🌵Bab 5🌵
JUNA melangkah menyusuri lorong menuju ruang kerja. Pria itu mengangguk saat tak sengaja bertemu Fera di tengah jalan. Sosok berkemeja putih dengan rok span biru itu balas mengangguk. Mensejajari langkah Juna seraya mengapit sebuah dokumen.
"Kamu udah atur semuanya?" tanya Juna memasukkan telapak tangan ke saku.
"Sudah, Pak. Kemungkinan akan ada sedikit kendala nanti."
Alis Juna mengernyit. "Kendala apa?"
"Investor baru yang katanya mau datang tidak bisa hadir. Jadi mereka kirim perwakilan, Pak."
Juna bergumam sejenak. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu ruang kerjanya. Pria itu menoleh pada Fera yang memasang wajah datar seperti biasa. "Kamu bisa kirimkan data perwakilannya ke email saya nanti?"
Fera mengangguk. "Bisa, Pak. Akan langsung saya kirim."
Juna tersenyum sekilas. Selanjutnya pria itu mengizinkan sang Sekretaris untuk melanjutkan tugasnya. Setelah punggung Fera menghilang dari balik lorong, pria berkemeja cokelat itu segera masuk ke dalam ruangan.
Sebuah meja dengan sedikit barang menyambutnya. Menghela napas, Juna melangkah menuju kursi dan mengempaskan tubuh di sana. Pria itu mendongak menatap plafon ruangan. Teringat soal Fera yang memanggilnya "Pak" tetapi ia sama sekali tidak merasa tersinggung dibanding dengan Anggita, mentor adiknya yang memanggilnya sama.
Bukan karena tertarik atau apa, Juna merasa sosok Anggita cukup mencurigakan. Pertama, ia seperti pernah mendengar nama "Fang". Sejauh yang dia ingat, nama keluarga itu bukanlah hal bagus dalam memorinya. Tidak sampai di situ, Juna juga dibuat penasaran dengan adiknya yang mau-mau saja mengikuti les privat. Padahal selama ini pria itu tahu, adik bungsunya itu paling anti dengan belajar.
"Ngapain belajar. Toh, yang bakal lanjutin perusahaan Papa Bang Juna," tutur Bima saat pemuda itu saat Juna menegurnya.
Tangan Juna kini bergerak mencari-cari ponsel di saku. Dengan cepat ia mencari nomor kontak adik perempuannya.
"Halo, Bang Juna?"
Juna menegakkan punggung. "Halo, Dewi. Kamu di mana?"
"Di kampus. Lembur ngerjain tugas. Bang Juna udah pulang?"
Juna mengangguk. Walau anggukannya tidak bisa dilihat. Pria itu baru saja kembali dari dinas luar kota. "Iya. Kamu pulang jam berapa? Biar aku jemput."
"Nggak usah, Bang. Aku bisa pulang sendiri. Habis ini mau ngerayain ultah temenku."
Menghela napas, Juna kini menyisir rambutnya ke belakang. "Ada yang mau aku tanyain. Soal Bima," ungkap Juna setelah menimbang beberapa hal. Pria itu akan sulit bertemu Dewi untuk beberapa waktu ke depan selain malam ini.
"Bima? Kenapa dia? Eh, bentar, Bang. Temenku udah pada beres semua. Bang Juna kirim chat aja. Nanti kubales."
Tuut ....
Pipi Juna berkedut. Menatap layar gawainya yang menyala. Enggan mengetik pesan panjang, Juna memilih untuk kembali meraih pena dan menarik salah satu dokumen di rak. Kapan-kapan deh, kutanyain.
***
"Selamat ulang tahun!" seru Dewi heboh. Disambut tepuk tangan teman-temannya. Mereka kini berada di Kafe Senja. Duduk mengelilingi meja bundar di teras kafe. Suasana malam yang cukup ramai karena banyak wisatawan yang datang sejak sore untuk menikmati sunset di tepi pantai.
Anggita mengusap tengkuknya. "Terima kasih," ucapnya merasa tidak enak. Pasalnya, setelah selesai mengajar Bima, perempuan itu tiba-tiba mendapatkan pesan dari seniornya, Dewi, untuk bertemu di Kafe Senja. Awalnya gadis berambut pendek itu bingung. Namun, setelah melihat Dewi kawan-kawan sekelasnya tiba dengan membawa banyak kado dan kue ulang tahun, Anggita baru teringat kalau hari ini adalah ulang tahunnya.
Setelah tiup lilin dan penyerahan kado, Anggita duduk menyimak para seniornya berbincang santai.
"Kamu sesayang itu, ya, sama Anggita?" Dira, perempuan berhijab itu tersenyum lebar menanyakan hal tersebut pada Dewi. Mereka semua tak asing lagi dengan sosok Anggita Fang. Karena hampir selama satu semester ini, Dewi menghabiskan banyak waktu dengan sang junior di perpustakaan.
Dewi tertawa. "Kalian nggak akan tahu, sepinter apa dia. Berkat Anggita, semester ini gue nggak kesusahan ngerjain tugas."
Anggita hanya bisa tersenyum kecil mendengar hal itu. Dewi benar, sejak pertemuan mereka di perpustakaan kampus, perempuan berambut panjang itu selalu datang dan menanyakan banyak hal padanya. Tidak jarang Dewi meminta diajari beberapa materi kuliah padahal sudah tahu kalau Anggita itu adik kelasnya.
"Masa sih, kamu masih 18 tahun?" Dira memberikan tatapan menyelidik. Seolah tidak percaya bahwa gadis berjaket merah itu lebih pintar dari Dewi, mahasiswa paling pintar di kelas.
Anggita mengangguk. Ia sudah terbiasa dengan tatapan tidak percaya itu. Melihat itu, Dewi menepuk pundak Dira akrab. "Kalau nggak percaya. Tantang aja dia."
Dira sontak menggeleng. "Nggak ah. Lo aja minta di ajarin sama dia. Apa kabar gue?"
Mereka semua tertawa. Termasuk Anggita. Gadis itu entah kenapa merasa hari ini cukup istimewa. Melirik tumpukan kado di sampingnya, Anggita menghela napas. Gimana cara membalas mereka?
***
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro