kuat-kuat, berusaha meyakinkan Daniel bahwa ia tak boleh menangis. Daniel yang Jihoon kenal adalah Daniel yang manis dan begitu kuat. Bukan Daniel yang akan dengan mudah meneteskan air matanya seperti ini.
Namun semuanya berangsur menyatu pada titik puncak bernama kegagalan. Bulir cairan bening itu tumpah, mengalir tepat melewati jari-jari dan punggung tangan Jihoon. Hati Jihoon mencelos begitu melihat Daniel menangis untuk yang pertama kalinya. Jihoon ingin sekali berhambur memeluk pria itu, namun apa daya ia tak bisa karena Daniel kini meraih kedua tangannya dan menciumnya tepat di punggung tangan.
Jihoon meneteskan air matanya. Ikut menangis bersama Daniel yang tak henti-hentinya menciumi punggung tangannya.
Jihoon mengulas senyum kecil meski senyum itu lebih pantas disebut dengan senyum pedih. Melepas tangannya perlahan, dan meraih tengkuk Daniel untuk ia peluk.
Daniel seolah melunak. Kobaran api emosi menguap begitu saja saat Jihoon mengecup pipi kirinya, menarik tubuhnya mendekat, dan bersandar di bahu kirinya. Tangan Jihoon bahkan mulai bergerak dengan lembut di sekitar punggung dan kepala bagian belakang Daniel. Berusaha untuk menenangkan pria yang begitu disayanginya ini.
"Aku minta maaf,"
Jihoon menggeleng dalam peluknya, tangannya bergerak untuk mempererat pelukan mereka.
"Maafin aku. Maafin aku. Maafin aku. Maafㅡ"
"Hiks..."
Wajah Daniel jatuh tepat di atas bahu kiri Jihoon. Daniel kembali terisak, dan Jihoon hanya bisa membawa pria itu ke dalam pelukan yang jauh lebih erat lagi.
"Niel, aku nggak papa, oke?"
Daniel menggeleng, "kalau aku gagal menghentikan dia, maka papa kamu sendiri yang akan turun tangan."
"Jadi aku mohon, jangan deket-deket dia lagi kalau kamu nggak mau dia ikut jadi target papa kamu. Aku tau kamu sayang sama dia, jadi kalau kamu mau dia selalu amㅡ"
Sekarang giliran Jihoon yang menggeleng. "Aku sama sekali nggak punya perasaan apapun sama Guanlin. Oke?"
Oke. Untuk kali ini, tolong biarkan Jihoon menutupi semuanya. Jihoon tau sebesar apa bahaya yang ada di dalam hidupnya, jadi Jihoon tak akan lagi salah langkah untuk sekarang.
Daniel mengangguk, seolah mengiyakan ucapan yang terlontar dari bibir Jihoon. Daniel tau, perasaannya sampai kapanpun akan selalu menjadi sepihak. Jihoon hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat sekaligus kakak dan tidak lebih. Disini memang hanya Daniel yang menanggung cinta. Meskipun Jihoon tidak akan membalas perasaannya, bukan berarti Daniel akan rela begitu saja jika Jihoon benar-benar menyukai pemuda bernama Guanlin itu. Tidak, sampai kapanpun Daniel akan terus menganut prinsip; kalau gue aja nggak bisa memiliki dia, maka nggak ada satu orangpun juga yang bisa memiliki dia. Gue disini adalah Daniel, dia adalah Jihoon, dan sisanya adalah Guanlin.
"Ji,"
Jihoon hanya membalasnya dengan sebuah deheman.
"Kamu mau maafin aku, 'kan?"
Jihoon mengangguk pelan, "lagi pula, ini emang resiko aku sebagai anak tunggal dari seorang mafia, 'kan? Hidup papa aku gelap, dan itu artinya aku terlahir juga untuk berada di dunia gelap."
Jihoon menjeda sebentar ucapannya, sambil melepas pelukan keduanya.
"Deretan kisah hidup keluarga mafia itu sama, nggak ada bedanya. Semuanya gelap dan kotor. Cuma bedanya, aku berontak dan nggak mau jadi pewaris tunggal bisnis gelap papa, sehingga aku berusaha untuk keluar mencari jalan terang dan kamu, dengan bodohnya mau nerima tawaran gila papa untuk mengambil alih kekuasaannya. Dengan bodohnya kamu menyodorkan diri untuk masuk ke dalam dunia gelap, Niel."
"Maaf."
Karena cuma itu satu-satunya cara biar aku bisa deket sama kamu, Ji. Dan cuma dengan cara itu, aku bisa punya kuasa untuk terus menahan kamu. Aku tau aku salah, maaf, tapi aku nggak punya jalan lain.
"Kesalahan termaafkan," ucap Jihoon, sambil menengadahkan telapak tangannya pada Daniel seolah sedang meminta sesuatu.
Daniel memicingkan salah satu matanya, "apa?"
"Miki."
Daniel menyeringai, lalu membuka kancing kemejanya dan meraih sesuatu yang ia simpan secara apik dan rahasia di bagian punggungnya.
Sebuah pistol semi otomatis asal Jerman bernama Heckler and Koch USPㅡ yang diberi nama Miki oleh Jihoon, yang setiap hari selalu Daniel bawa kemanapun ia pergi. Jika Daniel mau, ia bisa saja membawa pistol semi otomatis lainnya seperti Glock-17, atau FN-FNP 45 dan QSZ -92 yang sedikit jauh lebih berbahaya. Namun Jihoon melarangnya, karena Jihoon tau kemampuan menembak Daniel yang begitu baik bahkan hanya dengan pistol dengan kapasitas terlambat sekalipun, Daniel mampu mengakhiri hidup siapapun. Jadi, Jihoon mengizinkan Daniel untuk membawa salah satu pistol saja, sebagai tameng jika terjadi sesuatu yang buruk pada mereka berdua selama menetap tinggal jauh terpisah dari keluarga Jihoon yang pindah ke Taiwan.
Keluarga dan Taiwan, adalah dua hal yang menjadi alasan utama kenapa Jihoon begitu membenci garis takdirnya. Keluarga terutama ayahnya, selalu mengekang dan memaksa Jihoon untuk mau meneruskan usaha kotornya dan ikut serta untuk pindah ke Taiwan. Namun, Jihoon terlalu berani untuk memberontak sehingga ayahnya bertindak di luar batas pemikiran Jihoon.
Jihoon yang sekitar tiga tahun lalu kabur dari rumah saat sang ayah terus memaksanya untuk menandatangani kontrak pindah kekuasaan atas seluruh bisnis gelap ayahnya, mendatangi rumah temannya untuk berlindung. Cukup lama Jihoon bersembunyi disana, sampai akhirnya sang ayah mencium keberadaannya. Teman yang sempat menolongnya itu menghilang, bahkan sampai sekarang, dan Jihoon yakin itu adalah perbuatan sang ayah.
Beberapa hari setelah itu, Jihoon dibawa paksa ke Taiwan. Dan di sanalah, Jihoon kembali bertemu dengan Daniel, sahabat semasa kecilnya yang ternyata sudah bergabung dengan sukarela ke dalam kubangan penuh dosa milik sang ayah. Awalnya Jihoon marah, namun setelah mendengar penjelasan dari Daniel pada suatu malam, tentang mengapa Daniel mau menggantikannya untuk menjadi pewaris tunggal Alexis, Jihoon pun hanya mampu terdiam.
Daniel menyukainya sejak kecil. Daniel menyetujui tawaran sang ayah dengan jaminan akan menikahkan Jihoon dengan Daniel saat Jihoon menginjak usia 23 tahun.
Gila. Hanya satu kata itu yang mampu menyuarakan isi hati Jihoon saat itu untuk Daniel.
Namun, seiring berjalannya waktu, Daniel ternyata mampu membuktikan bahwa dibalik sisi gilanya, ia juga memiliki sisi hangat untuk kembali menjadi sahabat Jihoon di masa remaja mereka. Selama menetap di Taiwan, dan selama mereka kembali menjadi sahabat, Jihoon selalu ikut Daniel kemanapun Daniel pergi. Termasuk ke sebuah universitas dimana Daniel memang sejak awal mengenyam pendidikan disana.
Teman Daniel adalah teman Jihoon juga. Semakin lama, Jihoon semakin nyaman dengan dunia sosial yang dimiliki sahabatnya itu. Hingga pada suatu saat, salah seorang dari keempat teman mereka menyatakan perasaanya pada Jihoon. Jihoon tak tau harus bersikap seperti apa, karena ia tau Daniel tidak akan membiarkannya untuk dimiliki oleh siapapun.
Dan sialnya, di malam yang sama, neraka itu tiba jauh lebih cepat dari yang Jihoon kira. Sepulang dari kampus Daniel, dan sekaligus setelah peristiwa pernyataan cinta itu, Jihoon dan Daniel bertengkar hebat. Berulang kali Daniel berteriak bahwa Jihoon adalah miliknya, karena sang ayah sudah memberikan Jihoon untuknya, dan itu artinya Jihoon tak boleh berhubungan dengan siapapun, membuat Jihoon turut terpancing emosi untuk membalas bentakan Daniel.
Dan pada malam di hari yang sama, Jihoon lagi lagi kabur ke sebuah klub malam, bersama keempat temannya yang sekaligus merupakan teman Daniel juga. Mereka berpesta liar layaknya orang dewasa, hanya untuk membantu Jihoon melupakan rasa kesalnya.
Namun naas, suara tembakan menggema di dalam klub tersebut. Jihoon tak sempat memproses bagaimana besi-besi panas itu menembus tubuh keempat temannya, karena Daniel hanya memberikannya waktu sebanyak satu menit untuk memandang jasad teman-temannya yang sudah terkapar di lantai. Dan setelah satu menit itu berlalu, Daniel membawa Jihoon pergi dari sana.
Ya, sejak saat itu Jihoon merasa dunianya sudah hancur berantakan. Kegelapan dalam hidupnya kini menjadi gulita saat Daniel mendapatkan izin dari sang ayah untuk membawa Jihoon kembali ke Korea. Untuk sekolah karena memang sudah waktunya, dan untuk tinggal pada satu tempat yang sama.
Egois, pemaksa, dan memiliki obsesi yang begitu gila.
Itu yang bisa Jihoon simpulkan. Daniel sudah masuk pada tahap obsesi dalam mencintainya.
Obsesi yang salah dan jelas penuh dengan dosa.
Namun Jihoon juga menyadari satu hal. Daniel tidak bisa dilawan. Karena jika dilawan, Daniel tidak akan segan untuk bermain dengan deretan pistol-pistolnya pada siapapun yang berani mengganggu kesenangannya. Sekalipun itu pada Jihoon. Karena pada kenyataannya, Jihoon dan Daniel pernah hampir saling menembak peluru ke arah satu sama lain, sebelum Daniel menjatuhkan pistolnya dan terisak, dan berhasil membuat Jihoon kembali menyimpan pistolnya, lalu berhambur untuk memeluk Daniel.
Sejak saat itu, hanya ada satu cara untuk menaklukkan obsesi gila milik Daniel.
Menyayangi Daniel. Karena hanya itu yang Daniel butuhkan, dan Jihoon tak punya kuasa untuk menolaknya.
Jihoon meraih pistol itu dari tangan Daniel, lalu meletakkannya di atas meja yang ada di belakangnya. Memang sudah menjadi rutinitas bagi mereka berdua setiap kembali ke rumah untuk sama-sama menyerahkan senjata api yang selalu mereka berdua bawa kemana-mana untuk disimpan di tempatnya. Lalu, besok paginya Jihoon dan Daniel akan sama-sama mengambil pistol atas nama mereka masing-masing di sebuah tempat, dan kembali membawa pistol-pistol tersebut bersama mereka.
Cara klasik komplotan mafia untuk melindungi diri.
Kebetulan, hari ini Jihoon sama sekali tak membawa senjata.
Daniel mengulurkan tangannya untuk bermain pada rambut Jihoon, lalu ia menunduk untuk mendaratkan sebuah kecupan lembut di dahi pemuda manis yang sangat ia sayangi itu.
Jihoon tersenyum, dan tangannya sendiri terangkat untuk mengusap lembut bahu Daniel.
"Sekarang kamu tidur, ya? Aku harap, kejadian hari ini nggak akan terulang lagi besok. Dan juga untuk seterusnya." ucap Daniel.
Jihoon berhambur memeluk Daniel, lagi. Bibirnya yang terbenam di bahu kiri Daniel bergumam, "tapi tolong kamu janji sama aku. Jangan sentuh Guanlin sedikitpun."
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Daniel. Hanya sebuah deheman acuh yang bisa Jihoon terima sebagai jawaban 'ya' atas permintaannya.
Daniel adalah sahabatnya, yang terdoktrin karena sebuah obsesi, dan garis takdir membawa mereka masuk lebih dalam pada dunia gelap yang begitu dibenci Tuhan.
Daniel adalah sahabatnya, yang sampai kapanpun tak akan pernah mau membagi Jihoon pada siapapun.
Daniel adalah sahabatnya, yang begitu lembut dan Jihoon berjanji untuk selalu menyayanginya.
Karena janji adalah janji. Harga mati yang hukumnya harus ditepati.
※※※
Guanlin berjanji untuk kembali mendekati Jihoon hari ini. Berhasil atau tidak, itu urusan nanti. Yang penting usaha dulu, iya 'kan?
Itulah sebabnya kenapa pagi-pagi buta seperti ini Guanlin sudah berkutat dengan beberapa peralatan memasak di dapur.
Tangan panjangnya terus berusaha mengocok telur sambil sesekali matanya berusaha untuk membaca resep yang ada di layar ponselnya.
Saat sedang serius memasak, tarikan kuat di ujung piyamanya membuat atensi Guanlin teralih. Guanlin menoleh, dan mendapati seorang gadis kecil dengan boneka kelinci yang sedang dipeluknya berdiri tepat di samping Guanlin.
Guanlin tersenyum, lalu menunduk dan tangannya terulur untuk menghentikan tangan gadis kecil itu yang terus-terusan mengucak matanya.
"Nanti matanya merah, sayang."
Gadis kecil itu pun berhenti mengucak matanya. Bibir mungilnya sedikit tertarik hingga menghasilkan sebuah senyuman.
Ia merentangkan kedua tangannya, bermaksud agar Guanlin mau menggendongnya.
Guanlin menggeleng, "no, no. Kakak lagi masak, Yejin."
Yejin, adik Guanlin, hanya bisa memanyunkan bibirnya saat sang kakak lebih memilih untuk sibuk dengan acara masak-masak nya. Tangannya bergerak untuk memukul kaki Guanlin, dan itu berhasil membuat Guanlin terkekeh.
"Udah sana ke ruang makan. Kakak udah bikinin susu sama sereal, abis itu Yejin siap-siap, kita berangkat ke sekolah. Yeay!"
Yejin mengangkat kedua ibu jarinya pertanda ia antusias dengan ucapan sang kakak. Lalu Yejin berbalik dan melangkah kecil menuju ruang makan. Meninggalkan Guanlin yang kembali asik berkutat dengan kegiatan memasaknya.
.
"Udah siap?"
Yejin mengangguk, matanya terus memperhatikan Guanlin yang terlihat sedang mengecek isi dari sebuah totebag berwarna hitam yang ada di tangannya.
Yejin mengangkat tangan kanannya, menunjuk-nunjuk ke arah tas hitam tersebut.
Guanlin yang menyadari kalau sang adik sedang berusaha mengambil perhatiannya, langsung menutup tas tersebut dan memusatkan perhatiannya pada Yejin.
"Kenapa, sayang?"
Lagi, Yejin menunjuk-nunjuk tas hitam yang dibawa Guanlin.
"Ini?"
Guanlin tersenyum, lalu mengusap puncak kepala Yejin. "Ini buat temen kakak, sayang."
Yejin hanya mengangguk paham, lalu menarik tangan Guanlin untuk segera naik ke atas motor dan berangkat ke sekolah karena hari sudah semakin siang.
Tak butuh waktu lama, Guanlin pun menghentikan motornya tepat di depan gerbang utama sekolah inklusi. Guanlin membantu Yejin untuk turun, lalu mengusap lembut pipi Yejin dan mendaratkan sebuah kecupan semangat di dahi gadis kecil itu.
Guanlin mengulurkan ibu jarinya pada Yejin, dan dengan senang hati Yejin menautkan ibu jari mungilnya dengan ibu jari panjang milik Guanlin.
"Kak Alin sayang Yejin,"
Lalu Guanlin mengeluarkan jari telunjuk, dan disambut dengan senyuman oleh Yejin yang juga menerima tautan jari telunjuk sang kakak.
"Yejin anak yang baik dan berani,"
Dan yang terakhir, Guanlin mengeluarkan jari kelingkingnya, dan Yejin pun melakukan hal yang sama. Menyatukan jari kelingkingnya pada milik Guanlin.
"Yejin harus merasa bahagia setiap hari."
Itu adalah tiga kalimat yang selalu Guanlin ucapkan saat Yejin akan masuk ke sekolah, saat Yejin sedang menangis, dan saat Yejin akan pergi tidur.
Yejin, adik perempuan Guanlin yang mengalami kebisuan yang sifatnya tidak permanen atau bisa disembuhkan. Kasus kekerasan kedua orang tua mereka yang menjadikan kondisi Yejin jadi seperti ini.
Yejin selalu melihat kekerasan yang dilakukan orang tua mereka setiap hari saat Guanlin lebih sering berada di luar rumah. Beberapa kali juga, Yejin pernah menjadi korban kekerasan yang dilakukan sang ayah. Hal tersebut yang membuat Yejin jadi sangat takut untuk mengeluarkan suaranya, karena pernah satu kali ia merintih dan sang ayah langsung melemparnya dengan sebuah benda yang cukup keras.
Yejin tak pernah lagi mau membuka suaranya untuk hal apapun. Bahkan untuk Guanlin pun, rasanya Yejin tak mampu. Ia terlalu takut.
Dan menjadi korban bully di sekolah lamanya, sudah seperti makanan sehari-hari bagi Yejin. Guanlin tak suka adiknya menjadi bahan mainan dan cemoohan, itulah mengapa Guanlin memindahkan Yejin ke sekolah inklusi yang Guanlin percaya adiknya akan aman di sana.
Guanlin merapikan penampilan Yejin, lalu melambaikan tangannya dan berjanji akan menjemput Yejin nanti sore.
Gadis kecil itu tersenyum dan mengangguk. Ia turut membalas lambaian tangan sang kakak, lalu berbalik dan berlari kecil untuk masuk ke dalam kawasan sekolahnya.
Itulah kenapa, di saat Guanlin menghabiskan waktu bersama Jihoon di atap, Guanlin berkata bahwa ia tak suka melihat ada kekerasan. Kekerasan hanya akan membawa manusia pada teluk kesengsaraan. Dan Guanlin, tidak ingin Jihoon memiliki nasib yang sama seperti Yejin.
※※※
"Hey,"
Nggak perlu menoleh, Jihoon udah tau siapa yang sekarang mengambil posisi duduk di sebelahnya. Diam-diam, Jihoon menghela nafasnya yang terasa begitu berat. Matanya mendelik ke kanan dan kiri, dan tangannya secara spontan terangkat untuk mengatur letak kacamatanya.
Jihoon menunduk. Seperti biasa. Pegangan tangannya pada sisi-sisi buku yang sedang ia baca menguat, membuat kertas pada halaman yang sedang ia buka menjadi sedikit kusut.
Belah bibirnya terkatup sempurna. Dalam hati, Jihoon tak henti-hentinya berdoa agar Daniel tidak mencarinya sampai kesini.
"Baca apa?"
Jihoon terus membungkam mulutnya. Tanpa sadar, ia terlalu keras menggigit bagian dalam bibir bawahnya. Hatinya berdegub begitu cepat, "Arghh,"
"Aish..." Jihoon berdecak saat rasa asin mulai menyebar di dalam mulutnya.
Gigitannya terlalu keras. Wow, bahkan rasa takut berhasil membuat Jihoon melukai bibirnya sendiri.
"Eh, eh, jangan dipegang!" Guanlin langsung menahan tangan Jihoon yang baru saja akan menyentuh bagian bibirnya yang terluka.
Jihoon refleks mendongak saat tangan besar itu kembali menyentuh tangannya, kepalanya teralih ke sisi kiri dimana Guanlin kini duduk menghadap ke arahnya dengan raut khawatir, dan dengan tangan yang berusaha menahan Jihoon agar tidak menyentuh bibirnya.
"Punya tisu, nggak?"
Jihoon mengangguk, tangannya bergerak menuju tas ranselnya, dan Guanlin pun langsung meraih tas Jihoon untuk mengambil tisu dari sana.
Dengan lembut, Guanlin menyentuh dagu Jihoon dan menariknya sedikit agar Jihoon mau membuka mulutnya. Dengan tangan kiri yang memegang selembar tisu, Guanlin berusaha untuk menarik bibir bawah Guanlin sampai bagian yang mengeluarkan darah dapat terlihat jelas. Lalu, tangan kanannya bergerak untuk membasuh darah yang masih basah di sana.
Jihoon tertegun. Bagaimana bisa rasa perih di bibirnya tidak terasa sama sekali saat Guanlin menyentuh bibirnya dengan lembut? Dan, raut khawatir itu... Apa Guanlin benar-benar mengkhawatirkan nya? Alisnya yang saling bertaut, nafasnya yang sedikit cepat, dan bibirnya yang bergerak merintih seolah Guanlin lah yang sedang merasakan sakitnya.
Sial, semuanya membuat Jihoon lagi dan lagi seolah jatuh.
Jihoon memejam, saat bayang-bayang Daniel melintas dalam otaknya. Seketika Jihoon berpikir, tentang Daniel dan juga tentang Guanlin.
Daniel, seseorang yang sudah bertahun-tahun hidup dengannya. Seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah sahabatnya, yang secara terang-terangan selalu menunjukkan betapa pria itu sangat mencintainya. Ya, Daniel mungkin memang mencintainya, tapi Daniel tidak pernah memperlakukan Jihoon dengan lembut seperti saat ini Guanlin sedang memperlakukan Jihoon.
Guanlin, seseorang yang bahkan belum genap dua bulan ia kenal. Seseorang yang tanpa sengaja pernah memasang badan untuk melindunginya. Seseorang yang senang memperlakukan Jihoon dengan lembut, yang berani untuk mendekatinya, yang tidak pernah merasa jijik untuk menyentuhnya, yang senang sekali menggoda Jihoon dengan seuntai kata 'Manis', dan yang secara tidak langsung sudah menarik perhatian Jihoon.
Bedanya hanya, Daniel sudah jelas menyukainya. Kalau Guanlin, tidak tau.
Guanlin tersenyum kecil saat sadar Jihoon tengah memerhatikannya. Mata cantiknya sama sekali tak teralih sedikit pun, dan itu membuat dada Guanlin seolah sedang dikepung dengan ribuan kupu-kupu.
Guanlin menggerakkan tangannya untuk menutup bibir Jihoon, lalu beralih untuk memainkan jari-jarinya pada helaian poni Jihoon yang menutupi bagian dahinya.
"Kenapa bisa sampe berdarah, sih?" tanya Guanlin.
Jihoon terdiam. Intonasi suara Guanlin begitu halus dan dalam, meski terselip rasa khawatir di sana.
"Nggak papa."
Guanlin hanya mengangguk, lalu meraih sebuah tas berwarna hitam yang memang sengaja ia bawa. Guanlin menyodorkan tas tersebut pada Jihoon, dan Jihoon hanya bisa mengernyit bingung karenanya.
"Gue bikin sarapan lebih. Buat lo."
Jihoon mencelos, "lo nggak perlu repotㅡ"
"Gue nggak terima penolakan."
Lagi lagi, nafas berat melesak dari belah bibir Jihoon.
"Lin,"
Guanlin mengukir senyum miring di wajahnya, "jadi, Daniel Daniel itu beneran pacar lo? Lo takut Daniel lo itu ngeliat kita disini dan berujung dia nonjokin muka gue lagi?"
Yang pertama, iya, gue takut Daniel ngeliat kita disini, terus dia nonjok lo lagi dan berakhir muka lo penuh luka lebam.
Dan yang kedua, nggak, Daniel bukan pacar gue. Sampai kapanpun, Daniel akan selalu jadi sahabat gue. Nggak akan jadi lebih dari itu.
Tanpa menjawab pertanyaan Guanlin, Jihoon langsung meraih tas hitam itu dari tangan Guanlin dan mengambil sebuah kotak makan lengkap dengan sendoknya dari sana. Jihoon membuka kotak makan itu, dan mulai memakannya sesendok demi sesendok, sebagai pengungkapan jawaban 'tidak' secara tak langsung atas pertanyaan Guanlin.
Jihoon tak suka Guanlin bertanya seperti itu. Seolah Guanlin berniat untuk menyerah dan membiarkan otaknya mencerna fakta palsu soal Daniel adalah pacarnyaㅡ pacar Jihoon.
Loh?
Ah, yaudah lah.
Tanpa Jihoon sadari, Guanlin kini tengah mengukir senyum lebar di wajahnya karena merasa usaha keduanya berhasil.
"Lin," mulutnya masih dipenuhi nasi goreng, tapi Jihoon sudah tak tahan untuk bicara.
"Abisin dulu itu yang di mulut."
Jihoon menggeleng dengan cepat, dan Guanlin tak kuasa menahan tawa gemas karena itu.
"Ini pasti lo beli di restoran, 'kan?"
Guanlin menautkan alisnya, "lo nggak percaya, ini bikinan gue?"
Jihoon lagi lagi menggeleng, "nggak lah!"
Guanlin hanya diam, bibirnya terus mengukir senyum karena Jihoon terlihat begitu lucu saat pipinya menggembung karena penuh dengan makanan.
"Pelan-pelan, Ji."
Jihoon hanya mengangguk layaknya anak kecil dan terus melanjutkan aksi makannya. Mengabaikan Guanlin yang mulai menopangkan kepalanya dengan tangan yang sengaja ia sandarkan pada bangku.
Entah mengapa, Jihoon terlihat begitu... indah.
Jihoon semakin bersemangat untuk menambah suapan demi suapan nasi goreng yang ia percaya bukan bikinan Guanlin itu hingga kacamata yang masih terpasang sempurna di sekitaran matanya mulai menurun sedikit demi sedikit.
Guanlin terkekeh, lalu tangannya bergerak untuk melepas kacamata itu. Jihoon berhenti mengunyah, bahkan nyaris tersedak saat merasa sentuhan lembut Guanlin lagi di wajahnya. Pipi Jihoon memerah kala jari-jari panjang Guanlin sempat-sempatnya untuk mengusap pelan pipi bagian bawahnya.
Jihoon menunduk sedikit, dan kembali melahap makanannya dengan sedikit lebih lembut.
"Kacamata baru, Ji?" tanya Guanlin.
Jihoon mengangguk, "iya, yang sebelumnya ilang. Nggak tau kemana."
"Nih,"
Jihoon menoleh, dan alisnya bertaut kala matanya melihat kacamata yang ia pikir hilang, kini ada di atas telapak tangan Guanlin.
Jihoon menyelesaikan sarapannya, lalu menutup kotak makan milik Guanlin, dan mengarahkan fokusnya sepenuhnya pada pemuda bertubuh tinggi itu.
"Kok bisa ada di lo?"
Guanlin menekan belah bibirnya sebelum berucap. "Pas lo ketiduran di motor, gue simpenin kacamata lo. Takut jatoh atau rusak karna ketindihan."
"Oh iya, sekalian gue mau nanya. Mata lo... min berapa? Atau silinder gitu?" sambung Guanlin, yang langsung membuat Jihoon mengatupkan belah bibirnya.
Ups. Jihoon harus jawab apa? Yang kanan minus 6 dan yang kiri minus 1, atau yang kanan minus 2 silinder 1,5 dan yang kiri juga minus 2 dengan silinder yang lebih tinggi, atauㅡ
"Seinget gue, lo masih bisa melihat dengan jelas karena buktinya lo hampir nolongin gue yang jatoh malam itu tanpa kesusahan sama sekali."
Jihoon berdehem, lalu mengambil dua kacamata miliknya dari genggaman Guanlin.
"Nggak terlalu parah, kok. Makanya gue masih bisa melihat dengan jelas."
"Bohong. Mata lo normal, 'kan?"
"Hah?"
"Waktu kita ngobrol di atap lo juga biasa aja pas gue ambil kacamata lo. Dan, pas kita main di zona waktu, lo bahkan nitipin kacamata lo ke gue. Inget, 'kan?" balas Guanlin.
Jihoon berusaha menelan salivanya dengan susah payah. Bagaimana bisa Guanlin langsung menembaknya dengan pernyataan yang begitu tepat?
Guanlin menghela tawa kecil, "disuruh pacar lo, ya? Biar nggak ara yang ngelirik pacarnya yang manis ini?"
Jihoon memutar jengah bola matanya, lalu memakai kembali kacamatanya yang sempat disimpan Guanlin, dan memasukkan kacamata yang sebelumnya ia pakai ke dalam tas.
"Gue nggak pacaran sama Daniel."
Guanlin mengubah posisi duduknya, menjadi sedikit miring dan mendekat pada Jihoon. Guanlin diam-diam tersenyum, lalu menyandarkan tangan kanannya tepat di belakang tubuh Jihoon dan menopangkan kapalanya di sana.
"Bohong." balas Guanlin, menggoda Jihoon sepertinya menyenangkan.
Jihoon mengangkat kedua bahunya, "terserah."
S
enyum manis jelas terpatri di wajah tampan Guanlin saat mengetahui fakta bahwa Jihoon bukanlah pacar Daniel. Soal mengapa kedua pemuda itu bisa tinggal bersama, dan mengapa Daniel terlihat begitu over protective pada Jihoon, itu adalah urusan belakangan.
Guanlin mendekatkan lagi wajahnya pada sisi kiri wajah Jihoon. "Ji,"
Jihoon menoleh dan, "Aishh!"
Guanlin meringis saat bingkai tebal kacamata Jihoon menubruk tulang hidungnya. Guanlin menegakkan posisi duduknya, dan menyentuh hidungnya yang terasa sedikit ngilu.
Secara refleks, Jihoon menarik tangan Guanlin dan tangannya sendirilah yang bergerak untuk mengusap lembut hidung mancung Guanlin.
Jihoon panik, "Lin, sumpah gue nggak sengaja, Lin, sakit, ya? Coba sini,"
Wajah Jihoon memerah karena panik, dan itu jelas terlihat sangat menggemaskan di mata Guanlin. Karena situasi dan kondisi sedang bagus, Guanlin pun sengaja menambahkan volume rintihannya agar Jihoon semakin lembut mengusap-usap hidungnya.
Jihoon yang merasakan ada kejanggalan pun langsung menjauhkan tangannya dari hidung Guanlin dan berpindah tempat untuk menampar pelan pipi kiri Guanlin.
Guanlin kembali merintih. Namun kali ini terdengar berat, seolah pemuda itu benar-benar kesakitan.
Jihoon mencibir, "nggak usah pura-pura, gue nggak percaya. Lagi ngebohong 'kan, lo?"
Guanlin tak menjawab cibiran Jihoon dan terus menahan pipi kirinya karena rasa ngilu bekas pukulan Daniel beberapa waktu lalu kembali terasa.
Well, pukulan Daniel memang tak sebercanda itu sampai-sampai perihnya pun akan membekas sangat lama.
Merasa diabaikan, Jihoon pun kembali menoleh pada Guanlin. Matanya memicing saat mendapati Guanlin tengah memejam dengan telapak tangan yang terus memegangi pipi kirinya.
Jihoon menggigit pelan bibir bawahnya, lalu tanganya terangkat secara perlahan untuk menyingkirkan tangan Guanlin dan membiarkan tangannya sendiri untuk menyentuh wajah pemuda itu.
Jihoon mendorong pelan wajah Guanlin ke arah kanan, lalu ia sedikit mencondongkan tubuhnya agar bisa melihat wajah Guanlin dengan seksama.
Jihoon mencelos begitu melihat ada bekas memar di sekitar tulang pipi dan rahang Guanlin.
Mata yang mulai berair itu menjadi pertanda bahwa Jihoon begitu benci ketika Daniel berani untuk melukai pemuda ini.
"Ji, hey,"
Jihoon terdiam. Tangannya terus bergerak untuk mengusap bekas memar itu dengan harapan akan menghilang jika ia terus mengusapnya tanpa henti.
"Jihoon,"
Usapan pada wajah Guanlin melemah saat setetes air mata jatuh mengaliri pipi Jihoon.
"Ji, stop, Jihoon,"
"Nggak bisa ilang, Lin!!! Bentar, ini pasti bisa ilang. Bentar, bentar."
Dengan tangan yang bergetar, Jihoon berusaha untuk mencari sesuatu di dalam tasnya. Namun nihil, ia tak berhasil menemukan apapun yang bisa mengobati memar di wajah Guanlin. Seketika, bayang-bayang kematian teman-temannya saat di Taiwan kembali terngiang dan hal itu seolah menyadarkan Jihoon, bahwa sampai kapanpun ia tak akan bisa lepas dari Daniel dan Daniel akan seterusnya mengambil nyawa orang-orang terdekat Jihoon dengan seenaknya.
Tidak, tidak. Daniel tak boleh menyentuh Guanlin. Sedikitpun tidak boleh. Satu inchi pun Jihoon tak akan membiarkannya.
Tidak, oh sial. Tangan Jihoon semakin bergetar hebat, membuat tas ransel yang semula dipegangnya jatuh begitu saja ke rumput.
Sebuah pergerakan halus membuat Jihoon mematung dengan derai air mata yang tak mau berhenti mengalir. Kacamatanya kembali terlepas. Perlahan namun pasti, Jihoon bisa merasakan wajahnya bersandar dengan nyaman di dada sebelah kiri Guanlin. Guanlin memeluknya, dan usapan-usapan lembut di bagian tengkuk dan kepalanya membuat Jihoon terhenyak dan sadar, bahwa benar ia menyukai pemuda ini.
Namun, keinginan untuk bisa bersama Guanlin jelas merupakan sebuah keinginan yang sangat salah. Bagaimanapun juga, Jihoon hanya akan menyeret hidup Guanlin ke dalam bahaya besar jika Jihoon tetap akan menomorsatukan perasaannya.
Tidak, ia tidak boleh egois.
"Something hurts you?"
Gagal sudah. Suara lembut yang sarat akan rasa khawatir itu justru membuat Jihoon semakin ingin memperjuangkan Guanlin.
Tangan Jihoon terangkat untuk membalas pelukan Guanlin. Untuk kali ini saja, biarkan Jihoon berkhianat pada Daniel dan biarkan Jihoon merasakan kebahagiaannya meski hanya sesaat.
Jihoon memeluk leher Guanlin lebih erat lagi, "Lin,"
"Hmm?"
"Sakit?"
Guanlin menempelkan wajahnya tepat di atas wajah Jihoon yang sedang menghadap ke arah lehernya. Guanlin melesakkan wajahnya di sana, mencoba untuk menghapus jejak air mata yang tercetak di wajah manis itu.
Pelukannya menjadi semakin erat, "ngga, kok."
Jihoon meloloskan seuntai isakan, "pembohong. Gue benci sama pembohong."
Guanlin terus tersenyum, "it's all ok, i am fine."
"A big fat lie, stupid."
"I am fine, thank you, and you?"
Jihoon terkekeh, "kayak anak kecil!"
Guanlin hanya bisa mengangguk sambil terus mengusap lembut kepala bagian belakang Jihoon.
"Ji,"
Jihoon menggerakkan kepalanya, sebagai respon atas panggilan Guanlin.
"Kalo gue bilang, gue udah punya perasaan sama lo sejak dua tahun lalu, lo percaya, nggak?"
Dengan cepat Jihoon menggeleng, dan Guanlin tertawa karena itu.
"Tapi itulah kenyataannya."
Jihoon bergerak untuk melepas pelukan mereka, namun Guanlin justru semakin erat memeluknya.
"Berawal dari perasaan ingin melindungi, semuanya berubah jadi rasa sayang. Sejak pertama kali telapak tangan lebar gue terpaut sama telapak tangan mungil lo, it's all started." sambung Guanlin.
Rasanya, ingin sekali Jihoon menyuruh Guanlin berhenti dan mengatakan pada pemuda itu betapa berbahayanya untuk menjadi seseorang yang spesial bagi Jihoon, namun bibirnya terasa kelu dan hati kecilnya berteriak memohon agar untuk kali ini saja, Jihoon mengalah dengan segala ketakutannya dan mencoba untuk berteman dengan rasa percayanya.
Jihoon memeluk Guanlin lebih erat lagi, "hmm, gue mau."
Guanlin tersenyum, hatinya terasa begitu lembut. "Mau apa?"
"Jadi pacar lo."
"Kata siapa gue lagi nembak lo?" Guanlin, you such a tease.
"Pokoknya gue mau jadi pacar lo."
Guanlin terkekeh. Kenapa Jihoon jadi sangat menggemaskan seperti ini?
Perlahan, Guanlin melepas pelukannya. Hanya sedikit, karena jarak keduanya masih begitu dekat dan tangan mereka pun masih saling memeluk satu sama lain.
"Ji,"
"Apa!"
"Ih, galak."
"Emangnya gue anjing!"
Guanlin menyentil pelan bibir Jihoon, "Aku. Sama pacar nggak boleh lo gue gitu."
Wajah Jihoon memerah mendengar ucapan Guanlin. Bagaimana bisa Guanlin tega menggodanya seperti ini?
Guanlin menghela pelan nafasnya sebelum menyentuh dagu Jihoon dan mengangkatnya sedikit.
"Aku mau cium."
"Nggak boleh!"
"Sebentar aja,"
Jihoon menggeleng kuat.
"Ji,"
"Nggak."
"Sayang,"
"Hmm?"
"Cium, ya?"
"Nggak boleh."
"Pipi deh?"
Jihoon menautkan alisnya, "bener, ya?"
Guanlin mengangguk dengan cepat, dan senyumnya melebar kala Jihoon menampangkan pipi kirinya pada Guanlin.
Guanlin menunduk, tangannya bergerak untuk menyentuh pipi Jihoon dan dalam sekali gerakan, Guanlin berhasil membalikkan arah wajah Jihoon sampai kini mereka bertatapan dengan dalam.
Jihoon mencibir, karena ia tau apa yang akan dilakukan kekasihnya itu.
Jihoon memejam, sentuhan halus menyapa tengkuknya, menariknya mendekat lalu memiringkannya sedikit, sampai kedua benda lunak itu saling menemukan pasangannya.
Jihoon tak bisa menahan senyumnya saat Guanlin mendaratkan kecupan-kecupan manis di bibirnya. Jihoon memeluk leher Guanlin lebih erat, lalu ia memberikan lumatan pertama pada bibir atas Guanlin. Guanlin tentu membalasnya dengan senang hati. Mereka terus memberikan ciuman demi ciuman satu sama lain sampai suara decapan mulai menguar dengan sendirinya.
Lewat ciuman ini, Jihoon berjanji, untuk selalu memperjuangkan perasaannya dan juga Guanlin, dan tidak akan meninggalkan Guanlin dengan alasan apapun.
※※※
At least, it was what Jihoon thought.
Janjinya untuk selalu memperjuangkan perasaannya, perasaannya Guanlin, dan janjinya untuk tidak akan pernah meninggalkan Guanlin dengan alasan apapun kini terancam untuk diingkari.
Dua bulan pertama berjalan dengan baik untuk hubungan keduanya. Guanlin sering mengajak Jihoon untuk berkencan di tempat umum, seperti Amusement Park, mall, restoran cepat saji, kedai es krim, karena Guanlin tau tentang hobi makan Jihoon yang begitu kuat.
Sedangkan Jihoon lebih sering mengajak Guanlin untuk berkencan di rooftop tempat pertama kali mereka mengobrol, perpustakaan sekolah, taman belakang tempat mereka meresmikan hubungan keduanya, dan juga ke toko buku yang tak jauh dari sekolah untuk sekedar mencari novel dan buku-buku yang berkaitan dengan dunia psikologi, kesukaan Jihoon.
Semuanya berjalan lancar, tentu tanpa sepengetahuan Daniel.
Jika di luar rumah, maka Jihoon adalah seutuhnya milik Guanlin, kekasihnya. Dan jika berada di rumah, maka Jihoon adalah seutuhnya milik Daniel, sahabatnya yang gila itu.
Sungguh, Jihoon ingin sekali bisa lari dari Daniel dan Jihoon pernah satu kali mengalami keputus asaan dengan obsesi Daniel atas dirinya yang begitu besar, sampai-sampai Jihoon memohon pada Guanlin untuk membawanya pergi kemanapun.
Namun gagal, Daniel menghancurkan rencana kabur Jihoon.
Dan kali ini, kejadian yang sama terulang kembali. Hanya bedanya, Jihoon berusaha untuk lari sendiri tanpa sepengetahuan Guanlin maupun Daniel.
Namun apa daya, Daniel seolah memiliki kekuatan untuk terus menguasai Jihoon.
Dan disinilah Jihoon sekarang. Duduk pada sebuah bangku panjang di tepi taman, dengan tubuh yang bergetar hebat sambil menunggu kedatangan Guanlin.
Mungkin, ini adalah akhir dari segalanya.
Jihoon melirik ke sisi kanan, dimana Daniel sedang berdiri bersandar pada pintu mobilnya sambil bersila dada.
Hancur. Habis. Selesai.
Jihoon tak mampu menahan laju air matanya saat kenangan bersama Guanlin dan ancaman Daniel seolah sedang bersahut-sahutan di dalam benaknya. Kepalanya berat. Hatinya sesak.
"Ayo masuk kelas. Kamu udah kebanyakan bolos, mochi-ku!"
"Kamu udah ngehabisin sepuluh cup es krim dan sekarang kamu minta nambah? Pantesan ya kamu tuh makin kayak bakpao."
"Hm, aku tau. Tapi yang harus kamu tau, aku lebih sayang sama kamu."
"Kamu bohongin aku, Ji?"
"Kamu berani mengkhianati aku? Iya?"
"Aku punya kejutan untuk kamu. Mungkin lusa akan kamu terima."
"Apa? Kamu penasaran sama kejutan yang mau aku kasih?"
"Hm, gimana kalau Guanlin?"
"Berita kematian Guanlin. Kamu suka, 'kan?"
"Jauhin Guanlin!"
"Aku sayang sama kamu, Ji."
"Mau pake kacamata ataupun nggak, kamu tetep manis."
"Hehehe, iya iya, ampun sayang . . ."
Bagaikan sebuah tayangan film, raut wajah idiot Guanlin setiap sedang bersamanya dan juga raut tajam wajah Daniel saat mengancamnya saling berlomba untuk mendapatkan waktu tayang lebih lama di dalam otaknya.
Jihoon kalut, bagaimana jika setelah ini Guanlin akan sangat membencinya?
"Ji,"
Suara itu! Ah, bahkan rasanya Jihoon seperti sedang berhalusinasi saat ini.
"Ji, hey,"
Jihoon mendongak, dan mendapati Guanlin yang terlihat tidak lebih baik darinya sedang berdiri di hadapannya.
Hati Jihoon terasa begitu sakit saat melihat penampilan Guanlin yang seperti orang tidak memiliki semangat hidup.
Jihoon berdiri, hendak merengkuh tubuh hangat itu ke dalam dekapannya namun matanya tak sengaja melirik ke arah Daniel yang berdiri tak jauh dari posisi mereka.
Guanlin menyadari gelagat aneh Jihoon, dan mencoba untuk mengikuti arah pandang Jihoon.
Ck, pria brengsek itu.
"Kenapa ada dia?"
"Lin,"
"Jawab aku, Ji."
"K-kita,, p-putus, ya?"
Guanlin tertawa renyah. Bagaimana bisa Jihoon meminta putus setelah menghilang selama dua minggu penuh, tepat di hari yang sama saat Guanlin akan membantu Jihoon untuk kabur dari si brengsek Daniel?
Bagaimana bisa Jihoon meminta putus setelah ia lagi lagi menjadi korban kemurkaan Daniel hanya untuk melindungi kekasih yang begitu ia cintai sedangkan yang dilindungi hanya bisa diam tanpa berniat sedikitpun untuk mengulurkan tangannya untuk menolong Guanlin disaat Guanlin sudah jatuh dengan wajah yang dipenuhi darah dan luka.
Disaat Guanlin melirih meminta pertolongan, Jihoon justru mengabaikannya seolah Guanlin hanyalah sampah yang tak pantas dilirik.
Sejak saat itu, Guanlin meragukan perasaan Jihoon. Namun jauh di lubuk hatinya, ia yakin kekasihnya akan kembali untuk memberikan penjelasan.
Namun Guanlin salah. Jihoon memang kembali, tetapi untuk mengakhiri hubungan keduanya.
"Why? Am i not worth enough?"
Jihoon menunduk. Tubuhnya semakin bergetar hebat karena tangisnya yang pecah.
Jihoon membenci dirinya sendiri. Kenapa ia bisa selemah itu pada Daniel sampai harus mengorbankan perasaannya dan juga perasaan Guanlin semudah membalikkan telapak tangan?
"Ji, liat aku."
Jihoon menggeleng sambil menunduk.
"Jihoon,"
"Jangan gini, Lin." Jangan bikin semuanya jadi tambah sulit.
Guanlin maju satu langkah, lalu menangkup wajah Jihoon yang tampak berantakan. Guanlin mensejajarkan wajahnya dengan Jihoon, berusaha untuk tersenyum sambil jarinya bergerak untuk mengusap wajah Jihoon.
Guanlin mengecup bibir Jihoon yang bergetar, lalu berpindah ke hidung, dan ciuman lembut itu berlabuh di dahi Jihoon.
"Kalau aku masih banyak kurangnya, aku minta maaf, oke? Aku janji, aku akan jadi pacar yang baik buat kamu. Aku akanㅡ"
Jihoon berhambur memeluk Guanlin dan membekap wajahnya sendiri pada dada Guanlin yang terbalut kaos berwarna hitam.
Guanlin tak sempat melanjutkan ucapannya. Air matanya menetes kala Jihoon menangis pilu di dalam pelukannya.
Guanlin tau, inilah akhir bagi keduanya. Tak ada lagi yang bisa diperjuangkan disini.
"Guanlin,"
Guanlin mengusap pelan kepala Jihoon, lalu membenamkan wajahnya di puncak kepala Jihoon.
"Iya, sayang?"
Tetes air mata lain jatuh dari pelupuk mata Jihoon.
Jihoon mengeratkan pelukannya, "Lin, please, janji. Jangan temui aku lagi setelah ini."
"Hmm."
"Please, janji, untuk lupain aku dan anggap aja kita nggak pernah saling mengenal."
Guanlin mengecup surai halus Jihoon, "hmm."
"Aku nggak butuh hmm-nya kamu, jawab aku, iya atau nggak." balas Jihoon.
Guanlin berdecak, "Kalo aku jawab nggak, kamu pasti bakal maksa aku untuk jawab iya. Dan kalo aku jawab iya, you were the one who don't like any lies, am i right? Jadi buat apa aku jawab iya, kalo itu jelas adalah sebuah kebohongan?"
Jihoon melepas pelukannya. Tangannya terangkat untuk mengusap wajah Guanlin, "it was so amazing for me, Lin."
"Bye."
Dan satu detik setelah pelukan mereka terlepas, Guanlin tersadar. Bahwa tak ada janji di dunia ini yang pantas untuk ditepati. Karena pada dasarnya, semua janji adalah busuk.
※※※
Ujian akhir sudah selesai. Dan itu artinya, liburan sudah di depan mata. Dan juga itu artinya, sudah sebulan berlalu sejak terakhir Jihoon melihat Guanlin.
Guanlin benar-benar memenuhi janjinya untuk melupakan Jihoon, meskipun disini Jihoon masih terus merindukan mantan kekasihnya itu.
Jihoon tersenyum kecil saat mendapati Guanlin tengah tertawa bersama Samuel dan teman-temannya yang lain. Guanlin tampak baik-baik saja, dan Jihoon bersyukur untuk itu.
Jihoon mengalihkan pandangannya ke arah lain saat melihat seseorang dengan postur tubuh yang sangat ia kenali meskipun tertutup rapi dengan busana serba hitam melangkah ke arah Guanlin yang mulai beranjak keluar sekolah.
Dengan pikiran kalut dan dengan jantung yang berdegub tak karuan, Jihoon berlari turun dari lantai tiga gedung sekolah menuju gerbang utama.
Tak butuh waktu lama, Jihoon akhirnya berhasil untuk berjalan di belakang Daniel, yang ternyata memegang pistol di tangan kanannya.
Jihoon tak pernah menyangka Daniel akan benar-benar bertindak gila seperti ini lagi. Sejak malam kandasnya hubungan Jihoon dan Guanlin, Jihoon menyusun strategi untuk kabur sampai akhirnya ia berhasil.
Mungkin, Daniel mengira kalau Guanlin lah yang menyembunyikan Jihoon selama ini. Padahal nyatanya, Jihoon membeli sebuah apartemen yang tak jauh dari sekolah.
Daniel mulai mengatur pistolnya dan mulai mengangkat tangannya ke arah kepala Guanlin dengan perlahan.
Jihoon berusaha untuk tenang, sambil memikirkan cara untuk menggagalkan Daniel. Jihoon membuka tasnya, dan mengambil Mikiㅡ pistol semi otomatis yang sebelumnya ia ambil dari lemari Daniel.
Jihoon bisa membaca hitungan tembak Daniel dengan baik. Ia mempercepat langkahnya, dan berlari mendekati Guanlin lalu berhenti tepat di belakang Guanlin.
Jihoon berbalik, dan mengarahkan pistol yang dipegangnya sejajar dengan arah tembak Daniel.
Daniel membuka maskernya, "Ji,"
Jihoon tersenyum meremehkan begitu melihat raut kaget Daniel di depannya.
"Long time no see, Niel."
"And," Jihoon mengatur pistolnya sebentar, lalu kembali mengarahkan pistol tersebut pada bagian dada kiri Daniel.
"We won't see each other again from now,"
"I've told you that don't you even dare to touch Guanlin, or so you will get your karmaㅡ"
"In three, two, and,"
Suara tembakan pun tak terhindarkan. Jihoon baru saja melakukan pemanasan. Ia melepas satu besi panasnya pada ban mobil yang sedang terparkir di belakang Daniel.
Orang-orang di sekitar sekolah pun mulai berlari menyelamatkan diri saat melihat Jihoon dan Daniel yang sedang saling melempar arah tembakan. Guanlin yang berdiri di belakang Jihoon pun langsung berbalik dan terkejut melihat aksi gila keduanya.
Guanlin melirik Daniel yang bersiap untuk melepas peluru ke arahnya, dan tanpa pikir panjang Guanlin menarik tangan Jihoon sampai keduanya terguling menghindari tembakan Daniel yang meleset ke arah pohon besar.
Jihoon melirik cepat pada Daniel yang bersiap untuk melayangkan peluru keduanya sambil melangkah menuju Jihoon dan Guanlin yang duduk terkapar. Dengan cepat, Jihoon kembali mengatur pistolnya lalu mengarahkan pistolnya pada kaki Daniel, dan,
Ya, Jihoon berhasil menanamkan besi panas pada kaki kiri Daniel.
Tanpa pikir panjang, Guanlin menarik Jihoon untuk segera pergi dari sana sebelum Daniel melakukan perlawanan.
Pikirannya kalut, hati Guanlin tak tenang memikirkan betapa seramnya aksi baku tembak barusan.
Tapi yang terpenting sekarang adalah, mereka aman. Mereka selamat. Dan mereka kini saling menggenggam tangan satu sama lain.
※※※
"Ada yang luka?"
Jihoon terkekeh, sambil terus menciumi seluruh permukaan wajah Guanlin.
Guanlin berdecak, tangannya terangkat untuk menoyor pelan dahi Jihoon.
Ck, bagaimana bisa pemuda gendut ini terkekeh begitu geli di saat Guanlin justru merasa hampir mati karena aksi penembakan tadi?
"Mana yang sakit, Ji?"
Jihoon menggeleng, lalu menangkup wajah Guanlin dan mencium bibir sintal Guanlin berulang kali.
"Jihoon, stop."
"Nggak mau." jawabnya sesaat, sebelum kembali menghujani bibir Guanlin dengan ciuman.
"Aku turunin, nih."
"Jangan!! Kalo begini 'kan, aku lebih tinggi dari kamu!"
Yap, posisi mereka kali ini ada di taman bermain dekat sekolah. Guanlin mendudukkan Jihoon pada salah satu besi yang menjadi penyangga mainan berbentuk lingkaran besar dengan besi berbagai warna sebagai kerangka.
Dan Guanlin, berdiri diantara kedua kaki Jihoon.
"Kamu belajar nembak dari mana?"
Jihoon hanya mengangkat kedua bahunya acuh. Tangannya sibuk memainkan rambut Guanlin.
"Itu tadi pistol siapa?"
"Pistol aku lah."
"Darimana?"
"Kepooo!"
Guanlin memutar malas bola matanya, lalu tangannya beralih untuk menggenggam tangan Jihoon.
"Soal Daniel, dia..."
Jihoon tersenyum, "dia nggak akan mati semudah itu. Dosanya banyak."
Guanlin mencium punggung tangan Jihoon, membuat Jihoon tak bisa menahan senyum bahagianya.
"Kenapa kamu balik lagi?"
"Kepooo!"
"Ji,"
Jihoon terkekeh, "aku mau nepatin janji aku."
"Janji apa?"
Jihoon mengecup dahi Guanlin, "janji untuk jadi pacar kamu,"
Lalu ciumannya turun pada ujung hidung Guanlin, "janji untuk sayang sama kamu,"
Lalu destinasi selanjutnya adalah dagu Guanlin, "janji untuk selalu di sisi kamu,"
Dan yang terakhir, ciuman manis itu berlabuh di bibir Guanlin. Jihoon mencium bibir Guanlin berulang kali sambil berucap, "janji untuk nggak akan pernah ninggalin kamu."
Guanlin tersenyum, lalu menangkap wajah Jihoon yang berada di atasnya, dan berhambur melumat bibir genit kekasihnya itu. Keduanya terlarut dalam suasana, melepas rasa rindu yang selama ini hanya bisa dipendam.
Sekarang Guanlin percaya, bahwa akan selalu ada kesempatan untuk bisa menepati janji.
*) 3rd thing of Guanlin, he believe in Jihoon that much.
.
.
.
.
.
F I N.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro