Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🌵Bab 38🌵

JUNA tersenyum pahit. Pria berkemeja slim fit itu hanya bisa membisu setelah mendengar ucapan Anggita barusan. Selain memanggilnya kembali dengan sebutan "Pak", gadis berambut pendek itu juga menganggapnya sebagai orang asing.

Helaan napas terdengar. Juna memasukkan kedua telapak tangannya ke saku demi mengusir hawa dingin yang mulai merayap di jemarinya. Pria itu mendongak sebentar, lantas menurunkan pandangannya ke arah Anggita.

"Yeah, kamu benar. Maaf karena sudah membuat kamu tidak nyaman," lirihnya disusul senyum paksa.

Mata Anggita membulat. Gadis itu menelan ludah ketika menyadari air muka Juna tampak redup akibat ucapannya barusan.

Anggita seketika menyesal. Ia sama sekali tidak bermaksud membuat Juna sedih atau kecewa. Bagaimanapun, jika bukan karena Juna, gadis itu tidak akan bisa berdiri di tempat ini dan bisa segera pulang ke rumahnya.

Belum sempat Anggita membuka mulut untuk meralat ucapannya, suara klakson terdengar. Mereka berdua kompak menoleh ke depan. Sebuah mobil bercat hitam tengah terlihat merapat dengan kaca depan sengaja diturunkan oleh sang supir.

"Pak Juna, Non Anggita." Pak Parjo mengangguk sopan. Menyapa sang majikan serta gadis itu ramah. Tak perlu disuruh, pria paruh baya itu segera keluar dan mengurus koper Juna dan Anggita.

"Tunggu, Pak." Juna mencegah tangan Pak Parjo ketika pria itu hendak memasukkan koper kecil Anggita ke bagasi.

"Ya?"

"Dia mau pulang sendiri pakai taksi online," jelas Juna melirik Anggita yang bergeming di tempat.

Pak Parjo tampak kebingungan. Ia menoleh ke arah Anggita yang menatap Juna datar. "Bener, Non?"

Gadis itu terhenyak. Buru-buru memasang senyum ramah. "Iya, Pak. Saya bisa pulang sendiri. Toh, Pak Juna juga sedang buru-buru dan arahnya berlawanan," balasnya segera meminta kembali koper kecil dari tangan Pak Parjo.

Juna mendengkus. Pria itu segera menutup pintu bagasi dan melangkah menghampiri Anggita dengan ekspresi dingin. "Saya pamit dulu."

Anggita mendongak. Menatap pria beralis tebal itu tanpa ekspresi, lalu mengangguk pelan. Tak berselang lama, Pak Parjo dan Juna sudah berada di dalam mobil.

Suara klakson kembali terdengar. Hal itu berhasil membuat Anggita yang tadinya termenung langsung tersadar dan mengangguk singkat ke arah mobil hitam yang melaju meninggalkannya sendirian di depan pintu masuk bandara.

Anggita menghela napas panjang. Gadis itu beralih menatap ponsel keluaran lamanya yang sudah mati karena kehabisan baterai. Tidak ada pilihan lain, pemilik rambut pendek itu segera menarik kopernya menuju salah satu taksi bercat biru yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri.

***

"Alex, setelah ini ikut saya ke tempat Pak Handi," cegah Juna ketika salah satu asistennya hendak menuju kubikelnya.

Alex mengangguk. "Nggak sama Bu Fera, Pak?" tanya pemuda itu sedikit bingung. Pasalnya, jika soal mendampingi di lapangan, Fera adalah satu-satunya orang yang Juna percaya untuk menemaninya.

Juna menggeleng. Menyesap kopinya singkat, lantas mengapitkan dokumen yang diberikan Alex beberapa saat lalu ke lengan. "Fera sakit. Saya suruh pulang tadi."

Mata Alex membulat. Pemuda itu buru-buru melangkah mendekat. "Serius, Pak? Bu Fera?" serunya tak habis pikir.

Juna tersenyum miring. Meletakkan telunjuknya ke jidat Alex dan mendorongnya pelan. "Sudah empat hari ini dia lembur gantiin saya. Wajar kalau dia sakit. Fera juga manusia. Kamu kira dia boneka?"

Alex menyeringai. "Tapi Bu Fera emang cantik kayak boneka sih, Pak."

Juna terkekeh. Tambah menoyor kepala Alex pelan, lalu berujar, "Yeuh, emang dasar kebiasaan kamu ya."

Pemuda yang kini mengusap dahinya itu tertawa. "Tapi serius, loh, Pak. Ada perempuan secantik Bu Fera di dekat bapak, masa Pak Juna nggak naksir?" goda Alex kemudian.

Pria beralis tebal itu tersenyum sekilas, lalu menyesap kopinya singkat. "Kamu kira setiap orang yang cantik harus ditaksir, gitu? Lagian ...."

Alex memiringkan kepala. "Lagian kenapa, Pak?"

Juna menggeleng. "Gak pa-pa. Sana kerja," usir pria kemudian berlalu.

***

"Kak Anggi mau dimasakin mie?" tawar Angga ragu. Pemuda itu kini tengah berdiri di ambang pintu dengan senyum yang nampak dipaksakan.

Anggita yang tengah berbaring malas di atas kasur, melirik sang adik dengan ekor matanya. Gadis itu merasa tiba-tiba merasa asing dengan sosok Angga yang entah kenapa akhir-akhir ini sangat ramah padanya.

"Nggak," jawab gadis itu akhirnya.

Angga bergumam. "Mau yang kuah apa goreng?"

Alis Anggita berkerut. "Aku nggak mau."

"Okay, pakai telur rebus apa mata sapi?"

Rahang Anggita terkatup. Gadis itu segera bangkit dari posisinya, lalu menatap Angga tajam. "Aku bilang nggak mau. Kamu kenapa, sih?"

Senyum Angga kian mengembang. Pemuda itu memutuskan untuk melangkah masuk ke dalam kamar sang kakak walau mendapatkan pelototan tajam dari Anggita.

"Kak Anggi nggak bawa oleh-oleh?" tanya Angga dengan seringai yang tampak menyebalkan di mata Anggita.

Menarik napas dalam, Anggita memejamkan matanya sejenak, lalu membukanya perlahan.

"Keluar."

***

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro