🌵Bab 7🌵
JUNA berkacak pinggang. Pandangannya tertuju pada Anggita yang menatap pria itu datar.
"Kamu bener masih 18?" tanya Juna masih tidak percaya.
Anggita menghela napas malas. Mengeluarkan dompet tipisnya, lalu mencari-cari KTP untuk ditunjukkan pada pria paruh baya tersebut. "Pak Juna cek sendiri aja."
Juna dengan cepat menerima KTP dari tangan Anggita. Memeriksanya singkat, lalu mengembalikannya. Mengusap wajahnya yang kebas, pria berkemeja putih itu tak habis pikir. Ia mengira usia Anggita tak jauh beda dengan adiknya, Dewi. Selain karena sikap gadis itu yang tenang dan tampak dewasa, Juna sendiri tidak bisa merasakan aura remaja darinya.
Belum sempat berkomentar, fokus Juna teralih pada sebuah mobil bercat hitam yang merapat ke bahu jalan. Seseorang keluar dengan kemeja cokelat. "Pak Juna?" sapanya setelah berlari kecil menghampiri pria berkemeja putih tersebut.
"Loh, Alex? Kamu nggak di kantor?"
Pemuda bernama Alex itu menggeleng. "Saya baru mau berangkat, Pak. Tadi Bu Fera kasih pesen ke saya buat beli beberapa barang buat keperluan rapat." Alex menunjuk mobilnya yang terparkir.
"Mobil Pak Juna kenapa?"
"Mogok. Saya lagi nunggu montir." Mendadak sebuah ide muncul di kepala Juna. "Kamu bisa jagain mobil saya, nggak? Biar saya yang bawa mobil kamu ke kantor. Bentar lagi ada rapat penting. Barangnya biar saya yang bawa."
Alex melirik mobilnya sejenak, lalu kembali menatap Juna. "Kalau saya sih nggak keberatan asal nanti Bu Fera tahu. Cuma setelah ini saya juga masih ada barang yang harus dibeli, Pak."
Juna menghela napas. Melirik arloji di pergelangan, lalu beralih menatap Anggita yang masih diam menyimak percakapan.
"Anggita, kamu buru-buru berangkat ke kampus?"
Anggita menggeleng. Dia cukup longgar pagi ini. Alasannya berangkat lebih awal karena ia tidak mau berlama-lama di rumah dengan Mamanya.
"Pak Juna mau saya anter?" tawar Anggita seolah mengerti situasi. Pria berkemeja putih itu sedang buru-buru, tapi juga tidak bisa meninggalkan mobilnya.
Tanpa diduga, pria itu mengangguk. Mengeluarkan ponsel dan menelpon seseorang. Setelah beberapa obrolan, panggilan ditutup. Juna kini melirik Alex yang masih berdiri menunggu.
"Alex, tolong kamu tunggu di sini sebentar sampai Pak Parjo datang. Barang yang kira-kira dibutuhin banget kasih ke saya, biar saya bawa ke kantor sekarang. Dan Anggita, mungkin ini agak ngerepotin, tapi tolong anterin saya ke kantor. Kampus kamu nggak jauh dari kantor saya, 'kan?"
Anggita tidak tahu letak kantor Juna secara pasti. Namun, mengingat dia masih satu fakultas dengan Dewi, kemungkinan dugaan pria itu benar.
Alex dan Anggita mengangguk serempak. Pemuda berkemeja cokelat itu segera berjalan menuju mobilnya, lalu mengeluarkan beberapa kantong plastik dan menyerahkannya pada Juna.
"Saya atau kamu yang di depan?" tanya Juna memastikan.
Anggita dengan cepat langsung menjawab, "Saya di depan."
Juna awalnya tidak menyangka akan dijawab demikian. Namun, mengingat posisinya sebagai "penumpang", pria itu tidak bisa menolak. Tidak mau berlama-lama, Juna segera naik ke atas motor matic milik Anggita. Memangku kantong plastik yang cukup besar dengan perasaan kurang nyaman.
Alex yang menyaksikan hal itu hanya bisa menahan tawa. "Kalau gitu saya pergi dulu. Titip mobil saya," ujar Juna pada pemuda itu.
Alex mengangguk sekilas. "Siap, Pak."
Setelahnya, Anggita mulai menyalakan mesin dan melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
"Kamu bener nggak papa nganter saya?" seru Juna berusaha menandingi kecepatan angin.
Anggita balas berseru, "Nggak papa, Pak! Saya malah seneng." bisa bantuin saudara Kak Dewi. Hitung-hitung balas budi.
Mata Juna seketika mengerjap bingung. Eh? Apa?
***
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro