Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[4]ㅡ Taipei 101

"Kak Jihoon, kalo Guanlin ajak ke Taipei 101 mau nggak?"

"Bagus? Emang ada apa di sana?"

"Nggak seru kalo diceritain. Nggak boleh googling juga! Nanti nggak surprise!"

"Kayak serius aja mau bawa aku kesana."

"Ya, berdoa aja. Semoga kita berdua kepilih buat jalan-jalan bareng di acara Battle Trip. Nih, lucu banget boardnya ka'be'es sampe penuh sama nama kita!"

"Oh ya? Mana?"

"Nih. Nanti kita ke Taiwan ya, sekalian aku kenalin sama mami, papi, sama kak Qian."

(Pembicaraan Jihoon dan Guanlin, sepuluh menit setelah Wanna One selesai latihan koreografi untuk konser debut mereka, 7 Agustus 2017).

.
.
.

[4] Taipei 101

.
.
.

2018
ENIGMA

[✔]

"Lin,"

Guanlin melepas salah satu earphone yang menutupi telinganya. Kepalanya menengadah, senyumnya mengembang sempurna kala sepasang manik matanya mendapati Jihoon berdiri di ambang pintu kamar.

Guanlin memberi kode pada Jihoon untuk masuk, selagi pemuda berkulit putih porselen itu mematikan lagu yang sejak dua jam lalu memenuhi indera pendengarannya.

Tubuhnya bergeser, memberi celah pada Jihoon yang kini mulai merangkak naik mendekatinya.

Guanlin tersentak saat Jihoon memeluknya dengan erat. Sedikit bingung, dengan aksi Jihoon yang terkesan begitu tiba-tiba. Namun, kedua ujung bibirnya tetap terangkat, mengukir seuntai senyum hangat kala kepala pemuda yang lebih tua dua tahun darinya itu mulai bergerak mengusak-usak dadanya.

Tangan besar Guanlin terangkat untuk mengusap lembut bagian belakang kepala Jihoon, membuat pemuda manis yang mendadak manja itu kini berhenti dan mendaratkan pipi kanannya pada bahu kiri Guanlin, dimana sekarang ia bisa menatap wajah teduh lelakinya dari jarak yang begitu dekat.

"Kenapa, hm?"

Jihoon hanya menggeleng. Memeluk Guanlin lebih erat, dan mulai memejamkan matanya sembari menikmati usapan lembut Guanlin di sepanjang tengkuknya.

Dibalik sepasang mata yang terpejam, Jihoon sedang berpikir. Bagaimana ia harus mengatakan semuanya pada Guanlin bahwa... ia dan Woojin baru saja diundang oleh pihak sebuah stasiun televisi yang memiliki program liburan untuk para bintang tamunyaㅡ alias acara yang sempat Guanlin ceritakan padanya sekitar tujuh bulan yang lalu.

Jihoon ingat betul, bagaimana senyum manis terlukis di wajah tampan Guanlin kala pemuda itu mengajaknya untuk berkunjung ke Taipei 101, sebuah tempat wisata di Taiwan yang begitu terkenal, jika mereka berdua terpilih untuk menjadi bintang tamu pada sebuah acara yang sangat asikㅡ menurut Guanlin.

Jujur, Jihoon belum pernah menonton acara tersebut. Tapi mengingat betapa sumringah Guanlin saat itu, Jihoon yakin pasti acara tersebut sangat menyenangkan untuk ditonton. Dan mengingat betapa bersemangatnya Guanlin kala itu, membuat Jihoon diam-diam mencari tau tentang Taipei 101 dan secara diam-diam pula ia berharap agar Tuhan memberi kesempatan untuknya dan juga Guanlin bisa pergi berdua ke tempat itu lewat acara liburan tersebut. Karena ya, pekerjaan sebagai public figure begitu membatasi waktu mereka untuk bisa berlibur dengan bebas. Jadi ya, hanya acara itu yang dapat menjadi satu-satunya jalan bagi mereka untuk liburan bersama.

Dan kenyataan bahwa bukan Guanlin lah yang akan berlibur bersamanya, membuat Jihoon sedih. Bukan, bukan berarti Jihoon tidak senang karena ia dan Woojin akan berlibur bersama. Sungguh, Jihoon sangat senang bisa menikmati hari liburnya bersama sosok yang sudah ia anggap sebagai Ipin dari Upinnya, tapi bukan ini yang Jihoon inginkan.

Woojin dan Taipei 101.

Ya, pihak acara memilih Taipei 101 sebagai destinasi Upin dan Ipin kali ini.

Entah, rasanya seperti... Ia baru saja mengkhianati impian Guanlin.

"Ji, hey,"

Jihoon terhenyak. Suara lembut Guanlin benar-benar bagaikan seuntai lullaby baginya. Diam-diam ia tersenyum, selagi tangannya bergerak untuk memeluk Guanlin jauh lebih erat lagi.

"Kamu nggak bisa bobo disini."

Jihoon membuka pejaman matanya. Tentu dengan salah satu alis yang memicing.

"Kenapa?"

Lagi, mata Jihoon memejam. Kali ini disebabkan oleh cubitan yang dilakukan Guanlin pada hidungnya. Jihoon memukul punggung tangan Guanlin yang belum beranjak dari hidungnya. Membuat pemuda kelebihan kalsium itu terkekeh geli.

"Nanti kasur aku roboh." balas Guanlin, disertai tawanya yang sungguh terlihat seperti orang bodoh.

Jihoon mendecih, namun tak bisa lama-lama karena hidung mancung Guanlin kini sedang bermain di ujung hidungnya. Bergerak mengusak disana, membuat Jihoon tertawa menerima perlakukan lembut sang terkasih.

Salah satu tangan Jihoon bergerak untuk memeluk leher Guanlin. Menariknya mendekat, dan membalas usakan hidung Guanlin dengan lembut.

Selalu seperti ini. Setiap malam. Kebiasaan mereka sebelum pergi tidur.

"Alin nggak usah buka media sosial dulu, ya."

Guanlin menjauhkan sedikit hidungnya, hendak bertanya namun tangan Jihoon bergerak lebih cepat untuk kembali menariknya mendekat. Menyatukan kembali ujung hidung keduanya.

"Nggak usah. Pokoknya nggak usah. Hape Alin biar aku yang pegang malem ini. Alin bobonya nggak usah sambil denger lagu." sambung Jihoon, seolah tau bahwa kekasihnya itu pasti akan melayangkan sebuah pertanyaan.

Guanlin menangkup wajah Jihoon, menariknya untuk menjauh. Mata mereka saling mengunci, bertumpu pada satu titik yang sama.

"Kamu kenapa?"

Dan tak ada yang bisa Jihoon lakukan selain menggeleng.

Senyum miring terukir di ujung bibir Guanlin, "nggak mungkin. Kakak nggak biasanya manja begini sama Guanlin."

"Pasti ada maunya. Iya, 'kan?" sambung Guanlin.

Jihoon memukul bahu Guanlin, sedikit bertenaga, membuat pemuda yang sedang memeluknya ini mengaduh pelan.

"Kenapa manggilnya pake embel-embel kakak lagi, sih? Mau balik jadi kakak-adek zone lagi? Iya?"

Guanlin mencolek gemas pipi Jihoon yang sedikit menggembung, "bercanda. Cuma mau reunian sama masa-masa pedekate."

Lagi, Jihoon mendecih. Namun, tatapan Guanlin yang sangat serius kali ini mampu membuatnya diam, dan sedikit kesulitan untuk sekedar menelan saliva yang terasa menyangkut di tenggorokan.

Tatapan itu seolah sedang bertanya. Ada tanda tanya besar tak kasat mata di kedua obsidian malam milik Guanlin.

"Dua jam lalu aku tinggalin kamu di sofa ruang tengah lagi main PSP loh sama bang Danik, anteng banget, terus kenapa ujug-ujug kesini, hm? Mukanya ditekuk gitu..."

"Aku beneran nggak papa."

"Yakin? Terus, kenapa aku nggak boleh buka sosial media?"

Jihoon mengalihkan pandangannya ke arah lain. Nggak mungkin 'kan, dia jujur kalau dia takut Guanlin ngeliat info yang baru aja bikin dunia sosial media rameㅡ soal ia dan Woojin yang akan mengisi acara yang selama ini Guanlin idam-idamkan? Apalagi, tempat yang juga akan mereka kunjungi adalah tempat yang tujuh bulan lalu Guanlin ungkapkan sebagai satu-satunya tempat yang ingin ia singgahi bersama Jihoon.

Nggak. Jihoon nggak sejahat itu. Lebih baik Guanlin nggak usah tau sekalian.

Tatapannya kembali ia arahkan pada sepasang manik teduh milik Guanlin. Jihoon yang tak biasa bersikap manja seperti saat ini pun terpaksa mencebikkan bibirnya lagi, demi mengalihkan fokus pembicaraan mereka.

"Aku mau makan cokelat."

Jari-jari panjang Guanlin bergerak memainkan poni yang menutup dahi lebar Jihoon. "Setiap hari juga kamu makan cokelat, Ji."

"Ya aku mau makan cokelat lagi." balas Jihoon, Guanlin hanya bisa menggeleng sambil terus menggeser helai demi helai poni Jihoon.

Selama beberapa detik, keduanya terkunci dalam keheningan. Guanlin yang terus bermain dengan poni Jihoon, dan Jihoon yang sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari wajah tampan Guanlin.

"Aku cek dulu ya."

Guanlin beranjak turun dari kasur kecilnya, kakinya melangkah gontai keluar kamar, menuju ruang makan untuk mengecek apakah masih ada persediaan cokelat di kulkas.

Tak lama, Guanlin kembali dengan tangan kosong. Kaki jenjangnya melangkah menuju lemari dan meraih sebuah jaket hitam dari sana. Tak lupa topi yang juga berwarna hitam, juga masker yang senada dengan warna jaket dan topinya.

Guanlin memakai itu semua, dan membiarkan maskernya tetap terbuka dan menempel pada dagunya. Lalu tangannya beralih untuk meraih sebuah hoodie yang juga berwarna hitam, dan kembali beranjak menuju kasur.

Tangan kanannya terulur, membuat Jihoon mengernyit sambil menatap bingung uluran tangan Guanlin.

"Persediaan cokelat udah habis semua sama kamu. Ayo beli dulu." kata Guanlin, yang langsung disambut uluran semangat oleh Jihoon.

Jihoon meraih hoodie hitam yang menggantung di bahu kiri Guanlin, lalu memakainya dengan asal. Hal itu berhasil membuat Guanlin tertawa, dan pada waktu yang bersamaan, Guanlin membantu Jihoon untuk merapikan penampilannya.

Jihoon merentangkan kedua tangannya saat Guanlin memasang tudung hoodie pada kepalanya. Dengan lembut, Guanlin merapikan poni Jihoon yang menjuntai keluar, lalu mengikat tali hoodie yang membuat Jihoon terlihat seperti seekor pinguin.

"Pakai masker, nggak?"

Jihoon mengangguk, "kalo nggak pakai ya nanti aku ketauan dong!"

Dengan ibu jari yang mengacung, Guanlin berbalik dan melangkah menuju meja yang ada di sisi kiri kamar. Ia membuka laci teratas, dan mengambil sebuah masker berwarna hitam dari sana.

"Bayi pinguin siapa ini..." ucap Guanlin seraya memasangkan tali masker pada daun telinga Jihoon.

Jihoon hanya bisa diam, membiarkan sang kekasih menjadikannya seperti replika pinguin sekarang.

Setelah selesai, Guanlin langsung meraih jari telunjuk Jihoon dan mengaitkannya dengan jari telunjuknya sendiri.

Ya, mereka keluar kamar dengan keadaan tubuh yang tertutup nyaris penuh dan dengan jari telunjuk yang saling terkait satu sama lain.

"Weits, mau kemana adik-adik?"

Seongwu, yang sedang memakan makanan ringan di sofa ruang tengah langsung berdiri saat mendapati Jihoon dan Guanlin bersiap akan keluar dorm. Ia meletakkan bungkus makanan ringannya di atas meja, lalu melangkah menghampiri kedua adiknya itu.

"Mau pacaran, ya?" Kebiasaan. Main asal nembak kalau ngomong.

Jihoon memutar jengah bola matanya, "Kepooo!"

Seongwu terkekeh, lalu memberikan jalan untuk kedua adiknya.

Sebelumnya, sebuah tepukan pelan hinggap di bahu kanan Guanlin. Membuat sang empunya bahu menoleh, berbalik menatap Seongwu.

"Jangan pulang malem-malem ya, Lin. Besok Jihoon sama Woojin harus ke kantor ka'be'es buat briefing acara Battle Trip."

Guanlin terhenyak. Salivanya terasa menyangkut di tenggorokan. Ia dapat merasakan genggaman pada jari telunjuknya mengerat, seiring dengan akal sehatnya yang sempat mengawang selama beberapa detik mulai kembali perlahan-lahan.

Guanlin tersenyum simpul dari balik masker yang dipakainya. Kepalanya mengangguk. Dan tanpa pamit, ia melangkah menuju pintu utama didampingi Jihoon yang tak bisa melakukan apa-apa selain mengusap pelan jari-jari Guanlin dengan ibu jarinya.

"Udah abis 'kan cokelatnya? Balik ke kamar kakak gih."

Jihoon meremat bungkus cokelat terakhirnya saat kalimat tersebut keluar dari mulut Guanlin, yang sejak mereka kembali setelah membeli beberapa pack produk cokelat yang mereka bintangi, langsung mengambil posisi duduk di meja belajar di sudut kamar dan tampak sibuk dengan PSP-nya.

Bibirnya mencebik sedikit, sambil terus menatap kesal punggung Guanlin yang sama sekali tak berbalik sedikit pun ke arahnya.

Dengan cepat, Jihoon melempar asal semua bungkus cokelat yang ada di sisinya ke lantai. Lalu ia menarik selimut milik Guanlin, berbaring sambil menutup seluruh tubuhnya dengan selimut berwarna biru dongker dengan motif bintang-bintang kecil.

Merasa tak ada jawaban, Guanlin menghentikan permainannya dan menoleh ke arah kasur. Helaan nafas berat berhembus dari belah bibirnya.

Guanlin beranjak untuk memungut semua sampah cokelat yang ada di lantai, lalu membuangnya pada tempat sampah kecil yang ada di samping meja belajar. Setelah itu, ia kembali melangkah menuju kasur, dan duduk pada bagian tepi.

Menatap gumpalan besar yang terbalutkan selimut tebal.

"Kak,"

Guanlin mengguncang pelan tubuh Jihoon, namun tak ada respon yang bisa ia terima.

"Kak Jihoon,"

Lagi, Jihoon sama sekali tak bergeming dari dalam sana.

"Yaudah, kak Jihoon tidur disini. Guanlin tidur di kamar kakak sama kak Woojin, ya?"

Masih hening.

"Sweet dreams, sayang." Baru saja Guanlin hendak mendaratkan sebuah kecupan di atas selimut yang menutup bagian wajah Jihoon, kain tebal itu terbuka dan menampakkan wajah muram Jihoon.

Guanlin menarik lagi wajahnya, namun Jihoon lebih cepat untuk menarik kepala bagian belakangnya dan mencuri sebuah kecupan pada bibir sintal Guanlin.

Guanlin hanya diam untuk beberapa saat. Dan hal itu berhasil membuat Jihoon kembali menarik selimut milik Guanlin untuk menutupi wajahnya.

Guanlin menyebalkan. Garing. Kenapa wajahnya datar-datar saja, uh?

Guanlin mengusap lembut bagian samping kepala Jihoon, lalu berbisik pelan. "Pindah gih."

Sebuah gelengan ia dapat dari balik selimut. Jihoon sama sekali tak mau meninggalkan kamar Guanlin.

Masih dengan telapak tangan yang tampak asik mengusap kepala Jihoon, Guanlin bertanya. "Udah ngantuk?"

Dan lagi, Jihoon menggeleng.

Guanlin menghela pelan nafasnya. Seiring dengan tangannya yang bergerak menjauhi kepala Jihoon.

"Jadi itu alasan kakak nggak bolehin Guanlin buka sosial media? Kak Jihoon sama kak Woojin kepilih buat jadi bintang tamu di acara yang dulu pernah Guanlin bilang ke kakak, dan kak Jihoon nggak mau Guanlin tau. Begitu?"

Perlahan, Jihoon menurunkan selimut yang menutup seluruh tubuhnya. Menyisakan bagian mata yang kini menatap sendu tepat pada sepasang obsidian malam milik Guanlin.

Jihoon menggigit kecil bibir bawahnya, "Lin,"

"Kalo kakak pikir Guanlin marah, berarti kakak salah. Guanlin nggak masalah kalau ternyata kak Woojin yang dipilih untuk liburan sama kak Jihoon."

Guanlin berucap begitu lembut, sampai-sampai Jihoon dapat merasakan sepasang matanya mulai memanas. Jihoon masih terus bungkam, meski matanya sama sekali tak bisa beralih pandang dari Guanlin yang kini mulai memposisikan dirinya untuk berbaring di sampingnya. Guanlin menarik selimut yang masih menutupi setengah dari wajah Jihoon, lalu ia masuk ke dalam selimut itu.

Guanlin berbaring miring ke arah Jihoon. Ia menggunakan lengan kirinya sebagai penopang wajahnya selama ia menatap Jihoon untuk beberapa menit ke depan.

Sedangkan tangan kanannya bergerak untuk merapikan helai demi helai poni yang memenuhi dahi lebar kekasihnya itu.

"Guanlin sama sekali nggak marah, oke?" ucap Guanlin.

"Tapi tadi pas kita jalan ke supermarket dan selama kita belanja di supermarket sampai kita pulang jalan kaki lagi dari supermarket ke dorm, kamu diemin aku."

"Kamu bahkan nggak nanya, aku mau cokelat yang mana." sambung Jihoon, menyanggah ucapan Guanlin yang mengatakan bahwa pemuda itu tidak marah padanya. Karena pada kenyataannya, Jihoon tau, Guanlin pasti marah meski itu hanya setipis debu yang tak sengaja hinggap di ujung-ujung meja kayu.

Guanlin tersenyum, masih terus menggerakkan jari telunjuk dan ibu jarinya untuk menggeser-geser poni berantakan Jihoon.

"Itu karena Guanlin udah tau, kak Jihoon lebih suka makan cokelat yang covernya gambar Guanlin." balas Guanlin.

Tanpa membalas lagi ucapan Guanlin, kini Jihoon mulai berangsur mendekat pada Guanlin dan memeluk pinggang kekasihnya itu.

"Dan soal acara itu, Guanlin awalnya cuma sedikit kaget aja. Karena seinget Guanlin, dari bulan Juni tahun lalu, bahkan sampai kemarin malam, nama kita berdua masih mendominasi di sana. Masih sama, kayak tujuh bulan lalu Guanlin pernah tunjukkin ke kak Jihoon."

Jari-jari Guanlin beranjak untuk mengusap pelipis kiri Jihoon dengan lembut.

"Tapi, nggak ada yang salah juga kalau akhirnya kakak perginya sama kak Woojin. Kita bisa liburan berdua lain kali."

Tatapan dalam Guanlin kini berubah menjadi sendu, "kalau masih ada waktu." sambungnya, terlihat sedikit seperti orang yang pesimis, dan kini Jihoon memilih untuk melepas pelukannya pada pinggang Guanlin lalu berbalik membelakangi pemuda yang hanya bisa menghela nafasnya dengan berat.

Jihoon memeluk satu-satunya guling yang ada di kasur Guanlin, lalu menenggelamkan wajahnya di sana.

Bukan, bukan ini yang Jihoon inginkan. Bukan wajah pesimis Guanlin yang Jihoon harapkan.

Daripada 'Kita masih bisa liburan berdua lain kali. Kalau masih ada waktu', Jihoon lebih mengharapkan Guanlin akan berucap 'Kalau kita liburan diem-diem gimana?' Gila memang, tapi bukankah itu terdengar jauh lebih baik?

Guanlin merapikan tataan selimut yang menutupi tubuh mereka, lalu menunduk seraya mencium pelipis kanan Jihoon dengan durasi yang cukup lama.

"Tidur yang nyenyak, mochi-nya Guanlin." bisik Guanlin pelan, yang disusul dengan dua kali kecupan kilat di tempat yang sama.

Guanlin mulai memposisikan dirinya untuk berbaring dengan benar di samping Jihoon. Matanya pun mulai terpejam, namun pergerakan di sampingnya berhasil membuat Guanlin kembali membuka salah satu pejaman matanya.

Jihoon, dengan kedua pipi yang menggembung, kini kembali menghadap ke arahnya. Guanlin bahkan dapat merasa pinggangnya turut dipeluk dengan begitu erat. Guanlin kembali memejam, berpura-pura seolah sudah tidur dan membiarkan Jihoon terus mencari posisi nyaman sambil terus mengubah posisi pelukannya. Mulai dari pinggang, punggung, leher, sampai kembali lagi ke pinggang Guanlin.

Begitu merasa tak ada lagi pergerakan di sisinya, Guanlin kembali membuka pejaman matanya dan tersenyum gemas saat melihat Jihoon yang ternyata sedang menatap lurus ke arahnya.

Dengan cepat, Guanlin merengkuh tengkuk Jihoon dan menuntun kepala kekasihnya itu untuk bersandar pada dadanya. Guanlin mengangkat sebentar kepala Jihoon, untuk sekedar menyelipkan lengan kirinya di sana, di bawah kepala Jihoon untuk dijadikan bantal sepanjang malam ini. Lalu ia kembali memeluk tengkuk Jihoon, sambil mengusapnya dengan pelan dan teratur.

"Udah, merem. Kamu harus tidur." ucap Guanlin.

Jihoon mengangguk dalam dekapan Guanlin, lalu mulai memejam dan tertidur dengan begitu cepat.

Guanlin pun sama. Tak lama ia tertidur, membiarkan kesunyian malam mengisi nyenyaknya tidur mereka berdua.

"Jihoon ada ide?"

Sudah hampir dua setengah jam berlalu sejak rapat antara dirinya dan Woojin dengan tim kreatif dari acara Battle Trip dimulai. Dan selama rapat ini berlangsung, Jihoon sama sekali tak menyumbang suara. Tidak seperti Woojin yang terlihat begitu antusias karena tak sabar untuk segera menginjakkan kaki di Taipei 101 tiga hari lagi, karena Woojin sendiri memang sangat tertarik dengan tempat-tempat wisata di Taiwan sejak terakhir kali Wanna One mengadakan fan-meeting di sana, dan mereka sempat berkunjung ke The Leofoo Village Theme Park, sebuah tempat hiburan dan wisata keluarga yang berlokasi di Taiwan bagian Utara lebih tepatnya di kota Quanxi (Guansi).

Jihoon pun antusias. Sangat. Tapi, bisakah mereka mengganti tempat tujuannya? Jihoon tak bisa bohong, kalau ia masih sangat berharap, Guanlin menjadi orang pertama dan satu-satunya yang membawanya ke menara yang pernah menempati posisi pertama sebagai gedung tertinggi di dunia sebelum Burj Khalifa mengambil alih.

Eh, mengganti tempat tujuan?

Jihoon menegakkan posisi duduknya, lalu jari-jari mungilnya bergerak menciptakan ketukan asal di atas meja. Jihoon menatap satu per satu tim kreatif Battle Trip, tentu dengan binar mata yang sedikit menyiratkan permohonan.

Jihoon berdehem, "uhm, bisakah kita tidak ke Taipei 101?"

"Maksud saya, sejak kecil saya punya mimpi untuk bisa pergi ke Daejeon O-World, tapi selalu tidak ada waktu yang tepat untuk mewujudkannya."

Woojin memicingkan salah satu alisnya, menatap ragu pada Jihoon yang duduk di sampingnya. Oh, ayolah. Pekerjaan mereka sama sekali tak mengizinkan mereka untuk bisa berlibur ke tempat yang jauh dan menyenangkan selain untuk pemenuhan pekerjaan, dan setelah mereka berdua mendapat kesempatan besar lewat acara ini, Jihoon hanya meminta untuk berlibur di sekitar Korea Selatan?

Woojin mengalihkan pandangannya pada deretan tim kreatif yang duduk berseberangan dengannya dan Jihoon. Mereka semua tampak sedang berpikir, menimang apakah mereka harus menyanggupi permintaan Jihoon atau tetap menjalankan plan A, sesuai dengan prosedur yang dikeluarkan oleh keseluruhan tim Battle Trip sebelumnya.

Bukan Woojin tidak senang kalau hanya berlibur di sekitar Korea Selatan. Tapi... Bukankah ini namanya menyia-nyiakan kesempatan emas?

Seuntai deheman berat terhembus dari belah bibir tipis Woojin. Semua mata kini mengarah padanya, termasuk Jihoon.

"Kalau lo mau ke Daejeon, kita bisa ke sana lain waktu. Kapan aja lo mau. Tapi kalau ke Taipei? Nggak semudah itu kita bisa keluar masuk Korea di tengah jadwal kita yang semrawut kayak gini, Ji." ucapnya, yang direspon dengan anggukan paham beberapa kru.

Kim Hyejinㅡ ketua tim kreatif yang mengundang Jihoon dan Woojin secara eksklusif untuk membintangi acara Battle Trip kali ini pun turut menegakkan posisi duduknya, sebagai pertanda bahwa ia perlu untuk turut menyampaikan pendapat.

"Woojin benar, Jihoon. Kalau Jihoon mau, tim kami bisa menambah hari agar kalian bisa tetap pergi ke Daejeon setelah kembali dari Taipei." ucap wanita yang berusia sekitar 34 tahun itu.

"Jihoon mau ke Daejeon."

"Gue mau ke Daejeon, Jin." sambung Jihoon, kali ini dengan atensi yang sepenuhnya terpusat pada Woojin.

Woojin menghela nafasnya pelan. Berusaha untuk mencari tau apa alasan dibalik kekeuh-nya Jihoon untuk pergi ke Daejeon dibanding pergi ke Taipei.

Namun, sirat memohon yang tergambar jelas pada sepasang manik indah milik Jihoon membuat Woojin lagi lagi harus menghela nafas. Sepertinya, Daejeon memang jauh lebih fantastis daripada Taipei bagi Jihoon.

"Di sana juga banyak museum. Atau kita juga bisa naik gunung di Daedunsan. Di Daejeon juga ada menara Expo Hanbit, ada Aquarium Daejeon, ada jugaㅡ"

"Oke. Kita ke Daejeon." ucap Woojin final, memotong kalimat panjang Jihoon yang ia tau pasti hanyalah sebuah rayuan.

Jihoon yang semula sudah kembali menatap satu per satu kru dengan tatapan memohon pun kini kembali mengarahkan pandangannya pada Woojin yang ternyata sedang menatap datar ke arahnya.

Seuntai senyum puas terbit di wajah Jihoon yang tampak sangat berbinar. Ia bahagia, lagipula Daejeon tidaklah buruk, 'kan?

"Kalau Jihoon mau ke Daejeon dan Woojin oke oke aja, berarti tiga hari lagi kita ke Daejeon."

Suara lembut Hyejin berhasil merebut atensi Upin dan Ipin versi Korea Selatan itu. Hyejin tampak sedang menulis sesuatu di atas kertas putih yang sejak tadi memang berada di atas meja.

Hyejin mencoret beberapa tulisan di sana, lalu menggantinya dengan beberapa kata yang entah Jihoon tak bisa membacanya dengan jelas.

Jihoon kembali melirik Woojin yang duduk di sampingnya. Ia memamerkan senyum lebarnya pada Woojin yang justru menatapnya dengan jengah. Biar deh nanti Jihoon mau diintrogasi kayak gimana juga, yang penting mereka nggak jadi ke Taipei 101 dan itu artinya harapan Jihoon agar Guanlin lah yang bisa membawanya ke sana pun dapat ditinggikan lagi.

"Oke. Tim kami akan mengatur ulang daftar kegiatan, dan tempat apa saja yang akan kalian datangi selama di Daejeon. Besok malam saya akan menghubungi agensi kalian, dan lusa kalian sudah harus bersiap-siap. Bawalah barang secukupnya. Kalian akan lebih sering berada di luar selama dua hari kalian berada di Daejeon." ucap Hyejin, final, sambil merapikan beberapa alat tulisnya.

Hyejin tampak sedang berbicara dengan beberapa kru yang ada, lalu semua kru menunduk pada Jihoon dan Woojin kemudian berbalik dan melangkah keluar dari ruang rapat. Menyisakan Hyejin, Jihoon, dan juga Woojin yang kini saling melempar tatap.

"Daejeon?" tanya Hyejin.

Jihoon mengangguk penuh semangat, Woojin mengangguk seadanya.

"Oke. Daejeon."

"Kenapa sih ngerengut mulu daritadi? Beresin dulu itu barang-barang lo, Malih!"

Jihoon mengalihkan pandangannya dari ponsel yang kini sudah berbaring pasrah di atas kasur, pada Woojin yang kini sedang membuka gorden kamar yang akan mereka tempati selama dua hari ini.

Jihoon memutar jengah bola matanya, Woojin berbalik menatap ke arah Jihoon dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada.

"Guanlin masih nggak bales chat lo?" tanya Woojin.

"Jangankan bales chat! Angkat telepon gue aja, enggak, Jin!"

Woojin hanya bisa menggeleng sambil terkekeh, seraya kakinya melangkah menuju sofa untuk merapikan beberapa pasang pakaian yang ia bawa di dalam tas ranselnya.

Jihoon bergerak naik ke atas kasur dan berbaring di sana. Sepasang tangannya ia lipat di depan dada, sedangkan matanya kini mulai beralih menatap pemandangan gunung berkabut yang tampak cukup jelas lewat pintu kaca yang membatasi balkon dengan kamar.

"Lo sama sekali nggak liat Guanlin pagi ini, Jin?" tanya Jihoon.

"Nggak deh kayaknya. Guanlin juga nggak ikut nganter kita ke stasiun 'kan tadi?"

Jihoon hanya diam, dan mengangguk pelan mengiyakan ucapan Woojin. Ia melirik sebentar ponselnya yang ada di tengah kasur. Masih tetap sama. Tak ada tanda-tanda notifikasi masuk sama sekali.

Helaan nafas berat mencelos dari belah bibir Jihoon. Pemuda bersurai abu-abu itu menutup sepasang matanya yang mulai terpejam dengan lengan kanannya. Membiarkan siulan bernada yang keluar dari mulut Woojin mengisi keheningan kamar mereka.

"Ji, jam berapa kita harus standby?"

Jihoon mengangkat sedikit lengan yang menutupi matanya untuk melirik Woojin yang duduk di atas sofa sambil memainkan ponselnya.

"Jam empat sore."

Jihoon kembali memejam, "kita makan siang dulu 'kan sebelum ke Daedunsan?" sambung Jihoon.

"Ck. Dasar tukang makan." balas Woojin, yang kemudian keheningan kembali mendominasi karena Jihoon tak lagi bersuara.

Sepuluh menit berlalu. Woojin masih asik dengan ponselnya, dan Jihoon mulai kehilangan keseimbangan tubuhnya karena hampir mencapai fase delta.

Suasana masih hening. Belum juga berubah sampai suara cempreng Woojin terpaksa membuat Jihoon kembali membuka pejaman matanya.

Kepalanya terasa berputar-putar, ia siap membunuh Woojin setelah ini!

"Apaan sih?!" cecar Jihoon, sambil mengubah posisinya untuk duduk bersandar pada headboard ranjang tunggal yang ditempatinya.

Woojin melirik Jihoon dengan cepat, "cek hape lo sekarang!"

Jihoon mendengus, namun tangannya tetap bergerak untuk meraih ponsel yang menggelepar di dekat kakinya.

Salah satu alis Jihoon memicing. Woojin ngapain, sih?! Orang nggak ada apa-apa di ponsel Jihoon!

"Mati lo, Jin!"

"Apaan, sih? Udah liat belom?" tanya Woojin, dengan fokus mata yang sama sekali tak beralih dari ponselnya.

"Liat apaan? Orang nggak ada apa-apaan?!"

"Twitter! Twitter!"

"Udah gue clear data, abis memori gue!"

Woojin berdecak, lalu mematikan ponselnya. Atensinya kini beralih pada Jihoon yang sedang menatapnya dengan bingung.

"Guanlin nggak ada ngehubungin lo sama sekali?" tanya Woojin.

Sedih sih, asli. Tapi tetap aja Jihoon mengangguk.

"Ya pantes." Woojin berucap pelan, sangat pelan sehingga suaranya terdengar bak hembusan angin yang sayangnya justru terdengar begitu keras dan jelas di telinga Jihoon.

Jihoon beranjak dari ranjang, dan mulai melangkah menghampiri Woojin yang belum mengubah posisi duduknya meskipun tangan kanannya kini terangkat dengan ponsel yang sengaja ia arahkan pada Jihoon.

Kaki-kaki mungil Jihoon berhenti tepat di depan Woojin. Matanya menatap bingung sekaligus ragu pada ponsel Woojin yang disodorkan padanya.

"Ngapㅡ "

"Ini liat sendiri. Buruan."

Dengan perasaan yang mulai terasa tidak enak, Jihoon meraih ponsel milik Woojin dan mencari salah satu menu aplikasi yang sempat diucapkan sahabatnya itu.

Sebuah aplikasi online, dengan icon bergambar burung berwarna biru yang merupakan media umum dimana semua orang bisa melakukan interaksi dengan orang lain tanpa harus bertatap muka secara langsung.

Well, nggak cuma Woojin yang punya akun twitter pribadi. Jihoon punya, Daehwi punya, Daniel punya, dan Guanlin pun juga memiliki akun twitter pribadi yang tak akan bisa dikenal oleh siapapun.

Ibu jari mungil Jihoon bergerak pelan di atas layar datar ponsel Woojin. Masih berusaha mencari tau, apa sih yang daritadi diributin sama si Ipin?

Jihoon terdiam.

Woojin mengarahkan pandangannya lurus pada Jihoon yang sama sekali tak menunjukkan ekspresi apapun.

Keheningan dan kebisuan Jihoon yang mendadak mendominasi, memancing Woojin mau tak mau harus berdiri dan memposisikan dirinya untuk berdiri tepat di samping Jihoon. Matanya turut mengikuti arah pandang Jihoon, pada layar ponselnya, lebih tepatnya pada sebuah tweet yang diunggah oleh salah satu akun senpai yang mendapat retweets sebanyak 2.125 kali. Bahkan jumlah likes-nya pun juga tak kalah banyak. Dan hebatnya, tweet tersebut baru diunggah sekitar tiga puluh menit yang lalu.

'Wanna One's Lai Guanlin spotted walking outside with Cube's trainee Yoo Seonho this morning at Gangnam district. Seemed like they're looking for breakfast!'

Dan tweet yang kedua:

'Guanlin and Seonho are meeting again this afternoon ㅋㅋㅋ they looked so happy today!'

"Ji,"

Jihoon mengembalikan ponsel yang semula dipandangnya pada sang empunya. Tubuhnya berbalik arah, lalu melangkah menuju ranjang. Tanpa suara, Jihoon berbaring di ranjang seraya menarik selimut yang tersedia lalu menutup tubuhnya sampai ke batas leher. Matanya memejam, membiarkan Woojin kini hanya bisa menatap bingung ke arahnya.

Woojin beranjak menghampiri Jihoon, namun di saat yang bersamaan pemuda manis itu justru membalik posisi tidurnya ke arah samping. Membelakangi Woojin yang kini sudah berdiri tepat di sisi ranjang.

"Ji, gue nggak maksudㅡ"

Jihoon hanya mengangguk, tetap tanpa berniat untuk melontarkan suara, namun itu sudah mampu membuat Woojin bungkam tak berani lagi untuk meneruskan ucapannya.

Woojin menghela panjang nafasnya, "oke, gue tinggal ke luar dulu, ya?"

Dan lagi, Jihoon hanya mengangguk mengiyakan ucapan sahabatnya itu.

Begitu terdengar suara pelan pintu kamar yang ditutup rapat, Jihoon membuka pejaman matanya. Matanya menengadah menatap langit-langit kamar. Masih terang. Tidak perlu cahaya tambahan.

Seketika, bayang-bayang kedekatan Guanlin dan Seonho melintas begitu saja dalam lintas ingatannya. Jihoon menekan belah bibirnya, memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi tanpa sepengetahuannya. Seperti; Guanlin berselingkuh dengan Seonho, mungkin?

Dengan cepat Jihoon menggeleng. Guanlin pernah bilang padanya, kalau Seonho sudah ia anggap sebagai adik kandungnya sendiri. Seonho adalah orang pertama yang Guanlin kenal saat ia resmi terdaftar sebagai salah satu trainee di Cube Entertainment. Seonho adalah orang pertama yang mengajarkan bahasa Korea pada Guanlin, dan juga merupakan orang pertama yang menyarankan Guanlin untuk menonton drama guna mempermudah pengasahan bahasa Koreanya.

Tapi di sisi lain, Guanlin juga berucap, bahwa Jihoon lah orang pertama yang berdiri di depannya saat Guanlin merasa ingin mati karena tak sanggup mengikuti kegiatan training yang begitu kejam selama mereka berada di acara survival keluaran salah satu stasiun televisi yang besar dan terkenal. Jihoon, orang pertama yang mengajaknya makan es krim di sebuah kedai kecil yang hanya buka pada tengah malam, dan bertempat di sebuah ruko kecil di ujung jalan dekat dorm mereka.

Tidak hanya itu. Jihoon juga adalah orang pertama yang ia gendong di punggungnya, dan berteriak bahagia seolah-olah tubuhnya itu tidak berat sama sekali. Jihoon adalah orang pertama yang berani menepuk puncak kepalanya disaat Guanlin berhasil menghafal dua bait lirik lagu, atau beberapa gerak koreografi. Jihoon adalah orang pertama yang ia minta ciumannya jika berhasil menembus sebelas besar.

Dan Jihoon, adalah orang pertama yang Guanlin cintai selain keluarganya selama tujuh belas tahun ia hidup di dunia ini.

Jadi, buat apa Jihoon cemburu?

"Gue nggak cemburu sama Seonho!" ucapnya pelan, dan tak sadar kalau ia baru saja mencebikkan bibir mungilnya.

"Tapi gue cemburu."

Drrrrtttt...

Jihoon mengalihkan pandangannya pada ponsel yang ada di dekat kaki kirinya. Matanya memutar jengah, namun tangannya tetap bergerak untuk meraih benda berbentuk persegi panjang yang masih asik bergetar itu.

Guanlin?

Fyuuuh, tarik nafas, Jihoon.

Lalu ibu jarinya mulai bergerak menggeser tanda hijau, pertanda bahwa Jihoon siap untuk menerima panggilan dari Guanlin.

Nggak usah senyum. Nggak usah seneng.

"Kak,"

Jihoon merangkak turun dari ranjang, sambil terus menunggu lanjutan dari panggilan Guanlin. Kakinya melangkah menuju balkon, lalu Jihoon memilih untuk bersandar di sisi balkon, dengan netra yang menatap kagum pemandangan yang tersaji di depan matanya.

"Kak Jihoon,"

Jihoon berdecak, "aku matiin ya, kalau kamu masih manggil aku pake sebutan kakak."

Guanlin terkekeh di seberang sana. Hati Jihoon berdesir, baru sebentar tapi rasanya ia sudah rindu dengan tawa replika lumba-lumba sedang meringis itu.

"Abisnya kalo aku panggil sayang, berasa kurang aja. Aku 'kan lebih dari sekedar sayang sama kamu."

Jihoon mendesis. Kayaknya ada yang salah nih sama Guanlin.

"Kamu abis jalan sama Seonho otaknya pasti ketinggalan deh. Coba sana balik lagi minta temenin Seonho buat nyari, siapa tau aja otak kamu emang beneran ketinggalan dimana gitu."

Terdengar helaan nafas lembut dari ujung sana. Jihoon terdiam, sambi sesekali memejam saat hembusan angin Daejeon tak sengaja menggelitik permukaan kulitnya.

"Jadi kamu udah tau? Aku minta Seonho buat temenin aku makan di luar. Aku bosen di dorm. Kamu lagi liburan, yang lain ada jadwal individual. Kebetulan juga Seonho lagi libur, baru aja daftar ke sekolah barunya. Ngomong-ngomong, Seonho udah bisa masuk sekolah minggu depan."

Jihoon hanya bisa diam, sambil terus menyimak ucapan Guanlin yang terdengar begitu bersemangat saat ini.

Begitu matanya terbuka, Jihoon langsung disambut dengan beberapa burung yang berterbangan secara berkelompok. Bahkan kerumunan burung itu mengeluarkan suara, seolah mereka sedang memberi komando satu sama lain.

Jihoon tersenyum, meskipun ada perasaan yang mendesak di balik dadanya saat mendapati fakta bahwa lelakinya kini sedang menceritakan tentang lelaki lain.

Merasa tak ada jawaban dari Jihoon, Guanlin kembali bersuara. "Kak,"

Pip.

Jihoon memutuskan sambungan telepon dari Guanlin secara sepihak. Lagian, nggak bisa dibilangin banget, sih?!

Drrrrrtttt

Dengan malas, Jihoon kembali menggeser tanda hijau yang muncul di layar datar ponselnya.

Sama halnya dengan sebelumnya, Jihoon sama sekali tak berinisiatif untuk membuka percakapan. Ia terus diam, menunggu Guanlin sampai pemuda kelebihan kalsium itu menyapanya lebih dulu. Dan jika Guanlin tetap menyapanya dengan panggilan 'Kak', maka bersiap saja karena Jihoon akan langsung mematikan sambungan telepon kali ini.

Guanlin tertawa kecil. Dan sial, Jihoon sama sekali tak bisa meredam senyum simpulnya.

"Mochi, Mochi, kamu kenapa jadi sensian gini, sih?"

Nggak ada kata-kata yang keluar dari mulut Jihoon. Salah satu tangannya terangkat untuk dilipat di depan dada, sambil terus menatap lurus pada Gunung Daedunsan yang terpampang begitu jelas walau ia hanya memandangnya dari balkon kamar.

Jihoon nggak lagi marah. Nggak lagi cemburu juga. Cuma, agak kesel aja soalnya Guanlin sama sekali nggak peka sama perasaannya pas tadi Guanlin cerita tentang Seonho.

Oke, mungkin ini agaknya sedikit berlebihan, ya? Jihoon juga tau, seharusnya dia nggak butthurt gini ke Seonho yang dari awal pun Jihoon udah tau kalau Guanlin deket banget sama Seonho, tapi fakta bahwa pagi tadi Guanlin sama sekali nggak bisa ditemuin dan sama sekali nggak nemenin Jihoon ke stasiun, bener-bener bikin Jihoon jadi terpaksa butthurt. Ya, bisa aja 'kan dengan kata lain berarti Guanlin lebih memilih untuk jalan sama Seonho, daripada nemenin Jihoon yang bakalan stay di Daejeon selama dua hari?

"Hey, kamu masih di situ, 'kan?"

Jihoon mengangguk, "hm."

"Kok diem aja, sih? Kamu capek?"

Jihoon kembali mengangguk, lalu menggeleng dengan cepat setelahnya.

"Nggak. Biasa aja. Daritadi juga cuma tiduran doang kerjaanku."

"Jangan kebanyakan tidur. Nantiㅡ"

"Lemak aku makin banyak. Aku jadi gendut. Terus kamu nggak suka lagi." Tanpa difilter, Jihoon langsung memangkas omongan Guanlin.

Jihoon mengalihkan pandangannya pada deretan rumah penduduk yang tak jauh dari hotel yang kini ditempatinya, dan lagi lagi ia mendengar helaan nafas berat yang berasal dari Guanlin.

"Nanti kamu pusing, kalau kebanyakan tidur. Kamu kenapa sih, Ji?"

Jihoon berdecak. Au amat, Lin. Susah punya pacar yang nggak gampang peka kayak kamu mah!

"Nggak papa."

"Jangan bohong. Aku nggak sukaㅡ"

"Lin, kalau tujuan kamu nelfon cuma buat berantem, aku matiin, ya? Aku harus siap-siap, jam empat aku ada briefing."

Hening. Guanlin tak lagi mengeluarkan suara. Demikian juga Jihoon yang mendadak ikutan diem.

Jihoon menarik pendek nafasnya, "kalau nggak ada lagi yang mau kamu omongin, akuㅡ"

"Oke, maafin aku, ya?"

Baru aja Jihoon mau memutuskan sambungan telepon, Guanlin lebih dulu melayangkan kalimat yang sejujurnya udah Jihoon tunggu dari tadi.

Hingga pada akhirnya Jihoon kembali menyandarkan punggung tegapnya di dinding balkon, dengan tubuh yang menghadap ke dalam kamar.

"Aku tau aku salah. Aku tau kamu marah. Maaf."

"Iya."

"Jangan cemburu lagi sama Seonho."

Pip.

Nggak ada ampun, akhirnya Jihoon langsung memutuskan sambungan telepon kedua mereka. Jihoon melangkah masuk ke kamar, lalu melempar ponselnya ke sofa yang tadi sempat Woojin duduki.

Rasa kesal yang sejak tadi ia tahan, akhirnya membludak juga.

Jihoon nggak habis pikir aja. Kok bisa ya, Guanlin jadi se-nggak peka itu? Bukannya dihibur, Guanlin malah nyuruh Jihoon biar nggak cemburu lagi sama sosok yang berhasil menyita waktu Guanlin untuk jalan-jalan pagi ini disaat Jihoon sendiri butuh kehadiran Guanlin juga pada waktu yang sama?

Jihoon kembali berbaring di ranjang tunggalnya, tak lupa serta menarik selimut tebal untuk menutup tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Huh, Jihoon tuh sebenernya bukan tipikal pacar yang gampang ngambek atau cemburuan. Cuma, Jihoon jadi terpaksa berburuk sangka gini mengingat hampir tiga bulan ke belakang, Guanlin banyak berubah.

Perubahan ke-1:

Waktu itu Guanlin demam tinggi. Dan emang udah kodratnya, Guanlin kalau lagi sakit pasti jadi manja. Tapi waktu itu, Guanlin manjanya ke Minhyun. Bukan ke Jihoon. Bahkan Guanlin sengaja menghindar dari Jihoon selama dia jatuh sakit saat itu. Yaudah, Jihoon bisa apa? Nggak mau berantem dia tuh, cuma karena hal sepele.

Perubahan ke-2:

Well, ini bukan kali pertama Guanlin jalan sama Seonho secara diam-diam. Sekitar dua bulan lalu, lagi lagi dari platform yang sama, Jihoon menemui fakta kalau Guanlin lagi jalan sama Seonho di Everland. Ada beberapa penggemar yang kebetulan lagi mejeng di Everland, nggak sengaja ngeliat Guanlin dan Seonho lagi berdiri di antrian panjang Ferris wheel. Cuma bedanya, Guanlin sama sekali nggak ngakuin soal acara ngedate-nya sama Seonho ke Everland sampai sekarang, jadi ya Jihoon terpaksa diem-diem aja. Kalau kali ini, Jihoon udah keburu nembak. Jadi ya, mau nggak mau Guanlin ngaku.

Wajar nggak sih, Jihoon curiga? Curiga doang ya, bukan cemburu!

Perubahan ke-3:

Guanlin sering lupa nyamperin Jihoon ke kamar. Ya, seperti yang udah dijalani kurang lebih empat bulan ini, susunan kamar dan roommate mereka dirombak ulang. Ini nih, salah satu pokok permasalahan yang sampai sekarang masih suka bikin Jihoon jadi sensi sendiri. Sebenernya, susunan kamar dan roommate itu ditentuin sama agensi. Begitu disebutkan kalau Jihoon sekamar sama Woojin dan Guanlin memiliki kamarnya sendiri, Jihoon semakin merasakan perubahan emang berawal dari diri Guanlin sendiri.

Saat itu, Jihoon sengaja diam karena dia percaya Guanlin pasti bakalan protes agar bisa sekamar dengannya, mengingat betapa antusiasnya Guanlin untuk bisa sekamar dengannya pada saat pertama kali mereka menentukan kamar dan teman-teman sekamar. Namun yang terjadi justru bertolak belakang dengan apa yang Jihoon pikirkan dan harapkan. Guanlin malah tersenyum lebar dan bahagia karena pada akhirnya ia memiliki kamarnya sendiri.

Beruntungnya adalah Guanlin masih peka saat itu. Ia tau kalau pacarnya pasti kesel. Akhirnya, Guanlin berjanji untuk selalu datang ke kamar Jihoon dan Woojin untuk menemani pacarnya yang manis itu sampai tertidur.

Tapi, kebiasaan tersebut semakin lama justru semakin terlupakan.

Oke, lagi dan lagi Jihoon nggak mau ambil pusing. Jadi, Jihoon kadang-kadang berinisiatif untuk datang dan tidur di kamar Guanlin ketika kekasihnya itu lagi lagi melupakan kebiasaannya.

Perubahan ke-4:

Ini juga merupakan salah satu pokok permasalahan yang nyebelin buat Jihoon. Ya, gimana nggak nyebelin, kalau Guanlin jadi lebih sering main PSP atau dengerin lagu sendirian di I-Podnya daripada nemenin Jihoon main PS di ruang tengah. Padahal, dulu Guanlin nggak pernah begini. Guanlin selalu ada di tempat dimana disitu ada Jihoon. Sayang, itu dulu.

Jihoon lagi lagi nggak mau menjadikan masalah itu sebagai akar pertengkaran mereka. Jadinya, Jihoon diam lagi. Dan memilih untuk bermain PS bersama Daniel, atau Woojin yang nggak pernah absen untuk jadi Game Buddies-nya.

Perubahan ke-5:

Fix. Ini sih yang paling parah buat Jihoon. Waktu itu, Jihoon lagi belanja makanan-makanan ringan di supermarket sama Daehwi dan juga Jaehwan. Pas di perjalanan, Jaehwan cerita kalau pernah satu kali secara nggak sengaja, Jaehwan ngeliat Guanlin lagi duduk berlutut di balkon kamarnya. Niat awalnya mau manggil Guanlin untuk makan malam terpaksa ia urungkan karena mendengar isak tangis yang begitu pelan dari arah balkon. Guanlin pasti nangis. Nggak mungkin nggak. Tapi nggak tau karena apa, karena Jaehwan langsung nutup pintu kamar Guanlin dan setelah itu Guanlin sama sekali nggak ngebahas soal itu.

Lagi dan lagi, Guanlin mulai senang untuk menyembunyikan hal-hal tertentu dari Jihoon, padahal Jihoon adalah pacarnya dan sebelumnya Guanlin seolah bagai lembar buku yang terbuka yang kini berganti menjadi buku yang bahkan segel plastiknya tak bisa dibuka.

Sesungguhnya, Jihoon bingung. Nggak tau apakah Guanlin berubah karena ada kesalahan pada diri Jihoon sendiri, atau memang Guanlin yang sudah bosan dengan hubungannya bersama Jihoon.

Sekuat apapun Jihoon menepis opsi kedua, tetap tak bisa dipungkiri kalau pemuda berdarah asli Taiwan itu memang seperti sedang membangun dinding di antara mereka berdua.

Namun, seyakin apapun Jihoon pada opsi yang sama, sifat Guanlin yang terkadang sangat tak terduga itu selalu membuat Jihoon lagi dan lagi jatuh cinta semakin dalam pada lelakinya itu. Ya gimana nggak, Guanlin suka tiba-tiba datang ke kamarnya untuk ngebangunin dia. Udah gitu, sambil bawa cokelat. Buat sarapan pembuka katanya. Atau, kayak Guanlin yang suka tiba-tiba ngajak Jihoon keluar, dengan pakaian super tertutup, cuma untuk kencan singkat yang nggak nyampe tiga jam.

Guanlin, penuh teka-teki.

Ceklek

Jihoon menurunkan sedikit selimutnya yang hanya menyisakan sepasang mata yang kini melirik ke arah Woojin yang baru saja masuk ke kamar dan melangkah menuju sofa. Jihoon menyipitkan matanya, kala Woojin menunduk dan meraih tas ransel milik Jihoon yang berada di kaki sofa.

Jihoon memposisikan tubuhnya menjadi setengah duduk, "heh, ngapain sih?"

Woojin nggak menjawab, dan terus fokus untuk mencari sesuatu dari dalam tas ransel Jihoon.

Jihoon menyibak selimutnya, dan hendak turun dari ranjang saat suara berat Woojin mau nggak mau kembali membuat Jihoon duduk pada posisi awalnya.

"Duduk diem di situ."

"Ya lo ngapain itu? Taruh, nggak?! Jangan diberantakin!" balas Jihoon, ngegas.

Woojin tampak tak berniat untuk membalas omelan Jihoon. Dan pada beberapa detik setelahnya, ia berbalik danㅡ

"Ack!"

"SAKIT BOㅡ"

"Kata Guanlin, cek hape."

Bugh!

"Ipinnnnn!!!"

Woojin langsung berlari keluar kamar satu detik setelah ia melempar ponsel milik Jihoon yang ia temukan di atas sofa kepada pemiliknya dengan cara yang tidak elit dan berujung mendarat dengan tidak elit pula di dahi lebar sahabatnya itu.

Jihoon hanya bisa meringis sambil melirik kesal ke arah pintu yang baru saja tertutup. Biadab emang si Woojin.

Matanya mendelik pada beberapa barang yang tadi dilempar oleh Woojin. Ada ponsel miliknya, dan... Satu bungkus cokelat juga satu tangkai lolipop.

Jihoon mengambil dua makanan yang memiliki rasa manis itu, dan di saat yang sama ponselnya berdering.

Bayi besar is calling...

Jihoon menghela nafasnya, lalu meraih ponselnya dengan tangan kiri. Menggeser tanda hijau yang tertera, lalu menempelkannya pada telinga sebelah kirinya.

Masih sama seperti tadi, Jihoon sama sekali nggak mau buka suara duluan.

"Ji,"

Jihoon masih diam.

"Udah dikasih kak Woojin 'kan, cokelat sama permennya? Dimakan, ya? Aku minta maaf."

Sumpah, Jihoon masih diam.

"Yaampun aku emang nyebelin banget ya?! Dasar Guanlin bodoh! Kak Jihoon nya dibikin kesel melulu coba! Diputusin aja tau rasa!!"

"Enggak!"

"Enggak apa?"

"Nggak bakal diputusin." Sadar nggak sadar, Jihoon tersenyum begitu kalimat itu meluncur bebas dari mulutnya.

Guanlin terkekeh di seberang sana, dan itu cukup untuk meredakan api yang sempat meluap di hati Jihoon.

"Kenapa gitu nggak bakal diputusin?"

"Mana aku tau!"

"Aish, tinggal bilang aja karena sayang susah banget sih?!"

Jihoon menekan belah bibirnya. Guanlin tuh ya, kebiasaan banget jago bikin Jihoon skak mat begini!

"Udah sih, nggak usah merah juga kali mukanya."

Jihoon spontan menangkup wajahnya, "idih... Mana? Nggak merah tuh!"

Lagi, Guanlin terkekeh.

Disini Jihoon cuma bisa membalas kekehan Guanlin dengan senyum simpul.

"Ji,"

"Apa?"

"Aku dimaafin nggak?"

"Ya nggak lah!"

"Iya iya, aku juga sayang kok sama kamu."

"Apa, sih? Nggak nyambung banget!"

"Yes!! Aku dimaafin!!"

Jihoon tertawa, Guanlin selalu punya cara tersendiri untuk meminta maaf padanya. Dan hal ini, semakin membuatnya sadar, kalau ia akan selalu jatuh di tempat yang sama setiap waktunya. Yaitu di hati Guanlin, pikiran Guanlin, dan di sisi Guanlin.

WOOOYYY CHEESY BANGET LO LIPETAN DASTER!

Jihoon kembali berbaring sambil mendengar alunan tawa Guanlin yang begitu menggemaskan. Sampai tak terasa, tiga menit sudah berlalu tanpa kalimat lanjutan yang terucap di antara keduanya.

Jihoon menarik panjang nafasnya, sebelum seuntai kalimat yang membuat Guanlin tercekat meluncur lancar dari belah bibirnya.

"Lin, aku kangen."

YaAllah, baru juga beberapa jam nggak ketemu udah kangen aja...

"Eh, Jin, kok kita pisah mobil sih?" Jihoon menarik paksa tudung hoodie hitam yang dipakai Woojin, begitu menyadari bahwa Woojin hendak masuk ke dalam mobil yang berbeda dengan dirinya.

Padahal, seharusnya mereka satu mobil. Itu setau Jihoon. Karena mereka harus pulang dengan tujuan yang sama setelah dua hari menghabiskan waktu di Daejeon.

Woojin yang awalnya sedang mengangguk-angguk mengikuti irama lagu yang berputar di ponselnya langsung mendongak dan berhadapan dengan wajah bingung Jihoon.

"Hah? Apaan?" tanya Woojin, sambil melepas salah satu earphone yang menyumpal di telinganya.

Jihoon memutar jengah bola matanya, "Kenapa kita beda mobil?"

"Oooooh, itu,"

"Iya, gue mau langsung menuju suatu tempat yang rahasia dan tersembunyi begitu sampe Seoul." sambung Woojin, sembari menyumpal kembali telinganya dengan earphone.

Jihoon nggak mau ambil pusing, alhasil ia hanya mengangguk sambil menarik salah satu earphone yang dipakai oleh Woojin, lalu melangkah santai memasuki mobil yang akan membawanya ke stasiun kereta untuk segera kembali ke Seoul.

"Welcome to Incheon Airport."

Jihoon mengerjapkan matanya kala angin sore menerjang tepat di wajah dan rambutnya. Matanya menyipit, dan terbelalak pada detik yang sama saat menyadari bahwa ia berada di atas punggung tegap seseorang.

Jihoon tersenyum, ia tau bau tubuh ini. Alhasil, Jihoon semakin mengeratkan pelukannya di leher pemuda yang sedang menggendongnya itu. Kakinya turut semakin melingkar di sekitar pinggang kurus itu, lalu bibirnya mendarat sempurna di pipi kiri sang empunya.

"Mau nyulik aku kemana, hm?" tanya Jihoon lembut, yang kemudian dagunya mendarat sempurna di bahu kiri yang tegap itu.

Guanlin terkekeh, lalu menoleh dan mencium lembut dahi Jihoon yang tertutup helai rambut.

"Ke rumah aku, yuk?"

Jihoon tersenyum, "masa mau nyulik ngajak-ngajak sih?"

"Masa mau diculik malah senyum-senyum sih?" tanya Guanlin.

"Siapa yang senyum?! Orang aku lagi ngelindur yeeeu!!"

Hari sudah menunjukkan pukul delapan malam saat Jihoon dan Guanlin mendaratkan sepasang kaki mereka di depan gate utama yang akan membawa mereka ke tempat yang Guanlin janjikan tujuh bulan lalu.

Tepat pada pukul setengah tujuh malam, pesawat yang ditumpangi keduanya tiba di Bandara Internasional Taoyuan Taiwan. Begitu tiba di Taoyuan, Guanlin langsung menggandeng Jihoon untuk makan di salah satu restoran cepat saji yang ada di dekat pintu keluar.

Jadi ya, perut mereka berdua udah penuh dan siap untuk melewati malam yang cukup panjang kali ini.

Jihoon tak henti-hentinya memandang takjub pada sebuah menara tinggi yang menjulang ke atas. Menara yang selama ini hanya bisa Jihoon lihat dari beberapa situs web yang ia buka, kini terpampang nyata dan sempurna di depan matanya.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, terpampang pintu masuk yang terbuat dari kaca yang merupakan satu-satunya akses bagi pengunjung untuk bisa masuk ke dalam sana.

Di atas pintu terdapat kalimat sambutan untuk para pengunjung yang diakhiri dengan kata-kata 臺北國際金融大樓 atau Gedung Finansial Internasional Taipei, atau yang biasa disebut dengan 臺北 101 atau Taipei 101.

Ah, Jihoon nggak sabar untuk menginjakkan sepasang kaki mungilnya di lantai teratas gedung ini!

"Gǎn xiè nín de bāngzhù!"

Jihoon berbalik dan mendapati Guanlin sedang mengucapkan terima kasih pada supir taksi yang mengantar mereka dari bandara ke distrik Xinyi ini.

Senyumnya mengembang begitu Guanlin mengulurkan tangannya, dan dengan senang hati Jihoon menyambut uluran itu lalu mereka melangkah masuk dengan jari-jari yang bertaut satu sama lain.

.

"Udah, kak." Jihoon mengatupkan mulutnya saat tangan besar Guanlin menutup mulutnya yang tengah menganga takjub.

Dengan kekehan yang mengudara bebas, Guanlin menarik tangan Jihoon untuk segera keluar dari lift yang berhasil membawa mereka ke lantai 89 hanya dalam waktu 37 detik. Jihoon kaget dan nggak menyangka, dan itu berhasil membuat Guanlin terus tersenyum lebar.

Jihoon masih dalam mode heningnya saat Guanlin menghentikan langkah mereka di sisi kiri menara, yang membuat tubuh keduanya kini berdiri berhadapan dengan pemandangan malam kota Taipei yang begitu menawan.

Ini hebat! Hamparan indah dan menakjubkan kota Taipei benar-benar terlihat sempurna dari tempat dimana Jihoon dan Guanlin sedang berdiri berdampingan saat ini.

Cantik! Cantik banget! Ditambah langit malam kali ini sedang cerah-cerahnya, uhm, dan tentunya bertaburkan bintang-bintang.

Cantik... Cantik banget!

Jihoon menoleh, dan pandangannya langsung bertabrakan dengan pandangan teduh yang terpancar dari sepasang obsidian malam milik Guanlin.

Guanlin tersenyum, ini benar-benar cantik. Cantik banget. Nggak ngerti lagi.

Jihoon turut tersenyum, lalu tangannya bergerak untuk menarik tali hoodie merah yang dipakai Guanlin. Guanlin menunduk, dan memejam ketika sepasang bibir itu bertemu. Jihoon mencium Guanlin tepat pada bagian atas dan bawah bibirnya, juga pada kedua sudut bibir tebal itu.

Keduanya saling melempar senyum, sampai pada saat Guanlin menarik Jihoon mendekat.

Jihoon menautkan salah satu alisnya, dan terkekeh kala menyadari bahwa Guanlin sedang merapatkan kemeja putih kebesaran yang dipakai Jihoon.

"Kebiasaan banget sih, jaket ditinggal di tas. Dingin 'kan sekarang?" ucap Guanlin, sambil mengancingkan satu persatu kancing kemeja yang sebelumnya Jihoon biarkan terbuka karena ia sendiri sudah memakai kaos polos putih di dalamnya.

Jihoon menggeleng, "nggak dingin. Aku seneng."

Guanlin mengusak pelan puncak kepala Jihoon, lalu membawa tubuh berisi itu untuk kembali menatap pada pemandangan malam yang tersaji.

Lagi dan lagi, senyum manis terlukis di wajah Jihoon. Guanlin turut tersenyum, ia merasa menjadi yang paling bahagia ketika Jihoon berhasil tersenyum lepas karenanya.

Guanlin meraih tangan Jihoon, dan memasukkannya ke dalam saku hoodienya. Guanlin menggenggam erat telapak tangan Jihoon di dalam sana, sambil sesekali memberi usapan lembut yang berhasil menyalurkan rasa hangat.

"Lin, kamu tau nggak?"

Guanlin berdehem, "apa?"

"Kalau butuh perjuangan biar aku nggak jadi pergi kesini sama Woojin. Karena pas briefing pertama, aku sama Woojin dibilang bakal kesini." jawab Jihoon, sambil menghadapkan wajahnya pada Guanlin yang juga sedang menatapnya.

Bibir mungil itu mencebik lucu, "aku nggak mau. Kamu udah janji lebih dulu, kalau kamu yang akan bawa aku kesini untuk kali pertama."

"Dan aku menepati janjiku. Hm?"

Jihoon mengangguk, lalu membalas genggaman erat Guanlin di dalam saku hoodie dari brand ternama yang belakangan menjadi icon pemuda jangkung itu.

"Iya! Makanya aku ngerasa usahaku nggak sia-sia."

"Dan, kenapa kamu bisa bawa aku kesini? Anak-anak nggak pada nanya? Pihak agensi gimana?" sambung Jihoon, yang jujur aja dia penasaran banget gimana caranya Guanlin bisa nyulik dia ke Taiwan sekarang ini.

Guanlin hanya mengangkat kedua bahunya, tak berniat menjawab pertanyaan kekasihnya itu, lalu kembali menatap pemandangan di depan sana.

Merasa diabaikan, Jihoon meremas tangan Guanlin dengan kuat. Dan beruntung, hal tersebut berhasil mengundang perhatian Guanlin.

"Apa?"

"Jawab pertanyaan aku, Lin."

Guanlin mendaratkan sebuah kecupan manis di pangkal hidung Jihoon, "udah, itu nggak penting. Yang penting sekarang kita berdua berhasil kabur kesini."

"Kamu suka?" tanya Guanlin.

Jihoon mengangguk penuh semangat, lalu ia menarik tangan mereka agar keluar dari saku hoodie yang dikenakan Guanlin. Jihoon menggenggam erat tangan Guanlin, lalu mengangkatnya dan berakhir dengan sebuah kecupan panjang di punggung tangan besar itu.

Guanlin tak bisa lagi menahan rasa bahagianya. Ia menarik tubuh Jihoon, dan memeluk kekasihnya itu dengan erat. Jihoon turut membalas pelukan Guanlin, ia bahkan menyandarkan pipi kanannya di bahu kanan Guanlin. Sedangkan Guanlin, pemuda itu menyandarkan pipi kanannya pada puncak kepala Jihoon. Keduanya tersenyum, sambil sesekali Guanlin mengusap lembut bagian belakang kepala Jihoon.

"Sayang,"

Jihoon hanya berdehem sambil mengeratkan pelukannya.

"Aku mau minta maaf atas segala hal konyol yang belakangan ini bikin kamu kepikiran. Aku yang pasti menurut kamu banyak berubah. Aku yang begini, dan aku yang begitu. Aku yang lebih sering main PSP, atau denger lagu sendirian. Aku yang suka bohong sama kamu, karena pada kenyataannya aku emang sering jalan sama Seonho. Itu sebatas karena Seonho itu temen aku, adik aku, dan aku ngerasa punya tanggung jawab sama dia. Kalau kamu cemburu, itu wajar, itu artinya kamu sayang sama aku."

Jihoon mencubit keras pinggang Guanlin, dan ringisan Guanlin menjadi kesempatan agar Jihoon bisa melepas pelukan mereka.

Namun, Guanlin bergerak lebih cepat dan kembali menyatukan tubuh keduanya.

"Eh, aku belum selesai ngomong." ucap Guanlin.

Jihoon kembali menempelkan wajahnya pada dada sebelah kanan Guanlin, "lagian ih, kamu pede banget jadi orang!"

Guanlin mengangguk cepat, "iya, iya, aku juga sayang sama kamu."

Hadeeeh, kelamaan dibiarin jadi kebiasaan kan nih!

"Aku jadi lebih sering tertutup karena... Waktu itu aku nggak sengaja baca post it setelah kita fansign, kalau kamu suka sama pribadi yang dewasa dan mandiri. Itu sebabnya, kenapa aku mulai membentuk diri aku yang bisa berdiri sendiri tanpa bergantung sama kamu. Tapi kayaknya, cara aku yang salah. Kamu jadi kesel, ya?" tanya Guanlin, lembut, lembut banget, sambil mengusap kepala bagian belakang dan punggung Jihoon dengan penuh sayang.

Jihoon mengangguk, "aku nggak suka kamu apa-apa tuh disembunyiin dari aku. Padahal dulu kamu sendiri yang bilang, kalau kita berdua harus bersikap kayak sepasang buku diary yang selalu terbuka setiap harinya."

"Apalagi waktu kamu nangis sendirian. Aku nggak suka. Nggak suka banget, Lin." sambung Jihoon.

Guanlin terkekeh, "tau darimana, hm?"

"Kak Jaehwan."

Jihoon mengeratkan pelukannya, "kamu kenapa nangis?"

"Mana? Aku nggak nangis, tuh!"

"Ih! Waktu itu! Bukan sekarang!" balas Jihoon.

"Biasa, kangen rumah." jawab Guanlin.

"Sekarang masih kangen?"

Guanlin menggeleng, dan satu kecupan manis berhasil mendarat di puncak kepala Jihoon.

"Nggak, kan rumahnya lagi aku peluk."

Nggak ada cubitan ataupun cibiran, kali ini Jihoon membiarkan Guanlin menggombal, sambil ia sendiri mengukir senyum manis di bibir mungilnya.

"Kalau nanti mau nangis, bilang aku dulu!" ucap Jihoon.

"Kenapa gitu?"

"Ya biar bisa aku peluk!"

Guanlin tertawa, begitu juga Jihoon yang ikut tertawa sesaat setelah menyadari ucapannya yang terdengar begitu bucin.

Guanlin memeluk erat pundak Jihoon, lalu mendaratkan wajahnya sendiri di sana, sambil sesekali mengecup lembut pundak lebar itu.

"Kita kesini lagi dua tahun lagi, ya?" ucap Guanlin, yang masih terus mengecupi pundak Jihoon yang terbalut oleh kemeja putih kebesaran.

"Kenapa nggak tahun depan aja?"

"Ya kecepetan, dong."

"Emangnya mau ngapain, sih?"

Guanlin melepas pelukannya, lalu mencuri lima kali kecupan kilat di bibir Jihoon.

Matanya berkedip gemas, dan mendaratkan satu kali lagi ciuman di bibir atas Jihoon. Kali ini jauh lebih lembut, dan dengan durasi yang cukup lama.

Tanpa melepas ciumannya, Guanlin berbisik,

"Ganti marga jadi Lai, ya?"

.
.
.
.
.

HOLAAAAAA!!!! WAH AKU HIATUS LAMA BANGET YA :( Sekali lagi aku minta maaf, karena lagi lagi yang aku update justru Enigma dan Meile bener-bener terabaikan. Aku nggak mau janji, karena aku sendiri nggak tau kapan aku bisa nerusin Meile.

Kuliah ku sedang dalam masa kacau-kacaunya, dan capek-capeknya. Dan lagi, mood aku lagi sepenuhnya ada di Critical Eleven, dan sesekali suka kepikiran kejadian2 yang sekiranya bisa dibuat jadi OS di Enigma. Jadi, Meile bener-bener masih dalam masa hiatus. Maaf :((

THEN..... GIMANA CHAPTER TAIPEI 101 INI????????

Alhamdulillah woi hoonxian bisa nulis yang gemes T____T nggak yang angst melulu T____T

Dah, sekian.

Oh iya,
Liat deh!
Lucu KaAAaAAAN?! Ini tuh gambaran Jihoon pas meluk Alin kalau Alin lagi ngambek :"))))


Dan ini,
Adalah visualisasi Panwink pas di Taipei 101:


Dadah!! See u again!!

hoonxian

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro