🌵Bab 33🌵
ANGGITA menatap kosong suasana kota Amsterdam yang sudah memasuki musim dingin. Gadis itu tersenyum pahit melihat pemandangan itu dari luar jendela kamar hotel.
Setelah gagal menolak ajakan Juna dan Dewi, Anggita terpaksa ikut bersepeda berkeliling kota Amsterdam dan berkunjung ke bebarapa museum di sekitar Hotel N.
Awalnya, Juna hendak mengajak bersepeda hingga Volendam. Hanya saja, karena cuaca cukup dingin, dan Anggita menolak ikut, Juna akhirnya mengalah.
"Kamu masih belum siap-siap?"
Suara Dewi berhasil membuyarkan lamunan Anggita. Gadis berambut pendek itu segera berbalik dan mendapati Dewi sudah siap dengan gaun selutut berwarna merah serta dandanan yang tidak seperti biasanya.
Anggita mengerjap. Merasa takjub dengan sosok Dewi yang baginya benar-benar mencerminkan sosok dewi itu sendiri. Selama ini gadis itu selalu mendapati sang senior selalu berpakaian sederhana. Bahkan hampir tidak pernah dirinya melihat Dewi memakai dress atau memakai make up yang totalitas.
"Jangan bilang kamu nggak mau ikut?" tanya Dewi dengan raut muka kesal dibuat-buat.
Anggita menyeringai kecil, lalu mengusap tengkuknya yang merinding. "Itu ... aku di sini aja, Kak. Ini kan acara keluarga. Aku nggak mau ganggu. Lagipula, badanku agak capek karena sepedaan tadi."
Dewi menghela napas panjang. Menatap Anggita lurus. "Siapa yang bilang kalau kamu bakal ganggu? Kamu udah aku anggap kayak adik sendiri, Nggi. Udah, yuk. Kalau kamu nggak ada baju, aku pinjemin. Banyak!" Dewi mencengkeram pundak Anggita paksa. Memaksa gadis itu berjalan menuju lemari.
"Hm, karena kamu suka pakai jaket merah, kamu harus ganti warna lain yang lebih polos," ujar Dewi sibuk mencari-cari pakaian yang dirasa cocok untuk Anggita.
Pemilik rambut pendek itu menghela napas samar. Memutuskan untuk duduk di tepi ranjang dan menunggu Dewi membongkar isi lemari dan kopernya.
"Sebenarnya kenapa Kak Dewi ngajak aku sampai ke sini?"
Gerakan tangan Dewi terhenti. Punggung gadis berambut panjang itu seketika menegang. Dan Anggita bisa melihatnya.
Dewi menyeringai kecil. Tubuhnya berputar hingga menghadap Anggita. "Kamu penasaran banget, ya?" tanyanya ragu.
Anggita kembali menghela napas. "Siapa sih, yang nggak penasaran?"
Menelan ludah, Dewi kembali memutar badan dan berpura-pura sibuk mencari pakaian. Mengibaskan rambut sejenak, Dewi akhirnya berkata, "Sebenernya ini sepele banget. Cuma ... aku belum bisa bicarain sekarang. Tapi alasan aku ngajak kamu biar punya temen, itu jujur loh, Nggi."
Tatapan datar Anggita berubah menjadi penuh selidik. "Apa ini ada hubungannya sama kuliah?"
Dewi menggeleng. "Nggak, dong."
"Kalau gitu, apa ini ada hubungannya sama---"
"Oh, ini bagus!"
Anggita tersenyum kecut. Menatap gaun putih selutut tanpa lengan dengan sorot mata ragu. "Itu ... nggak terlalu kebuka, kak?"
Dewi tertawa. "Kamu kan bisa pakai outer, Nggi. Bentar, aku cariin dulu."
Anggita menghela napas pasrah.
***
"Kamu boleh istirahat, Fera. Thanks untuk laporannya. Kerja bagus." Juna tersenyum sekilas, lalu mematikan ponselnya cepat. Jemarinya kini sibuk merapikan rambut dibantu cermin pajangan.
Netranya seketika menyipit. Ia tidak sengaja melihat bayangan seorang perempuan di belakangnya. Juna refleks memiringkan kepalanya ragu. Merasa tak asing dengan sosok di belakangnya tersebut.
Pria itu menatap mata cokelat gadis itu dari pantulan cermin intens. Satu detik, Juna berjengit. Tubuhnya refleks memutar.
"Kamu?"
Sosok berambut pendek itu memiringkan kepalanya bingung. "Ya?"
"Kamu! Anggita?"
Gadis itu mengerjap beberapa kali, lalu mengangguk kaku.
Apa dandananku nggak bagus? Anggita membatin ragu. Entah kenapa ia merasa sangat malu dengan penampilannya sekarang.
Juna mengusap wajahnya yang mendadak kebas. "Kukira siapa. Soalnya ... beda banget," ujarnya dengan sorot terpana.
Anggita mengusap tengkuknya kikuk. "Kak Dewi yang make up-in saya. Saya nggak biasa pakai make up. Aneh, ya, Bang?"
Juna buru-buru menggeleng. "Nggak. Kamu cantik."
***
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro