[7]ㅡ Therefore
❝ Therefore, we are still one.❞
.
.
.
[7] THEREFORE
.
.
.
2019
ENIGMA
[✔]
Tak ada hal lain yang dapat Jihoon lakukan selain tetap berdiam diri pada posisinya, dengan sepasang mata sembab yang menatap lurus pada seorang pemuda berkulit seputih porselen yang tengah berdiri di tengah panggung.
Berulang kali pemuda manis dengan rambut yang sedikit dimodel messy pada hari terakhir konser dari grup dimana ia bernaung secara resmi selama satu tahun lebih enam bulan ini, menarik napas dalam-dalam sambil berusaha menahan isak yang mungkin saja akan keluar kapan pun.
Suara isak tangis yang menggema di sekitarnya mampu membuat Jihoon seolah jatuh pada titik terendah dalam hidupnya.
Sebelum ini, Park Jihoon kecil pernah bermimpi untuk menjadi seorang selebriti yang hebat dan terkenal. Menjadi salah satu idola yang dicintai oleh banyak orang. Dan Park Jihoon besar, berhasil mewujudkannya. Membawa mimpi masa kecilnya itu untuk terbang bersamanya, tanpa sekali pun berniat untuk menghempaskannya.
Dan di sini lah ia sekarang, berdiri tepat di samping kiri Ong Seongwuㅡ teman satu grupnya, yang sudah seperti seorang kakak untuknya.
“Karna setelah ini tidak akan ada Wanna One lagi, maka aku akan memeluk kakak-kakakku, satu persatu.”
Jihoon menekan belah bibirnya kala Guanlin menuntaskan ucapannya. Matanya yang semula terpusat pada sosok tinggi itu, kini mulai beralih menatap pada beberapa penggemar yang berada di dekat panggung, yang mulai menjerit menyuarakan sakit di hati mereka.
Rasanya sakit. Sangat sakit.
Ketika Jihoon yang kala itu masih dalam masa trainee-nya pada sebuah acara survival yang berhasil membuatnya sekarang berada di atas panggung ini, pernah bergumam kecil dalam hatinya, kalau ia ingin sekali memiliki penggemar yang banyak lalu ia ingin menjadi salah satu alasan yang mampu membuat penggemarnya itu tersenyum.
Dan tepat pada hari ini, tanggal dua puluh tujuh pada bulan Januari di tahun dua ribu sembilan belas, Jihoon seolah merasa tidak mampu untuk sekedar menjaga janjinya, apalagi untuk menepatinya.
Karena Wannableㅡ begitu panggilan untuk para penggemar grup yang menjadi satu-satunya rumah baginya, justru kini sedang menangis.
Dan Jihoon, untuk ke sekian kalinya, ia merasa gagal.
Jihoon sudah mempersiapkan hatinya, bahkan sejak detik pertama saat dirinya muncul berdampingan dengan Daniel di sebuah layar besar, sebagai dua kandidat yang akan memperebutkan posisi pertama.
Jihoon sudah mempersiapkan mentalnya, untuk bertemu dengan perpisahan yang sejak awal sudah ia pikirkan matang-matang.
Namun sialnya, Jihoon tetap tidak mampu. Ia tidak sekuat yang ia harapkan. Ia tidak seikhlas yang ia kira.
Ia tidak pernah tahu, kalau perpisahan yang sudah pernah tergambar secara abstrak dalam imajinasinya, justru akan terasa begitu menyakitkan ketika berubah menjadi nyata.
Satu lagi tetes air matanya tumpah, bersamaan dengan sepasang tangan yang terbuka lebar untuk menyambutnya dalam sebuah pelukan hangat.
Sepasang mata sembabnya bertemu pandang dengan sepasang mata sempurna milik Lai Guanlin, membuatnya tak mampu menahan senyum dan tangis pada waktu yang sama.
Dengan satu tangan yang setia menggenggam mic dengan nama 'Park Jihoon' yang tertera di sana, dan juga dengan satu tangan yang bebas, Jihoon menyambut pelukan Guanlin.
Menepuk pelan punggung lebar itu, dan membisikkan satu untaian kalimat manis yang berhasil membuat Guanlin menjatuhkan dagu panjangnya di atas bahu kanan Jihoonㅡ berusaha mempererat pelukan keduanya.
Jihoon tak mau berkedip selama pelukan itu berlangsung. Satu kali ia menutup matanya, mungkin buliran bening yang siap meluncur itu bisa saja mendarat tepat adi atas kemeja putih yang Guanlin kenakan.
Cup
Jihoon tersenyum, saat sebuah kecupan singkat hinggap di bahu kanannya.
Tak mau terlalu lama menikmati kenyamanan yang menghanyutkan, Guanlin pun mulai melepas pelukannya. Menatap sebentar wajah sayu Jihoon, lalu mengangguk seolah mengisyaratkan bahwa sosok manis yang terpaut usia dua tahun dengannya itu sudah bekerja sangat keras selama ini.
Dan Jihoon balas mengangguk, mengiyakan isyarat pemuda tinggi itu, lalu membiarkan Guanlin mulai melangkah mendekati Seongwu.
Lima belas detik berlalu, dan dengan spontan Jihoon membalik posisi tubuhnya untuk menghadap ke arah layar besar yang ada di tengah panggung.
Tidak, bukan. Jihoon bukan menatap pada layar besar tersebut, tapi Jihoon menatap Guanlin yang mulai menaiki anak tangga dengan langkah yang begitu tegap.
Seuntai senyum tipis hinggap di wajah manisnya, dan setetes air matanya kembali jatuh saat matanya tak sengaja bertukar tatap dengan sepasang mata berair milik Guanlin yang mulai menghilang untuk turun kembali ke belakang panggung.
Begitulah cara mereka harus meninggalkan kenangan bersama para member dan juga penggemar di tempat ini. Tempat yang menjadi saksi bisu dari suksesnya perjalanan karir mereka. Tempat yang menjadi satu-satunya saksi atas debut mereka pada tanggal tujuh di bulan Agustus tahun dua ribu tujuh belas.
Dan kini, Gocheok Sky Dome turut menjadi saksi bisu atas berakhirnya perjalanan karir mereka sebagai satu grup yang utuh.
Dan juga menjadi saksi atas sadarnya Jihoon, bahwa bayi besarnya itu adalah sosok yang kuat. Menyimpan seluruh rasa sedihnya selama empat hari ini, dan mengakhiri batas kekuatannya tepat pada detik terakhir dirinya terlihat sebelum hilang di balik panggung.
Guanlin-nya, baru saja meneteskan air mata.
∞
“Wanna One, sugohaesseo,”
Semuanya terdiam. Lebih memilih menatap lantai, daripada harus menatap satu sama lain. Lebih memilih untuk mengatur napas masing-masing, daripada harus membalas ucapan dari Yoon Jisung, leader mereka.
Bukan hanya tim kesebelasan yang memilih membisu, namun orang-orang di sekitar mereka seperti para kru, teman-teman, dan juga pihak keluarga turut memilih untuk menutup mulut mereka rapat-rapat.
Seolah sengaja membiarkan hanya suara dari para Wannable yang sedang mengalunkan salah satu lagu Wanna One dari album Power Of Destiny berjudul Hide and Seek. Suara dari para penggemar yang terselip isakan tangis di sana jelas mampu terdengar bahkan sampai ke ruang backstage.
Ingin rasanya kembali ke atas panggung, mengulas senyum satu kali lagi bersama-sama sebagai tim kesebelasan yang utuh pada semua penggemar yang memenuhi arena konser, namun apa daya, mereka tak bisa.
“Wanna One, sugohaesseo,” ucap Jisung, satu kali lagi.
Yang justru berhasil membuat Jihoon kembali jatuh di tengah lingkaran kecil yang sedang mereka buat, persis seperti apa yang terjadi pada dirinya ketika mengucapkan selamat tinggal dan ucapan terima kasih yang terakhir di atas panggung beberapa waktu lalu, sambil melirih memohon untuk mereka tidak berakhir saat ini juga.
Aksi Jihoon barusan justru berhasil membuat suasana backstage menjadi sedikit ramai. Dengan suara tangis. Kesembilan member Wanna One kembali berbaur dalam isakan, terkecuali satu orang. Lai Guanlin, pangeran kecil mereka.
Mengambil napas dalam-dalam, Guanlin membungkuk, berusaha untuk meraih kedua lengan Jihoon dan membantunya untuk berdiri.
“Hey, ayo bangun.”
Jihoon menggeleng, pertanda ia menolak ajakan Guanlin untuk bangkit berdiri. Rasa sesak di dadanya terlalu kuat, sampai-sampai untuk menahan berat tubuhnya saja Jihoon merasa tak mampu.
“Guanlin,” yang dipanggil namanya pun menoleh saat suara lembut Jisung menyapa gendang telinganya.
Dengan senyum yang begitu manis, meskipun masih tampak jelas jejak air mata di sepasang pipi tirusnya, “butuh bantuan?” tanya nya, sambil bersiap untuk mendekati Guanlin yang masih setia memegang kedua lengan Jihoon.
Pemuda berdarah asli Taiwan itu menggeleng, sambil membalas senyum hangat Jisung.
“Guanlin bisa sendiri, kak.”
Sebuah anggukan Jisung berikan sebagai jawaban, lalu kepalanya bergerak pelan mengisyaratkan bahwa lebih baik Guanlin mengajak Jihoon untuk mencari udara segar, atau sekedar menghindari keramaian dengan mencari tempat yang sedikit lengang dari kunjungan orang-orang.
Pemuda dengan tinggi 183 sentimeter lebih itu menurunkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Jihoon yang masih bersimpuh, “kita ngobrol di luar, yuk?”
Tanpa menjawab, salah satu tangan Jihoon bergerak meraih tangan Guanlin dan berusaha untuk berdiri. Tak ada hal lain yang bisa Jihoon lakukan selain menunduk, lalu mulai melangkah secara perlahan bersama dengan Guanlin yang merangkul punggungnya secara posesif.
“Keluar sebentar ya,” ucap Guanlin.
Dan semua orang yang berada di sana pun mengangguk, mengizinkan Guanlin dan Jihoon untuk berbicara berdua di tempat yang terpisah dengan mereka.
∞
Dan di sini lah, Jihoon dan Guanlin sekarang. Berdiri dengan posisi Guanlin yang memeluk erat tubuh mungil Jihoon dari belakang, sambil terus membisikkan kalimat penyemangat agar pemuda manis kesayangannya ini berhenti menangis.
Memilih salah satu ruangan kosong yang tak jauh dari backstage utama, Jihoon dan Guanlin sudah menghabiskan lebih dari dua puluh menit untuk berdiam di sana.
Ruangan pilihan Guanlin ini memang sepi, namun berhasil membuat Jihoon semakin menangis karena ruangan tersebut terhubung dengan pintu kaca yang memperlihatkan apapun yang berada di luar pintu tersebut. Termasuk ribuan penggemar yang saling berjalan keluar dari arena konser, dengan wajah menunduk, atau dengan kedua tangan yang menangkup wajah mereka.
“Nanti pilek lho kalau kamu nangisnya nggak abis-abis kayak gini.”
Jihoon mencubit pelan punggung tangan kanan Guanlin yang melingkari pinggangnya. Pasalnya, bukan hanya kalimat-kalimat romantis yang terucap dari bibir penuh pangeran kecil itu, kalimat-kalimat tidak penting seperti yang baru saja diucapkannya itu turut terselip di sela ucapan-ucapan manisnya.
Jihoon mengusap cepat wajahnya yang basah, lalu bergerak untuk merenggangkan pelukan keduanya.
Sadar bahwa Jihoon ingin menyudahi pelukan mereka, Guanlin menggeleng lalu menggigit gemas pipi gembil Jihoon yang masih terasa basah.
“Akhㅡ bodoh,” lirih Jihoon, dengan suara seraknya.
Guanlin terkekeh, lalu mendaratkan sebuah kecupan cepat di tempat yang sama, membuat Jihoon tak mampu menahan senyum tipisnya.
Perlahan, Guanlin menjauhkan sepasang tangannya dari tubuh Jihoon, membuat pemuda manis itu kini berbalik dan memposisikan tubuhnya untuk berhadapan dengan Guanlin.
Keduanya bertukar tatap cukup lama, sebelum akhirnya Jihoon memajukan langkahnya untuk semakin mendekat pada Guanlin. Merengkuh pinggang ramping si tampan, lalu menyeruakkan wajahnya pada dada bidang yang selalu menjadi tempat kesukaannya untuk bersandar.
“Aku nggak mau pisah.” lirih Jihoon, yang kembali bersiap untuk meneteskan air matanya.
Dengan cepat, Guanlin menangkup wajah Jihoon dan langsung menyeka buliran bening yang baru saja akan mengalir bebas dari pelupuk matanya.
Guanlin menggeleng, dengan sepasang telapak tangan lebarnya yang kini mengusap sayang pipi kanan dan kiri Jihoon dengan lembut, berangsur menunduk untuk menghujani wajah sembab Jihoon dengan kecupan-kecupan manis.
Bibir penuh si tampan berhenti tepat di depan kelopak mata kanan si manis yang kini terpejam sempurna, “Udah cukup nangisnya, ya? Kasian mata kamu.” dan cup, dua kali kecupan Guanlin hadiahi pada kelopak mata cantik milik Jihoon.
Jihoon mengangguk pelan, “Tapi, aku nggak mau pisah. . .”
Guanlin mengangkat sedikit wajah Jihoon agar kembali bertemu pandang dengan wajahnya, “Siapa?” tanya Guanlin.
“Apa?”
Guanlin menghela pendek napasnya, “Siapa yang bakalan pisah?”
Jihoon mencebikkan bibirnya, “y-ya, kita. . .”
Satu gigitan lagi Jihoon terima di ujung hidungnya. Sama halnya dengan perkara gigitan di pipi, kini dua kali kecupan mendarat di tempat yang sama.
“Kita bersebelas itu lulus, bukan berpisah.” ucap Guanlin, sambil kembali mengusap sayang wajah Jihoon.
“Kontrak kerja kita sebagai grup mungkin emang udah selesai, tapi bukan berarti hubungan antara kita bersebelas juga selesai, kan?” sambung Guanlin.
Jihoon menghela pendek napasnya, “Ya, tapi tetep aja, untuk bisa kumpul bersebelas pasti bakalan susah. Semuanya pasti punya jadwal masing-masing. Jangankan buat ngumpul bareng, buat saling tanya kabar di grup aja pasti bakalan susah, Lin.”
“Kamu itu terlalu khawatir tau, nggak, hm? Waktu di Pattaya, kita janji untuk nggak akan pernah lupain satu sama lain, kan? Kita juga janji untuk nggak menghapus grup chat kita dan kita juga sama-sama janji untuk terus ngeramein grup chat kita bersebelas. Inget?”
Jihoon mengatupkan bibirnya sesaat setelah Guanlin menyelesaikan ucapannya. Ugh, sepertinya Guanlin benar. Ia terlalu khawatir akan hari esok.
Perlahan, Jihoon mengangguk, sambil kedua tangannya semakin erat memegang sisi kemeja putih yang Guanlin kenakan.
“Dan laki-laki sejati, nggak akan pernah mengingkari janjinya.” sambung Guanlin. Jihoon tersenyum atas ucapan pemuda tampan itu.
Jihoon berjinjit sedikit, lalu menggapai bibir penuh Guanlin untuk diciumnya. Merasa kasihan jika Jihoon terus-menerus berjinjit, Guanlin menurunkan kedua tangannya yang semula menangkup wajah si manis untuk mendarat sempurna di pinggang rampingnya. Guanlin menarik Jihoon agar lebih dekat lagi dengannya, lalu menurunkan sedikit wajahnya tanpa melepas ciuman mereka, seiring dengan sepasang sepatu hitam milik Jihoon yang kembali mendarat di lantai.
Lima menit berlalu, dan Jihoon memutuskan tautan bibir keduanya. Tangannya beralih untuk memeluk leher jenjang Guanlin, membuat dahi keduanya saling menyatu dengan lembut.
Lagi, dua pasang mata berbeda oniks itu kembali terkunci pada satu garis tatap yang sama.
Hati Guanlin mencelos, ia tak bisa berbohong untuk tidak mengakui kalau hatinya begitu teriris kala melihat sepasang mata yang sejatinya menyimpan galaksi di dalamnya itu kini tampak sedih. Sepasang kelopak mata bergaris itu bahkan membengkak. Pemuda manis kesayangannya itu terlalu banyak menangis.
“Jangan nangis lagi.” ujar Guanlin.
Satu helaan napas lolos dari belah bibir Jihoon. “Aku masih sedih banget. Jadi, jangan larang aku buat nangis. Plis?”
Guanlin menggeleng, “Aku jauh lebih sedih.” balasnya.
Garis kerutan mulai muncul di dahi lebar Jihoon, “Tapi kamu nggak nangis.”
“Aku sedih harus liat kamu nangis terus.”
Jihoon mendengus. “Kamu nggak sedih mau pisah sama yang lain?” tanya Jihoon.
Guanlin hendak menjauhkan wajahnya dari Jihoon, hendak memisahkan dahi mereka yang masih saling menempel, hendak menghirup napas dalam-dalam saat pertanyaan itu tertangkap oleh telinganya.
Tapi sayang, Jihoon tak membiarkan itu semua terjadi. Sebelum Guanlin berhasil menjauh, Jihoon lebih cepat untuk menuntun tengkuk Guanlin agar menurun sehingga dahi mereka terus menempel satu sama lain.
“Aku nggak suka kamu nahan-nahan nangis kayak gini.” ucap Jihoon, pelan.
Guanlin mengulas senyum di wajahnya, “Siapa yang lagi nahan nangis?” tanya nya.
“Kamu lah.”
“Siapa?”
“Guanlin.”
“Guanlin siapa?”
“Guanlin pacar aku lah.”
Guanlin terkekeh mendengar jawaban Jihoon yang terucap begitu lantang. Tangannya beranjak untuk menangkup kembali wajah Jihoon, lalu menjatuhkan dua kali kecupan singkat di bibir manisnya.
“Gemes banget bayi aku.”
Satu kecupan lagi Guanlin berikan di dahi Jihoon yang tertutup beberapa helai poni. Lalu pemuda tampan itu menunjukkan senyum teduhnya pada si manis, membuat Jihoon tak tahan untuk kembali memeluk tubuh tinggi itu erat-erat.
Jihoon menyandarkan kepalanya pada bahu kiri Guanlin, sambil membiarkan jari-jari panjang Guanlin bergerak mengelus bagian belakang kepalanya.
Jihoon memejam, menikmati kehangatan yang diberikan oleh Guanlin. Ia sangat menyukai posisi seperti ini. Seolah Tuhan memang sengaja menciptakan Guanlin dengan tubuh tinggi semampainya, dan Jihoon dengan tubuh mungilnya, agar terlihat begitu menggemaskan saat mereka melakukan pelukan seperti saat ini.
“Ehm,”
Tanpa melepas pelukan keduanya, Jihoon membuka pejaman matanya, melirik seseorang yang baru saja berdehemㅡ yang berdiri di ambang pintu. Begitu juga Guanlin, ia hanya menoleh untuk mengetahui siapa yang baru saja datang menghampiri mereka.
“Apa?” tanya Jihoon, suaranya sedikit teredam karena bibirnya menempel dengan bahu kiri Guanlin.
Daniel terkekeh di ambang pintu, “Udah belum nangisnya? Kita mau makan malam bareng sama staff.”
Guanlin berusaha untuk melepas pelukan mereka, namun Jihoon menggeleng dan berusaha menggagalkan usaha Guanlin dengan menggigit kuat bahu si tampan.
Tidak berteriak, Guanlin hanya melirih sesaat setelah Jihoon menyudahi gigitannya.
“Sepuluh menit lagi kita keluar, kak.” ucap Guanlin.
Daniel mengangguk, bersiap menutup kembali pintu yang baru saja dibukanya namun tingkah lucu Jihoon berhasil membuat Daniel tak jadi menutup pintu tersebut. Pemuda yang memiliki bahu idaman para lelaki itu justru mulai masuk ke dalam untuk mendekati pasangan manis kesayangan Wanna One itu.
Bagaimana Daniel bisa pergi begitu saja, jika Jihoon benar-benar terlihat seperti anak kecil yang sedang meledek teman sepermainannya? Sesaat setelah Guanlin berucap bahwa mereka akan keluar sepuluh menit lagi, dengan wajah sembabnya Jihoon menjulurkan lidahnya pada Daniel seolah ia baru saja mengalahkan pemuda bertubuh besar itu pada sebuah permainan.
Dengan gemas, Daniel turut menggigit pipi Jihoon yang tidak menempel di bahu Guanlin. Membuat Jihoon meringis, dan memohon bantuan dari Guanlin dengan memasang ekspresi sayu seperti anak anjing.
Sedangkan Guanlin, ia hanya bisa tertawa melihat kedekatan Jihoon dan Daniel. Ah, ia sangat menyayangi dua manusia ini. Daniel sudah seperti kakak laki-lakinya, dan Jihoon, ya, well, anggaplah pemuda manis itu sebagai salah satu orang yang memiliki arti penting dalam hidup Guanlin.
“Anak nakal.” ucap Daniel, sambil mendaratkan sebuah jitakan pada puncak kepala Jihoon.
Seolah tak kapok menggoda Daniel, Jihoon kembali menjulurkan lidahnya lalu menyembunyikan wajahnya secepat mungkin di dada Guanlin. Kembali memeluk si tampan dengan erat, sambil memberikan beberapa kecupan jahil pada bagian bidang yang tertutup kemeja putih itu.
Daniel menepuk pelan bahu Guanlin, “Diapain bisa berhenti gini nangisnya?” tanya Daniel.
Guanlin mengulas senyum tipis, sambil satu tangannya mengusap sayang punggung tegap Jihoon.
“Diiming-iming makan es krim, makanya diem.” balas Guanlin, yang satu detik setelahnya mendapatkan hadiah cubitan di pinggangnya.
Daniel tak bisa menahan tawanya. Meskipun hatinya masih turut sedih atas perpisahan mereka, namun ia tak bisa bohong jika ia juga merasa senang dan tenang karena Guanlin berhasil membuat Jihoon melupakan kesedihannya.
Usakan lembut Daniel berikan pada surai hitam legam milik Guanlin, “Langsung ke backstage aja nanti, ya. Lagi pada beres-beres juga di sana.”
Lagi, Guanlin mengangguk dan Daniel pun mulai beranjak meninggalkan Guanlin dan Jihoon berdua.
“Jihoon,” panggil Guanlin, lembut.
Jihoon menyahuti panggilan Guanlin dengan sebuah anggukan pelan, ia tampaknya masih enggan untuk beranjak dari pelukan hangat Guanlin.
“Wanna have a shorty date with me?” tanya Guanlin, yang berhasil membuat Jihoon kini mengangkat kepalanya untuk balas menatap pemuda yang terpaut usia dua tahun dengannya ini.
Jihoon memicingkan salah satu matanya, “Kapan?”
Guanlin bertingkah seolah ia sedang berpikir, lalu beberapa detik setelahnya, ia kembali memusatkan seluruh atensinya pada Jihoon yang masih setia menatapnya.
“Malam ini?” Well, ini adalah bentuk pertanyaan yang terdengar seperti pernyataan.
“Tapi kan, kita mau makan malam sama staff. . .” balas Jihoon.
Guanlin mengangguk mantap, “Setelah itu, i will bring you outside.”
“Gimana kalau besok?” tanya Jihoon.
Helaan napas berat lolos dari belah bibir Guanlin. Perlahan, Guanlin menggeleng. “Aku nggak bisa, kalau besok.”
“Kenapa?”
“I will leave for a while.” balas Guanlin, dengan suara yang terdengar lirih.
“China?”
Guanlin mengangguk, “About the drama i have told you earlier.”
Ah, mereka sudah benar-benar berada di jalan yang berbeda, ya?
Berusaha untuk terlihat biasa saja, Jihoon pun mengulas senyum di wajah manisnya. Ia mengangguk mantap. Lalu menepuk pelan kedua bahu Guanlin.
“Actor Guanlinnie. . .”
Guanlin kembali menangkup wajah Jihoon. Menatap sepasang mata cantik itu dalam-dalam. “Is it okay?” tanya nya.
Jihoon mengangguk, “Ini awal dari karir kamu di masa depan. Aku nggak bisa larang. Well, i am fine. Kalau itu yang kamu khawatirkan.”
Damn, God. He can't be more in love with this guy named Park Jihoon.
Guanlin mencium lama pangkal hidung Jihoon, tanpa melepas bibirnya, ia bergumam di sana.
“I love you so much, baby.”
Jihoon terkekeh, lalu mendorong tubuh Guanlin agar sedikit menciptakan jarak di antara mereka. Jihoon meminta Guanlin untuk menyamakan posisi dengan tubuhnya, dan ya, Guanlin menurut.
Dengan cepat, Jihoon menangkup wajah Guanlin dan melakukan hal yang sama dengan apa yang barusan Guanlin lakukan. Mencium lama pangkal hidung mancung Guanlin, lalu bergumam kecil di sana.
“I love you too, big baby.”
Lalu bibir ranumnya bergerak untuk mendaratkan kecupan panjang lainnya di dahi Guanlin.
Oh, Tuhan. Bolehkah ia memiliki Guanlin-nya lebih lama lagi?
∞
Acara makan malam bersama para member Wanna One, beberapa staff yang selalu menemani mereka selama mereka menempuh karir bersama sudah berakhir sejak satu jam yang lalu. Lagi dan lagi, hujan air mata terjadi di sela acara makan malam itu. Jika saat di arena yang paling banyak menangis adalah Jihoon, maka di restoran tempat mereka menghabiskan waktu selama kurang lebih empat jam itu yang paling banyak menangis adalah Woojin.
Pemuda bergingsul itu tak henti-hentinya memohon pada para staff untuk membatalkan perjanjian berakhirnya karir mereka sebagai satu kesatuan. Hal tersebut berhasil membuat beberapa di antara mereka terkekeh karena Woojin yang menangis sambil memohon benar-benar terlihat menggemaskan di mata mereka.
Berjuta permohonan dilayangkan pun, hasil akhirnya tetap tak akan berubah. Sejak awal mereka bergabung dalam progam survival itu, mereka sudah menyetujui perjanjian dimana sebelas orang yang terpilih sebagai pemenang nantinya akan tergabung dalam satu grup, bekerja bersama selama satu setengah tahun, dan akan mengakhiri kontrak mereka pada waktu yang sudah ditentukan.
Dan tepat pada tanggal 31 Desember 2018, kontrak kerja mereka sebagai bagian dari Wanna One resmi berakhir.
Tertanda pada tanggal 24 sampai dengan 27 Januari, mereka akan menggelar konser perpisahan sebagai penutup dari perjalanan karir mereka bersama sebagai satu grup yang utuh.
Dan tepat pada hari ini, 27 Januari 2019, mereka tiba pada puncaknya. Menangisi kenyataan yang ternyata terlalu sulit untuk diterima.
Namun, meski sudah tak bersama dalam satu grup lagi, seluruh anggota Wanna One berjanji untuk menjaga baik hubungan mereka, dan tidak akan melupakan satu sama lain.
Bahkan mereka juga berjanji, akan merayakan hari jadi mereka setiap tanggal 7 pada bulan Agustus setiap tahunnya, dan satu orang di antara mereka yang memiliki penghasilan terbanyak pada tahun yang bersangkutan, akan membayar semua kebutuhan perayaan anniversary mereka.
Jihoon tertawa mengingat betapa bersemangatnya mereka semua saat mengucapkan janji tersebut, beberapa jam yang lalu. Bahkan ia tak bisa berhenti tertawa saat mengingat Woojin yang terus menangis sambil memeluk lengannya, ugh, dia benar-benar terlihat seperti anak kecil.
Waktu sudah memasuki dini hari ketika Jihoon mulai menggerakkan bangku ayunan yang sedang ia duduki. Kaki-kakinya bergerak untuk mengayunkan ayunan tersebut, membuat surai kecokelatannya turut bergerak bertabrakan dengan terpaan angin malam.
Tidak terlalu cepat, Jihoon memilih untuk menjalankan ayunannya secara pelan.
Kepalanya menoleh ke arah kiri, berusaha mencari Guanlin yang sedang mencari minuman sejak sepuluh menit yang lalu.
Matanya memicing saat melihat tubuh besar yang terbalut jaket berwarna hitam di sekujur tubuhnya. Membuat pemuda tampan itu terlihat seperti seekor pinguin yang tengah memegang dua cup minuman hangat di tangannya.
Jihoon terus mengayunkan ayunannya sambil matanya tetap mengawasi gerak-gerik si tampan.
Senyum di wajahnya mengembang, lalu ia menghentikan laju ayunannya saat Guanlin berlutut tepat di depannya.
“Jauh?” tanya Jihoon.
Guanlin menggeleng, satu tangannya terulur untuk memberi satu cup kopi hangat pada Jihoon.
“Tadi aku disuruh nyanyi eleven dulu sama penjualnya.” balas Guanlin.
Jihoon terkekeh, “Serius?”
Anggukan cepat Guanlin berikan sebagai jawaban. “Tapi disuruh nyanyiin bagian kamu.” sambung Guanlin, yang kemudian mulai menenggak susu cokelat hangat miliknya.
Jihoon turut tersenyum sesaat setelah Guanlin mengakhiri cerita singkatnya. Ia mulai meneguk kopi hangat pemberian Guanlin, sambil satu tangannya bergerak bermain-main dengan surai hitam lembut milik pemuda tampan itu.
“Kenapa nggak mau minum susu cokelat?” tanya Guanlin, yang mulai memposisikan dirinya untuk duduk tepat di antara kedua kaki Jihoon yang terbuka lebar.
“Butuh kafein. Aku mau terjaga semalaman ini.” jawab Jihoon.
Guanlin menautkan sepasang alisnya, “Kenapa nggak mau tidur?”
“Besok kamu pergi.” Guanlin mencelos ketika mendengar jawaban Jihoon.
“Aku nggak mau kehilangan satu detik aja waktu aku sama kamu. Sebelum kamu sibuk, ada banyak hal yang mau aku ceritain ke kamu.”
Tak banyak hal yang bisa Guanlin lakukan selain meraih salah satu tangan Jihoon untuk ia genggam.
Sejenak terbesit di hatinya rasa bersalah yang begitu besar karena harus meninggalkan Jihoon demi pekerjaan barunya yang sudah menanti.
“Tapi nanti kalau kamu ngantuk, tidur duluan aja, nggak apa-apa. Dan aku akan terus ngelanjutin cerita aku. Sampai kamu bangun besok paginya.” sambung Jihoon, dengan seuntai senyum tipis yang terukir di wajah manisnya.
Guanlin meletakkan cup susu cokelat miliknya di samping tubuhnya, lalu ia beranjak mendekati tubuh Jihoon, lalu memeluk bagian pinggang pemuda manis itu.
Guanlin menumpukan dagunya pada paha kanan Jihoon, menatap kekasihnya yang terlihat begitu cantik di bawah sinar rembulan.
“Kalau kamu nggak mau aku pergi, aku bisa batalin kontraknya.” ucap Guanlin.
Jihoon menggeleng, “Guanlin,”
“Hm?”
“Aku mau kamu tetap ada di sisi aku sampai besok pagi. Boleh?” tanya Jihoon.
“Mau sampai besok pagi, terus besok paginya lagi, besok, besok, besok, besok, besoknya pagi besok lagi, dan untuk seterusnya, aku akan terus ada di sisi kamu.” balas Guanlin, namun gelengan dari kepala Jihoon ia terima sebagai jawaban.
Jihoon meneguk sekali lagi kopi hangatnya, lalu meletakkan cup yang sudah kosong itu di samping milik Guanlin.
Sepasang telapak tangan mungilnya bergerak menangkup wajah Guanlin yang sedikit menegang. Bahkan tanpa mengucapkannya, Guanlin seolah sudah tau apa yang akan terjadi setelah ini.
Perlahan, Jihoon membuat pola beraturan di rahang tegas Guanlin. Menyalurkan rasa sayangnya lewat sentuhan itu.
“Aku nggak mau.” ujar Guanlin.
“Hmm. . . ?” lirih Jihoon, sambil terus menatap sepasang mata Guanlin yang mulai berkaca.
Guanlin memeluk Jihoon lebih erat lagi, “Aku nggak mau, Jihoon.”
Jihoon tersenyum miris, lalu mendaratkan sebuah kecupan panjang di dahi Guanlin. Tanpa menjauhkan bibirnya satu inci pun, Jihoon melirih di sana. “Setelah besok pagi, udah nggak ada kita lagi.”
“Satu kali aku bilang nggak mau, aku tetep nggak akan mau, Jihoon.”
“Tapi ini keputusan aku.” balas Jihoon.
Guanlin berdecak, “Iya, keputusan kamu. Keputusan sepihak. Dan aku nggak akan setuju sama keputusan kamu ini.”
“Guanlin,”
Guanlin menunduk, menjatuhkan dahinya tepat di atas pangkuan Jihoon.
“Nggak, Jihoon. Aku mohon, jangan. . .”
Ini yang Guanlin takuti. Ia sudah menahan air matanya dengan susah payah selama empat hari digelarnya konser perpisahan mereka, dengan pemikiran bahwa jika semuanya menangis, maka siapa yang akan menguatkan? Jika ia ikut menangis, akan sehancur apa perasaan ke-sepuluh kakak-kakaknya? Ia berusaha menjaga perasaannya sendiri, ia juga berusaha untuk menjaga perasaan kakak-kakaknya, termasuk Jihoon, dan sekarang. . . Justru Jihoon lah yang tak bisa menjaga perasaannya?
Inilah yang Guanlin khawatirkan. Ia akan menangis, di depan kekasihnya sendiri.
“A-aku. . . A-aku lebih memilih kehilangan pekerjaan daripada aku harus kehilangan kamu, Ji.”
Suaranya terdengar bergetar. Sekelebat rasa bersalah muncul memenuhi hati Jihoon. Ia sama sekali tak bermaksud untuk membuat Guanlin menangis.
Jihoon terus mengusap lembut puncak kepala Guanlin, “jangan bodoh, bayi besar.” ucapnya, diselingi kekehan kecil dengan maksud mencairkan suasana di antara keduanya.
Guanlin tak menjawab. Air matanya terus mengalir membasahi celana panjang yang Jihoon kenakan.
“I am not sure if we can make this work, aku takut nggak bisa ngejalanin hubungan jarak jauh, Guanlin.”
Masih memendam wajahnya di atas pangkuan Jihoon, Guanlin menjawab.
“Aku nggak lama di China, Jihoon. Setelah itu, aku balik ke sini. Atau aku bisa bawa kamu ke China sekalian, kamu ikut aku.”
Lagi, Jihoon menggeleng. “Kasian kamunya kalau aku bikin susah setiap hari.”
“Apanya yang bikin susah?” finally, Guanlin mengangkat pandangannya.
Jihoon mencelos, “Kenapa nangis?”
“Untuk melepas Wanna One aja rasanya berat banget buat aku, Jihoon. Aku datang ke sini, ke negara ini, jauh-jauh dari negara aku, sendirian, tanpa sedikit pun ngerti bahasa di negara ini, aku berusaha keras untuk jadi aku yang sekarang. Untuk jadi aku yang pantas disebut sebagai salah satu anggota Wanna One, untuk jadi aku yang nggak malu-maluin setiap aku ada di sisi kamu, aku belajar mati-matian, akuㅡ” satu isakan lolos dari belah bibir Guanlin, namun pemuda tampan itu tak kunjung ingin mengakhiri ucapannya.
“Aku nggak tidur, aku selalu mencoba banyak cara untuk bisa berdiri di posisi yang sama kayak kalian, sampai akhirnya aku bisa dapetin itu semua, aku disayang kak Jisung, kak Sungwoon, kak Minhyun, kak Seongwu, kak Jaehwan, kak Daniel, kak Woojin, Jinyoung, dan Daehwi, aku punya keluarga kedua setelah keluarga aku sendiri, aku punya rumah kedua setelah rumah aku sendiri, dan aku harus ngelepas itu semua hari ini, kamu pikir aku baik-baik aja, iya, Jihoon?”
Jihoon terdiam. Hatinya terasa begitu sakit setelah Guanlin mengungkapkan semuanya. Guanlin-nya yang tampak begitu kuat selama empat hari ini, ternyata menyimpan semua kesedihannya seorang diri. Benar-benar sendiri tanpa berniat untuk berbagi.
“Aku nggak nangis empat hari ini, bukan berarti aku nggak sedih. Aku sedih, banget. Aku hancur, Jihoon. Ngelepas keluarga yang selalu ada di sisi aku selama ini, mengikhlaskan mereka perlahan-lahan punya adik baru selain aku, kamu pikir aku bisa? Enggak, Jihoon. Sama sekali enggak. Tapi aku berusaha untuk menyimpan semua ketakutan aku sendiri, kalian semua nangis selama empat hari ini, terus kalau aku ikutan nangis, terus siapa yang bakal nguatin kalian? Siapa yang bakal ngasih kalian senyuman di saat kalian sibuk ngeluarin air mata? Siapa Jihoon?”
Perlahan, Guanlin melepas pelukannya dari tubuh Jihoon. Menciptakan sedikit jarak di antara keduanya.
“Untuk berpisah sama mereka aja, aku takut. Lebih dari takut. Dan sekarang, kamu mau pisah juga dari aku? Iya?”
Maaf, Guanlin. . .
Keduanya terdiam, dengan sepasang mata milik masing-masing yang masih terus saling bertukar pandang.
“Tapi maaf, aku nggak bisa, Jihoon. Untuk kali ini, aku nggak bisa menuhin apa maunya kamu.” sambung Guanlin, yang bersiap untuk berdiri meninggalkan Jihoon.
“Bawa aku ke China.”
Baru lima langkah ia menjauh dari posisinya semula, Guanlin kini menghentikan langkah kakinya. Belum berbalik, ia ingin menunggu kelanjutan dari ucapan Jihoon barusan.
“Aku mau ikut kamu. Aku sayang sama kamu.”
Hancur sudah pertahanan Guanlin. Ia berbalik pada satu detik setelahnya, lalu melangkah mendekati Jihoon dan memeluk pemuda manis itu dengan erat. Jihoon langsung memegang rantai ayunan yang ada di sisi kiri dan kanannya, berusaha menahan bobot tubuhnya dan juga Guanlin agar tidak jatuh ke bawah.
“Jangan ngomong kayak gitu lagi, aku nggak suka. We can make this work. Aku janji sama kamu.” ucap Guanlin.
Dalam pelukan erat itu, Jihoon mengangguk. Mempercayai semuanya pada Guanlin, dan Jihoon tak akan melepaskan pria-nya itu sama sekali.
Perlahan, Guanlin melepaskan pelukannya. Menatap sendu wajah Jihoon sambil tersenyum, “Mau pulang? Katanya mau ceritain banyak hal sampai besok pagi. . .” ucap Guanlin.
Jihoon mengangguk antusias, “Ke tempat aku, atau tempat kamu?” tanya Jihoon.
Guanlin tersenyum, lalu mencolek gemas hidung Jihoon.
“Ke rumah kita.”
“Eh?!!”
“You will find about it later, posisinya ada di tengah-tengah agensi aku sama agensi kamu.” balas Guanlin.
Jihoon memicingkan alisnya, “Guanlin?!!”
Guanlin terkekeh lalu mengangguk, “Iya, aku udah beli tempat tinggal buat kita berdua. Ini rahasia, oke?”
Dan tanpa menunggu jawaban Jihoon, Guanlin membawa tubuh mungil kekasihnya itu untuk digendong di punggungnya. Jihoon tak bisa menahan rasa bahagianya, bahkan ia sampai tak bisa berhenti untuk menghujani pipi Guanlin dengan ciuman bertubi-tubi.
Keduanya terus menikmati sisa-sisa waktu berdua sebelum mereka akan pergi ke China besok.
Keduanya terus saling melempar senyuman, tanpa sadar ada beberapa orang yang ternyata sudah membuntuti mereka sejak mereka keluar dari restoran tempat Wanna One menikmati makan malam bersama para staff.
Beberapa orang tersebut mulai sibuk dengan beberapa alat yang dipegangnya. Salah satu di antara mereka ternyata tengah memangku sebuah laptop.
Sepuluh menit berlalu, seseorang yang memegang laptop itu memberi kode kepada rekannya untuk bersiap pergi.
Tinggal menunggu 10% lagi, maka semuanya akan selesai.
Done.
HEADLINE NEWS: WANNA ONE'S PARK JIHOON AND LAI KUANLIN REPORTED HAS BEEN DATING!
Lalu ia mematikan laptopnya. Dan segera pergi dari tempat persembunyiannya bersama rekan kerjanya.
Menatap Jihoon dan Guanlin dari kejauhan, membiarkan sepasang kekasih itu terus menikmati waktu bersama tanpa tahu kalau Korea Selatan baru saja dibangunkan dari tidur nyenyak mereka dengan berita terbaru tentang keduanya tepat beberapa detik yang lalu.
.
.
.
.
.
Apa kabar, guys?? Masih mau baca ff-ff panwink kan?? :") anyway, aku seneng bisa nulis fluff HEHEHEHEHEHEHE gimana chapter ini??? Semoga selanjutnya aku bisa nulis lebih banyak yang fluff, yaa!
SEE YOU AGAIN!
ㅡ hoonxian.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro