Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Binasa

Seharusnya, semalam Kala berdoa saja agar Tuhan mau memberinya sakit pagi ini. Agar paling tidak, jas almamaternya tidak harus dikotori air bekas cuci piring yang menguarkan aroma busuk, entah dicampur dengan apa, tapi ia yakin salah satunya adalah telur yang tak layak lagi dikonsumsi.

'Apa mereka mencampurnya juga dengan kotoran kucing?' Kala bertanya-tanya, saat penciumannya menghirup bau yang menusuk tajam. Tangan kurusnya gemetaran, menyentuh perut yang terasa berputar hebat dan seakan siap untuk melesakkan apa pun sisa makanan di dalamnya. Sejak tadi ia mual, tapi sekuat tenaga berusaha tidak muntah, atau dia akan semakin disiksa.

BRAAAK

Suara bantingan ember plastik menyentak Kala, gadis yang baru beberapa detik lalu tersungkur ke lantai-hingga hidungnya kesekian kali hampir patah membentur marmer dingin kamar mandi aula.

Terisak kecil, Kala mencoba bangkit berdiri, tetapi dua kali usahanya gagal karena lantai yang licin.

"Mau gue bantu berdiri, Kal?" sebuah suara mengalihkan fokus Kala yang tengah meringis kesakitan. Ia menoleh, menatap seorang gadis cantik yang menjulang tinggi di hadapannya. Carissa.

Di sekeliling Carissa, masih setia berdiri para gadis lain yang selama ini kerap mendedikasikan diri mereka sebagai dayang-dayang sang primadona Taraksa University.

"Mau gue bantu, nggak, Kal?" suara Carissa terdengar lagi, membuat Kala mengangguk lemah, sebuah senyum penuh harap menghiasi wajah pucatnya.

Hingga beberapa detik kemudian, Kala merasa begitu bodoh karena tidak pernah belajar dari pengalaman dan masih saja berharap Carissa punya sedikit belas kasihan untuk membantunya. Karena saat Kala mengulurkan tangan kanannya yang masih bergetar, berharap sang mantan sahabat akan menyambut ulurannya, hanya guyuran air bau lagi yang tubuhnya dapat. Belum sempat Kala mengambil napas disela-sela siraman yang mengenai wajah, sebuah telur terlempar mengenai pelipisnya. Telur-telur busuk lain menyusul, seolah bekerja sama untuk memecahkan kepala Kala. Terlempar dari tangan-tangan manusia tak berperasaan yang dipimpin oleh seorang Carissa Velia.

"Be-be.. ber-henti!" Disela-sela usahanya mengusap wajah berkali-kali, Arum memberanikan diri melawan. Usaha yang sebenarnya sudah dia lakukan sejak awal, tapi selalu berakhir sia-sia. Karena, Carissa memiliki kartu matinya.

"CARISSA!"

Semua kepala menoleh ke arah pintu masuk. Terlalu asyik menjadikan Kala sebagai mainan untuk disiksa, Carissa dan teman-temannya tidak sadar entah sejak kapan pintu masuk kamar mandi terbuka. Seorang gadis berambut lurus panjang yang memiliki bola mata sehangat madu, berdiri dengan mulut terperangah beberapa detik lamanya.

Mengambil kesempatan dalam hening yang menyapa, dengan cepat Kala menghapus kasar cairan kental telur dari wajahnya. Tidak peduli seberapa mual perutnya sekarang, karena tertelan cairan kuning yang penuh amis.

"Waah," Carissa berdecak terpukau, apa pun maksudnya, Kala tau itu bermakna ejekan, bukan kekaguman. "Haii, Cahaya. Mau mencoba jadi pahlawan?"

Bukannya ketakutan karena ketahuan, Carissa justru berkata demikian. Membuat nyali Kala makin menciut. Namun, seperti biasa, gadis bernama Cahaya Larasati itu tidak pernah gentar melawan Carissa and the gengs. Sangat berbeda dari Kala, hanya bisa menangis saja.

"KAMU APAIN KALA?" bentakan Cahaya menggema di setiap celah kamar mandi, Kala menatapnya, mendapati mata bulat gadis itu kini memandangi Carissa penuh bengis. Yang ditatap hanya balas tersenyum, seakan menantang.

"Lo punya niat nolongin ini cewek, ya? Kenapa? Atas rasa kemanusiaan? Atau..." Carissa memicingkan mata, seiring langkah-langkahnya yang semakin mendekati tubuh Cahaya. Di belakangnya, para the gengs tertawa mengejek.

Satu telunjuk Carissa menekan-nekan ujung bahu kanan Cahaya, "Supaya Magenta ngelihat lo yang berbuat baik ke Sandyakala, terus dia akan muji lo habis-habisan karena lo baru aja bertindak sebaik malaikat ke mantan pem-bully lo sendiri? Iya, hah?!"

Kala memejamkan mata, menggigit bibir kuat-kuat. Tidak, dia tidak siap. Dari sekian orang yang sejak tadi ia harapkan dapat menjadi penyelamatnya, kenapa harus gadis itu?

Gadis yang sangat Kala benci. Sejak dulu. Bahkan hingga sekarang.

"Enggak usah sok jadi pahlawan, deh, Cahaya!" Kenzie, cewek yang paling terlihat menonjol karena mata birunya, membentak.

"Tau, nih! Kalau lo mau pake toilet, ya, ke toilet aja." Suara Hellen, cewek di samping Kenzie, kini menyusul. "Nggak usah ikut campur urusan kita, deh! Pake bentak-bentak kita segala lagi!" Ia ikut-ikutan bergerak mendekati Cahaya, memandanginya tajam. "Emang lo kira lo siapa? Anak miskin aja belagu."

Cahaya menghela napas, menyulut emosi Carissa yang masih setia berdiri di depannya. "Nggak mungkin aku diam aja kalau lihat kalian tindas Kala kayak gini. Kalian gila, ya? Kasihan Kala!"

"HEH!" satu jambakan kuat mengenai rambut Cahaya. Tapi gadis itu tetap tenang. "Ini itu lagi expo fakultas, Riss! Orang di luar lagi pada sibuk, kalian kenapa malah bully orang?!" Kala melihatnya mencoba melepaskan tangan Carissa dari rambutnya, tapi jambakan itu terlalu kuat hingga Kala sendiri ikut meringis kesakitan.

"Hentikan sekarang juga! Atau aku bakal laporin ke Dekan perbuatan kalian ini."

Tawa meremehkan membahana.

"Lo ngancam kita?" tanya Carissa.

"Iya! Aku bakal-"

Ucapan Cahaya tak pernah tergenapi karena tubuhnya sudah terdorong hingga membentur dinding di dekat Kala, lalu perlahan-lahan tubuhnya merosot jatuh hingga gadis itu terduduk di lantai kamar mandi yang dingin.

Setelah itu, Carissa benar-benar dikuasai iblis. Ia memerintah dengan bentakan pada para dayangnya untuk mengambil ember berisi penuh air dari dalam setiap bilik toilet, lalu menyiramkannya, dengan segenap kemarahan, ke atas kepala Cahaya sebelum orang yang sempat membela Kala itu berhasil menghindar.

Kala terperanjat kaget, meski membenci Cahaya. Ia tetap merasa sangat bersalah padanya. Namun dalam kondisi seperti sekarang, Kala terlalu takut melawan Carissa.

"Cewek miskin! Denger, ya! Malam ini gue nggak punya urusan apa-apa sama lo. Udah bagus lo gue kasih waktu ngejalani hari dengan tenang seharian ini. Enggak usah sok-sok ngebela orang lain dan buat gue jadi hilang kesabaran." Carissa menekan setiap kata-katanya. Telunjuk kanannya menunjuki Kala dan Cahaya bergantian, dengan senyum yang terulas menghina.

"Bagus banget, deh, kalian terkapar berdua di lantai kaya gini. Cocok banget!" Carissa bertepuk tangan. Tawa teman-temannya pun ikut menyulut emosi.

"Yang satunya anak miskin dari orok." Pandangan tajam Carissa berpindah pada Kala. "Satunya lagi anak kaya bangkrut yang enggak berguna apa-apa lagi." Satu telapak tangan Carissa menutup mulutnya dengan mata membelalak kaget. "Oh! Oh! Satu lagi, gue lupa! Anak kaya bangkrut yang bapaknya KORUPTOR! Dan sekarang bapaknya yang tua renta itu udah masuk penjara. Bagus banget, deh."

"Jangan hina Ayah aku, Carissa!" lemparan ember ke dinding dibelakangnya, dan berakhir memental hingga membentur kepala Kala, membuat gadis itu meringis kesakitan. Air mata tidak sanggup lagi untuk dirinya tahan.

"Dasar cengeng!" ejek Carissa.

"Kalian benar-benar keterlaluan! Enggak puas apa bully orang tiap hari?" Cahaya yang hendak bangkit, terdorong untuk jatuh terduduk kembali ketika Carissa mencekik lehernya. Seolah siap mematahkan.

"Awas lo, ya, kalau berani lapor sama Dekan! Gue pastiin jatah beasiswa lo selesai malam ini juga!" Carissa menatap tajam Cahaya sejenak, sebelum beralih pada Kala yang gemetaran. Perasaan penuh emosi dan sangat terhina yang Kala rasakan, berpadu satu dengan tubuh gemetarannya yang menggigil karena basah dan kedinginan.

"Awas juga kalau kalian berdua sampai berani-beraninya lapor ke Magenta. Terutama lo, Kala! Jangan macem-macem sama gue atau ayah Lo bakal mendekam di penjara puluhan tahun lagi! Seumur hidup kalau bisa! Lo ingat bokap gue punya kuasa besar buat ngelakuin itu, kan?"

Tentu. Kala ingat jelas seberapa besar saham Om Hermawan, ayah Carissa, yang dirugikan oleh ayahnya. Meski tidak sebesar harta keluarga Magenta yang terguras habis oleh ayah Kala, tapi Om Hermawan adalah satu-satunya orang yang paling berapi-api menjebloskan ayah Kala ke dalam bui.

Kala tidak mempermasalahkan hal itu sebenarnya. Dia tidak dendam pada Om Hermawan. Dirinya tahu sang Ayah salah. Sangat salah. Tidak apa-apa juga jika Carissa, Hellen, dan Vina tidak lagi mau berteman dengannya-meski ia sendiri tidak tahu menahu perihal korupsi yang dilakukan sang Ayah.

Tetapi, apakah hukuman bagi Kala tidak cukup dengan sang Ayah yang akan menghabiskan separuh hidupnya di ruang sempit seperti penjara, seluruh harta yang tak tersisa satu pun kecuali tabungan untuknya bisa berkuliah selama beberapa semester lagi, serta Bundanya yang sudah menghadap Sang Pencipta tepat di saat beliau mendengar kabar suaminya masuk penjara?

Tuhan masih ingin memberi hukuman lain juga kah pada Kala?

Dengan semua anak kampusnya yang menjauh satu-persatu. Semua yang memujanya selama ini perlahan-lahan membentang jarak. Ada yang diam-diam, ada juga yang terang-terangan. Parahnya, bully-an verbal dan fisik juga menyerang Kala. Seolah ia bukan hanya anak koruptor, tapi dirinya sendiri diumpamakan pembunuh ratusan manusia.

Diri Kala.. seakan penuh dosa yang tidak bisa ditebus sekali pun ia menghabisi nyawanya sendiri.

Bantingan pintu cukup keras menyentak Kala dari lamunan. Saat menoleh ke sumber suara, barulah ia sadat bahwa hanya dirinya tersisa berdua dengan Cahaya.

Gadis itu.. gadis yang pernah Kala bully ketika dirinya masih tergabung dalam komplotan Carissa, berusaha berdiri dengan cepat. Lalu segera mengambil berlembar-lembar tissue yang tergantung di samping wastafel.

Kala bisa menangkap sirat cemas yang tulus dari kedua bola mata milik gadis yang tanpa meminta izin, kini bergerak mengusap wajah Kala yang basah dengan caira kental.

"Apa yang mereka lakukan, sih, sampai tega buat kamu kayak gini, Kal? Aku beneran enggak habis pikir. Kamu enggak apa-"

Gerakan tangan Cahaya terhenti karena Kala memegang erat pergelangan tangannya. Lalu keterkejutan tidak bisa gadis itu tutupi ketika Kala menyentak tangan Cahaya dalam satu tepisan cepat.

Pendar cemas tersirat dalam kedua manik hitam gadis berambut sebahu itu.

Seperti biasa, seperti kali pertama Kala melihat rupa Cahaya, mata gadis itu  memancarkan pendaran terang yang selalu mempesona. Seperti namanya.

Pantas saja, Magenta mencintai gadis itu.

Bukan Kala.

Dan, seolah terlempar pada semua bayangan masa lalu di mana Magenta senantiasa menghindari Kala, namun setia di dekat Cahaya dan kian memperhatikannya, rasa iri menyembul semakin jelas ke permukaan. Menutupi rasa haru yang sempat Kala rasakan beberapa menit lalu, saat Cahaya membelanya mati-matian dari Carissa.

Kala marah. Sangat.

"Makasih. Tapi cukup. Enggak usah buat baik ke gue lagi. Gue enggak pernah minta bantuan lo, jadi jangan repot-repot." Dengan menahan sakit di lutut dan pusing yang teramat sangat, Kala membuang semua tissue pemberian si gadis baik hati ke tong sampah, lalu menarik lembaran tissue lainnya dengan tangan sendiri.

Mengabaikan seruan Cahaya yang menyebut namanya, Kala beranjak pergi dengan langkah cepat. Dia tidak sanggup berada di dekat Cahaya lagi. Dirinya tersiksa karena selalu membanding-bandingankan gadis itu dengan dirinya sendiri-yang kini tidak punya satu pun kelebihan lagi.

Meski, ada rasa lain yang lebih menguasai alasan mengapa Kala tetap bersikap ketus pada gadis itu.

Malu. Kala terlalu malu atas apa yang pernah dilakukannya dulu pada Cahaya. Sementara ketika takdir memutar keadaan mereka, menempatkan Kala di titik terendah, Cahaya bukan membalas menyerang, namun malah tetap menolong Kala dengan segenap kemampuannya.

Tuhan...

Sepertinya, aku tahu kenapa Engkau tidak mengizinkanku berhenti merasakan siksaan. Aku terlalu hina untuk mendapatkan maaf dari seorang Cahaya Larasati, kan?

Di ujung lorong, tubrukan wajah Kala pada bahu seseorang membuat gadis itu terkesiap. Sembari mendekap tubuhnya sendiri yang basah dengan kedua tangan, Kala menunduk dan berujar, "Maaf."

"Sandya."

Leher Kala serasa tercekik. Satu-satunya orang yang memanggil nama depannya hanyalah..

"Gen-Genta.." lirihnya, begitu sudah mengangkat wajah. Kedua kelopak mata Kala memanas, siap menumpahkan bulir kesedihan di pipi. Selalu seperti ini, Magenta selalu menjadi muaranya untuk berpulang menghantarkan segala asa, di kala dirinya lelah dan menghadapi masalah berat.

Sayang, bahagia yang Kala rasakan semu adanya. Karena, bukannya menanyakan keherananan-paling tidak sebagai teman satu jurusan- mengapa tubuh Kala basah-basahan dan menguarkan aroma tidak sedap, Magenta justru bertanya sesuatu yang membuat jantung Kala teremas kuat.

"Kamu lihat Cahaya? Tadi dia izin ke kamar mandi. Kamu baru dari sana, kan? Cahaya masih di sana, enggak?"

--- To Be Continued ---

-------------

Jangan timpuk aku karena aku selingkuh, ya /salamsatusatupembaca

Well, ini adalah genre yang dari lama pingin banget kubuat. Saking exited, ke-post dah. Mohon maaf yaa hihi

Siapin tissue? Gak payah, kayaknya ceritanya gak sad-sad banget walau sebenarnya aku pingin banget nyiksa tokohnya sampe ending /digeplak

Karena, cerita ini kemungkinan besar punya bab yang lebih dikit dari ceritaku yang lain, jadi 1 bab-nya puanjang /ditimpuksepatu

Oke, punten. Aku ngerjain yang lain dulu /angkatkakiseribu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro