Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🌵Bab 19🌵

ANGGITA menutup jurnal yang sedari tadi ia gunakan untuk membantunya mengajar Bima. Gadis itu tersenyum lega mengingat sesi mengajarnya minggu ini telah berakhir. Yang artinya, besok dia bisa menikmati hari libur dengan tenang.

Bima mengemasi buku-buku miliknya tepat ketika Anggita sibuk mengenakan jaket merah kesayangannya. Alis Bima terangkat. Pemuda itu mendadak penasaran. "Kak Anggi suka banget pakai jaket itu, ya?"

Anggita menoleh. Gadis itu tersenyum sekilas. "Iya. Kamu sadar, ya? Ini jaket dari sahabatku dulu," jawabnya setengah berbisik di kalimat akhir.

Mata Bima membulat. Mengetahui seorang Anggita juga bisa menerima pemberian, membuat lelaki itu semakin penasaran. "Oh ya? Jarang-jarang loh, Kak Anggi mau terima pemberian orang. Harus jadi sahabat dulu ya, biar bisa kasih sesuatu?" sindir Bima halus.

Pemilik rambut pendek itu terkekeh. "Nggak gitu, Bim. Ini pemberian terakhir dia sebelum pergi."

Bima menutup mulutnya spontan. "Ah, maaf, Kak. Nggak bermaksud," ucapnya menyesal.

Anggita menggeleng. Gadis itu segera memasukkan jurnalnya ke dalam tas ransel. "Kalau gitu, aku pulang dulu ya."

Pemuda yang masih mengenakan seragam putih abu-abu itu berdiri. Berniat mengantar Anggita sampai gerbang depan rumahnya seperti biasa.

"Kak Anggi mau gowes sampe rumah?" tanya Bima ketika mereka berjalan keluar dari pintu utama.

Gadis bermata cokelat itu mengangguk lagi. "Enggak, Bim. Aku mau naik heli," cibirnya seraya tersenyum miring. Membuat Bima tertawa.

Tepat di ujung tawa, suara petir terdengar. Anggita dan Bima mendongak bersamaan. Menatap langit yang mulai mendung.

"Kayaknya bakal hujan, Kak," gumam pemuda itu seraya berkacak pinggang.

Anggita memasukkan kedua tangannya ke saku jaket. "Yah, aku lupa bawa jas hujan," lirihnya menyesal. Tidak biasanya ia melupakan barang penting di musim penghujan seperti sekarang.

"Oh itu Pak Parjo!" seru Bima ketika mendapati sebuah mobil bercat hitam memasuki area pekarangan rumah.

Bima melambaikan tangan dan berteriak memanggil sang sopir kesayangan. Mobil yang awalnya hendak di arahkan ke garasi itu berbelok arah mendekat ke teras tempat Bima dan Anggita berdiri.

"Ya, kenapa, Den?" tanya Pak Parjo sopan setelah menurunkan jendela kaca mobil.

Bima menoleh pada Anggita. "Kak Anggi dianter Pak Parjo, ya," ujar pemuda itu setengah memaksa.

Anggita berniat menolak karena merasa tidak enak dengan Pak Parjo yang baru saja kembali dan terlihat letih. Namun, tepat sebelum kepalanya menggeleng, hujan deras mengguyur daerah itu langsung tanpa aba-aba. Anggita sampai berjengit karena kaget.

"Tapi ... sepedaku?"

Bima menepuk dahi. "Oh iya. Mau dibawa sekalian?"

Anggita mengangguk. Kalau sudah begini, ia tidak bisa menolak tawaran.

"Okay," kata Bima. Pemuda itu beralih menoleh pada sang sopir. "Pak Parjo, sepeda di garasi, tolong di bawa juga, ya."

Pria berkumis itu mengangguk paham. "Siap, Den. Saya masuk garasi dulu biar nggak kehujanan."

Setelahnya, mobil bercat hitam itu melaju pelan ke arah garasi besar di sisi rumah. Meninggalkan Anggita dan Bima yang kini berdiri berdampingan menunggu pria berkumis tersebut.

***

"Terima kasih banyak, Pak," ucap Anggita tulus ketika Pak Parjo berhasil menurunkan sepeda Anggita yang basah di belakang mobil.

Anggita tidak mempermasalahkan hal itu. Gadis itu malah bersyukur setidaknya bisa pulang tanpa harus hujan-hujanan.

"Nggih, Non. Sudah jadi tugas saya," balas Pak Parjo dengan aksen jawanya yang khas.

Anggita sekali lagi mengucapkan terima kasih, lalu menuntun sepedanya memasuki pekarangan rumah yang berumput. Terlihat hamparan hijau itu basah karena sisa hujan.

Mobil hitam yang dikemudikan Pak Parjo segera melesat pergi bertepatan dengan Anggita yang memarkirkan sepedanya di teras.

"Siapa tadi?" Suara itu berhasil membuat Anggita berjengit. Gadis itu menoleh ke arah pintu. Terlihat sosok pria berambut hitam dengan beberapa helai uban tengah berdiri bersidekap menyambut Anggita.

"Sopir keluarga yang ku-les, Pa," jawab Anggita sedikit takut. Gadis berjaket merah itu berjalan. Berniat menyalami sang Ayah. Namun, sayangnya langsung ditepis.

"Keluarga mana?"

Anggita merasa sedikit keberatan menjawab pertanyaan sang Ayah. "Kurang tahu, Pa."

Alis pria itu terangkat sebelah. "Masa nge-lesin anak keluarga kaya nggak tahu nama keluarganya. Kamu ini katrok apa gimana?"

Anggita lagi-lagi hanya bisa berusaha menahan diri dengan tersenyum pahit. Gadis itu sudah hafal tipikal sifat kedua orangtuanya. Sama-sama mata duitan.

"Mama mana?" tanya pria itu lagi. Membuat Anggita menggaruk rambutnya bingung. "Aku baru pulang. Jadi nggak tahu, Pa."

Pria itu mendengkus kesal. "Ibu sama anak sama aja. Pergi nggak izin, pulang seenaknya."

Anggita menarik napas dalam. Membenarkan posisi ransel di punggung yang mulai terasa berat.

"Kamu masak sana. Papa sama Angga udah laper. Entah kapan Mamamu itu pulang."

Anggita mengangguk. Ikut mengekori sang Ayah yang masuk ke dalam rumah.

"Kak Anggi lama banget, dah. Laper nih!" Angga menggerutu di depan televisi. Pemuda itu memasang wajah tanpa dosa menyambut sang Kakak yang baru saja pulang dan letih.

Pemilik rambut pendek itu menghela napas. Memasuki kamarnya, berniat mengganti pakaian. Ketika masuk, matanya langsung disambut dengan pemandangan tidak menyenangkan. Celengan yang selama ini ia sembunyikan di dalam lemari pakaian, tergeletak di atas kasur dengan kondisi yang membuat emosi Anggita tersulut. Anggita melangkah cepat menuju kasur. Menyambar benda tabung itu dengan mata berkaca-kaca. Terlihat jelas sekali benda itu baru saja dibongkar.

Tangan Anggita mengepal, sementara rahangnya terkatup. Gadis itu memutuskan balik badan dan keluar dari kamar dengan ekspresi marah.

"Angga!" seru Anggita sudah habis kesabaran.

Angga yang tadinya tertawa melihat siaran televisi, menoleh. "Apa?" tanyanya sedikit malas.

Anggita mengangkat celengan yang sudah terbuka itu dan berkata, "Kamu yang ambil celenganku?!"

Dahi Angga terlipat. Memasang wajah tak suka "Kak Anggi nuduh aku?"

"Siapa lagi kalau bukan kamu?" desis Anggita dengan wajah memerah. Berusaha menahan diri agar tidak menangis. Celengan yang ia isi selama ini adalah untuk biaya kuliahnya sekaligus investasi untuk memulai bisnis yang ia impikan sejak dulu.

Angga bangkit berdiri. "Hah? Kok bisa-bisanya Kak Anggi nuduh aku?"

Anggita berdecih. "Kamu juga ngambil uang Kakak di dompet, 'kan? Jangan kira aku nggak tahu soal itu."

Angga membanting remote TV yang sedari tadi ia genggam. Berhasil menimbulkan suara yang cukup keras hingga membuat Ayah mereka keluar dari kamar dengan perasaan marah.

"MAKSUD LO APA, HAH?" teriak Angga tepat ketika sosok Aga baru saja masuk ke dalam rumah sambil menenteng tas ransel.

***

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro