🌵Bab 29🌵
SELAMA ini Juna sudah banyak bersosialisasi dengan banyak orang. Mulai dari yang pemalu sampai yang tidak tahu diri. Tapi di antara orang-orang itu, Juna sama sekali belum pernah menemui seseorang yang mengatai maksud baiknya sebagai beban.
Kalau gue nggak ikhlas bayar, harusnya gue yang ngatain dia beban, bukan sebaliknya.
Juna menggeleng pelan. Mengusir jauh-jauh pikirannya, lalu balik menatap Anggita intens. "Maksud kamu?"
Anggita menghela napas. Merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel keluaran lama miliknya. Gadis itu sengaja menunjukkan tampilan memo pada pria itu. "Ini catatan hutang saya. Untuk hutang budi, saya ada satu sama Bang Juna karena sudah ngasih saya Wi-Fi gratis kemarin. Lalu ada juga hutang sama temen-temennya Kak Dewi yang sudah kasih saya kado pas ultah. Hm, kayaknya hutang saya ke Pak Parjo dan Bima juga masih belum saya balas," gumam gadis itu serius di akhir kalimat.
Mulut Juna tak bisa untuk tidak terbuka. Kedua matanya tampak menatap layar yang ditunjukkan Anggita tak habis pikir. Lidahnya mendadak kelu.
"Dan ini semua adalah beban yang harus saya tanggung," lanjut Anggita lugas. Membuat Juna semakin menatap gadis itu tak mengerti.
"Kamu ... serius?" lirih Juna dengan bahu lemas. Tak menyangka jika pemikiran Anggita akan seaneh ini.
Anggita mengangguk. Gadis itu kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket. "Jadi, saya nggak mau nambah beban saya. Anggap saja saya sekarang sedang menemani Kak Dewi karena mau balas jasa kebaikannya."
Gadis itu mengalihkan pandangannya pada sosok Dewi yang baru saja keluar dari fitting room. Tersenyum lebar meminta pendapat Anggita.
Pemilik rambut pendek itu balas tersenyum lalu mengangguk. "Cocok, Kak!" katanya setengah berseru.
Senyum Dewi semakin lebar. Gadis itu buru-buru kembali masuk ke dalam ruang ganti untuk mencoba pakaian yang lain.
Anggita menghela napas. Menatap sendu pintu ruang ganti yang ada beberapa meter dari tempatnya berdiri. "Dan sekarang saya harus menanggung beban karena diajak ke Belanda sama Kak Dewi."
Pandangan Anggita kembali pada sosok Juna yang masih berdiri mematung di depan. Pria itu tersenyum aneh, lalu mengacak rambut Anggita gemas. "Saya kira kamu sudah cukup dewasa. Ternyata kamu masih labil, ya," kata Juna setengah menyindir.
Anggita memundurkan kepalanya ke belakang. Berusaha menghindar dari tangan Juna yang semakin ganas mengusap puncak kepalanya. Gadis itu sedikit tak suka dengan pendapat Juna barusan. Pasalnya, hampir sering orang yang ia temui selalu memuji soal betapa dewasanya gadis itu di usianya yang baru menginjak 18 tahun.
"Nggi, kamu nggak pilih baju?" suara Dewi berhasil membuyarkan lamunan Anggita. Gadis itu menoleh. "Nggak, Kak. Terima kasih. Saya sudah punya baju."
Juna tertawa kecil. "Jangan percaya dia, Wi. Dia aja nggak pernah ganti jaket. Gih, kamu aja yang pilihin, Abang yang bayar."
Mata Dewi membulat. Dia sedikit tak suka dengan ucapan pria itu terkait jaket merah yang dikenakan Anggita. Gadis itu melirik Anggita yang kini terlihat memasang ekspresi sulit diartikan.
Juna melambaikan tangan. "Abang mau cari celana dulu, dah."
Melihat Juna menjauh, Dewi buru-buru melangkah mendekat. "Astaga, Bang Juna itu kebiasaan banget sotoy-nya," gerutu gadis berambut panjang itu kesal. Merangkul pundak Anggita menenangkan. "Nggi, kamu nggak pa-pa, 'kan? Nggak usah dipikirin omongan Bang Juna. Dia emang suka ngomong tanpa tahu yang sebenernya."
Anggita menarik napas dalam. Meremas ujung jaketnya dengan perasaan kalut, lalu menggeleng lemah. "Nggak pa-pa, kok, Kak. Aku paham. Lagian aku memang harusnya ganti jaket. Ini udah lusuh."
Dewi seketika merasakan jantungnya seperti tercabik. Gadis itu menggeleng tegas. "Nggak! Kamu nggak harus peduliin omongan Abang. Wajar banget kalau kamu selalu pakai jaket ini. Aku tahu jaket ini berharga buat kamu. Apalagi ini pemberian dia."
Anggita tercekat. Berusaha menahan diri untuk tidak terlihat emosional. "Ehm, Kak. Kayaknya aku harus ke toilet dulu."
Raut muka Dewi tampak menyesal sudah menyebut-nyebut soal seseorang yang harusnya ia kubur topik itu dalam-dalam. Dewi mau tak mau mengangguk lemah. "Biar aku yang pilihin kamu baju. Jangan nolak," ancam gadis berambut panjang itu pada Anggita sebelum gadis berjaket merah itu melangkah pergi.
"Loh, Wi. Anggita mana?" Juna celingukan mencari sosok Anggita yang harusnya terlihat mencolok karena mengenakan jaket merah.
"Lagi ke toilet," jawab Dewi disusul dengusan kesal. Tangannya sibuk mencari-cari pakaian yang cocok untuk Anggita.
Juna berkacak pinggang. "Kamu kenapa?" tanyanya heran. Tidak biasanya Dewi bersikap seperti ini.
Dewi menatap sang Kakak lewat sudut matanya yang menajam, lalu berdecak. "Bang Juna kenapa harus singgung soal jaket Anggita, sih?"
"Maksud kamu?" Juna mengernyit tak mengerti.
Raut muka Dewi semakin masam. "Jaket itu pemberian orang yang spesial buat Anggita. Dan orang itu udah nggak ada sekarang. Tega banget ya, Bang Juna. Dia bahkan nggak mau pakai jaket lain yang warnanya nggak mentereng dan milih pakai jaket merah itu kalau keluar."
Juna berjengit. Jantungnya terasa seperti dicubit karena ungkapan Dewi barusan. Tak butuh waktu lama hingga dadanya dipenuhi perasaan bersalah.
***
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro