[3]ㅡ A Promise; 1
/ˈpräməs/ (promise); menciptakan harapan, menanti kepastian, beralaskan 50% kepercayaan dan beratapkan 50% keraguan.
.
.
.
[3]ㅡ A Promise; 1
.
.
2018
「 ENIGMA 」
.
.
“Nih, minum dulu.”
Takut-takut, Jihoon menengadahkan pandangannya dan menoleh ke arah kiri, dimana seorang pemuda manis seusianya kini duduk sambil menenggak sebotol minuman dingin.
Pandangan Jihoon beralih pada satu botol minuman dingin lain dengan merk yang sama hanya rasanya saja yang berbedaㅡ yang ada di atas telapak tangan pemuda manis itu.
“Ahh,” pemuda manis itu menggeram puas setelah menghabiskan minumannya, lalu menoleh pada Jihoon yang hanya diam sambil menatap bingung botol yang masih diulurkannya.
Ia menggeleng, this Jihoon guy... really... Lalu berdecak, “nggak mungkin gue ngeracunin lo. Nih,” ucapnya, semakin menyodorkan botol minuman dingin itu lebih dekat lagi pada Jihoon.
Jihoon kembali menatap sosok pemuda itu. Bibirnya tertekan, lalu ia mendengus. Tangan kanannya terangkat untuk mengatur letak kacamata yang ia pakai, lalu menutup buku Experience Human Development edisi ke-13, yang sedang ia baca sejak satu jam yang lalu.
Jihoon menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku panjang taman belakang sekolah, tatapannya lurus ke depan tanpa memperdulikan tangan teman sekelasnya itu yang masih terulur tepat di depan tubuhnya.
“Kamu nggak perlu repot-repot, Hyungseob.” ucap Jihoon, seadanya.
Ahn Hyungseob, pemuda manis berusia 18 tahun yang sudah hampir tiga tahun ini selalu menempuh pendidikan di kelas yang sama dengan Jihoon, mendeklarasikan dirinya sebagai teman Jihoon meskipun Jihoon sama sekali tak pernah menggubrisnya.
Mendengar jawaban acuh yang keluar dari mulut Jihoon, Hyungseob lagi lagi hanya bisa mendengus. Tangannya bergerak lebih maju lagi, dan kali ini ia memutuskan untuk menempelkan botol minuman dingin itu pada bagian depan seragam sekolah Jihoon.
Dan ya, Jihoon tetap saja acuh.
“Kenapa bolos kelas lagi?” tanya Hyungseob, sambil tangannya menekan-nekan botol minuman dingin yang ia beli di kantin sepuluh menit lalu pada bagian perut Jihoon. Masih berusaha agar Jihoon mau menerima pemberiannya.
Dan ya, Jihoon bahkan tak berniat untuk menjawab pertanyaan Hyungseob.
Hyungseob menggeleng pelan begitu menyadari kalau pemuda culun di sampingnya ini benar-benar bertingkah seolah tak menganggap keberadaannya.
Perlahan, pandangannya beralih pada buku tebal yang ada di pangkuan Jihoon. Matanya sedikit memicing saat menyadari bahwa jari-jari mungil Jihoon bergerak gusar memelintir ujung buku tersebut.
Gugup? Takut? Cih, berbanding terbalik sekali dengan tatapannya yang dingin itu.
Hyungseob menyeringai kecil, lalu menarik tangannya menjauh dari tubuh Jihoon. Ia menyandarkan tubuhnya sama seperti yang Jihoon lakukan, dan matanya ikut lurus ke depan, menatap suasana taman yang tampak sepi.
“Tangan lo gemeteran gitu. Kenapa? Lo gugup?”
Jihoon melirik Hyungseob lewat ekor matanya. Sumpah, Jihoon benar-benar nggak mau nyari masalah untuk sekarang ini. Kepalanya lagi pusing, isi pikirannya lagi saling bertaut menghasilkan benang kusut yang entah ada dimana ujungnya. Jihoon nggak tau. Well, Jihoon emang nggak pernah mau tau.
Alih-alih menanggapi ucapan 'teman'-nya itu, Jihoon kembali mengangkat tangannya untuk membenarkan letak kacamatanya untuk yang ke-sekian kali.
“Ngapain gugup gitu, sih? Gue nggak akan makan lo, kali. Gue masih suka makan nasi.”
“Sama telor dadar.” sambung Hyungseob.
Dan lagi, Jihoon tak menganggap ucapan itu ada.
Merasa semakin dianggap bak patung tak bernyawa, Hyungseob menghela kasar nafasnya dan kembali memusatkan seluruh atensinya pada Jihoon. Matanya sedikit memicing saat mendapati garis alis Jihoon yang sedikit terangkat, juga garis wajahnya yang tampak menegang, seperti sedang menahan sesuatu.
“Hoon, lo kenapa, sih? Sekarang jadi kayak orang ketakutan gitu?”
Diem. Diem. Diem. Bisa diem nggak, sih?!
“Sumpah, gue sama sekali nggak ada niatan jahat atau apapun itu sama lo. Niat gue kesini itu ya, murni buat ngasih minuman ini buat lo. Lo aneh beberapa hari ini. Sering bolos kelas kayak sekarang. Makanya, gue khawatir dan gue cumaㅡ”
“Kamu nggak perlu khawatir sama aku.”
“ㅡ mau lo sedikit rileks,” Hyungseob menyelesaikan ucapannya, dua detik setelah Jihoon memotongnya ditengah-tengah. “Kenapa? Ada yang salah? Lo temen gueㅡ”
“Kamu bukan temen aku. Kita nggak pernah kenalan, apalagi berteman.” lagi, Jihoon memotong ucapan Hyungseob tanpa permisi.
Hyungseob terdiam. Bingung, harus dengan cara apalagi ia bisa mencairkan dinding kokoh yang sudah terbangun di balik hati Jihoon selama kurang lebih dua tahun ini. Tapi, ucapan Jihoon barusan juga nggak salah, sih. Mereka emang nggak pernah kenalan secara proper, cuma saling mengetahui nama masing-masing karena menyimak saat guru mengabsen nama mereka sebelum kelas dimulai.
Ya tapi, selama ini Hyungseob udah berusaha untuk sabar, dan bersikap baik sama Jihoon, dan Jihoon sama sekali nggak mau menganggapnya sebagai seorang teman?
Hyungseob mencelos, jelas sekali ada hembusan nafas kecewa yang terselip disana.
“Jihoon, gueㅡ”
“Anggep aja kita nggak ketemu hari ini. Oke?” Setelah berhasil memotong ucapan Hyungseob, lagi, Jihoon langsung berdiri dan berbalik menghadap bangku yang sebelumnya ia duduki untuk merapikan semua barang yang dibawanya. Memasukkan beberapa buku yang tadi sempat ia baca ke dalam tas ranselnya, mengambil sweater rajut berwarna putih gading, sambil sesekali tangannya terangkat untuk menyempurnakan letak kacamatanya.
Lewat ekor matanya, Jihoon berusaha untuk melirik ke sisi kanan dan kiri taman, namun akhirnya hembusan nafas lega menguar dari mulutnya dengan pelan.
Jihoon memakai kembali sweater rajut miliknya, lalu menyampirkan tas ransel di bahu kirinya. Ah, jangan lupakan satu buah buku tebal yang terdiri lebih dari tiga ratus halaman dengan isi teori psikologi perkembangan yang tadi sempat mengundang perhatian Hyungseob, lalu kembali berbalik dan benar-benar melangkah meninggalkan Hyungseob dengan segala kebingungannya.
Hyungseob hanya bisa diam. Memandang iba sekaligus bingung punggung tegap yang biasanya selalu tertunduk itu semakin menjauh dari jarak pandangnya.
Jihoon benar. Jihoon nggak salah. Mereka bukan teman, dan Hyungseob harus bisa menerima fakta yang satu itu walaupun motif sebenarnya kenapa ia mau repot-repot mendekati Jihoon dan mengaku sebagai temannya adalah untuk menunjukkan pada Jihoon, bahwa tidak semua orang menganggapnya dengan sebelah mata. Masih ada orang yang mau duduk di sampingnya, berinteraksi dengannya, dan menjalani hari-hari bersamanya. Dan Hyungseob, adalah salah satu diantaranya.
※※※
Suasana koridor utama sekolah yang cukup ramai membuat Jihoon mau tak mau harus kembali melangkah dengan kepala yang tertunduk. Tangan kanannya mendekap buku tebal yang selalu ia bawa-bawa kemana dengan begitu erat, sedangkan tangan kirinya terus meremat tali tas ransel yang tersampir di bahu kirinya.
Tepat sekali sekarang adalah jadwal pergantian jam pelajaran, itulah sebabnya mengapa koridor utama cukup ramai karena banyak murid-murid yang berhambur keluar kelas untuk sekedar melepas penat, membuang sampah rautan pensil atau bahkan sampah bungkus makanan ringan yang mereka makan secara diam-diam saat jam pelajaran masih berlangsung, atau juga sekedar untuk melakukan pencitraan dengan mengucapkan 'sampai bertemu minggu depan, pak! bu!' padahal pada kenyataannya mereka begitu senang karena pada akhirnya kelas yang begitu membosankan bisa berakhir. Dan itulah juga sebabnya kenapa Jihoon pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Hyungseob yang secara tak langsung ikut membolos kelas pertama sama seperti dirinya di taman untuk kembali ke kelas, ini sudah pergantian jam pelajaran, dan itu artinya kelas Daniel sudah selesai, dan Jihoon tak perlu lagi susah-susah berusaha untuk menghindar.
Brak!
Tubuh Jihoon sedikit tersungkur ke belakang saat seseorang menabraknya dengan entahlah disengaja atau tidak, yang disusul dengan rutukan menyebalkan yang sama sekali tak bisa Jihoon balas.
“Udah pake kacamata segede baskom, masih aja nggak bisa ngeliat?”
Jihoon diam. Tangannya lagi dan lagi terangkat untuk membenarkan letak kacamatanya yang sedikit turun, dan sayangnya hanya itu yang bisa Jihoon lakukan sebagai respon dari stimulus yang jelas-jelas nggak sebanding sama kesabaran yang selama ini selalu ia perlihatkan.
Jihoon menghela nafasnya dengan begitu pelan, lalu bergeser ke kanan dan bersiap untuk kembali melangkah. Mengabaikan seseorang yang sempat menabraknya dengan cukup kuat tanpa mengucapkan kata maaf sedikitpun. Namun, langkahnya harus kembali mundur ke belakang secara paksa saat tas ransel yang tersampir di bahunya ditarik dengan begitu kuat. Pegangan Jihoon pada buku tebal yang didekapnya semakin menguat, dan kepalanya semakin tertunduk. Oh, jangan lupakan belah bibirnya yang ditekan menandakan bahwa lagi dan lagi, Jihoon seolah sedang menahan sesuatu.
“Minta maaf sekarang, Cupu!”
Salah enggak, disuruh minta maaf iya.
“Heh, Culun! Cepetan minta maaf!”
BUGH!
Nggak ngerti, kenapa bisa hari ini Jihoon mengalami kesialan yang bertubi-tubi kayak begini. Matanya terpejam kuat, belah bibirnya terbuka meluruhkan lirihan pelan saat secara perlahan Jihoon merasa dunianya yang sudah gelap sejak awal, kini terasa semakin gelap bersamaan dengan rengkuhan yang menahan punggungnya dengan kuat.
Sehingga Jihoon yang nyaris saja terjatuh, kini kembali berdiri dengan tegap meski merasa kesadarannya masih belum sepenuhnya pulih. Kepalanya terasa semakin memberat, diiringi dengan hilangnya suara di sekitarnya yang semula bising kini menjadi hening.
Dalam hati Jihoon berteriak, menyuruh matanya untuk terbuka dan ia tidak boleh pingsan atau semuanya akan jadi berantakan. Jihoon terus melakukan sugesti pada dirinya sendiri, sampai pada akhirnya sepasang kelopak matanya mulai terbuka dan kesadarannya mulai kembali.
“Eh, sumpah sorry sorry, tadi gue niatnya mau nimpuk si kunyuk ini tapi bolanya meleset dan malah jadi lo yang kena.”
Jihoon berusaha untuk memperjelas penglihatannya dan tepat pada saat matanya sudah bisa melihat dengan normal, sebuah pukulan yang cukup keras mendarat di bagian belakang kepala seseorang yang tadi menabrak dan meneriakinya untuk meminta maaf itu. Jihoon, tanpa sadar, kali ini menengadahkan kepalanya yang selama ini selalu tertunduk dan menatap dua orang pemuda yang sedang saling gaplok satu sama lain.
Dan di belakang dua orang itu, berdiri beberapa murid lain yang membentuk kerumunan yang jelas sedang menjadikan mereka bertiga sebagai pusat atensi. Sadar bahwa sudah terlalu lama ia mengangkat kepalanya, Jihoon kembali menunduk dan membiarkan sepatu tali berbeda warna milik dua orang yang masih asik saling gaplok itu menjadi satu-satunya objek yang bisa ia pandang.
“Udah apa, Lin, udah! Lo mah kalo mukul pake hati banget! Sakit, goblok!” Well, ini suara orang yang beberapa menit lalu memanggil Jihoon dengan sebutan Culun dan Cupu.
“Makanya kalo punya mulut tuh dijaga, Kunyuk! Udah tau lo yang salah karena lo tadi nabrak dia, eh malah lo yang teriak nyuruh dia minta maaf!!” Nah, kalo ini suara orang yang pertama kali Jihoon liat saat tadi ia membuka matanya, sekaligus si pelaku utama dari penimpukan bola basket salah sasaran yang harusnya mengenai orang yang dipanggil Kunyuk itu yang justru malah menjadikan Jihoon sebagai korban.
PLAK!
“Bangsat, Lai Guanlin!!!”
“Ayo lari!”
Semuanya terjadi begitu cepat, namun yang pasti Jihoon sekarang tengah berlari di belakang seseorang yang tadi dipanggil dengan sebutan Lai Guanlin, yang kini berlari di depannya dengan tangan yang sama sekali tak lepas dari pergelangan tangan dingin milik Jihoon.
Jihoon cuma bisa pasrah tanpa mampu melayangkan protes saat tangan besar itu terus mengajaknya berlari dan entah, Jihoon nggak tau mau dibawa kemana.
Sialnya, Jihoon tetap nggak bisa mendongak dan hanya bisa terus menunduk karena ia tau kalau sekarang mereka berdua tengah menjadi sorotan. Jihoon nggak suka, dan sampai kapanpun nggak akan pernah menyukai masa-masa dimana semua orang menatap ke arahnya karena Jihoon nggak butuh itu semua.
Jihoon merasa pegangan orang asing ini pada tangannya sudah terlepas, dan Jihoon mencoba untuk melirik ke sekelilingnya. Gelap. Dan orang asing yang berdiri di depannya ini tampak sedang berusaha untuk membuka pintu yang Jihoon sendiri nggak tau ini tempat apa dan ada apa di dalam.
Srrrtt...
Setelah berusaha untuk mencongkel pintu cokelat itu beberapa kali, akhirnya suara derit pintu terbuka terdengar dan Jihoon menyipitkan sedikit matanya saat cahaya matahari langsung menyapa lensa kecamatanya.
Dan dengan cepat Jihoon kembali menunduk saat orang asing yang membawanya kesini berbalik dan berhadapan langsung dengan tubuh mungilnya.
Jihoon hanya bisa menelan salivanya dengan susah payah, dan terus berusaha menjadikan sepasang sepatu milik pemuda itu menjadi fokus pandangannya saat telapak tangan besar milik pemuda asing itu hinggap di bahu kanannya.
Jihoon menekan belah bibirnya, saat telapak tangan besar itu kini menepuk sok akrab bahu lebarnya.
“Nggak apa-apa 'kan, gue bawa kesini dulu?” tanya pemuda itu, yang jelas dibalas dengan suara hembusan angin sepoi-sepoi.
Lagi dan lagi, Jihoon cuma bisa pasrah dan diam saat telapak tangan besar itu berangsur melingkari pergelangan tangannya, dan sepasang kakinya juga mulai melangkah dengan ragu dan gusar mengikuti langkah jenjang pemuda di depannya yang ternyata membawanya ke rooftop sekolah, yang sebenarnya menjadi salah satu tempat yang dilarang kepala sekolah untuk disinggahi.
Alasannya, ya nggak ada sih. Cuma karena akses menuju rooftop itu sendiri cukup sepi dan nggak terurus. Tapi sekarang, Jihoon bersama dengan pemuda asing yang sama sekali nggak dia kenal ini baru aja melanggar peringatan dari kepala sekolah. Lagian, Jihoon juga nggak bisa teriak untuk berontak, kan? Jadi ya, mau gimana lagi.
Langkah keduanya semakin mengecil dan berhenti tepat di pinggir atap yang dibatasi dengan pagar rapuh berwarna putih. Meski masih dalam keadaan menunduk, Jihoon dapat melihat jelas kalau saat ini ia sedang berdiri di tempat yang cukup tinggi. Bola matanya bergerak ke sisi kiri untuk melirik sepatu pemuda asing itu yang ternyata berdiri tak jauh darinya.
Jihoon nggak bisa ngapa-ngapain selain diam, termasuk saat tangan besar pemuda asing itu kembali bersentuhan dengan tangannya dan membawanya untuk duduk di sisi atap. Jihoon menurut, duduk dengan perlahan, diikuti dengan pemuda itu yang juga duduk di sampingnya.
Dalam hati Jihoon berdoa, semoga Daniel nggak tau tentang keberadaan rooftop tersembunyi ini.
“Sori ya, tadi gue beneran nggak sengaja. Gue niatnya mau nimpuk si Samuel, eh nggak tau kenapa bolanya malah belok arah dan kena kepala lo.”
Respon Jihoon? Nggak ada, selain pegangannya pada sisi buku tebal yang tak pernah lepas dari dekapannya itu yang semakin menguat.
“Tapi lo udah nggak apa-apa, 'kan? Atau masih pusing? Coba sini deh gue liat,” Baru aja tangan besar itu akan kembali menyentuhnya, Jihoon lebih dulu mundur dan menghidari sentuhan itu. Membuat pemuda itu kini memicingkan salah satu matanya.
Pemuda itu berdecak melihat Jihoon yang sama sekali enggan untuk mengangkat pandangannya. Nggak tau apa sih yang ada di bawah sampai-sampai Jihoon lebih minat untuk terus menunduk daripada membalas tatapannya yang jujur aja, dia khawatir sama keadaan Jihoon karena pukulan bola basket tadi ya... cukup keras.
“Nunduk mulu, nyari receh ya?”
Pemuda itu terkekeh geli atas ucapannya sendiri. Sedangkan Jihoon, tetap diam membungkam mulutnya.
Pemuda itu menghentikan kekehannya, dan pandangannya kini beralih ke arah langit biru yang berhiaskan awan-awan tipis.
Satu kali lagi, pemuda itu melirik ke sisi kanan untuk melihat Jihoon yang ternyata masih aja menunduk, dan kemudian ia kembali menengadahkan pandangannya ke atas. Menatap langit yang tampak cerah setelah satu minggu penuh hujan tak henti-hentinya mengguyur.
Tanpa sepengetahuan pemuda itu, Jihoon mengangkat kembali tangannya untuk membenarkan posisi kacamatanya. Lalu lewat ekor matanya, ia melirik ke sisi kiri dan berhadapan langsung dengan kerah seragam yang tampak kusut yang menutupi leher jenjang pemuda itu.
Jihoon kembali menunduk, saat mendengar suara decakan lolos dari bibir pemuda asing yang duduk dengan nyaman di sampingnya.
“Gue Guanlin. Anak dua belas sosial satu.”
Pemuda ituㅡ Guanlin, kembali menoleh dan kini ia memilih untuk memusatkan atensinya, seluruhnya, pada Jihoon.
“Lo anak IPA, 'kan? Gue sering ngeliat lo, tapi dalam keadaan yang nggak wajar. Lo jalan sambil nunduk lah, lo lagi dibully lah, dan lo sama sekali nggak pernah ngelawan. Awalnya gue masih mau liat sejauh mana mereka bisa main-main sama lo, dan sejauh mana lo bisa terus-terusan diem tanpa ngelawan. Nggak nyangka aja gue, ternyata sampe gue turun tangan pun lo nggak ngasih perlawanan apa-apa. At least, lo teriak kek! Atau, lo bisa dorong mereka sampe jatoh kalo lo mau.” ucap Guanlin, masih terus menjadikan wajah menunduk Jihoon sebagai satu-satunya hal yang paling penting untuk ia pandangi.
“Nama lo siapa? Orang-orang selalu manggil lo Culun, kalo nggak Culun ya Cupu. Dan gue yakin, itu bukan nama asli lo.”
Untuk yang ke-sekian kalinya, Jihoon seolah bisu tanpa berniat untuk mengucapkan satu patah katapun.
Untungnya, Guanlin nggak bodoh-bodoh banget. Diliriknya buku tebal yang entah sejak kapan kini terbaring nyaman di atas lipatan kaki Jihoon, padahal sebelumnya Jihoon selalu memeluk buku itu seolah buku itu adalah sesuatu yang sangat berharga dan hanya ada satu di dunia.
Experience Human Development,
Namanya, goblok! Ngapain baca judul bukunya!
Alhasil, Guanlin melirik ke sisi lain sampul buku tersebut dan menemukan nama Park Jihoon disana. Guanlin menyunggingkan senyum tipis, lalu kembali memusatkan pandangannya pada Jihoon.
“Well, Park Jihoon,ㅡ”
“Tau darimana nama guㅡ ehm, aku?” Selain nggak sengaja spontan menjawab ucapan Guanlin, Jihoon juga nggak sengaja mengangkat kepalanya dan kini dua pasang mata itu saling beradu pandang.
Inget, Jihoon. Jangan sampe lo kelepasan.
Guanlin terkekeh, “nggak usah kaku kayak begitu, kayak sama siapa aja sih.”
Guanlin menggerakkan dagu panjangnya ke arah buku yang ada di pangkuan Jihoon, “ada nama lo disitu.”
Melihat gelagat Guanlin, Jihoon langsung melirik bukunya dan ya benar aja kalau disitu ada namanya yang tertulis dengan jelas.
Jihoon mendesah pasrah, gimana bisa ia teledor dan menciptakan kesempatan dalam kesempitan sehingga pemuda asing yang ternyata bernama Guanlin ini bisa mengetahui namanya.
Jihoon menarik tasnya dengan cepat. Membuka resleting berwarna hitam dan memasukkan buku pelajaran untuk tingkat mahasiswa itu ke dalam sana. Jihoon kembali menutup tasnya, menyampirkannya di bahu kirinya, dan hendak berdiri untuk meninggalkan Guanlin.
Ini salah. Ini nggak bener. Guanlin nggak boleh deket-deket sama gue.
Namun gerak Jihoon terhenti saat lagi dan lagi telapak tangan besar Guanlin menyentuhnya. Jihoon yang sudah merubah posisi menjadi setengah berdiri pun terpaksa harus menunduk sedikit saat tangannya semakin ditarik mendekat oleh Guanlin.
Takut-takut, Jihoon melirik pintu setengah terbuka yang menjadi satu-satunya jalan untuk ia bisa memasuki tempat sunyi dan sepi ini. Jihoon takut, dan ia benar-benar berharap agar Daniel tidak mengikutinya sampai ke sini.
“Bolos aja udah. Udah mulai juga pasti kelas berikutnya.” ucap Guanlin santai sambil terus menarik tangan Jihoon agar pemuda manis itu kembali duduk di sampingnya.
Pasrah, Jihoon pun kembali melangkah maju dan memposisikan dirinya untuk duduk di samping Guanlin. Lagipula, tempat ini jauh dari keramaian. Jauh dari titik-titik utama keramaian sekolah, dan setidaknya Jihoon yakin Daniel nggak akan sampai kesini. Terlebih, pria itu pasti sedang ada di ruang guru dan pasti kepala sekolah dan guru-guru disana nggak akan membahas soal rooftop kalau nggak ada yang bertanya lebih dulu.
Jadi, aman, kan?
Untuk sekedar ngobrol sama Guanlin, dan lepas dari kepribadian cupunya untuk sekali ini aja, boleh kan?
“Tadi pas gue nyari nama lo, gue nggak sengaja baca judul buku yang sebelumnya lo pegang. Kalo boleh tau, itu buku apa? Nggak nyangka gue, anak IPA bukunya tebel banget kayak gitu.”
Jihoon menghela nafasnya perlahan. Sekali lagi ia percaya bahwa Daniel nggak akan mengetahui keberadaannya disini, jadi Jihoon bebas untuk menjawab pertanyaan Guanlin.
“Itu bukan buku anak IPA. Itu buku psikologi perkembangan, buat mahasiswa psikologi tingkat satu sampai dua.” jawab Jihoon, yang yakin deh kalau Hyungseob tau Jihoon bisa ngomong sepanjang ini sama Guanlin, Hyungseob pasti bakalan langsung nendang Guanlin saking irinya.
Jihoon mengangkat kepalanya setelah sempat mengatur letak kacamatanya, mengikuti arah pandang Guanlin yang menatap ke arah langit. Tanpa sepengetahuan Jihoon, kini Guanlin kembali menolehkan kepalanya ke sisi kanan dan kembali menatap wajah Jihoon yang selama ini selalu dibilang culun sama semua orang.
Dengan salah satu alis yang bertaut, Guanlin bertanya, “lo mau ambil psikologi?”
Jihoon mengangkat kedua bahunya, “nggak tau. Belom ada bayangan.” jawabnya.
“Loh, terus ngapain lo belajar psikologi kayak gitu?”
Jihoon menoleh ke arah kiri, dan matanya sedikit membulat secara spontan saat sadar bahwa Guanlin sedang menatapnya sedari tadi.
Jihoon berdehem, dan dengan cepat mengarahkan pandangannya ke depan, mengabaikan Guanlin yang sama sekali belum lelah untuk memandangnya dari samping.
“Tertarik aja.”
Guanlin mengangguk pelan, lalu meletakkan tangan kanannya di balik tubuhnya guna untuk menjadi penyangga selama ia betah berlama-lama menatap Jihoon dari samping.
“Kalo gue mau jadi dokter, lucu nggak?” tanya Guanlin.
Jihoon menoleh, dan lagi-lagi harus mencelos saat matanya kembali bertemu dengan sepasang manik hitam legam milik Guanlin. Jihoon menunduk, tak lupa dengan tangannya yang terangkat untuk membenarkan posisi kacamatanya.
“Lo anak sosial.”
Guanlin tersenyum tipis, “nggak bisa dong, ya?”
Jihoon nggak jawab, cuma menggeleng pertanda ia membenarkan pertanyaan Guanlin bahwa tidak mungkin hukumnya bagi anak sosial untuk mengambil jalur kedokteran saat kuliah nanti.
Ya, lagian Guanlin juga cuma bercanda, kok. Mendingan balapan deh, daripada harus pusing-pusing mikirin struktur tubuh manusia dan sejenisnya yang pasti bisa bikin rambut dia jadi botak.
“Lo juga 'kan anak sains? Ngapain ambil psikologi? Bukannya psikologi itu mainly menghafal ya? Sama teori? Lapak sosial, tuh!” ucap Guanlin yang tanpa sadar ia baru aja mengukir senyum tipis di bibirnya, saat sedikit demi sedikit Jihoon mengangkat kepalanya dan kembali menatap langit.
“Nggak ada yang bilang kalo gue mau ambil psikologi.”
“Dan sekarang, banyak universitas yang nerima jurusan sains ataupun sosial buat masuk fakultas psikologi. Jadi, nggak ada masalah.” sambung Jihoon.
Keduanya terdiam. Guanlin meletakkan tangan kirinya di balik tubuhnya, dan menjadikan kedua tangannya sebagai penyangga bagi tubuhnya yang kini tengah menatap ke arah langit. Sama seperti apa yang tengah dilakukan Jihoon.
“Lo manis, jangan nunduk terus.”
Tubuh Jihoon menegang saat deru nafas Guanlin menguar di sekitar telinga kiri sampai ke lehernya. Ingin menoleh dan melayangkan protes namun tak jadi, karena Jihoon yakin posisi Guanlin dengannya pasti terlalu dekat saat ini.
Jihoon terdiam, sama sekali tak ada niatan untuk membalas ucapan Guanlin karena pada dasarnya, tak ada alasan yang kuat kenapa ia harus berhenti menunduk.
Menunduk adalah satu-satunya pilihan yang bisa ia ambil untuk mempertahankan dirinya sendiri. Tak ada satu orangpun yang tau bagaimana kehidupannya, bagaimana Jihoon yang sebenarnya, dan memang lebih baik tak akan pernah ada satu orangpun yang mengetahuinya. Atau orang itu akan berakhir dengan sangat tidak wajar.
“Ji,”
Nggak ada jawaban.
“Jangan diem aja kalo nanti-nanti ada yang ngebully lo lagi. Untung aja tadi gue ngeliat lo sama Samuel, dan untung aja Samuel itu temen gue, jadi gue bisa nyelametin lo dan langsung ngasih pelajaran sama si Kunyuk.” Guanlin menjeda ucapannya, saat matanya tak tahan untuk menoleh ke arah Jihoon lagi dan lagi, “gue nggak janji bisa nyelametin lo lagi kalo suatu saat ada orang lain yang ngebully lo. Ya kalo masih temen gue temen gue juga mah, bisa lah gue siksa dikit.”
“Karena kalo sekali lagi aja gue bikin ulah, gue bakalan dapet surat peringatan terakhir dan, say good bye aja sama sekolah ini.”
Kenapa emang, Lin?
Jihoon pengen banget nanyain itu ke Guanlin, tapi apa daya, Jihoon harus inget siapa dia, dan apa akibatnya kalau sampai dia terlarut untuk mendekatkan diri dengan orang asing yang udah menyelamatkannya hari ini.
Karena cukup gue aja yang kayak gini, orang lain jangan.
“Kalo gue kena drop out, nanti siapa dong yang bisa nyekek Samuel kalo dia ngebully lo lagi?”
Jihoon menghela nafasnya, “nggak ada yang nyuruh lo untuk nyelametin gue.”
“But i have to,”
“No, you don't have to.”
Guanlin berdecak, “gue nggak suka ngeliat kekerasan.”
“Ya, gampang, nggak usah diliat.” balas Jihoon cepat.
Guanlin mendengus, diarahkannya pandangan yang sebelumnya terpusat pada Jihoon pada langit biru yang menjadi atap alami mereka saat ini.
Helaan nafas berat lolos dari bibir Guanlin, “kalo lo sendiri nggak ngelawan mereka, ya mereka juga nggak akan berhenti untuk main-main sama lo.” ucapnya.
“Nggak masalah.”
Guanlin menarik ujung bibirnya, menciptakan sebuah seringai kecil yang sebenarnya lebih seperti sedang meragukan. “Dan lo akan seterusnya jadi bahan bully mereka? Gitu? Bahkan sampe nanti lo kuliah juga akan seterusnya begitu?”
Mulai jengah, lagi lagi Guanlin hanya bisa menceloskan helaan nafasnya, “Jihoon, Jihoon, itu namanya lo ngasih kesempatan buat orang lain berbuat jahat.” sambung Guanlin, yang strike, membuat Jihoon terdiam tanpa membuka belah bibirnya sedikitpun untuk membalas kalimat tersebut.
Baik Jihoon maupun Guanlin sama-sama kembali larut dalam keheningan yang entah kapan akan berakhir. Guanlin masih tetap menatap langit lepas, meskipun disana tak ada apa-apa yang menarik selain serat-serat tipis awan yang bertebaran. Dan Jihoon, ia melakukan hal yang sama dengan Guanlin. Iris kecokelatan alami yang terhalangi lensa kacamata tebal miliknya terus menatap langit lepas, memikirkan betapa bodohnya ia karena betah berlama-lama disini bersama Guanlin dan tanpa sadar ia benar-benar sudah melanggar semuanya dengan membiarkan mulutnya berucap dengan sedikit lancar untuk membalas hampir setiap perkataan Guanlin, yang mana artinya ia baru saja menciptakan sebuah ruang baru bagi mereka berdua.
“Ternyata lo nyambung ngomong sama gue.”
Spontan, Jihoon menolehkan kepalanya ke kiri dan menatap figur sempurna Guanlin dari samping.
“Gue pikir, lo kalo ngomong bakalan gagap-gagap gitu.” sambungnya, disertai dengan senyum tipis yang terukir di wajahnya. Dan Jihoon dapat melihat senyum tipis itu dengan jelas.
Jihoon meloloskan helaan nafas berat, ia seketika tersadar, bahwa ini semua adalah salah.
Pemuda manis dengan poni yang nyaris menyentuh bulu mata dan juga terbalutkan kacamata bulat tebal itu kembali menundukkan kepalanya. Letak kacamatanya berubah, sedikit turun, dan Jihoon dengan cepat bergerak untuk mengatur ulang letak kacamatanya.
Namun, geraknya terpaksa berhenti saat tangan lain lebih dulu mendarat pada bagian bingkai kacamatanya. Jihoon membulatkan sepasang matanya, saat perlahan kacamata tebalnya itu mulai bergerak menjauh. Jihoon sekali lagi ingin melawan, namun otak dan respon tubuhnya kali ini tampak sedang bermusuhan.
“Nah, manis.”
Jihoon menunduk. Nggak berani lagi untuk menatap langit, apalagi untuk menatap netra sempurna milik Guanlin yang tanpa ia lirik pun, Jihoon tau kalau Guanlin tengah menatapnya.
Sial. Nggak boleh, Jihoon!
Sadar nggak sadar, jari-jari panjang Guanlin mulai bermain di sekitar wajah Jihoon. Hembusan angin yang begitu halus seolah menuntun gerak tangan pemuda jangkung itu untuk menyingkirkan helai demi helai poni yang menutupi dahi dan hampir pada setengah bagian mata Jihoon. Dan tanpa sadar juga, senyum manis yang begitu dalam serta tatapan teduh yang selama ini tak pernah Guanlin tunjukkan pada siapapun selain pada ibu dan adiknya dulu, kini kembali hadir terlebih saat kelopak mata manis itu berkedip gugup seiring dengan lembutnya pergerakan jari Guanlin disana.
“They better stop calling you Cupu or Culun, because you ain't one of those.”
Jihoon totalitas dalam mode mengheningkan cipta. Ia sama sekali nggak bisa melampiaskan perasaannya saat di dalam sana, di balik dadanya, lebih tepatnya pada bagian lubuk hatinya yang terdalam, Jihoon sedang berteriak meronta memohon agar Guanlin berhenti. Kalau perlu sekalian menjauh darinya tanpa berniat untuk akan mendekat kembali suatu saat nanti.
Jihoon terlalu tau dengan semuanya, dengan apa yang seharusnya nggak dia lakukan, dan dengan apa yang mungkin saja bisa terjadi kalau dia berani melanggar semua ketetapan itu.
Jadi, dengan segenap keyakinan yang ia punya, Jihoon mendongak dan dengan cepat tangannya terangkat untuk merebut kacamatanya yang ada di dalam genggaman Guanlin.
Namun, apa Guanlin akan semudah itu membiarkan Jihoon mendapatkan kacamatanya? Ah, tentu saja tidak.
Guanlin menyeringai saat tangan mungil Jihoon nyaris menyentuh kacamatanya yang sedang ia genggam. Dengan cepat, Guanlin menyembunyikan tangannya di balik tubuhnya, dan itu jelas membuat tubuh Jihoon sedikit mencondong hampir menempel dengan tubuhnya.
Lagi lagi Guanlin dibuat terkekeh saat melihat kelopak mata Jihoon yang berkedip tak beraturan. Ini... Hiburan tersendiri baginya.
“Mau ngapain, sih?” Ini lagi nanya, apa lagi ngeledek?
Dan sialnya, Guanlin masih saja terkekeh tanpa mengubah posisinya. Dan yang lebih sialnya lagi, Jihoon juga tidak mengubah posisinya sama sekali. Membiarkan wajahnya berhadapan langsung dengan bagian bawah wajah Guanlin, hidung sampai pada bagian dagunya yang panjang itu.
Jihoon menaikkan sedikit pandangannya, dan entah mengapa ia seolah baru aja merasakan desiran yang begitu hangat menjalar pada seluruh bagian tubuhnya saat matanya tak sengaja menangkap senyum tipis yang sejujurnya lebih mirip sebuah seringai pada bibir sintal itu.
Deg.
Refleks, Jihoon memejam. Menahan mati-matian gejolak aneh yang Jihoon sendiri bingung, kenapa bisa ia merasakan semua ini.
Bukankah sudah terdoktrin permanen dalam diri Jihoon, bahwa ia tak akan pernah boleh memiliki perasaan yang seperti ini entah pada siapapun itu? Dan, bagaimana bisa seorang asing bernama Guanlin yang jelas-jelas baru ditemuinya hari ini, mampu membuat Jihoon seolah kehilangan arah dan tak lagi mempan dengan doktrin harga matinya itu?
Perlahan, Jihoon bergerak mundur dan kembali duduk dengan sedikit tegak di posisinya semula. Ia memberanikan diri untuk mengangkat pandangannya, kembali menatap langit dengan rahang yang sedikit mengeras.
Ia marah, pada dirinya sendiri.
Guanlin tertegun saat menyadari perubahan raut wajah Jihoon. Ya, walaupun Guanlin hanya menatapnya dari samping, tapi ia dapat melihat dengan jelas bahwa garis rahang itu seperti tertarik, dan mata itu tampak tengah menahan sesuatu.
“Ji,”
Tak ada balasan. Dan Guanlin dapat melihat dengan jelas, kalau rahang itu semakin menegang saat namanya dipanggil.
“Oke, sori sori. Nih kacamata lo,”
Ragu-ragu, Guanlin mencondongkan tubuhnya mendekati Jihoon tak lupa tangannya yang terulur dengan kacamata Jihoon di atas telapak tangan lebarnya. Guanlin kembali memajukan wajahnya agar bisa memandang wajah Jihoon lebih dekat lagi, namun tubuhnya nyaris saja terhenyak ke belakang saat Jihoon dengan tiba-tiba mengambil kacamata miliknya dan langsung berdiri serta melangkah cepat meninggalkannya.
Tanpa pikir panjang, Guanlin langsung bangkit dari duduknya dan berlari mengejar Jihoon. Dan tepat pada saat tangannya hendak meraih tangan Jihoon, pemuda manis nan culun itu lebih dulu berhenti dan tentu itu membuat Guanlin mau nggak mau, juga harus berhenti mendadak.
Jihoon berbalik, menatap tajam Guanlin dari balik lensa tebalnya. Guanlin spontan mengangkat kedua tangannya seperti seorang penjahat yang baru saja dikepung.
“Diem disitu dan jangan berpikir untuk ikutin gue.”
Guanlin memicingkan salah satu matanya, “kenapa?”
“Anggap aja kita nggak pernah ketemu. Oke?” balas Jihoon.
Guanlin meloloskan decakan kecewa, kedua tangannya turun perlahan dan masuk ke dalam saku celana seragamnya. Matanya terus terpusat pada satu titik, membalas tatapan tajam Jihoon dengan tatapan yang sedikit teduh.
Ujung bibir Guanlin sedikit terangkat, “i thought, we are friends since a long minutes ago?”
Tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun, Jihoon menggeleng kuat. Mematahkan senyum teduh Guanlin yang kini berganti dengan sebuah ekspresi datar.
“Gue nggak pernah membalas perkenalan lo. So, it's easy enough to forget each other. Tinggal lupain aja kalo hari ini kita pernah ketemu dan pernah ngobrol bareng, nggak susah 'kan?”
Guanlin berdecak, “ya, nggak bisa begitu lah!”
“Bisa. Lupain semua yang udah terjadi hari ini. Oke?”
Guanlin terdiam. Matanya terus berusaha untuk menyelami tatapan tajam Jihoon yang perlahan-lahan meredup. Jujur, Guanlin nggak tau apa yang bikin Jihoon mendadak jadi kayak begini? Nyuruh dia untuk lupain semua yang udah terjadi hari ini? Setelah Guanlin dengan murah hati menyelamatkannya dari hinaan Samuel, sahabatnya, yang Guanlin yakin setelah ini ia akan menjadi bahan candaan semua teman-temannya? Wow, Jihoon.
Jadi, pertolongan yang ia berikan pada sosok yang sejujurnya sudah menjadi pusat atensinya sejak satu tahun lalu itu hanya dianggap sebagai angin lalu?
Guanlin menghirup oksigen dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Guanlin mengangkat kepalanya, mengarahkan dagu panjangnya ke arah pintu. Dan tanpa memutuskan kontak mata mereka, Guanlin berucap,
“Pergi.”
Jihoon mengedipkan matanya berulang kali saat kata 'pergi' yang terdengar begitu datar terucap dari mulut Guanlin. Dan hatinya mencelos saat pada akhirnya Guanlin memutus kontak mata keduanya, lalu berbalik untuk kembali melangkah ke tempat yang tadi sempat mereka duduki bersama. Meninggalkan Jihoon yang kini hanya bisa memandang punggung tegap itu.
Jihoon menelan salivanya, lalu berbalik dan kembali melangkah untuk meninggalkan rooftop, juga meninggalkan Guanlin yang untuk ke sekian kalinya, ia patahkan hatinya, tentu tanpa pernah Jihoon ketahui fakta itu sedikitpun.
※※※
“Bagi, kek! Pelit amat!”
Guanlin memutar jengah bola matanya saat Samuel menubruk tubuhnya yang tengah duduk di bangku panjang warung Bu Inah. Puntung rokok yang sedang dihisapnya nyaris saja jatuh kalau ia tak cukup kuat untuk menahan bobot tubuh Samuel yang kini duduk di sampingnya, sambil mengambil satu puntung rokok utuh dari kotaknya.
“Koreknya, Lin!”
“Anjing, semua-muanya minta!” balas Guanlin, yang tetap aja ujung-ujungnya merogoh saku jaket denimnya dan mengambil korek api gas dari dalam sana.
Guanlin melempar korek api gas itu pada Samuel, dan dengan sempurna Samuel dapat menangkap lemparan korek api gas milik Guanlin.
Keduanya terdiam, Samuel sibuk untuk membakar puntung rokok hasil malak dari Guanlin, dan Guanlin sendiri sibuk untuk memandang ke arah jalan raya di depan warung yang menjadi satu-satunya akses untuk dapat masuk ke lingkungan sekolah.
Guanlin menghisap dalam rokoknya, lalu menghembuskan kepulan asap dari mulutnya. Melakukannya secara terus menerus, dan baru berhenti saat merasa ada sesuatu yang sedang melakukan pelecehan terhadapnya.
Guanlin menoleh ke arah kiri dan benar saja, Samuel sedang memasukkan kembali korek api gas yang dipinjamnya ke dalam saku jaket denim yang melekat pada tubuh Guanlin ditambah dengan sedikit colekan dan ekspresi menjijikkan.
Dengan sengaja, Guanlin menghisap kembali rokoknya dan menghembuskan kepulan asap tepat di depan wajah Samuel.
“Mesum lu, goblok!”
Samuel hanya bisa tertawa saat melihat raut acuh Guanlin. Bersahabat dengan Guanlin sejak usia mereka masih sebelas tahun, membuat Samuel cukup mengerti kalau sahabatnya sedang dalam keadaan yang tidak begitu baik.
Itulah kenapa, Samuel sengaja mengerjai Guanlin barusan. Demi membangkitkan mood sang sahabat yang baru ia temui lagi setelah Guanlin dua hari membolos sekolah, terhitung sejak sahabatnya itu membawa lari si Culun anak dua belas IPA tempo hari.
Samuel mulai menghisap puntung rokoknya sendiri, dan ikut menatap ke arah jalan raya sama seperti yang sedang Guanlin lakukan.
Langit tampaknya sedang berduka, karena sejak semalam hujan terus turun dan menyisakan gerimis yang cukup besar saat ini.
Samuel meloloskan kepulan asap dari mulutnya, “eh, jing,”
Guanlin mengangguk acuh tak acuh, menjawab panggilan Samuel.
“Lo masuk 'kan hari ini?”
Tanpa menoleh, Guanlin menjawab pertanyaan Samuel. “Ya nggak lah, goblok. Gue nggak make seragam. Lagian, kayaknya gue udah selesai dari sekolahan. Bolos dua hari, tapi gue juga bingung kenapa nggak ada panggilan dari kepala sekolah. Harusnya sih dapet es'pe terakhir, abis itu bye.” yang disusul dengan meluncurnya kepulan asap tebal dari mulutnya.
“Yaiyalah nggak ada panggilan, orang gue bikin surat sakit jadi-jadian atas nama lo.”
Guanlin menolehkan kepalanya, dan nyaris saja ia menyemprot Samuel dengan kepulan-kepulan asap lain saat mendapati Samuel kini tengah menatapnya sambil berkedip dan juga tangannya yang ia letakkan dibawah dagu, membuatnya terlihat seperti salah satu personil dari grup perempuan yang menyanyikan lagu you are beautiful, beautiful, kamu cantik apa adanya~
Namun tak jadi. Guanlin hanya berdecak menajiskan tingkah Samuel yang kadang suka terlalu absurd kayak tadi. Guanlin berbalik, mengambil satu gorengan yang ada di atas meja warung lalu memasukkannya ke dalam mulut.
“Tumben lo baik?” tanya Guanlin.
“Nggak ikhlas gue kalo lo kena drop out. Temen gue yang otaknya agak bener kan cuma lo doang. Woojin, Haknyeon, Jinyoung mah nggak ada otak semua. Nggak bisa diharapin.” jawab Samuel yang membuat Guanlin nyaris aja tersedak gorengan yang sedang dimakannya karena sibuk ketawa.
“Nggak boleh gitu, HAHAHAHA ya tapi bener juga, sih.”
Samuel mengambil satu cabai rawit dari nampan yang berisi gorengan di belakangnya, lalu melempar cabai tersebut pada Guanlin. Mau nggak mau, Guanlin pun berhenti ketawa.
Sambil melanjutkan kunyahan gorengan di mulutnya, Guanlin membalas, “makasih ya, nyet.”
Samuel nggak menjawab ucapan terima kasih Guanlin dengan suara. Ia hanya mengangguk sambil terus menikmati puntung rokoknya yang sudah sisa setengah.
Kepulan asap lain meluncur dari mulut Samuel. “Lin, emangnya kenapa lo bolos dua hari kemarin?”
“Nggak ada mood sekolah.” balas Guanlin.
“Dasar ya anak sekolah jaman jigeum harus ada mood dulu kalo mau sekolah. Ck.”
Guanlin cuma tersenyum kecil saat sindiran secara halus itu terucap dari mulut Samuel. Mau jujur, pasti nanti diketawain. Ya masa iya sih, Guanlin harus jujur kalau dia bolos dua hari karena mau menghindar dari Jihoon? Ck, alasan anak esde yang baru ngerasasin cinta monyet banget.
Puntung rokok milik Samuel hanya tersisa sepanjang satu setengah sentimeter. Samuel melemparnya ke bawah, lalu menginjaknya sampai percikan apinya mati.
“Satu lagi, Lin.”
Dengan cepat, Guanlin mengambil kotak rokoknya dan menjauhkannya dari Samuel.
“Bentar lagi bel masuk, bodoh!”
Samuel mendengus, “mabal nih kayaknya.” ucapnya, yang langsung dibalas gaplokan cukup keras di kepalanya.
“Kagak ada mabal-mabal!”
“Ya daripada lo sendirian disini? Memperjelas status jomblo banget, mas?” balas Samuel.
Ya iya, bener juga sih. Daripada sendiri, lebih baik berdua, ya nggak?
Setelah kembali mendengus memikirkan nasib rokoknya yang tersisa tiga batang, Guanlin pun menyerah dan mengambil satu lagi puntung rokok untuk Samuel.
“Bulan depan gantiin sebungkus!”
Samuel berdecak, setelah menerima satu puntung rokok beserta korek api gas dari Guanlin. Ia menjepit puntung rokok pemberian Guanlin diantara belah bibirnya, lalu dengan gentle nya ia membakar ujung puntung rokoknya.
“Ini masih awal bulan, nyet.” ucapnya, sambil melakukan pengepulan asap, juga sambil mengembalikan korek api gas milik Guanlin.
“Sekalian sama korek-koreknya.”
“Iya elah nanti gue kadoin rokok sama korek-koreknya buat lo pas Valentine.” jawab Samuel.
Guanlin cuma terkekeh mendengar jawaban Samuel. Pandangannya masih lurus ke depan, menatap beberapa anak sekolah yang lari-lari dengan atau tanpa payung untuk segera sampai ke dalam lingkungan sekolah.
Tangannya bergerak untuk mengambil satu gorengan lagi, dan Guanlin mulai asik menikmati gorengan keduanya.
“Mumpung gue inget, gue mau nanya.”
Guanlin terdiam, menunggu kalimat apa lagi yang akan terucap dari mulut Samuel, sambil melirik sahabatnya itu lewat ekor matanya.
“Tempo hari, lo bawa si Cupu kemana?”
Guanlin menelan salivanya dengan susah payah. Sial, kenapa harus ada pembahasan sejenis ini, sih?
Mencoba cool, Guanlin pun menjawab pertanyaan Samuel dengan santai. “Nggak gue bawa kemana-mana.”
“Bocah ngebo'ong... Lo ngajak dia bolos, 'kan? Si Cupu dicariin sama Pak Daniel. Katanya, dia nggak masuk kelas berikutnya.” balas Samuel.
Pak Daniel?
Mencium bau-bau kepo, Samuel pun kembali membuka mulutnya. “Guru fisika magang, gantiin Bu Kahi yang lagi hamil.”
Guanlin merespon jawaban Samuel dengan lirihan pelan dan juga dengan mulutnya yang membentuk huruf 'O'.
“Lo bawa kemana si Cupu?”
“Nggak gue bawa kemana-mana, cuma gue obatin aja, mukanya ke gores sedikit.”
Bohong.
Guanlin menghela pendek nafasnya, “gue males ngebahas dia. Nggak usah nanya-nanya soal dia lagi.” sambung Guanlin.
Samuel cuma mengangguk aja, dan Guanlin kembali sibuk mengunyah gorengannya.
Keduanya kembali terdiam, Samuel kembali menatap ke arah depan, sama seperti apa yang dilakukan Guanlin. Eh, nggak sama deh. Samuel menatap ke depan dalam keadaan sadar, nah Guanlin menatap ke depan dalam keadaan setengah sadar, alias bengong.
“Eh, Lin! Itu bukannya si Cupu?”
Guanlin seolah sadar dari lamunannya saat Samuel memukul bahu kirinya dengan keras. Guanlin berusaha mencari sosok yang dimaksud Samuel, dan benar aja dari arah kanan Jihoon tengah berlari, tetap sambil menunduk, dan dengan tangan yang memegang tas ranselnya berusaha untuk melindungi kepalanya dari tetesan air hujan yang semakin deras.
Guanlin memasukkan sisa gorengannya ke dalam mulut Samuel, lalu berdiri dan berlari ke arah dapur warung untuk mencari payung.
Setelah menemukan payung bergambar hello kitty yang ia yakini adalah milik anak perempuan Bu Inah yang masih berusia 6 tahun, Guanlin pun berteriak cukup keras untuk menyaingi suara hujan, “Ibu, payungnya si adek Guanlin pinjem dulu, ya?!”
Tanpa menunggu jawaban Bu Inah, Guanlin pun langsung berlari keluar warung sambil berusaha membuka payung hello kitty tersebut.
Guanlin memperlambat langkahnya dan berhenti tepat di depan Jihoon yang masih saja menunduk. Tanpa sadar, bibirnya terangkat untuk mengukir seuntai senyum tipis saat melihat Jihoon tampak kaget dan terpaksa berhenti berlari kecil.
Jihoon tak mengenali model sepatu yang kini sedang ia tatap. Jadi, Jihoon mengangkat pandangannya untuk melihat siapa orang yang mau berbaik hati memayungi dirinya saat ini.
“Hehe, hai?”
Dalam hati, Jihoon merutuki kebodohan Guanlin yang seolah tak ada kapoknya untuk mendekatinya.
Jihoon menghela panjang nafasnya, lalu bergeser ke kiri untuk kembali melangkah melewati Guanlin bersama payung hello kitty-nya. Namun, gerakan Jihoon terpaksa harus berhenti dan berbalik arah saat tanpa izin darinya, Guanlin menarik tangannya menuju warung yang ada di seberang sekolah.
Well, seperti pertemuan pertama mereka beberapa hari yang lalu, Jihoon ingin sekali melawan, namun tak bisa. Dan akhirnya, Jihoon pun pasrah saat Guanlin membawanya masuk ke dalam warung, dan menuntunnya untuk duduk di samping seseorang yang dari sepatunya saja Jihoon sudah tau, siapa orang itu.
Guanlin melangkah masuk ke dalam dapur, dan mengembalikan payung yang tadi dipinjamnya. Setelah itu, Guanlin melangkah menghampiri Jihoon yang duduk berdampingan dengan Samuel yang kini menatapnya dengan tatapan bingung.
Guanlin menempelkan jari telunjuknya di depan mulut, memberikan tanda pada Samuel untuk diam dan tak melayangkan pertanyaan apapun untuk saat ini.
Tentu Guanlin punya alasan kenapa ia menyeret Jihoon kesini. Lihat, seragam yang dikenakan pemuda manis berkaca mata tebal itu basah kuyup dan tidak memungkinkan keadaannya untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar hari ini. Dan juga, lihat, tubuh berisi itu tampak bergetar menahan dingin, bibir mungil itu juga tampak bergetar meskipun Guanlin hanya dapat melihatnya dari samping.
Guanlin melepas jaket denim yang dipakainya, lalu memasangkan jaket itu pada tubuh basah Jihoon. Seperti biasa, Jihoon tetap diam sambil menunduk. Berusaha untuk mengabaikan seluruh perlakuan lembut Guanlin yang kembali membuat jantungnya berdegub tak karuan.
Jihoon menahan nafasnya saat Guanlin mendudukkan tubuhnya tepat di sampingnya, dengan posisi yang amat dekat. Dan Jihoon harus menahan nafasnya lebih lama lagi, saat tangan Guanlin terulur untuk melepas kacamatanya yang basah karena air hujan.
Guanlin meraih tisu dari atas meja, lalu mengelap kacamata Jihoon sampai kering. Ia meletakkan kacamata itu di atas meja, tepat di depan Jihoon, lalu tangannya terulur untuk mengambil tisu yang lain.
Dan sial sungguh sial, ternyata Jihoon masih harus menahan nafasnya jauh lebih lama lagi saat kini satu tangan Guanlin menangkup sisi kanan wajahnya, dan menuntun kepalanya yang tertunduk itu untuk menghadap ke arahnya.
Jihoon tak sengaja meloloskan cekatan nafasnya, saat secara lembut Guanlin mengangkat wajahnya dan membuat mata mereka kembali beradu tatap.
Guanlin tersenyum, dan mulai mengusap wajah Jihoon yang basah menggunakan tisu. Demi Tuhan, jarak wajah mereka terlalu dekat dan Jihoon ingin sekali mendorong Guanlin menjauh namun apa daya lagi dan lagi, ia tak mampu.
Hatinya bergemuruh menggumamkan nama Daniel, Daniel, dan Daniel.
Bagaimana kalau Daniel mengetahui keberadaanya disini? Bagaimana kalau Daniel melihat semua perlakuan manis Guanlin padanya saat ini? Bagaimana kalau Daniel tak akan tinggal diam?
Rasanya, ingin sekali Jihoon memutuskan kontak mata mereka, namun entah mengapa rasanya Guanlin seolah sedang mengunci tatapannya sampai-sampai untuk sekedar berpaling sedikitpun ia tak bisa.
Jangan bahayain diri lo sendiri, Guanlin bodoh!
Ya, gimana nggak bodoh, sih? Jihoon pikir, setelah ia melayangkan gertakan agar Guanlin mau menjauhinya tempo hari, Guanlin akan benar-benar memenuhi permintaannya. Tapi, apa? Seminggu bahkan belum berlalu, dan Guanlin sudah duduk di hadapannya lagi saat ini.
“Udah manis.”
Jihoon mengedipkan matanya saat kesadarannya baru saja kembali. Guanlin masih menatapnya dengan teduh, dan jangan lupakan senyumnya yang begitu lembut. Uh, bisakah Guanlin berhenti? Karena semua perlakuan lembutnya benar-benar mampu membuat Jihoon merasa seolah ia berada pada dimensi yang lain.
Dan ini, sama sekali nggak baik. Ini salah.
Jihoon kembali menuntun kepalanya untuk menunduk, karena bagaimanapun juga disini ada Samuel, orang asing yang tak boleh melihat sisi dirinya yang lain seperti Guanlin yang justru sudah melihat langsung sisi diri Jihoon yang berbeda itu.
Ya, cukup Guanlin aja yang tau.
Namun, saat kepalanya belum seratus persen tertunduk, Jihoon harus kembali mendongak karena Guanlin kembali menangkup wajahnya dan mata mereka kembali saling beradu tatap.
Guanlin masih tetap tersenyum, dan itu berhasil menelan habis doktrin harga mati yang sudah dua tahun ini selalu memenuhi kepala Jihoon.
Jihoon tak bisa lagi seperti dulu.
Jihoon sadar akan satu hal,
Ia sudah kalah.
“Udah gue bilang 'kan, jangan nunduk melulu.” ucap Guanlin, sambil menyelipkan helai demi helai rambut Jihoon pada daun telinganya.
Ucapan Guanlin begitu lembut, dan tanpa sadar, kedua ujung bibir Jihoon terangkat. Seulas senyum manis terbit di wajahnya yang selama ini selalu tertunduk, tapi kini terangkat dan berani untuk menatap Guanlin dari jarak yang begitu dekat.
Di luar hujan, tapi disini Guanlin merasa ada matahari yang justru sedang bersinar terang.
Itu adalah senyum pertama Jihoon, setelah hampir dua tahun ini ia merasa bahwa dunianya sudah terjebak di bawah kata fana dan di dalam gelap yang sangat gulita.
“Ehm!!! Ngontrak!!!”
Cepat-cepat Jihoon berusaha untuk menunduk saat suara cempreng Samuel menghancurkan momen keduanya, namun tangan besar Guanlin lebih dulu mengangkat kembali dagunya dan Jihoon hanya bisa menatap Guanlin dengan tatapan yang sulit diartikan.
Guanlin menggeleng, “jangan kebiasaan nunduk, nggak ada recehan di bawah sini. Seratus perak aja, bakal diumpetin sama si Ibu.”
“Wah, apaan nih kok bawa-bawa Ibu?”
Ketiganya menoleh saat mendengar suara lembut khas perempuan bergabung diantara mereka.
“Eh, nambah ya personilnya? Yah, Ibu cuma bikin teh hangatnya dua gelas.” Bu Inah menunjukkan raut sedih saat memperlihatkan bahwa hanya ada dua gelas berisi teh hangat untuk Guanlin dan juga Samuel.
Tak mau keduluan, Samuel pun berdiri untuk mengambil jatah teh hangatnya sebelum Guanlin memonopoli dua gelas teh hangat itu untuk dirinya sendiri dan juga si Cupu.
Namun, sungguh naas nasib pemuda tampan itu saat tangan besar Guanlin lebih dulu merampas dua gelas teh hangat buatan Bu Inah sebelum Samuel sempat menyentuh ujung gelas tersebut.
“Anjing,” umpat Samuel yang langsung dihadiahi dampratan yang cukup keras yang berasal dari kain lap yang biasa dipakai Bu Inah untuk membersihkan meja di warung.
Tanpa sadar, Jihoon tertawa kecil melihat kelakuan Samuelㅡ sosok yang sempat menghinanya beberapa hari lalu.
“Kalian tuh ya udah gede masih aja berantem... Pusing Ibu tuh!”
Dan tawa Jihoon semakin lebar saat mendengar ocehan Bu Inah yang sama persis seperti ocehan seorang ibu yang sedang memarahi anak-anaknya. Ya, setidaknya Jihoon tau hal seperti itu dari drama-drama Korea yang pernah ia tonton.
Tawa Jihoon terhenti saat belah bibirnya merasakan sesuatu. Jihoon menoleh, mendapati Guanlin sedang tersenyum sambil menusuk-nusuk bibirnya dengan sedotan. Jihoon membalas senyum Guanlin sesaat, lalu membuka belah bibirnya untuk memasukkan sedotan itu ke dalam mulutnya dan mulai meminum teh hangat buatan Bu Inah.
Sambil terus memegang gelas teh yang sedang diminum Jihoon, Guanlin menggeser gelas yang satunya ke sisi Samuel. Guanlin melirik Samuel sesaat, “najis, gitu doang nangis!”
Samuel hanya bisa memutar malas bola matanya, dan tangannya terulur untuk mengambil gelas teh yang disodorkan oleh Guanlin, dan mulai meminum teh hangatnya.
Samuel kembali memusatkan fokus netranya pada jalanan di depan warung. Hujan sudah tak lagi turun sederas tadi, dan pagar utama sekolah sudah ditutup setengah oleh Pak Satpam. Itu artinya, segala aktivitas di sekolah akan dimulai sebentar lagi, dan sepertinya akan ada toleransi bagi siswa ataupun siswi yang terlambat, karena hari ini cuaca sedang kurang mendukung.
Samuel melirik jam tangan hitam yang melingkari pergelangan tangan kirinya, dan benar saja waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi.
Maunya sih, Samuel terus menatap lurus ke depan walaupun di luar sana nggak ada hal menarik sama sekali, tapi sialnya ekor matanya tak bisa diam dan ia harus mengakui kekalahan saat iris matanya menang dan kembali atensinya terfokus pada sahabatnya yang entah sejak kapan menjadi sedekat ini dengan si Cupu.
Bukan maen, beneran kayak orang yang lagi jatuh cinta.
Ya, gimana nggak mau dibilang kayak orang yang lagi jatuh cinta? Nah itu pas banget di depan matanya, Guanlin tengah menunduk memposisikan wajahnya agar berada di posisi yang lebih pendek dari Jihoon. Sepasang mata yang nggak pernah selembut itu setiap diajak beradu pandang, kini menyalurkan kehangatan dan rasa aman pada lawan interaksinya.
Samuel pengen banget nanya sama Guanlin tentang banyak hal, tapi kayaknya sekarang bukanlah waktu yang tepat.
Dan lagi, Samuel nyaris aja tersedak air tehnya saat melihat betapa lembutnya Guanlin membantu Jihoon untuk memakai kembali kacamata culunnya.
Samuel cuma bingung aja. Bingung mikirin, kapan mereka berdua jadi deket? Dan, kenapa si Cupu bisa rileks banget kalau lagi sama Guanlin? Bukannya, biasanya si Cupu ini bakalan langsung lari setiap ada orang asing yang berusaha ngajak dia ngobrol?
At least, itu sih yang Samuel tau dari desas-desus yang sering banget dibahas sama anak kelasannya. Pembahasan atau yang lebih pantas disebut gosip, tentang si Cupu yang nggak punya teman satupun di sekolah.
“Eh, ini tuh si Manis yang sering Guanlin ceritain ke Ibu?”
Si Ibu kenapa mendadak jadi kayak jelangkung gini, sih? Suka tiba-tiba datang, abis itu nyamber.
Tiga pasang mata itu langsung terpusat pada Bu Inah yang sedang mengatur letak piring berisi lauk di atas mejaㅡ Samuel dengan tatapan penuh penasaran dan rasa tak percaya, Jihoon dengan tatapan penuh rasa terkejut, dan Guanlin dengan tatapan 'Ampun deh, si Ibu kenapa licin bener mulutnya?', berhasil membuat Bu Inah terkekeh.
Bu Inah menatap tiga anak muda di depannya, lalu terfokus pada Jihoon yang duduk di tengah, sambil sesekali melirik jahil pada Guanlin yang tengah memijat pelipisnya.
“Udah lama sih Guanlin curhatnya, Ibu sampe lupa kapan terakhir Guanlin curhat colongan gitu.”
Guanlin mendesis, “Ibu lemes banget, nggak asik!”
Bu Inah tertawa, “biarin aja, mumpung ada orangnya disini.”
“Dulu sih, Guanlin ceritanya ada anak sekolah yang gayanya culun gitu. Kemana-mana bawa buku, pake kacamata tebel, sepatunya selalu warna item, dan kalo jalan selalu nunduk. Suka diisengin sama temen-temen gitu, tapi nggak ada yang sampe parah banget. Iya 'kan ya, Lin?”
Guanlin cuma diam, tangannya sibuk bermain dengan korek api gas miliknya, dan sama sekali nggak ada niatan untuk sekedar mengiyakan cerita Bu Inah, yang mana semuanya adalah fakta.
Melihat Guanlin yang tampak acuh, Bu Inah pun kembali melanjutkan ceritanya.
“Terus iseng Ibu tanya, siapa namanya, gitu, tapi Guanlin bilang nggak tau. Belom pernah ajak kenalan.”
Jihoon melirik Guanlin sekilas yang ternyata sedang mengajak ngobrol korek api gas miliknya. Ia menggeleng kecil, lalu kembali menatap Bu Inah yang tampak sedang bersiap untuk melanjutkan ceritanya.
“Terus ya Ibu bilang aja, 'Payah banget sih badan doang gede ngajak kenalan nggak berani', terus dibales sama Guanlin, 'Liat aja Bu, nanti Guanlin bawa orangnya kesini biar bisa kenalan langsung sama Ibu. Eh, beneran dibawa sekarang. Udah dari kelas sebelas tuh anaknya suka cerita tentang kamu, tapi sampe terakhir kali dia cerita, dia belom tau nama kamu dan selalu nyebut kamu si Manis gitu.”
“Eh, aduh kelewatan! Itu pernah satu kali Guanlin cerita, katanya si Manis abis diisengin sama murid nggak tau kelas berapa, terus pulang sekolah Guanlin cegat si orangnya sama si Nico.”
Jihoon memicingkan alisnya, “Nico?”
“Tuh, nama motor bututnya Guanlin.”
Lagi, Jihoon tertawa karena Guanlin.
“Diapain Lin orangnya waktu itu?” tanya Bu Inah.
“Cuma dikentutin doang sama si Nico.” balas Guanlin, yang membuat tiga orang di sekelilingnya tertawa terbahak-bahak.
“Anjing, Lin, Kenapa sih lo? Hahaha.”
Guanlin cuma diam, melihat Jihoon ketawa sepuas ini ternyata bawa kebahagiaan tersendiri ya.
“Iya pokoknya si Guanlin bilang pengen jagain si Manis dari jauh gitu.”
“Oh iya, jadi siapa nih nama asli kamu?” sambung Bu Inah.
Jihoon tersenyum, “Jihoon, Bu.”
Bu Inah mengangguk, “namanya manis sama kayak orangnya, pantesan aja si Guanlin suka teriak michigesseo michigesseo gitu.”
“Yeu emang Ibu tau apaan artinya?” balas Guanlin, tak mau kalah.
“Aku bisa gila, 'kan? Emangnya Ibu gaptek banget apa nggak ngerti gugel translet?”
SKAK MAT.
Padahal Guanlin udah sengaja pakai bahasa Korea ala-ala hasil dari ngekepoin drama yang biasa ditonton sama anak kelasan buat curhat sama si Ibu, eh nggak taunya Ibu gercep juga.
Guanlin cuma bisa menggaruk tengkuknya merasa malu karena baru aja tertangkap basah, namun wajahnya berubah jadi panik pas ngeliat Jihoon mendadak jadi diam. Jihoon juga menunduk lagi, dan Guanlin dapat melihat dengan jelas sepasang telapak tangan mungil milik Jihoon saling meremat kuat.
Guanlin menghela nafasnya, “udah udah, Bu.”
Samuel melirik Guanlin dengan cepat, “Lagi asik juga, Lin!”
“Nggak ada, nggak ada.” balas Guanlin.
Guanlin menyentuh pundak Jihoon, yang mana membuat pemuda manis itu kembali menatap ke arahnya.
“Ji, you okay?”
Jihoon memaksakan seulas senyum tipis di bibirnya, “nggak papa.”
Guanlin mengangguk mengerti, lalu tangannya spontan mengambil gelas teh yang tadi diminum Jihoon yang belum habis sepenuhnya.
Guanlin menyesap sedotan yang beberapa menit lalu berada di dalam mulut Jihoon, lalu menenggak teh hangat itu sampai habis.
Setelah itu, Guanlin berdiri sambil menarik tangan Jihoon dengan lembut. Membuat Jihoon mau tak mau harus ikut berdiri mengikuti gerak Guanlin.
“Sam, mending lo masuk kelas. Sekalian izinin Jihoon ke kelasnya.” ucap Guanlin.
Samuel membulatkan matanya, “seenak jidat banget ya lo kalo ngomong, udah nggak bisa masuk lah jam segini!”
Guanlin mengangkat kedua bahunya acuh tak acuh, “ya gimana kek caranya. Pokoknya bilang sama anak kelasnya, Jihoon sakit.”
“Linㅡ”
“Gue mau anter Jihoon balik. Seragamnya basah kuyup, daripada Jihoon sakit beneran nantinya.”
Lagi, Jihoon nggak bisa melakukan pembelaan apa-apa.
Ia pasrah saat Guanlin menarik tangannya mendekat, “bayarin sekalian Sam, besok gue ganti.” dan dalam hitungan detik Jihoon dan Guanlin langsung berlari keluar dari warung.
Meninggalkan Samuel yang lagi sibuk sumpah serapah, dan meninggalkan Bu Inah yang nggak bisa menahan gelak tawanya melihat tingkah Guanlin dan Samuel.
Disini, di dalam genggaman erat Guanlin, Jihoon percaya akan satu hal:
Semuanya akan baik-baik aja. Guanlin, tak selemah itu untuk dibuat kalah oleh Daniel.
Dan Jihoon, percaya pada pemikirannya kali ini.
※※※
Ya, namanya juga Guanlin. Jadi jangan percaya kalau tadi dia bilang mau anterin Jihoon pulang, itu artinya Jihoon mau diajak jalan sama dia.
Dan bener aja, sekarang udah jam 9 malam dan mereka berdua masih duduk di atas jok si Nico yang sama sekali nggak bisa dibawa ngebut.
Jihoon udah nunjukkin arah ke rumahnya sebelum pemuda manis itu jatuh terlelap di bahu kiri Guanlin.
Guanlin melirik Jihoon lewat kaca spionnya, dan tangan kirinya bergerak untuk melepas kacamata yang masih terpasang di sekitar mata Jihoon. Guanlin menyimpan kacamata milik Jihoon di dalam saku celananya, lalu kembali fokus untuk pada jalanan yang masih cukup ramai.
Rumah bernomor 29, pada belokan ketiga dari gerbang utama. Guanlin menghentikan laju motornya, dan berusaha untuk membangunkan Jihoon. Ah, Jihoon pasti lelah setelah seharian ia ajak bermain di zona waktu.
Tak tega harus mengganggu tidur pemuda manis itu, Guanlin akhirnya merengkuh tubuh Jihoon dan secara perlahan berusaha untuk menggendongnya di belakang.
Guanlin berhenti tepat di depan pintu utama rumah Jihoon. Salah satu tangannya terangkat untuk menekan bel, dan tak perlu waktu lama, pintu yang ada di depannya bergerak terbuka.
“Malㅡ”
BUGHH!
“Daniel!”
Beruntung, Jihoon lebih dulu terbangun sehingga ia tak ikut jatuh tersungkur akibat pukulan Daniel yang begitu kuat.
Daniel melangkah menarik kaos polos yang dipakai Guanlin, dan bersiap untuk mendaratkan satu kali lagi pukulan di wajah Guanlin yang tampak memerah.
“Berani-beraninyaㅡ ”
PLAK!
“Jihoon,”
“Aku benci sama kamu!”
“Lin, ayo bangun,”
“Masuk atau kamu akan tanggung akibatnya, Park Jihoon,”
“Pergi, Lin.”
Guanlin mencoba bangun untuk meraih tangan Jihoon, namun Jihoon lebih dulu melangkah mundur menghindari sentuhannya.
“Ji,”
“GUE BILANG PERGI!!!”
Dan ini adalah kali pertama, Guanlin melihat Jihoon menangis.
“Lupain semua yang udah terjadi hari ini. Anggap aja, kita nggak ketemu hari ini.”
Ya, doktrin harga mati itu kembali lagi.
“Janji untuk nggak akan temui gue lagi.”
Ji,,,
“Bye.”
Suara pintu dibanting menyadarkan Guanlin dari rasa tak percayanya. Jihoon pergi, tanpa mengulurkan pertolongan seperti apa yang dilakukan Guanlin pagi tadi, saat hujan.
Jihoon, akan selalu membuangnya di akhir.
.
.
.
.
.
ENIGMAㅡ CHAPTER 3 BAGIAN 1 ENDED.
.
.
.
.
.
How's it? ^_____^
Mau Sad ending atau Happy Ending buat chapter 3 ini?
See you next time!
ⓒ hoonxian
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro