🌵Bab 3🌵
JUNA Anggara. Putra sulung sekaligus pewaris utama Anggara Group. Saat ini menjabat sebagai COO di perusahaan ayahnya sendiri. Tidak bisa dipungkiri, di usianya yang sudah 35 itu Juna masih melajang. Sama sekali belum pernah berpacaran atau sekadar memiliki perasaan pada lawan jenis. Sempat tersebar rumor bahwa putra pertama Baskoro Anggara itu adalah seorang gay.
Namun, semua itu ditepis dengan fakta bahwa Fera adalah sekretaris pria itu. Fera sendiri mengakui kalau Juna hanya terlalu pemilih, sehingga sulit bagi pria itu untuk menikah atau sekadar jatuh cinta.
"Kalau Pak Juna sih katanya tipe nggak muluk-muluk. Katanya yang penting bisa diajak ngobrol banyak soal minatnya dan nggak berharap cinta sama beliau. Karena Pak Juna sendiri gak percaya namanya cinta. Juga orangnya harus pinter, nggak lelet. Terus rapi. Kalau bisa orangnya bisa masak, minimal buat sarapan. Bisa ngikutin jadwal Pak Juna yang super sibuk. Nggak manja dan nggak banyak nuntut. Kalau soal fisik, Pak Juna pengennya yang tingginya paling sedagu, biar nggak pegel nunduk kalo kependekan. Bisa diajak ke mana-mana kalau ada undangan acara resmi. Nggak cerewet dan yang pasti pinter ngatur duit. Terus selalu berpenampilan sederhana. Kalau bisa orangnya nggak mata duitan. Plus kalau tidur nggak ngorok, ngiler, dan ngigau. Nggak punya peliharaan. Setidaknya dia pecinta kebersihan. Anak tunggal, biar Juna nggak pusing soal keluarga dari pihak perempuan. Tepat waktu, disiplin, tekun, dan nggak cengeng," ujar Fera ketika sedang berkumpul dengan rekan kerjanya.
Saat ini Juna masih berstatus lajang. Ia tidak diizinkan menduduki kursi CEO sebelum pria itu berani mengambil risiko dengan komitmen. Hal itu membuat Juna mau tak mau berusaha mencari wanita yang sesuai dengan tipenya. Karenanya, pria itu tak suka didahului. Terutama oleh adiknya.
Entah perasaannya saja atau memang fakta, ia melihat hubungan Anggita dan Bima tidak sesederhana antara mentor dan murid. Itulah sebabnya pria itu mencoba memastikan.
"Kenapa?" Bima menatap kakaknya bingung. Beberapa detik yang lalu, pria berkemeja cokelat itu menegur.
Anggita sendiri ikut menatap Juna menunggu. "Ya?"
Juna menelan ludah. "Kalian nggak harus duduk nempel gitu, 'kan?"
Bima dan Anggita kompak memiringkan kepala. Melupakan sejenak lembar jawaban yang ada di tangan.
Menghela napas, Juna menggeleng. "Jangan-jangan kamu mau les privat karena ini?" tanyanya pada sang Adik. Memasang ekspresi tak habis pikir.
Alis Bima menukik. "Maksud Abang?"
"Ya ... kamu les privat cuma biar bisa nempel-nempel sama perempuan."
Raut muka Anggita mendadak suram. Tatapannya berubah dingin. Membuat Bima yang duduk di sampingnya bisa merasakan aura mencekam. Pemuda itu segera menukas, "Kok Bang Juna bisa punya pemikiran kayak gitu?"
Juna berdeham. Memperbaiki posisi duduk sejenak, lantas menatap Anggita dan Bima bergantian. "Jujur saya merasa aneh sama kalian. Terlebih Bima, kamu kenapa tiba-tiba mau les? Walau disuruh Dewi pun, inget sifatmu selama ini, nggak mungkin kamu mau-mau aja walau dipaksa. Kalau bukan karena kamu tertarik sama Anggita, lalu apa?"
Bima menyugar rambut jabriknya ke belakang. Pemuda itu tampak bersiap meluapkan amarah. "Bang, bisa-bisanya ya lo bilang kayak gitu di depan Kak Anggita?"
Mata Juna menajam. Telinganya mendadak berkedut akibat ucapan sang Adik yang menggunakan kata "lo" pada dirinya.
Juna mengangkat bahu tak acuh. Dari awal dia memang sudah curiga dengan sosok Anggita. Perempuan berjaket merah itu, dengan rambut pendek dan tatapan datar seolah tak memiliki emosi di wajahnya, Juna merasa adiknya telah terpikat.
"Jadi maksud Bapak, saya ini goda adik Bapak?" tanya Anggita serius.
Mata Juna terbelalak. Ia sungguh tidak menyangka akan dipanggil dengan sebutan "Bapak" oleh perempuan yang lebih muda darinya.
Bima yang mendengar itu menatap Anggita kagum. "Kak Anggi panggil Bang Juna 'Bapak'?" Seolah lupa dengan apa yang mereka perdebatkan, Bima Anggara, lelaki itu lebih tertarik dengan keberanian mentornya saat ini.
Rahang Juna terkatup. Ekspresi tersinggung masih tercetak jelas di wajahnya. "Saya nggak bilang kamu goda dia. Kata-kata tadi saya tujukan untuk adik saya," Juna mendengkus, "dan jangan panggil saya Bapak. Saya nggak setua itu."
Ponsel Juna tiba-tiba berdering. Pria berkemeja cokelat itu segera bangkit saat mengetahui sang Sekretaris menelponnya. "Halo, Fera, ada apa?"
"..."
"Oke, nanti saya datang. Tolong atur biar jadwalnya nggak tabrakan sama makan malam."
"..."
"Oke, kerja bagus."
Setelah menutup telepon, dengan posisi masih berdiri, Juna berbalik. Mulutnya tidak bisa untuk tidak terbuka saat mendapati Anggita, sosok berjaket merah itu tengah menyesap jus jeruk milik Bima dengan santai. Sementara Bima asyik mengutarakan beberapa pendapatnya tentang soal di kertas pada gadis itu.
***
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro