Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🌵Bab 31🌵

ANGGITA menarik koper kecilnya dengan tenang mengikuti ke manapun keluarga Anggara pergi. Setelah turun dari taksi, rombongan tersebut kini sudah berada di lobi hotel N. Anggita sendiri tidak banyak bicara dan fokus memperhatikan sekeliling.

"Setelah ini Papa sama Mama mau ke Museum Van Gogh. Kalian mau ke mana terserah, asal jangan sampai pulang larut. Besok malam kita makan malam bersama di restoran yang sudah Mama reservasi." Baskoro dan Kinanti pamit pergi setelah memastikan Juna, si sulung mengangguk paham.

Dewi mengerucutkan bibir setelah memastikan punggung dua pasutri itu menghilang dari balik kerumunan pengunjung. "Kita ke mana habis ini, Bang?" tanya Dewi pada Juna yang kini sibuk mengecek ponsel.

"Kita pernah ke sini sebelumnya. Gimana kalau kita coba tempat yang jarang dikunjungi turis? Abang baru dapat nih, tempatnya bagus."

Bima menguap lebar. "Bang, kita istirahat dulu ya. Capek banget hampir 18 jam kita terbang."

Juna menghela napas. Beralih melirik Anggita yang juga tampak lesu. "Yaudah, kita istirahat aja dulu. Besok pagi aja kita pergi."

Dewi mengangguk setuju. Beranjak menarik koper dan menggandeng Anggita agar mengikutinya. Mereka pun membubarkan diri.

"Dingin banget." Dewi begidik seraya merapatkan jaket. Mereka tengah menyusuri lorong lantai tiga. "Harusnya kita ke sini pas musim semi. Mama sama Papa ngotot banget mau pas akhir tahun."

Anggita tersenyum samar. Tidak berniat untuk mengomentari.

"Kamu nggak papa, 'kan, Nggi?" Dewi menoleh pada pemilik rambut pendek tersebut.

"Nggak papa, Kak. Aman," jawab gadis itu berusaha tersenyum. Mungkin Dewi mengira dirinya tidak baik-baik saja karena tampak letih. Tapi sebenarnya Anggita tidak merasa demikian, karena kepalanya disibukkan dengan perasaan tidak enak pada Tuan Baskoro dan istrinya. Kesan pertama mereka padanya bisa dibilang buruk. Bahkan Anggita merasa terintimidasi sejak kakinya melangkah masuk ke area bandara.

"Bang Juna kalau ke sini suka sewa sepeda buat keliling. Makanya Bima pengen istirahat dulu karena tahu Bang Juna bakal sewa sepeda lagi nanti," kekeh Dewi seraya menyugar poninya ke belakang. "Kalau kamu lagi capek, bilang aja, ya. Kita cari tempat dekat sini aja buat jalan-jalan tanpa harus ikutan mereka."

Anggita tersenyum, lalu menggeleng. "Nggak, Kak. Aman. Aku cuma butuh merem sebentar."Dan cari alasan gimana caranya bisa pulang lebih dulu.

"Okay."

***

Anggita sudah memutuskan. Dia harus pulang hari ini juga. Tadi pagi, saat sedang sarapan, tatapan Baskoro padanya sangat intens dan benar-benar membuat gadis itu merasa tertekan. Nafsu makannya menghilang, sementara perasaan segan memenuhi pikiran.

Juna menyenggol siku Anggita. Mereka tengah menunggu Dewi yang sedang bersiap karena pakaiannya tidak sengaja terkena tumpahan kopi. "Kamu nggak papa?"

Anggita tersentak. Menoleh ke arah Juna yang duduk di sampingnya. Dia, Juna, dan Bima tengah menunggu di salah satu sofa yang disediakan di lobi. Bima yang sedari tadi sibuk memainkan gawai, mengangkat wajahnya penasaran. Jarang sekali Juna menanyakan hal sepele seperti itu pada orang yang baru dikenalnya.

"Nggak papa, Bang."

"Kamu sakit? Mau kita tunda dulu jalan-jalannya?" tanya Juna seraya menaruh telapak tangannya ke dahi Anggita. Yang sontak hal tersebut membuat gadis berambut pendek itu terkejut.

"Ng-nggak, Bang. Saya cuma agak kedinginan aja."

Bima menatap mereka berdua lamat. Memasukkan gawainya ke dalam saku. Sebenernya dia juga terkejut dengan sikap Juna yang sangat lembut. Namun, karena tidak ingin membuat suasana semakin canggung, Bima memutuskan untuk mengamati sikap aneh Abangnya.

"Mau pakai jaketku?" Juna bersiap melepaskan atasannya. Membuat Anggita segera menggeleng tegas.

"Bukan. Maksudnya, mungkin karena saya belum bisa beradaptasi sama iklim di sini," ujar Anggita seraya melambaikan tangan. "Tapi saya bisa cepat beradaptasi, Bang. Jadi aman."

Juna tersenyum kecut. Tanpa sadar pandangannya tertuju pada jaket merah yang gadis itu pakai di balik mantel panjang. Seketika, ingatan soal 'ejekan'-nya pada gadis itu kembali terngiang.

"Maaf."

***

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro