[6]ㅡ Après la pluie
"Après la pluie le beau tempsㅡ there is sunshine after the storm."
.
.
.
[6] Après la pluie
.
.
.
2019
ENIGMA
[✔]
"Sayang,"
Seorang pemuda bersurai merah dengan balutan piyama tidurnya yang berwarna putih bergaris menoleh saat sepasang tangan besar melingkari perut bagian bawahnya.
Ia tersenyum tipis, menyambut kepulangan sang kekasih dengan senang. Jari-jari mungilnya bergerak mengusap sayang sepasang tangan besar itu, membuat sang empunya terkekeh kecil sambil menghujani kepala bagian belakang Jihoonㅡ kekasihnya, berulang kali.
"Gimana syutingnya hari ini, Lin?" tanya Jihoon, si pemuda bersurai merah.
Lin, adalah nama panggilan dari seorang aktor papan atas yang karirnya tengah meroket tinggi sejak awal tahun ini, Lai Guanlin. Seorang pemuda berusia 19 tahun, dua tahun lebih muda dari Jihoon yang pada bulan Mei tahun lalu baru saja memasuki usia ke-21.
Guanlin menghela berat nafasnya, membuat Jihoon mengernyit bingung sambil membalik arah tubuhnya agar berhadapan dengan Guanlin. Jihoon menyandarkan tubuhnya pada pagar balkon, lalu kedua tangannya terangkat untuk ia lipat di depan dada.
Sepasang mata cantiknya menatap lurus pada wajah lelah Guanlin yang kini tengah menatap langit malam yang bertabur bintang-bintang kecil.
Jihoon ikut mengalihkan pandangannya sesaat pada langit. Tersenyum sesaat pula saat matanya menangkap taburan bintang yang memenuhi langit pada malam hari ini.
Guanlin sangat menyukai bintang. Jihoon tahu itu.
Ia kembali menghadapkan atensinya pada sang kekasih, namun pemuda tinggi itu ternyata masih terus memfokuskan sepasang matanya pada pemandangan langit malam.
Salah satu alis Jihoon terangkat, tak biasanya Guanlin menatap langit malam yang bertabur bintang dengan ekspresi datar seperti yang ditunjukkan pemuda tampan itu sekarang.
Jadi, Jihoon memutuskan untuk maju satu langkah, berusaha mendekatkan dirinya pada Guanlin yang tampak kurang 'bersahabat' saat ini.
"Hey," Jihoon berusaha mendapatkan kembali perhatian Guanlin, dengan cara menangkup kedua pipi tirus kekasihnya itu sambil mengusapnya lembut.
Well, berhasil. Dua pasang mata itu kini saling bertukar pandang dalam diam.
Seuntai senyum manis terpampang di wajah cantik Jihoon, "is something bothering you, hm?" tanya nya, masih sambil mengusap sayang wajah Guanlin.
Guanlin berdehem, menyuarakan jawaban 'ya' dengan cara yang cukup dinginㅡ menurut Jihoon.
"Tell me."
"Aku dapet tawaran main film." jawab Guanlin.
Jihoon semakin dibuat bingung. Penawaran untuk membintangi sebuah film? Bukankah itu bagus? Kenapa Guanlin justru tidak terlihat bahagia?
Lagi, Jihoon berusaha memasang senyum tenang di wajahnya. "Lho, bagus dong kalau kamuㅡ"
"The plot has so many mature scenes. Once i agreed, there's no exit at all."
Usapan lembut tangan Jihoon pada wajah Guanlin terhenti. Refleks, Jihoon mengalihkan pandangannya ke arah lain. Asal tidak kembali pada sepasang netra hitam milik Guanlin.
Mendapati sang kekasih yang mendadak diam, Guanlin meraih kedua telapak tangan Jihoon yang masih menempel di wajahnya. Menggenggam sepasang tangan lembut itu erat-erat, lalu menuntunnya sampai berhenti tepat di depan belah bibirnya. Guanlin mengecup punggung tangan kiri Jihoon lama, lalu beralih mengulangi hal yang sama pada punggung tangan kanan pemuda manis itu.
"Aku bisa nolak kalau kamu nggak kasih izin." ucap Guanlin pelan ditengah aksinya yang tengah menghujani kedua punggung tangan Jihoon dengan kecupan-kecupan lembut.
Jihoon kembali memusatkan atensinya pada Guanlin. Tanpa sadar, ia baru saja menekan belah bibirnya saat melihat Guanlin terus mencium punggung tangannya sambil memejam.
Sebuah kecupan Jihoon berikan pada dahi Guanlin yang kebetulan posisi kepalanya sejajar dengan wajah Jihoon.
"Ini project film pertama kamu, kan?"
Guanlin membuka pejaman matanya, lalu mengangguk.
"You go then, aku tau ini mimpi terbesar kamu." balas Jihoon.
Guanlin menggeleng dengan cepat, "Nggak, sayang. Film itu beresiko. Aku udah baca script-nya tadi siang. Dan... Aku ragu untuk ambil itu."
Salah satu mata Jihoon memicing, sebagai pertanda bahwa pemuda bersurai merah itu tengah melayangkan sebuah pertanyaan tersirat.
"I've told you earlier. There's so many mature scenes, sayang. Aku nggak mau nyakitin kamu." jawab Guanlin, final.
Mencoba mengalihkan fokus pembicaraan mereka, Jihoon pun bertanya. "Siapa lawan main kamu?"
"Jung Chaeyeon."
Jung Chaeyeon. Seorang model sekaligus aktris papan atas yang juga tengah berada pada puncak popularitasnya. Well, gadis cantik yang bernaung di bawah agensi besar bernama MBK Entertainment itu, juga merupakan sosok yang begitu diidolakan oleh Guanlin sejak dua tahun lalu, pada saat Guanlin sama sekali belum terjun ke dalam dunia entertainment.
Jihoon melepas tangannya yang sejak tadi masih digenggam Guanlin. Tanpa suara, dan tanpa senyuman, Jihoon melangkah masuk ke dalam apartemennya setelah lebih dari dua jam ia menghabiskan waktunya di balkon.
Guanlin menggeram penuh rasa bersalah, lalu berjalan mengikuti langkah Jihoon yang mengarah ke arah dapur.
"Obat kamu sisa tiga butir. Cuma bisa sampai lusa. Besok kamu ke apotek, ya?" ucap Jihoon sambil membuka kotak obat yang sengaja disimpan di dalam lemari penyimpanan makanan.
Jihoon meraih satu butir obat tersebut, lalu beralih mengambil segelas air mineral untuk Guanlin.
Tahu kalau Jihoon sedang mengalami perubahan mood, Guanlin pun memilih diam dan duduk pada salah satu bangku yang ada di mini counter dapur mereka.
Tak lama, Jihoon berdiri di balik meja yang membuat posisi mereka kini saling berhadapan. Jihoon membuka bungkus obat tersebut, lalu memberikannya pada Guanlin.
"Harusnya aku nggak usah minum obat, besok aku nggak kemana-mana. Aku bisa tidur seharian besok." ucap Guanlin.
Jihoon menghela pelan nafasnya, "Kok gitu?"
Guanlin menganggukkan kepalanya pelan, "Malem ini aku bakal hubungin manager aku, buat ngasih tau kalau aku nggak bisa nerima project film itu. Jadi, besok aku nggak perlu ikut meeting."
"Guanlin, nggak usah mikirin aku, oke? Tadi aku cuma kaget aja, bukan berarti aku ngelarang kamu, oke? Aku nggak papa, dan kamu harus tetep nerima project film itu, ya Lin, ya? Ini kesempatan emas kamu, ini mimpi kamu. Dan aku nggak mungkin nggak kasih kamu izin. Itu bukan hak aku." Sebisa mungkin Jihoon memperbaiki ekspresi wajahnya. Lagi dan lagi, ia lukiskan seuntai senyum tipis di wajah manisnya. Berusaha meyakinkan Guanlin, bahwa ia sama sekali tidak masalah dengan tawaran bermain film tersebut.
"Ya, hak kamu dong. Kamu berhak ngasih aku izin, kamu juga berhak nggak kasih aku izin. Kamu pacar aku, Jihoon." balas Guanlin yang terdengar tak suka dengan balasan Jihoon tadi.
"Oke, whatever. Sekarang kamu minum obatnya, ya? Biar kamu bisa tidur. Besok kamu harus ikut meeting. Nggak boleh terlambat." Jihoon berusaha mengalihkan suasana dengan kembali menyodorkan tangannya pada Guanlin. Satu butir obat tidur dari dokter kepercayaan agensi Guanlin kini ada di atas telapak tangannya.
"Aku nggak mau tidur. Aku mau natap kamu semaleman ini."
Jihoon terkekeh, dengan satu tangannya yang bebas mengusap gemas surai hitam legam Guanlin.
"Aku mau lanjutin skripsian, sayangku. Kamu harus bobo nyenyak ya malem ini. Kemaren kamu udah nakal nggak minum obat. Nih liat nih, mata belo tapi sipit kesayangan aku udah beler. Nih juga, ada kantong matanya gede nih. Minum obat dulu, ya? Bobo yang bener malem ini ya, sayang, ya?" Jihoon malah terdengar seperti seorang ibu yang tengah memberikan ceramah untuk anaknya. Tapi, it's okay, Guanlin suka.
Seperti apapun cara Jihoon merawatnya, Guanlin menyukainya.
Helaan nafas panjang berhembus dari belah bibir Guanlin, diiringi seuntai decakan seperti anak kecil yang sedang merajuk, yang tanpa sadar berhasil membuat Jihoon mengulum senyumnya.
Pemuda tampan bermarga Lai itu pada akhirnya mengambil alih satu butir obat tidur yang hampir setiap hari ia konsumsi dari telapak tangan Jihoon. Turut mengambil segelas air mineral yang sudah disiapkan, lalu meneguk habis butir obat tersebut dalam hitungan detik.
Jihoon tersenyum, tangannya terangkat untuk mengusap sayang surai hitam Guanlin.
"Anak pinterrrrr...." yang kemudian beralih mengambil gelas yang sudah kosong milik Guanlin untuk ia cuci.
Guanlin tetap diam, duduk pada posisinya. Matanya mengekori gerak-gerik si Manis yang tengah mencuci gelas miliknya. Seulas senyum tipis terukir di wajah lelahnya. Kekasihnya itu tampak menggemaskan dengan balutan piyama kebesaran yang dipakainya, dan jangan lupakan surai merah menyala yang menghiasi kepalanya.
"Sayang,"
Jihoon menoleh, "Lho, kok masih di sini? Tidur Guanlin, liat tuh, udah tengah malem!" Mode ibu-ibu ceramah : ON.
Guanlin terkekeh mendengar suara Jihoon yang sedikit melengking itu, "Iya, sebentar lagi. Aku masih mau liat kamu."
Meletakkan gelas yang sudah bersih di rak, lalu mengeringkan tangannya dengan lap kain yang tersedia di dekat rak piring, Jihoon kemudian berbalik menatap sang kekasih yang ternyata sudah mengubah posisinya.
Sebelumnya, Guanlin duduk bersandar pada sandaran bangku sambil bersila dada, dengan sepasang mata yang terfokus ke arahnya.
Sekarang, Guanlin duduk dengan posisi tubuh yang maju menempel pada meja counter, dengan kedua tangan yang sengaja dibuat berdiri sejajar untuk menopang wajahnya. Oh, jangan lupakan sepasang obsidian hitam legam yang menatap lurus ke arahnya. Dan, oh! Ada seulas senyum miring di ujung bibirnya!
This big baby...
Jihoon melangkah menghampiri Guanlin, lalu berdiri tepat di hadapan sang aktor papan atas yang dengan cepat mengubah posisinya saat mendapati si Manis melangkah ke arahnya.
Refleks, Guanlin melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Jihoon, menarik pemuda manis itu agar semakin mendekat padanya.
Jihoon meringis pelan saat merasakan sensasi geli pada bagian perutnya. Sepasang matanya menyipit lucu, ternyata Guanlin dengan sengaja menopangkan dagu pada perutnya.
"Tuh kan udah ngantuk... Matanya udah lima watt itu..."
Guanlin memejamkan matanya, menikmati sentuhan halus jari-jari mungil Jihoon di sepasang pipi tirusnya.
"Besok kamu bimbingan jam berapa?" tanya Guanlin, masih sambil memejam dan justru semakin menyamankan posisi yang tengah memeluk perut Jihoon.
"Kayak biasa, jam satu siang."
Guanlin mengangguk paham, "Aku anter, ya?"
Usapan lembut tangan Jihoon berpindah menuju kepala bagian belakang Guanlin. "Nggak usah, besok kamu kan ada meeting."
"No, no. Aku bisa izin tiba-tiba pas meeting. Alesannya aku pikirin nanti aja. Yang penting aku bisa anter dan jemput kamu."
Jihoon menyentil pelan dahi lebar Guanlin, "Nggak boleh kayak gitu, hayo!" ucapnya.
Guanlin membuka pejaman matanya, lalu meraih tangan kanan Jihoon yang masih berada tepat di depan dahinya. Menggenggamnya kuat, lalu menghujani jari-jari mungil itu dengan kecupan.
"Kan mereka yang butuh aku. Jadinya, mereka lah yang harus nurutin aku." balas Guanlin sambil terus mengecupi jemari tangan Jihoon.
Jihoon menarik tangannya, lalu menghadiahi satu kali lagi sentilan di bibir sintal Guanlin.
"Ngomongnya nggak boleh kayak gitu lagi, ya? Kalo nggak ada mereka, kamu nggak akan jadi kayak sekarang, Guanlin."
Dengan terpaksa, Guanlin pun mengangguk. Matanya yang semula menatap lurus Jihoon mulai meredup. Sepertinya, obat tidur yang tadi diminumnya sudah mulai bereaksi.
Baru saja Guanlin hendak kembali memeluk pinggang Jihoon untuk tidur di sana, sebuah ciuman panjang mendarat dengan mulus di dahinya.
"Tidur di kamar, ya?"
Guanlin menggeleng, "Kamu mau lanjutin skripsian dimana?"
Jihoon mengedarkan pandangannya, menatap ruang tengah dan kamar, juga balkon secara bergantian. Menimang-nimang, dimana kah tempat ternyaman untuk ia meneruskan pengerjaan skripsnya.
Ah, ruang tengah.
"Di depan tv paling." jawab Jihoon.
Guanlin menjentikkan jarinya sambil mengangguk. Lalu, pemuda tinggi itu berdiri sambil menarik pergelangan tangan Jihoon.
Jihoon yang bingung dengan tingkah Guanlin pun hanya diam dan menurut, mengikuti langkah Guanlin dengan pelan sampai keduanya berhenti tepat di depan sofa.
"Kamu duduk di sini, diem aja di sini. Aku ambil bantal sama selimut dulu." tanpa menunggu balasan dari sang kekasih, Guanlin pun langsung melangkah menuju kamar untuk mengambil bantal dan juga selimut.
Sedangkan Jihoon, pemuda manis yang saat ini sudah memasuki semester 8 di bangku perkuliahan dan sedang disibukkan dengan pengerjaan skripsi itu pun memilih untuk duduk di atas karpet, setelah sebelumnya meraih laptop putih kesayangannya yang ada di atas meja.
Jihoon duduk di sana, dengan laptop yang menyala di atas pangkuannya.
Beruntung, Jihoon adalah tipikal orang yang mudah berkonsentrasi. Fokusnya langsung tertuju pada bagian terakhir dimana ia mengerjakan skripsinya sebelum memilih untuk menikmati angin malam di balkon apartemen, sambil menunggu kepulangan sang kekasih. Sepasang matanya bergerak gesit menatap layar laptop dan beberapa buku yang menjadi sumber teori dari judul skripsi yang sudah ia tentukan dan sudah diterima oleh dosen pembimbing secara bergantian. Jari-jari mungilnya turut menari lincah di atas keyboard laptopnya, mengetik beberapa huruf di sana yang berujung membentuk seuntai kalimat formal yang sesuai dengan ejaan yang disempurnakan.
Plus, fokusnya yang tinggi membuat Jihoon tak menyadari kehadiran Guanlin yang kini sudah membaringkan tubuh besarnya di atas sofa, tepat di belakang Jihoon.
Akibat rasa kantuk yang besar dan tak ingin menganggu kegiatan sang kekasih, Guanlin pun menyelimuti dirinya sendiri. Memposisikan bantal tidurnya senyaman mungkin, lalu mendaratkan sebuah ciuman panjang di puncak kepala Jihoon.
"Good night. Maaf, aku harus tidur duluan lagi." bisik Guanlin tepat di telinga kanan Jihoon.
Jihoon menoleh, lalu tersenyum pada Guanlin yang tampaknya sudah tak bisa menahan kantuk. Jihoon menangkup wajah tampan itu sebentar, lalu mengecup bibir yang mengerucut lucu itu selama beberapa detik.
"It's okay, tidur yang nyenyak, ya? I love you."
Dalam hitungan detik, Guanlin sudah berbaring pada posisi nyamannya dengan mata yang terpejam. Dan dalam menit-menit berikutnya, terdengar suara hembusan nafas yang teratur. Jihoon mengulas senyum lembut di wajahnya yang juga lelah, lalu menjauhkan laptop yang semula berada di atas pangkuannya.
Jihoon merangkak mendekat untuk duduk di bawah sofa, dengan posisi yang menghadap penuh pada Guanlin yang sudah tertidur pulas. Sepasang mata cantiknya menatap sang kekasih dalam diam, ada banyak kata tertahan di balik tenggorokan, tak ingin menyuarakan. Tidak sekarang.
Termasuk satu kalimat ini,
Aku nggak tega harus liat kamu minum obat tidur setiap hari.
Ya, meskipun Jihoon yang bertanggung jawab untuk mengontrol Guanlin dalam mengonsumsi obat tidurnya secara rutin, ada rasa tidak tega yang begitu besar yang tertahan di balik dadanya.
Ingin rasanya sesekali ia menyembunyikan beberapa butir obat tidur milik Guanlin, agar kekasihnya itu berhenti mengonsumsinya, meski hanya untuk beberapa kali. Tapi apa daya, Jihoon tak bisa. Jihoon jauh lebih tidak tega jika kekasihnya itu tak bisa tidur. Bertahan membiarkan matanya untuk tetap terbuka semalaman, itu menyakitkan untuk orang seperti Guanlin.
Hanya obat tidur tersebut, yang bisa membuat Guanlin tertidur. Tidak ada pilihan lain.
Kesibukan menjadi seorang aktor kelas atas membuat jadwal makan dan tidur Guanlin berantakan. Sangat berantakan sampai harus mengandalkan dokter dan obat-obatan. Awalnya, Jihoon setuju-setuju saja saat Guanlin berkata bahwa ia harus mengonsumsi obat tidur untuk bisa terlelap, karena Jihoon paham betapa sulitnya kekasihnya itu untuk bisa tidur.
Tapi, seiring waktu berjalan. Rasa maklum Jihoon turut berubah menjadi rasa khawatir. Apakah mengonsumsi obat tidur setiap hari tidak masalah? Apakah akan baik-baik saja?
Jihoon menghela nafasnya, teringat akan kejadian yang terjadi pada satu hari di masa lalu. Hari dimana Jihoon menemukan fakta, bahwa Guanlin tidak hanya membutuhkan kehadirannya. Tapi juga membutuhkan banyak hal lain, sejak karirnya melonjak dahsyat.
"Sayang, kepala aku sakit banget."
Jihoon yang awalnya tengah berbaring setengah duduk di ranjang menolehkan kepalanya cepat saat sang kekasih melangkah memasuki kamar. Dengan perlahan, Jihoon berusaha mengubah posisinya menjadi duduk sambil menahan rasa sakit yang sudah empat hari ini menyerang kepalanya tanpa henti.
Aktivitas Jihoon yang sudah memasuki semester 6ㅡ dimana pemuda manis itu disibukkan dengan pengerjaan penulisan ilmiah sebagai syarat utama bisa memulai skripsi nya, membuat pemuda bersurai hitam legam itu mengalami drop, baik dari segi fisik maupun batin.
Judul penelitian yang ditolak lebih dari enam kali, dasar teori yang dicoret hampir di seluruh halaman, dan dosen pembimbing yang sangat sulit untuk ditemui, ditambah dengan subjek penelitian yang sering sekali hilang-hilangan, membuat Jihoon jatuh sakit karena stress memikirkan nasib penelitiannya.
Stress yang secara terus-menerus menyerang pikirannya, berujung membuat Jihoon tak bisa tidur selama beberapa hari karena rasa gelisah yang juga memborbardir hatinya hampir setiap hari. Keadaan dibawah tekanan yang begitu besar tersebut berhasil membuat Jihoon jatuh sakit, dan terpaksa menjalani rawat jalan di apartemen atas izin dokter dan atas perintah Guanlin.
Jihoon masih ingat betul, bagaimana kekasihnya itu terlihat frustrasi atas kesehatannya yang mendadak turun secara drastis. Bagaimana wajah tampan itu menatap cemas ke arahnya, sambil membujuknya agar mau dibawa ke rumah sakit.
Dan Jihoon juga ingat betul, ia menolak bujukan Guanlin untuk membawanya ke rumah sakit dengan alasan tak mau mereka menjadi incaran media massa.
Well, ada benarnya juga. Dan Guanlin setuju. Jalan terakhir yang bisa diambil adalah memanggil dokter pribadi yang dipercayai oleh agensi yang menaungi Guanlin. Namanya Ong Seongwu. Guanlin biasa memanggilnya 'Dokter Ong'.
Dan keadaan Guanlin saat mengkhawatirkan sang kekasih saat itu seolah berbalik terjadi pada Jihoon.
"Guanlin, kamu kenapa?"
Pemuda tampan itu tampak mengangkat kedua bahunya lemas, "Nggak tau, kepala aku rasanya kayak mau meledak."
Dengan perlahan, Jihoon mencoba untuk bangkit dari ranjang. Lalu melangkah pelan mendekati Guanlin, membopong pemuda itu untuk naik ke atas ranjang.
"Hey, liat aku." Jihoon berusaha menangkup wajah Guanlin, membuat wajah tampan itu kini menghadap sepenuhnya ke arahnya. Dengan sepasang kelopak mata yang tertutup rapat, seolah menahan sakit.
Jihoon meringis saat merasakan suhu panas dari dahi sang kekasih.
Pejaman mata Guanlin terbuka secara perlahan, "Pusing...."
Jihoon mendesah kecil, "Kamu kenapa bisa sakit kayak gini, sih? Kenapa nggak ngabarin aku juga kalo kamu pulang hari ini?" tanya Jihoon, sambil membantu Guanlin untuk berbaring dengan nyaman di ranjang.
"Aku pulangnya juga diem-diem ini. Kepala aku sakit banget dari kemarin malem, nggak kuat aku, makanya pulang." jawab Guanlin.
Honestly, ini adalah hari ketiga Guanlin menjalani syuting sebuah drama bergenre thriller di luar kota. Guanlin yang langsung dibanjiri dengan kesibukan syuting pun tak bisa melakukan komunikasi banyak dengan Jihoon. Hanya menelepon pada saat Guanlin mendapat waktu break. Secara diam-diam.
"Kamu kabur dari lokasi syuting?" tanya Jihoon lagi, berusaha memastikan kalau kekasihnya ini memang benar melarikan diri dari lokasi syuting.
Sebuah anggukan kecil Guanlin berikan sebagai jawaban. "Kepala aku kayak mau pecah ih dibilangin juga!"
"Nyetir sendiri?" tanya Jihoon, lagi.
Dan Guanlin pun kembali mengangguk.
"Astaga, Guanlin! Dengan keadaan kayak gini, kamu nyetir sendiri? Kalo kamu kenapa-napa di jalan gimana coba? Siapa yang mau tanggung jawab? Kamu kabur aja nggak ada yang sadar!"
Tanpa sadar, Guanlin mengerucutkan bibirnya. Sepasang kelopak matanya kembali menutup. Kali ini, ditambah dengan satu lengan yang menutup sebagian wajahnya.
"Aku sengaja matiin handphone ku. Jadi, aku nggak tau orang-orang di sana nyadar atau nggak kalo aku kabur." balas Guanlin.
Jihoon berdecak atas tingkah Guanlin yang pantas disebut konyol ini. Perlahan, ia beranjak dari ranjang menuju nakas untuk mengambil ponsel miliknya sendiri yang juga dalam keadaan matiㅡ karena disarankan untuk bed rest secara total oleh dokter Ong, Jihoon pun mematikan ponselnya selama ia tidur.
Dalam hitungan detik, ponsel miliknya sudah menyala.
Deg.
Kan bener apa kata pikiran Jihoon.
29 missed call from Kak Danik
Jihoon melirik Guanlin yang sama sekali belum mengubah posisinya. "Kak Danik nelfon aku selama aku tidur."
Guanlin melirik Jihoon yang berdiri di samping ranjang. Salah satu alisnya memicing, "Ngapain?"
Sepasang bola mata Jihoon memutar malas. "Ya karna handphone kamu mati, aku yang jadi sasarannya."
"Kamu tuh kalo mau kabur seenggaknya izin dulu sama kak Danik, Lin. Dia manager kamu. Kalo kayak gini kan bisa-bisa nanti dia yang kena imbasnya." sambung Jihoon sambil menatap layar ponselnya dengan serius.
Guanlin mengubah posisinya menjadi setengah duduk. Kepalanya yang terasa berat itu ia sandarkan pada head board ranjang berukuran king size miliknya dengan Jihoon. "Kamu lagi ngapain?" tanya Guanlin.
"Diem. Aku lagi minta maaf sama kak Danik udah bikin dia repot karna kelakuan kamu."
Guanlin berdecak kesal, "Ngapain, sih? Nanti aku aja yang ngomong langsung sama dia."
"Nggak ada. Yang ada kamu nggak akan ngomong sama dia."
"Jihoon,"
Tak ada balasan. Jihoon tampak terlalu fokus mengetikkan pesan yang panjang pada chatroom-nya dengan Daniel, manager Guanlin. Mengabaikan sang kekasih yang sudah memasang ekspresi masam pada wajahnya.
Dua menit berlalu, Jihoon pun meletakkan kembali ponselnya di atas nakas. Dan kembali memusatkan seluruh atensinya pada Guanlin yang tengah memejam.
"Guanlin, aku nggak suka ya kamu seenaknya begini. Kalo kamu kebiasaan kayak gini, kamu bikin susah banyak orang tau nggak? Nggak cuma kak Danik yang bakal kena imbasnya. Tapi tim kamu yang lain, agensi kamu pun bakal dianggap nggak profesional. Oke deh, nggak usah jauh-jauh ke mereka. Kamu. Mau ditaro mana nama baik kamu, Guanlin? Kamu mau reputasi kamu hancur, iya? Dan kru-kru di lokasi syuting juga, gimana mau lanjutin syuting kalo pemeran utamanya aja seenaknya kayak gini?"
Guanlin membuka pejaman matanya cepat dan langsung membalas tatapan tajam Jihoon dengan tatapan yang tak kalah tajam.
"Kamu tuh bisa nggak sih nggak usah marah-marah kayak gini? Kepalaku makin sakit tau nggak!"
Hening.
Bentakan Guanlin berhasil membuat Jihoon terdiam.
Menyadari Jihoon yang mendadak tak bersuara, Guanlin pun mendesah berat. Ia sadar, ia baru saja melewati batas.
"Sayang,"
"Aku telfon dokter Ong dulu." skakmat, Guanlin.
Karena ketika Jihoon mengalihkan pembicaraan, itu sama artinya dengan ia sedang kecewa.
Guanlin beranjak dengan cepat untuk meraih ponsel Jihoon. Keadaan Jihoon yang memang juga sedang dalam keadaan down, membuat ponsel milik brand besar dengan icon apel yang digigit bagian ujungnya itu dapat berpindah tangan dengan mudah. Guanlin meletakkan ponsel milik Jihoon di atas nakas sebelah kiri ranjang.
Setelah itu, ia melangkah turun menghampiri sang kekasih. Diraihnya tubuh mungil itu untuk ia dekap. Dengan lembut, Guanlin mendaratkan lima kali kecupan pada belah bibir ranum Jihoon. Lalu diakhiri dengan sebuah kecupan panjang yang berlabuh di dahi si Manis.
"I am sorry."
Lembut. Suara berat itu terdengar begitu lembut di telinga kiri Jihoon.
Perlahan namun pasti, Jihoon membalas pelukan Guanlin. Ia sama sekali tak bermaksud memarahi Guanlin. Ia hanya... Tidak ingin reputasi yang sudah kekasihnya itu bangun dari nol, dari titik yang paling dasar yang kini berhasil menempati titik yang sangat tinggi itu hancur secara percuma. Jihoon hanyak tidak ingin keringat dan air mata Guanlin selama bertahun-tahun berjuang untuk meraih title 'The Best Male Actor' selama dua tahun berturut-turut hilang begitu saja. Jihoon tau bagaimana kekasihnya itu memperjuangkan mimpinya. Dan bagaimana kekasihnya itu mampu mendapatkan mimpi besarnya.
Tapi Jihoon juga sadar. Mungkin caranya untuk khawatir adalah salah.
"It's okay." balas Jihoon, sambil mengusap lembut punggung tegap Guanlin.
Perlahan, tangan Jihoon bergerak menuju kepala bagian belakang Guanlin. Diusapnya pelan surai hitam nan lembut itu.
"Masih sakit kepalanya?" tanya Jihoon.
Guanlin mengangguk, "kayak mau meledak." jawabnya pelan.
Jihoon terkekeh, masih sambil mengusap sayang kepala Guanlin.
"Kenapa bisa sampe kayak gini, hm?"
Guanlin menghela panjang nafasnya dan bersiap untuk bercerita.
"Dari awal tim aku sampe di lokasi, ternyata tim dari agensi Lami udah stand by di sana. Semua keperluan syuting juga udah siap, jadi tanpa istirahat kita langsung mulai syuting. Makanya, aku telat ngabarin kamu pas udah sampe di lokasi. Maaf, ya?"
Jihoon tersenyum lalu mengangguk. "Oke, dimaafin. Next."
"Seharian full kita kejar scenes. Karna besoknya harus pindah lokasi lagi. Makanya, aku baru bisa nelfon kamu pas tengah malem."
"Sebelum kamu tidur?" tanya Jihoon.
Guanlin menggeleng, tangannya bergerak untuk mengusap surai hitam Jihoon.
"Nggak ada waktu buat tidur. Aku harus pelajarin script, karna jam dua pagi aku ada take. Dan baru selesai jam enam pagi. Aku langsung nelfon kamu, tapi kamu nggak angkat-angkat karna masih tidur. Jadinya, kamu yang nelfon balik deh. Tapi yang angkat Danik, kan? Aku keburu take lagi pas kamu telfon."
Oke, termaafkan. Jihoon pun hanya mengangguk sebagai respon.
"Siangnya, aku re-take beberapa adegan karna ternyata ada kesalahan teknis dari pihak sutradara. Makanya, aku baru sempet nelfon kamu pas sore. Waktu aku dapet jatah break setengah jam."
"Malemnya aku take sisa adegan untuk di lokasi itu. Karna besoknya alias tadi pagi, kita harus pindah lokasi lagi. Nah, pas kemarin malem itu aku baru ngerasa pusing. Selesai take, dan bagian Lami juga udah selesai, tim produksi ngajak semua kru dan artis untuk makan malem di restoran deket lokasi syuting. Aku minum sedikit. Sedikit banget, sumpah nggak bohong, nggak sampe tiga sloki, karna aku tiba-tiba ngerasa pusing. Aku langsung pamit untuk balik ke resort, niat mau tidur tapi nggak bisa. Kepalaku sakit banget. Makanya, aku sama sekali nggak ngasih kabar ke kamu semalem."
Jihoon melepas pelukan keduanya, dengan kedua tangannya yang masih mengalung pada leher jenjang Guanlin.
"Obat kamu nggak diminum?" tanya Jihoon.
"Nah, pas paginya aku ditelfon Danik untuk stand by jam sebelas. Aku kedapetan take jam dua, jadi harus siap-siap dulu. Ya udah, aku iyain aja. Padahal pas aku tutup telfonnya, aku langsung pake jaket, beresin tas, abis itu ngambil kunci mobil di nakas. Pulang deh. Aku nggak kuat." balas Guanlin, yang sama sekali tak ada korelasinya dengan pertanyaan Jihoon.
"Dua hari berturut-turut kamu nggak tidur?"
Pasrah, Guanlin pun mengangguk.
"Kenapa?"
"Aku nggak segabut itu sampe aku punya waktu buat tidur." balas Guanlin.
Jihoon berdecak, "Harus dipaksa, Guanlin. Seenggaknya satu atau dua jam kamu bisa tidur, itu udah cukup. Itu tujuan utama kamu dibekelin obat tidur sama dokter Ong. Biar kamu bisa tidur, sekalipun kamu nggak ngantuk ataupun kamu nggak bisa tidur."
"Ya pantes aja kepala kamu sakit begini. Kamu nggak tidur dan kamu sama sekali nggak minum obat?" sambung Jihoon yang langsung dibalas dengan anggukan pasrah dari Guanlin.
"Sekarang minum obat, ya?"
Seperti seorang anak yang sangat penurut pada ibunya, Guanlin mengangguk. Membiarkan Jihoon beranjak mengambil satu botol berukuran sedang berisi butir demi butir obat tidur khusus yang diberikan oleh dokter Ong di dalam tasnya.
Sejak saat itu, Jihoon tahu. Guanlin akan selalu bergantung pada obat tidur, entah harus sampai kapan.
Memang benar, hidup sebagai seorang bintang sangat menyenangkan. Bagi sebagian orang, hidup sebagai sosok yang terpandang dan dieluh-eluhkan hampir di setiap pelosok dunia, adalah sesuatu yang hebat. Well, Jihoon adalah salah satu orang dari sebagian orang yang menganggap hidup menjadi seorang bintang adalah sesuatu yang hebat.
Tapi, itu dulu.
Sebelum Jihoon paham, bagaimana seluk beluk kehidupan seorang bintang. Lewat Guanlinㅡ kekasihnya, Jihoon dapat mengetahui betapa 'gelap' kehidupan seorang selebriti.
Bergantung pada obat-obatan hanya demi bisa bertahan hidup, membangun image sesempurna mungkin di depan orang banyak meskipun itu berarti harus meninggalkan diri mereka yang sebenarnya, mengesampingkan kehidupan pribadi hanya untuk menuai senyum dari para penggemar, dan juga menjalankan kewajiban seorang pelayan Tuhanㅡ yaitu untuk berjalan di jalan yang benar dengan mempertahankan attitude sebaik dan sesempurna mungkin, demi menghindari kekecewaan dari banyak pihak.
Bukankah hidup seperti itu sama saja dengan mengorbankan seluruh kehidupan yang dimiliki sebelumnya?
Menjadi seseorang yang acap kali menjadi bahan pujaan dan pembicaraan, tidak selamanya menjadi sesuatu yang hebat.
Jihoon sering kali menyesali keputusannya untuk mengizinkan Guanlin terjun pada gemerlap dunia entertainment jika saja ia tahu tentang semua ini sebelumnya.
Mengusap lembut kerutan yang samar terbentuk di sepanjang dahi sang kekasih, Jihoon memutuskan untuk melangkah mundur pada masa-masa dimana Guanlin masih berada pada posisi yang sama dengannyaㅡ lewat ingatannya.
"Kamu dimana?"
Dengan hembusan nafas pelan, seorang pemuda dengan surai lembut berwarna cokelat madu yang tengah duduk pada salah satu bangku yang merupakan fasilitas kantin sekolah, berusaha merapikan peralatan tulisnya yang berserakan di atas meja.
Diliriknya sudut kanan bawah layar laptop dengan merk yang tidak terlalu high class pemberian sang ayah, untuk mengetahui sudah pukul berapa sekarang.
Ah, jam setengah 5 sore. Pantas saja bayi besar itu sudah menelepon.
Berusaha menyandarkan punggungnya yang kebetulan sudah terasa pegal, Jihoon membalas pertanyaan sang kekasih.
"Di kantin, Lin."
Sepasang mata Jihoon bergerak memandangi beberapa sudut kantin yang mulai sepi. Jam operasional sekola memang sudah berakhir sejak jam 1 siang. Tidak heran, jika kantin sebentar lagi akan berubah nama menjadi tempat pemakaman umum.
"Masih lama di situ?"
Kini matanya melirik pada laptop kuno kesayangannya, juga pada beberapa buku panduan pelajaran yang masih setia terbuka.
Jihoon mengangguk, "Kayaknya, masih deh. Ibu kantinnya juga belum beberes, wifi nya masih nyala hehehe."
Terdengar kekehan dari seberang sana, "Ya udah, aku lagi nunggu giliran mandi. Abis ini, aku ke sana, ya. Kamu udah makan?"
"Belum. Nggak sempet."
"Ck, kebiasaan. Coba nyalain loud speaker-nya."
Seolah sudah tahu apa yang akan pacarnya itu lakukan, Jihoon pun memilih untuk menurut dan setelahnya mengarahkan layar ponselnya ke arah stand makanan terdekat yang ada di kantin.
"IBUUUUU PESEN MENU BIASA YA SATUUUUU!!! INI PACAR GUANLIN KOK DIBIARIN NGGAK MAKAN SIANG, SIH????"
Ibu kantin langganan Jihoon dan Guanlin pun hanya bisa terkekeh mendengar suara nyaring yang mendengung di dalam kantin. Untung saja, hanya tersisa sekitar lima orang termasuk Ibu kantin di sana.
Well, itu belum mampu menyembunyikan rasa malu Jihoon. Alhasil, Jihoon hanya bisa melempar senyum pasrah pada Ibu kantin yang mulai menyiapkan satu porsi makanan untuknya.
Dengan cepat, Jihoon mematikan loud speaker pada ponselnya, dan kembali menempelkan benda pipih tersebut pada telinga kanannya.
"Untung udah sepi di sini, Guanlin. Kalau nggak, mau disembunyiin dimana muka aku?"
"Hehehe maaf, cantik. Ya udah, aku mandi dulu, ya? Bau keringet, nih. Bye, sayangku. I love you."
"AKU GANTEㅡ Guanlin! Ish, kebiasaan!"
Usapan lembut jari-jari mungil Jihoon berhenti tepat di sudut bibir Guanlin. Masa-masa indah saat keduanya masih berstatus sebagai pelajar yang berputar dengan apik bak sebuah film dalam ingatan Jihoon berhasil membuat pemuda manis yang kini memiliki surai merah itu tersenyum.
Ia merindukan hari-hari yang lalu, dimana Guanlin masih senang mengajaknya membolos di perpustakaan sekolah, memanjakannya dengan banyak makanan dan minuman di kantin sekolah, juga menemaninya mengerjakan tugas hingga senja berlalu di koridor sekolahㅡ jika kantin sudah tutup.
Jihoon menginginkan Guanlin-nya yang dulu. Yang selalu tidur larut malam hanya karena terlalu asik bermain playstation dengan adik bungsu Jihoon. Yang selalu menginap di rumah Jihoon dengan alasan bosan di asrama sekolah. Yang selalu tertawa terbahak-bahak meskipun tak ada hal yang lucu sama sekali.
Tuhan memang senang bermain-main dengan takdir seseorang, uhm?
Entah takdir Jihoon atau Guanlin yang sedang dipermainkan, Jihoon tak tahu. Yang pemuda manis itu tahu hanyalah, Tuhan sudah melenyapkan kehidupannya yang sempurna bersama Guanlin dua tahun lalu, saat seorang wanita berambut pendek dengan busana formal yang ditemani oleh seorang bodyguard menyambangi keduanya yang tengah menikmati es krim mixed vanila dan coklat dari kedai jajanan langganan mereka di dekat sekolah.
"Oh My God!!! Finally i found you!!!"
Jihoon yang baru saja menelan es krimnya kini menatap bingung pada seorang wanita yang entah datang dari mana tapi justru sekarang sudah berdiri di hadapannya dan juga Guanlin.
Di belakang sang wanita cantik tak dikenal itu, berdiri seorang pria berbusana serba hitam termasuk kaca matanya. Yang juga tak Jihoon kenal.
"Hm, maaf? Anda siapa?"
Itu suara Guanlin, yang berhasil membuat Jihoon mengalihkan atensinya.
Wanita itu mengulurkan tangan kanannya pada Guanlin, bermaksud untuk memperkenalkan diri, masih dengan senyum lebar yang menghiasi wajah cantiknya.
"Perkenalkan, saya Choi Sooyoung. Seorang asisten sutradara yang sedang kesulitan untuk mencari pemeran yang cocok sebagai adik dari Sulli, artis dari agensi tempat saya bekerja."
Ya, wanita yang memperkenalkan diri sebagai Choi Sooyoung itu, yang menjadi perantara Tuhan untuk menjungkirbalikkan hidupnya.
Dengan alasan utama: mencari pemeran laki-laki yang sangat mirip dengan Sulliㅡ pemain utama pada drama yang sedang digarapnya, untuk turut bermain peran di layar kaca.
Dan dengan target utama: Lai Guanlinㅡ yang entah, demi Tuhan, Jihoon pun baru menyadari kalau pacarnya itu ternyata memiliki kemiripan wajah dengan aktris papan atas, Choi Sulli.
Yang mana awal karir Guanlin yang bisa dibilang merupakan sebuah ketidak sengajaan, justru berbuah manis karena ternyata hampir semua orang di penjuru negara kelahiran Jihoon menyukainya. Dua tahun lalu, pada titik awal perjalanan karir Guanlin, Jihoon sudah memasuki dunia perkuliahan, sedangkan Guanlin sudah memasuki kelas sebelas.
Popularitas yang melejit drastis tentu membuat Jihoon merasa bangga pada kekasihnya itu.
Membuat Jihoon tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya atas seluruh pencapaian luar biasa yang Guanlin dapatkan.
Dan juga, membuat Jihoon sadar, jika kehidupan mereka sudah tak lagi sama.
Guanlin-nya, mulai sibuk.
Guanlin-nya, memilih untuk menetap di apartemen pilihan agensi barunya dan meninggalkan asrama sekolah.
Guanlin-nya, mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kapten tim basket kebanggaan sekolah.
Guanlin-nya, absen dari rutinitas bermain playstation bersama Jenoㅡ adik bungsu Jihoon.
Guanlin-nya, sudah tidak menomor satukan lagi dirinya.
Jihoon dan Guanlin pernah berada pada ambang hubungan keduanya. Saling meluapkan emosi, rasa kecewa, dan bahkan bulir air mata.
Jihoon hendak menyudahi hubungan keduanya, tapi gagal. Guanlin lebih dulu jatuh merengkuh tubuhnya, menangis, meminta maaf, sambil terus bergumam bahwa ia begitu menyayangi Jihoon.
Dan soal apartemen yang kini ia tempati bersama Guanlin, adalah apartemen rahasia yang sengaja dibeli Guanlin tanpa sepengetahuan agensinya.
Hanya untuk terus memastikan Jihoon tak akan pergi meninggalkan dirinya seorang diri.
Berulang kali Jihoon jatuh, luluh dengan semua perlakuan Guanlin.
"Lin, aku sayang sama kamu."
Lalu ia mengecup lama belah bibir Guanlin, menyalurkan rasa sayangnya yang semakin bertambah setiap harinya.
"Iya, sayang. Aku tau. Besok abis kamu bimbingan, kita jalan-jalan, ya?"
ASTAGA, JADI GUANLIN BELUM TIDUR????
.
.
.
.
.
HAIIIIII. APA KABAR GAIS?????? MAAF AKU BARU SEMPET UPDATE LAGI HUHUHU. SEBENERNYA AKU DILEMA. CHAPTER INI MAU DILANJUT AS PART OF ENIGMA (jadi cuma ada beberapa chapter aja alias sedikit) ATAU MAU DIPINDAH JADI BUKU SENDIRI (jadi bisa lumayan lah chapternya, jadi kita bisa berpetualang sama kisah Guanlin as Actor meanwhile Jihoon as orang biasa) so keputusan ada di kalian, ya :)
▶ VOTE UNTUK TETEP JADI BAGIAN DARI ENIGMA!
▶ VOTE UNTUK JADI BOOK BARU!
Ditunggu responnya, dadah!!
Lai Guanlin
Park Jihoon
(2019.01.13)
hoonxian.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro