🌵Bab 40🌵
"PAK Juna serius?" Alex menatap sosok atasannya dengan mata melebar. Mereka berdua kini tengah berdiri di antara antrian pengunjung yang hendak membeli tiket masuk.
Juna mengangguk. Menggulung lengan kemejanya hingga siku, lalu sengaja mengobrak-abrik tatanan rambutnya agar tampak lebih kasual.
"Tapi kenapa tiba-tiba, Pak?" tanya Alex lagi masih tak habis pikir dengan perilaku atasannya yang mendadak absurd.
Ke Dufan berdua sama Pak Juna? Yang bener aja!
Bukannya menjawab, Juna malah sibuk melongokkan kepalanya. Mencari-cari sosok Anggita dan pria berambut ikal yang Juna tebak usianya masih pertengahan 20-an.
"Pak Juna?" panggil Alex ketika menyadari atasannya tidak merespons.
Pria berkemeja cokelat itu terhenyak. "Eh, ya?"
"Kenapa tiba-tiba ajak saya ke Dufan, Pak? Apa kita ada janji temu lagi?"
Juna menyeringai samar. "Nggak ada," jawabnya datar. "Saya lagi pengen main ke Dufan aja."
Mata Alex membulat. "Sama saya?" timpalnya seraya menunjuk diri sendiri.
Menghela napas, Juna mendorong punggung Alex agar berjalan maju untuk mengikis jarak antrian. "Iya. Saya nggak punya temen."
Alex menahan napas demi mendengar ucapan Juna barusan. Lelaki bermata malas itu tidak bisa banyak berkomentar karena tidak ingin membuat Juna tersinggung dan memecatnya. Bagaimanapun, dia masih dalam masa percobaan. Dalam hati, Alex mendadak merasa was-was. Bisa saja Juna mengajaknya ke taman hiburan adalah karena pria itu tertarik padanya.
Alex seketika bergidik. Pemuda itu lantas balik badan dan menelan ludah kaku. Pak Juna nggak belok, 'kan?
***
Aga berjalan santai mengiringi Anggita yang juga tampak santai seolah tidak tertarik pada apapun di tempat itu. Suara teriakan pengunjung yang menaiki salah satu wahana terdengar hingga tempat Anggita dan Aga berdiri.
"Kamu mau naik apa dulu?"
Anggita menoleh. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Kak Aga sendiri mau naik apa?"
Aga menyeringai. "Mau naik tornado. Biasanya kalau kita coba yang ekstrim-ekstrim dulu, wahana di bawahnya bakal terasa kacang."
Anggita berdecih samar. Gadis itu tersenyum miring, lantas menghentikan langkah. "Tornado yang mana?"
Telunjuk Aga langsung mengarah ke sebuah wahana tak jauh dari tempat mereka berdiri. Terlihat benda besar itu mulai bergerak naik secara perlahan diiringi seruan orang-orang yang duduk berjajar menaikinya.
Gadis berambut pendek itu menelan ludah. Memasukkan kedua telapak tangannya ke saku. "Cuma begitu?"
Aga terkekeh. Mengusap puncak kepala sang adik gemas. "Tunggu aja," gumamnya. "Yuk, antri. Keburu panjang. Mumpung masih dibuka." Tangan Aga langsung menarik lengan Anggita dan menuntunnya hingga memasuki antrian yang masih pendek.
Di sisi lain, Alex yang sedari tadi mengikuti Juna yang berjalan tak tentu arah, memilih menghentikan langkah. "Pak Juna, sebenarnya Bapak cari apa di sini?" tanyanya seraya menyeka peluh di dahi. Pemuda bermata malas itu menatap sang atasan dengan wajah memelas.
Juna ikut terhenti. Pria itu menoleh ke arah Alex lelah. "Cari cewek."
"Serius, Pak!" sergah Alex mulai hilang kesabaran.
"Serius," pungkas Juna jujur.
Rahang Alex terjatuh. Ada binar kekaguman terpancar dari matanya. Entah angin dari mana, pemuda itu tanpa sadar menutup mulutnya menahan haru.
"Pak Juna," lirihnya tak percaya. Sampai saat ini, Alex sering dibuat bertanya-tanya dengan sikap Juna yang cukup tertutup pada perempuan. Bahkan sampai Fera yang bisa dibilang perempuan yang paling dekat dengan Juna mengatakan kalau pria bermata elang itu sangat pilih-pilih dalam mencari pasangan. Itulah sebabnya pria yang kini sibuk mengedarkan pandangannya ke sekeliling itu tidak pernah pacaran alias jomlo dari lahir.
"Ayo ke sana." Juna memberi isyarat Alex agar segera mengikutinya menuju antrian salah satu wahana. Pemuda berkemeja biru itu mau tak mau melangkahkan kakinya mengekor sang atasan.
***
"Kenapa, Nggi? Takut? Kalau takut lo lihat aja dari bawah. Biar gue sendiri yang naik."
Anggita menggeleng. "Sayang."
"Sayang apa?"
"Sayang uangnya."
Aga tergelak. Pemuda itu mengangguk setuju. "Baguslah."
Antrian mulai bergerak maju. Anggita menarik napas dalam dan mengembuskannya panjang, lalu mulai melangkahkan kaki diikuti Aga di belakang.
"Pak."
"Pak Juna."
Juna terhenyak. Pria berkemeja cokelat itu tersadar. "Ya?"
"Maju, Pak."
Juna berdeham, lalu mengangguk menuruti perintah Alex. Pria itu kembali mengarahkan pandangannya ke ujung antrian tempat Anggita dan pria asing itu berdiri. Baru saja ia tak sengaja melihat percakapan keduanya dan kalau tidak salah dengar, Juna bisa mendengar kata "sayang" terucap dari bibir Anggita dan pria itu.
Mengusap wajahnya yang kebas, Juna melirik Alex yang kini sibuk memainkan ponsel di tempat. "Alex."
"Ya, Pak?" sahut pemuda itu seketika.
"Kamu punya pacar?"
"Eh, i-iya, Pak. Tepatnya tunangan."
Juna ber-oh pelan.
"Memangnya kenapa, Pak?"
Juna menggeleng. "Engga, menurut kamu, mereka itu pacaran?" tunjuk Juna ke arah antrian paling depan. Tepatnya pada gadis berambut pendek dan pria di belakangnya.
Alex mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Juna. Alisnya menukik. Pemuda itu kini mengusap dagunya skeptis. Menatap kedua pasangan tersebut yang sibuk mengobrol santai. "Hm, saya nggak yakin. Tapi kayaknya, mereka cuma temen."
Juna tersenyum miring. "Saya denger mereka ngomong sayang tadi."
"Wah, kalau gitu nggak usah dipertanyakan lagi. Pasti mereka pacaran, lah, Pak," sahut Alex seraya mencebik kesal.
Mendengar ucapan Alex yang terkesan sinis sekaligus terdengar seperti fakta yang tidak dapat dielakkan, Juna bisa merasakan jantungnya berdenyut ngilu dan bahunya merosot jatuh.
"Oh! Giliran kita naik, Pak." Alex memberi isyarat agar pria berkemeja cokelat itu melangkah maju.
Juna menghela napas panjang. Melangkah gontai mengikuti jalur antrian.
***
Anggita dibuat terkejut dengan kemunculan Juna di antara para pengunjung yang hendak menaiki wahana tornado. Gadis itu bahkan sampai ditegur Aga agar bergegas memilih tempat duduk di sebelahnya.
Juna tersenyum pahit. Melangkah mendekat ke arah Anggita yang masih bergeming di tempat. "Hai," sapa lelaki itu dengan lambaian tangan kecil yang menyiratkan kecanggungan.
Aga yang sudah selesai memasang sabuk pengaman, mendongak ke arah Anggita dan Juna bergantian.
Pemilik rambut pendek itu mengangguk kaku. "Pak Juna."
Juna berjengit. Panggilan "Pak" dari Anggita kini kembali melekat padanya.
"Nggak nyangka ya, kita ketemu di sini."
Anggita mengangguk lagi. Gadis itu memutuskan untuk mengambil posisi duduk di samping Aga. "Saya juga nggak nyangka Pak Juna bakal ada di tempat kayak gini," timpalnya sambil mengencangkan sabuk pengaman.
Juna terkekeh. Pria itu segera mengambil posisi duduk tepat di samping Anggita, dan membiarkan Alex kebingungan dengan sikap sang atasan yang lagi-lagi membuatnya heran. Pemuda itu memilih duduk di samping Aga. Satu-satunya kursi yang tersisa.
"Asisten saya minta refreshing. Kasihan sudah empat hari dia lembur," ujar Juna setelah melepas sepatunya dan sengaja melemparkan kedua alas kakinya itu tak jauh ke depan.
Telinga Alex mendadak gatal. Pemuda itu melongokkan kepalanya demi bisa melihat Juna. "Maksud Pak Juna itu ... saya?" pungkasnya seraya menunjuk diri-sendiri. Mulutnya lagi-lagi terbuka lebar.
Juna tersenyum simpul. Memberikan tatapan intimidasi pada pemuda itu agar mengiyakannya saja.
Alex menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Memilih menegakkan punggungnya dan bersiap merasakan kengerian wahana yang sedang ia naiki sekarang. Mungkin Pak Juna lelah, batinnya.
Sementara Anggita kini disibukkan dengan pikiran negatifnya soal Juna yang tertarik pada laki-laki dan sebagainya. Walau dalam hatinya yang terdalam, Anggita merasa sedikit kecewa mengingat perlakuan hangat Juna padanya selama ini hanyalah keramahan semata.
"Kamu sendiri, ternyata punya pacar yang---GAAAAAAAAAA!" Juna berteriak histeris.
Mesin sudah dinyalakan, sementara wahana mulai bergerak. Tidak ada tempat untuk lari bagi Juna sekarang.
***
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro