Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 1 Bukan Arjuna

Jika saja waktu dapat diputar .... Oh, aku benci kalimat itu. Karena sekarang, aku lebih ingin memasukkan kepala ke dalam bumi sedalam-dalamnya. Bersembunyi, tanpa mau keluar lagi.

Rasa sakit dan kecewa terus menghantuiku. Sialan!

"Maafkan aku, Ken. Tapi kurasa aku bukan orang yang kamu cintai ...."

Gadis itu menatapku dengan bulir bening yang merebak di kedua netranya. Bukan ini yang aku inginkan, Brengsek!

"Kamu terlalu baik buat aku. Tapi kita semua tahu, bukan aku cinta sejatimu ...."

Kupaksakan membuka mulut yang sedari tadi terkunci. Ingin sekali aku meneriakkan segala sumpah serapah yang aku tahu, but damn!

The bell rang!

Kubuka mata dan menyadari aku terbangun di kasur busa apak sialan di kosan.

Mimpi sialan itu lagi! Geram aku mengingatnya. Bisa nggak adegan itu dihilangkan dari ingatanku? Aku yakin bahwa mimpi ini bukan cuplikan dari pengalamanku, tetapi saat aku mengalami mimpi itu, hatiku selalu terasa sangat sakit. Aku bahkan tak bisa mengingat wajah dan suara dari gadis yang bicara denganku. Ah sudahlah. Orang bilang, mimpi hanya bunga tidur, kan? Mungkin aku teramat lelah karena mengalami mimpi yang tidak mengenakkan terus menerus.

Baiklah, sekarang mari kembali ke alam nyata. Aku meraih ponsel yang terletak di atas meja kecil di sebelah kiri kasur busa yang entah kapan terakhir kali dicuci. Sejak aku menempati kos ini, kasur tersebut tak pernah berbau wangi dan aku sendiri malas mencucinya. Kosan ini terletak tak jauh dari kampus, hanya sepuluh menit dengan mengendarai motor. Harganya cukup murah, apalagi dengan fasilitas kasur, kamar mandi di dalam kamar, kipas angin dan lemari kecil. Aku hanya membeli meja untuk meletakkan laptop dan hp agar bisa kugunakan untuk mengerjakan tugas kuliah. Dan karena harganya murah, aku harus puas meskipun dindingnya sangat kusamーtidak jelas apa warna aslinya. Dindingnya juga lembab dan berjamur, seringkali terasa dingin manakala musim hujan. Ada beberapa noda besar seperti tumpahan air di beberapa bagiannya, semakin menambah nuansa seram. Sayangnya karena aku sangat terlambat mencari kos, jadinya hanya pilihan ini yang tersisa. Papa dan mama sempat memprotes dan ingin menyewa kos yang lebih bagus, tetapi semua kos yang jaraknya dekat dengan kampus penuh. Mungkin jika aku bisa bersabar sampai tahun depan, mengasumsikan ada kakak kelas yang lulus dan pindah, aku bisa mendapatkan kos yang lebih baik. Bagaimanapun, pengemis tak bisa memilih.

Ponselku berdering, sementara aku masih bermalas-malasan di atas kasur. Tumben sekali Kinan belum menjemputku. Biasanya dia akan datang mengetuk pintu kos untuk berangkat bersama. Mengingat awal perjumpaan kami yang sangat menjengkelkan, aku sendiri heran bisa berteman dengannya untuk waktu yang lama. Aku kadang sering tertawa mengenang hal itu. Kinan memang masih bawel dan sok tahu dan sok cari muka di depan orang, tetapi dialah satu-satunya teman yang awet denganku sejak SMP.

Kuraih ponsel dengan enggan. Ada panggilan masuk dari Kinan, membuatku menghela napas. Ngapain sih pagi-pagi dia telepon? Pasti dia minta dijemput lagi bukannya nyamperin ke sini. Dia kos juga tak jauh dari tempatku, sebuah kosan putri yang harganya serta fasilitasnya tak jauh berbeda dari kamar kosanku. Itu pun Kinan merasa bersyukur, karena secara ekonomi, pendapatan ibunya jauh lebih rendah dibandingkan dengan keluargaku.

"Hmmm?" sahutku malas-malasan, seraya mengucek-ucek wajah. Aduh, rasanya malas sekali harus berangkat kuliah. Aku memandang jemu ke arah poster Rendra yang tertempel dengan enggan di dinding kamar. Karena dindingku selalu lembap, poster itu bahkan sudah mulai sobek dan nyaris copot. Sepertinya poster ini memang harus diganti baru.

"Ya ampun, kamu baru bangun?" Ya ampun, logat Semarangnya itu bahkan terdengar lebih udik sekarang. Apa dia nggak bisa pake bahasa gaul dikit?

"Iya, Bawel. Abis ini aku mandi dan jemput." Pendek saja jawabanku. Karena aku tahu pasti dia akan mengomel panjang lebar setelah ini, apapun yang kukatakan.

"Ken, ini udah jam berapa? Jam pertama ini Bu Rani lho! Berani banget mangkir?" Omelan Kinan di seberang sana rasanya seperti rentetan peluru yang mendesing di medan perang. Astaga. Aku memutar bola mata.

Aku mulai bangkit berdiri dan menuju kamar mandi yang terletak di sudut kamarーlebih tepatnya sebuah WC dengan ember yang lebih besar untuk menampung air lebih banyak sehingga bisa digunakan untuk mandi. Luas kamar kos ini saja tak lebih besar daripada kamar mandi rumahku. Mama bahkan nyaris pingsan saat pertama kali kemari. Mama sangat sangsi apakah aku bisa bertahan hidup di kamar kos yang kecil dan suram ini.

"Kinan, bisa diam bentar? Pusing kepalaku tahu denger kamu ngoceh!" pungkasku segera. Bukan kurang ajar, tapi aku udah biasa ngomong kayak gini. Dan dia woles aja.

"Eh, kowe iku yo. Dikandani kok angel. Ini sudah jam berapa, Ken? Mau datang kuliah jam berapa? Bisa-bisa kamu dimakan hidup-hidup sama Bu Rani!" Ya Tuhan, ngomel lagi deh nih si ratu perpus. Ampun!

"Emang jam berapa sih? Berisik amat!" sergahku seraya menjauhkan ponsel dari telinga dan menatap petunjuk waktu di sudut kiri atas layar. Oh My God! Jam masuk kurang sepuluh menit lagi! Segera saja kututup teleponnya. Argh!

Bergegas aku mandi kilat dan berganti baju. Menyemprotkan parfum favoritku dan nyaris terjungkal saat terburu-buru. Duh. Sepatu, aku lupa pake sepatu! Dimana sepatu sialan itu sekarang?

Sepuluh menit berikutnya, aku berhasil sampai hidup-hidup di kelas Bu Rani. Entah kenapa meskipun aku sudah secepat kilat menuju kampus, aku selalu terlambat kuliah pagi. Tapi kali ini, nyaris saja. Aku masuk kelas bersamaan dengan Bu Rani yang melangkah ke dalam dengan anggun. Kulayangkan pandang ke penjuru kelas, lalu segera berlari menuju bangku kosong di sebelah sahabatku, Kinandita Alesha.

Dia mendengkus saat pantatku sukses mendarat di kursi. "You're almost late."

"Thanks to you, Darling," bisikku seraya mengedipkan mata. Biasanya, semua cewek yang menatapku akan klepek-klepek dengan jurus ini tapi tidak dengan Kinan. Dia hanya memutar bola mata dan kembali menekuni buku setebal 500 halaman. Sumpah demi Tuhan yang Maha Esa, aku pasti akan mengorok begitu membaca halaman pertama. Kalau novel tebal, aku sih nggak masalah. Tapi kalo masalah perekonomian ini, beh! Buat bantal aja udah.

*****

"Hei, Kenzo. Malam ini kita jadi kan nonton bareng?" Gadis cantik bertubuh mungil menghampiriku seusai kelas. Oke sebelumnya, aku sama sekali tidak ingat namanya dan rencana yang telah kubuat dengannya. Tunggu, apakah dia Manda atau Alya? Riska? Dia juga bukan teman sekelasku, jadi aku kurang familiar dengan wajahnya.

Aku menoleh ke arah Kinan dan mencoba meminta bantuan. Gadis itu pasti tahu orang yang sedang mengajak bicara padaku saat ini. Tapi dia sama sekali tidak peduli. Malah dia memasang wajah datar dan sebelah alisnya terangkat. Setan alas!

"Eh ya, nonton kapan? Nonton apa?" tanyaku, mencoba bersuara setelah beberapa detik terdiam sembari mengingat siapa dirinya. Film apa yang sedang tayang saat ini? Sial, aku juga lupa. Duh, Gusti!

"Aku tunggu di rumah, ya." Gadis itu berlalu pergi setelah tersenyum manis.

"Baiklah, er ... ya." Persetan siapa namanya. Akan kucari tahu nanti. Kudengar suara decakan di belakang punggung.

"Gila, ya. Masak iya kamu nggak apal udah janjian sama sapa. Playboy payah!" sungut Kinan.

"Hei, aku bukan playboy tahu. Mereka yang ngajakin jalan, apa salahnya nolak." Aku mengangkat bahu. "Tapi siapa sih namanya? Kamu juga nggak kenal ya?"

"Hah! Nggak bakal aku kasih tahu kamu." Kinan menyibak rambut panjangnya yang indah. Jujur saja, gadis ini memang oke banget. Oke wajah, oke otaknya juga. Sayang ketus banget kalo ngomong. Belum lagi logat medoknya itu. Tapi sampai sekarang, aku sama sekali nggak kepikiran jadiin dia pacar.

Kami berjalan bersisian keluar dari kampus, menunggu saat jam kuliah yang kedua. Ruang kelas yang kedua letaknya agak jauh dari yang pertama, sehingga kami harus sedikit bergegas. Saat kami berjalan, beberapa mahasiswi yang berpapasan denganku selalu melempar sapaan dan senyum manis menggoda. Membuat Kinan di sebelahku berdecak kesal. Ada juga sih yang menyapa Kinan, tetapi hanya sebagian kecil, karena mereka kenal.

Meskipun begitu, Kinan sendiri bukan cewek kutu buku yang penampilannya jelek seperti yang ada di film-film. Biasanya cewek kutu buku selalu digambarkan berkacamata, pakaian yang tidak menarikーseperti kemeja yang kampungan dan celana/rok yang tidak matching. Rambut selalu dikuncir, kadang ada yang keriting dan kusut. Tetapi jika kau melihat sahabatku ini sekarang, kau pasti akan merasa seperti dibrainstorming.

Kinan selalu mengenakan baju dan rok yang berwarna pastel, sesekali celana yang senada dengan pakaiannya. Rambutnya yang lurus selalu tampak rapi dan lembut, dengan hiasan bando atau pita. Teman-teman cowokku selalu menyebutnya manis.

Tanganku merangkul bahunya, menarik gadis itu mendekat. "Besok tugas apa yang butuh dikumpulin?"

"Ya ampun, aku bukan sekretarismu, tahu. Urus urusanmu sendiri" Gadis itu mendorong bahuku dengan kasar. Kemudian dia membenahi tas ranselnya yang bergaya vintage, dan memasuki kelas kedua kami. Seperti biasa, tanpa janjian, kami selalu duduk bersebelahan.

"Halah, bilang aja minta traktir makan siang. Kuy ngebakso!" ajakku seraya membuka ponsel yang sedari tadi berbunyi terus menerus. Aku tahu nanti pasti Kinan akan memberitahuku, jadi ucapannya barusan kuanggap sebagai gertakan.

Ada beberapa chat yang belum kubuka, sebagian berupa nomor bukan nama. Aku tak mau menyimpan nomor cewek banyak-banyak, meskipun entah kenapa selalu saja ada nomor baru yang mampir ke chat-ku. Resiko jadi cowok ganteng, biasa. Aku tersenyum membaca pujian yang dilontarkan cewek-cewek itu via chat. Namun senyumanku mendadak lenyap begitu aku menyadari sesuatu.

Tanganku baru saja mengusap layar ke bawah hingga ke chat dengan nomor telepon keempat dan aku segera saja dihantui kepanikan. Sialan, hari ini aku udah ngajak janjian tiga orang cewek di jam yang sama! Ya ampun! Pantas saja cewek yang tadi itu mengingatkan aku tentang nonton!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro