🌵Bab 35🌵
MAKAN malam berlangsung damai. Anggita lebih banyak diam dan berusaha untuk tidak mencolok di tengah-tengah suasana hangat keluarga Anggara. Gadis itu lebih sering mengobrol dengan Bima sesekali, mengingat Juna dan Baskoro sibuk membahas bisnis, sementara Dewi tengah membicarakan tentang kelanjutan kuliahnya dengan sang Ibu, Kinanti.
"Kak Anggi, habis ini mau ke kafe komedi?" bisik Bima sedikit antusias di tengah-tengah makan malam.
Alis Anggita bertaut. Melirik Bima penuh tanda tanya. "Maksud kamu, kafe yang biasa nampilin komedian?" lirihnya bingung.
Bima tersenyum miring. Lalu mengangguk. Memasukkan satu suapan ke mulutnya.
Mulut Anggita terbuka. "Emang kamu bisa bahasa Belanda? Bahasa Indonesia aja nilai kamu hampir di bawah KKM," cibir gadis itu setengah mengejek.
Bima berdecak pelan. "Haish, bukan itu masalahnya. Aku nggak mau jadi asisten Kak Dewi sama Mama. Habis ini mereka bakal belanja gila-gilaan."
Mata cokelat Anggita membulat. "Serius?"
Bima mengangguk. Memasang wajah memelas. "Dua rius!"
"Bima?"
Pemuda berambut jabrik itu terlonjak. Bima segera menegakkan punggungnya, dan balas menatap Baskoro dengan senyum datar. "Ya, Pa?"
"Habis ini Papa sama Juna ada urusan bisnis sebentar. Kamu jaga Dewi sama Mama, ya. Mereka mau belanja."
Bima menelan ludah. Menatap Dewi dan mamanya bergantian. "Itu ... aku janji mau ngajak Kak Anggi lihat-lihat sekitaran kanal, Pa. Kakak sama Mama nggak pa-pa, 'kan?"
Alis Baskoro mengerut. Pria berjanggut lebat itu kini menatap Anggita penuh selidik. Sementara Bima sibuk menyikut lengan Anggita agar mengiyakan ucapannya.
"Benar itu, Anggita?
Raut muka Anggita seketika menegang. Gadis itu tiba-tiba merasakan dilema. Antara menuruti Bima, atau malah sebaliknya, menawarkan diri untuk menemani Dewi dan Kinanti berbelanja.
Anggita mengerjap. Gadis itu menyeringai canggung. "Ergh, itu ... sebenarnya Bima sudah ngajak saya jauh-jauh hari karena dia dapat nilai bagus. Jadi saya nggak bisa nolak," ungkap pemilik rambut pendek itu dengan jantung berdegup tak karuan.
Dewi menatap Anggita penuh selidik, begitu juga Juna yang duduk di seberang gadis itu.
"Kalian mau kencan?" tanya Kinanti tiba-tiba. Hal itu sontak membuat semua orang yang ada di meja itu membelalakkan matanya tak percaya.
Bima buru-buru menggeleng. "Nggak, Ma. A-aku cuma mau balas jasa Kak Anggi aja udah bikin nilaiku naik signifikan akhir-akhir ini. Jadi aku janjiin buat ngajak Kak Anggi jalan-jalan," jelas pemuda itu seraya mengusap tengkuknya yang meremang.
Tatapan Baskoro yang tadinya penuh selidik, berangsur normal. Pria paruh baya itu menghela napas. Melirik Dewi dan Kinanti yang kini sibuk mengatakan pada Bima untuk tidak khawatir, dan membiarkan pemuda itu pergi bersama Anggita malam ini.
Ekor mata Baskoro kini tak sengaja menangkap ekspresi aneh Juna. "Kenapa?" tanya Baskoro memastikan.
Juna terkesiap. Pria itu menoleh ke samping. "Ya?"
"Ada masalah?" tanya Baskoro lagi dengan tatapan heran. Tidak biasanya pria itu mendapati Juna memasang ekspresi seperti menahan kesal, tetapi juga sedih.
Juna menggeleng seraya tersenyum tipis. Kedua tangannya kembali fokus memotong daging di piring. Melihat itu, Baskoro hanya bisa menghela napas panjang.
***
Anggita menatap kosong pemandangan kanal di depannya. Gadis itu sengaja izin ke toilet demi memenangkan pikiran. Bukannya kembali ke dalam, pemilik rambut pendek tersebut memilih menyaksikan pemandangan kanal kota Amsterdam dari atas balkon restoran.
"Anggita? Kok nggak masuk?"
Anggita tersentak. Gadis itu segera berbalik dan mendapati sosok Juna yang tengah mengancingkan manset lengan. Sepertinya pria tersebut juga baru saja kembali dari toilet.
Anggita tersenyum sekilas. "Saya izin cari angin bentar, Bang," jawabnya sambil memutar badan. Menatap sendu kerlip lampu wilayah utara Amsterdam di kejauhan.
Juna menghela napas. Memilih untuk melangkah mendekat dan berdiri persis di sebelah gadis bergaun putih itu. "Nggak kedinginan?"
Anggita menoleh. "Bang Juna, boleh tanya sesuatu?" Bukannya menjawab, ia malah menanyakan pertanyaan lain. Hal itu tentu saja membuat Juna merasa gemas, dan tanpa sadar mengusap puncak kepala gadis itu.
"Kamu itu. Ditanya malah balik nanya."
Menghela napas panjang, Anggita bersidekap. "Sudah pasti dingin, Bang. Jadi, saya boleh tanya sesuatu? Tepatnya tentang Kak Dewi."
"Dewi? Kenapa dia?"
Sudut bibir Anggita terangkat sebelah. "Bang Juna itu. Ditanya malah balik nanya," ujarnya sengaja meniru ucapan Juna barusan dengan tatapan mengejek.
Juna tak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa. Pria itu kini balas berkata. "Harusnya kamu usap dulu kepala saya kalau mau niruin sikap saya tadi," tukasnya dengan sisa tawa.
Anggita menggeleng. Menahan diri untuk tidak tersenyum. "Jadi, saya mau tanya soal Kak Dewi. Akhir-akhir ini dia baik banget sama saya. Terus, saya diajak ke sini karena Kak Dewi punya permintaan sama saya. Kira-kira, apa Bang Juna tahu alasannya?"
Juna terdiam. Kedua tangannya sengaja dilipat di dada. Pria itu menatap Anggita ragu. Dewi sama sekali tidak memiliki ambisi berlebih pada suatu hal. Dari awal, ia mengira Dewi hanya sedang butuh teman liburan atau sejenisnya. Itulah sebabnya Juna tidak terlalu memikirkan lebih dalam soal keberadaan Anggita di tengah-tengah mereka sekarang. Namun, entah kenapa setelah mendengar ucapan Anggita, Juna merasa ada sesuatu yang mencurigakan dari Dewi pada gadis itu.
"Bang Juna?"
Mengerjap, Juna tersadar dari lamunan. "Eh, ya?" sahutnya seraya mengusap hidung yang kedat.
"Apa Bang Juna tahu alasannya?"
Juna menyeringai. "Mau tahu?"
Anggita mengangguk. Menatap sosok Juna di hadapannya penuh rasa ingin tahu.
"Cium dulu." Juna menaruh telunjuknya di pipi.
***
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro