Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🌵 Bab 6🌵

ANGGITA menghela napas panjang. Menatap tumpukan kado yang ia bawa susah payah dengan sepeda.

"Dari mana aja kamu?" tanya seorang wanita paruh baya di kursi teras.

Anggita menoleh. "Habis ngajar privat, Ma," jawabnya seraya menurunkan plastik besar berisi kado dari Dewi dan teman-temannya.

"Itu apa?" Mira, nama wanita itu, bertanya lagi. Kali ini dengan tatapan penuh selidik.

Gadis berjaket merah itu tersenyum sekilas. "Kado dari temen-temenku. Hari ini aku ultah, Ma."

Alis Mira menukik sebelah. "Kamu punya temen?"

Sesaat Anggita bisa merasakan jantungnya ngilu. Pertanyaan itu benar-benar membuatnya membisu. Tak berniat menjawab, Anggita hanya meringis kecil lalu melangkah masuk ke dalam rumah.

"Kamu belajar sopan santun dari siapa? Mamanya berdiri di sini tapi nggak disalami."

Anggita menelan ludah. Melirik sosok berdaster itu dengan tatapan datar lalu mencium tangan sang ibu dengan perasaan kalut.

Mira mendengkus pelan. Menarik tangannya cepat setelah kening Anggita menempel di punggung tangannya. "Kita udah makan duluan tadi. Kamu nanti beresin mejanya kalau udah makan. Mama capek." Tanpa berniat mendengarkan komentar sang anak, Mira melangkah pergi menuju kamar. Membiarkan Anggita berdiri di ambang pintu dengan raut muka sendu.

Gadis berjaket merah itu kini melangkah menuju ruang makan. Menatap nanar meja dengan piring dan makanan sisa. Sejenak Anggita bersyukur karena perutnya sudah terisi, jadi dia tidak sekesal biasanya. Anggita mengusap matanya yang berair. Bergegas membereskan meja sebelum Mira menegurnya lagi.

***

"Sial," desis Juna memukul setir. Mobilnya tiba-tiba berhenti, sementara pria itu harus segera tiba di kantor sebelum rapat dimulai.

Tidak perlu berpikir panjang, Juna keluar dari mobil dan mengecek apa ada yang salah dengan benda bercat putih itu. Tidak ada yang salah dengan ban. Alis Juna kian menukik saat menyadari asap keluar dari mesin depan mobil.

Memijat pelipisnya yang berdenyut, Juna segera mengeluarkan ponsel dari saku. Menghubungi sekretarisnya yang kemungkinan besar menunggu pria itu.

"Halo, Fera. Mobil saya mogok di jalan, jadi kemungkinan nggak bisa hadir tepat waktu."

Setelah memastikan Fera mengerti, pria itu segera menutup panggilan. Beralih mencari kontak jasa asuransi.

"Pak Juna?"

Suara itu.

Juna urung menekan tombol panggil saat suara yang terdengar tidak asing itu menegur. Pria berkemeja putih itu berbalik. Terlihat seorang perempuan dengan jaket merah mengenakan helm. Gadis itu menghentikan motor matic-nya ketika mendapati Juna tampak resah di pinggir jalan.

"Kamu?"

Kaca helm dibuka. Menampilkan wajah dengan ekspresi datar  Anggita. "Saya Anggita. Masih ingat?"

Juna mengangguk patah. Merasa bingung kenapa gadis ini berhenti.

"Mobil Bapak mogok?" tanya Anggita lagi. Sebenarnya gadis itu enggan menegur atau menolong Juna. Namun, karena mengingat kebaikan saudaranya, Dewi dan Bima, Anggita merasa tak enak hati mengabaikan pria itu saat tengah kesulitan.

"Iya. Saya lagi mau telpon jasa asuransi. Kamu mau kuliah?" tanya Juna balik. Ia mendadak merasa canggung mengingat obrolan terakhir mereka cukup menyinggung gadis berambut pendek tersebut.

Anggita mengangguk, lalu melongok mengintip bagian depan mobil Juna yang samar mengeluarkan asap. "Kok nggak dibuka?"

Juna tersentak. Ia segera berjalan dan membuka kap depan mobil hingga semburan asap mengenai wajahnya. Pria itu terbatuk seraya mengibaskan tangan di depan muka.

Melirik arloji di pergelangan, Juna segera menekan tombol panggil di layar ponsel.

Anggita yang melihat hal itu hanya bisa diam mengamati. Masih belum berniat pergi sebelum memastikan pria itu menyelesaikan masalahnya.

Setelah bercakap-cakap sejenak, Juna menutup telepon dan melangkah mendekat pada Anggita yang masih setia duduk di atas motor.

"Mereka mau ngirim montir ke sini."

Anggita mengangguk singkat. Masih belum berniat beranjak.

Juna berkacak pinggang. "Kamu nggak berangkat?"

Tersentak, gadis itu menggeleng. "Kantor Bapak di mana?"

Alis Juna berkedut saat mendengar kata "bapak" dari mulut Anggita. "Tolong jangan panggil saya Bapak."

Gadis itu memiringkan kepalanya bingung. "Terus saya panggil apa? Kak? Mas? Bang? Kayaknya nggak sesuai sama usia Bapak."

Juna bisa merasakan pelipisnya mulai berdenyut. "Panggil aja Juna. Atau apapun yang penting bukan Bapak. Saya masih 35," ujarnya berusaha sabar.

"Tapi saya masih 18, Pak."

Mulut Juna mendadak terbuka. Sejenak pria itu tidak bisa berkata-kata.

"Ha?!"

***

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro