Bab.3a
Haih, mati aku. Satpam udah nongkrong di depan.
Berlari sekuat tenaga, Asmara menggerutu dalam hati karena datang terlambat. Pintu pagar nyaris ditutup rapat, hanya menyisakan jarak sempit untuk satu orang masuk. Seorang satpam menunggu di depan dengan wajah galak.
"Pak, huft-maaf. Pak, nyaris saya telat." Asmara berucap dengan napas ngos-ngosan, dia mengelus dada berusaha melancarkan pernapasannya.
"Bukan nyaris, Neng. Tapi sudah telat," jawab Satpam dengan tegas.
"Iya, tapi pintu masih dibuka, Pak. Saya masuk aja langsung ya?" pinta Asmara.
Pak Satpam menggeleng, merentangkan tangannya dan memandang Asmara dengan galak, "Jangan main-main ya, Neng. Udah telat ya telat aja."
"Pak, belum juga semenit," rengek Asmara.
"Tetap saja, itu Namanya ter—."
Suaranya terputus saat sebuah motor melaju kencang dari jalanan dan berhenti pas di depan mereka. Si satpam maupun Asmara terlonjak dan menyingkir ketakutan.
"Wei, kamu nylonong aja!" teriak satpam pada pengendara motor.
"Aduh, Pak. Saya telat nih?" Pengendara motor membuka helmnya, Asmara kaget melihat wajah Devan dengan rambut berantakan menyembul dari balik helm. Devan memandangnya sekilas sebelum motornya digebrak.
"Kamu mau membunuh saya, ya?" tanya satpam padanya.
"Nggak lah, Pak. Untungnya buat saya apa coba? Emang kalau Pak Satpam mati saya dapat warisan atau asuransi?" sahut Devan sambil nyengir.
"Kalau gitu kenapa kamu kencang sekali bawa motor? Kamu sudah tahu ini area sekolah?"
"Lah, sudah saya bilang saya telat, Pak."
Asmara memandang bingung pada perdebatan dua orang di depannya. Dia melihat halaman sekolah yang mulai sepi dan kuatir ketinggalan jam pelajarn pertama. Saat itulah dia melihat Devan memberi tanda agar dia pergi.
"Siapa suruh kamu telat, hah?" tanya Satpam dengan sengit.
"Kesiangan, Pak. Maklum anak muda kalau malam kami banyak urusan, Pak Satpam kayak nggak pernah muda aja." Devan menggoda Satpam di depannya.Tangannya melambai pada Asmara diam-diam, memberi tanda agar dia pergi.
Tanpa perlu disuruh dua kali, saat Devan masih berdebat sengit dengan satpam, Asmara diam-diam berlari meninggalkan mereka berdua. Tanpa menoleh lagi untuk memastikan apakah sang satpam melihat kepergiannya atau tidak.
Untunglah guru pelajaran pertama belum datang saat dia duduk di kursinya. Asmara mengeluarkan buku-bukunya dan mengatur napas untuk meredakan dadanya yang terasa sesak sehabis berlari. Setelah ditunggu selama dua puluh menit, guru Bahasa Inggris tidak juga datang. Suasana kelas mulai ramai saat mereka menyadari jam pertama akan dilalui tanpa guru.
Asmara merasa lega saat dia terlambat tidak ada guru yang memergoki. Meski dia tidak pernah datang terlambat sebelumnya tetap saja dia merasa takut. Kemarin ibu tirinya memberi pekerjaan yang luar biasa banyak. Sepulang dari spa dia harus masak untuk kakak tirinya yang tidak becus apa-apa lalu membersihkan rumah dan mengerjakan pr. Saat selesai semua waktu hampir menunjukkan pukul satu dini hari. Asmara yang kecapean akhirnya tertidur lelap dan bangun kesiangan.
Pintu kelas yang semula tertutup menjeplak terbuka, masuk Devan dengan langkah santai seperti biasanya. Kelas yang semula ramai bertambah riuh karena kedatangannya.
"Hei, kudis. Lo telat ya?" teriak salah seorang anak cowok dari sudut belakang.
Devan berjalan lurus ke kursinya, tidak peduli padanya.
"Eih, selain kudis juga budek rupanya," teriak Steven yang disambut tawa teman-temannya. Devan mengenali mereka sebagai orang yang mengerjainya kemarin, dia mengacungkan jari tengah pada mereka sebelum menghenyakkan diri ke kursi. Seketika suara tawa meledak diiringi sumpah serapah dari cowok yang menggoda Devan.
Asmara menunduk di atas bukunya. Entah kenapa dia merasa senang melihat Devan datang. Setidaknya dia lega karena Devan tidak dihukum.
"Lo nggak dihukum?" tanya Asmara pelan pada Devan yang sedang sibuk merapikan alat tulisnya.
Devan menoleh sekilas.
"Lo tanya sama gue?" tunjuknya pada diri sendiri.
Asmara memutar bola matanya dengan gemas. "Iyalah, masa nanya sama tembok."
Devan tidak menjawab, tetap sibuk dengan buku-bukunya.
"Nggak usah kuatir sama gue, Marmut. Kalau cuma masalah satpam buat gue gampang," ucapa Devan pelan.
"Nama gue, Asmara bukan marmut!" sahut Asmara kesal.
Devan menatap Asmara yang cemberut dengan senyum terkulum, menahan geli melihat Asmara yang marah "Iyaa, gue tahu lo imut kayak marmut. Nggak usah dijelasin lagi ke gue."
"Percuma ngomong sama manusia goa, bikin gue capek aja. Biasa bergaul sama monyet dan sebangsanya, sekarang bergaul sama manusia. Nggak heran dia jadi aneh gitu," gerutu Asmara.
Devan tertawa lirih, merasa apa yang dikatakan Asmara sungguh lucu. Dia melepaskan kaca mata dan mengelap lensanya. Memperhatikan keadaan kelas yang lumayan gaduh dari balik rambutnya yang tergerai menutupi separuh wajahnya. Steven and the gang, dia menandai ada empat orang lainnya, sedang asyik merencanakan sesuatu jika dilihat dari cara mereka berbisik-bisik. Para cewek banyak yang sibuk dengan alat make-up, bedak, lipstik dan segala macam peralatan kecantikan keluar dari dalam tas. Mereka membandingkan harga dan jika Devan tidak salah dengar, satu bedak setara dengan uang makannya selama sebulan. Ada beberapa murid yang asyik memamerkan gadget terbaru mereka.
Sementara cewek di sebelahnya justru sibuk mencatat. Terlihat begitu serius dengan bukunya. Seakan merasa jika sedang diperhatikan, Asmara menoleh.
"Yakin, lo nggak dihukum?"
"Kenapa? Lo kuatir sama gue?" goda Devan.
Asmara mendengkus, "Bagus kalau nggak dihukum, gue merasa nggak enak soalnya. Elo kenapa telat?" tanya Asmara ingin tahu.
Devan tersenyum simpul, mendekatkan tubuhnya ke arah Asmara, "Gue kasih tahu rahasia tapi jangan bilang-bilang ya? Ini urusan orang dewasa."
Asmara memandangnya heran. "Sok tua lo."
"Mau tahu apa kagak?"
Asmara terdiam, kembali mendengar cerita Devan. "Gue semalam ketemu bidadari dan akhirnya kami pergi ke surga."
Asmara mendengkus jengkel, merasa buang-buang waktu bicara dengan Devan. Sementara cowok di sampingnya terkekeh gembira.
"Makasih dah bantuin gue tapi baiknya emang kita nggak dekat-dekat, gue takut jadi bego kalau ngomong sama manusia goa."
Tiba-tiba Devan meraih tangan Asmara, membuat cewek di sampingnya tereperangah.
"Ngapain, lo?" tanyanya sengit, berusaha menarik tangannya dari genggaman Devan.
"Lo dah gue bantuin, sekarang waktunya lo balas budi."
"Apaan, sih?"
Devan melepaskan tangan Asmara dan menyerahkan setumpuk buku pada Asmara. "Ajarin gue ini." Tangan Devan mengetuk buku soal-soal di depan Asmara. "Buat balas budi."
"Hei, ogah banget," tolak Asmara.
Devan menaikkan sebelah alis, memandang Asmara sambil bersendekap. "Yakin lo nggak mau bantuin gue? Apa perlu gue bilang ke satpam kalau cewek yang gue lihat di gerbang dan sama-sama telat itu, lo? Karena tadi dia juga nyariin lo."
Mulut Asmara mencebik, keningnya mengernyit. Terus terang merasa sebal dengan permintaan Devan. Dia merasa diperas, dimanfaatkan tapi apa daya.Dia harus menuruti kata-kata Devan kali ini.
"Baiklah, jam istirahat kalau gitu," ucapnya pasrah.
"Nah gitu, marmut yang baik itu namanya," puji Devan.
"Dasar manusia goa," ejek Asmara kesal.
Devan tidak menyahut, hanya melirik Asmara yang cemberut dengan senyum dikulum.
"Ciee, si kudis dan si miskin akrab," gelegar Steven.
"Cuit-cuiit, apa mereka jadian?" timpal yang lain.
"Sepertinya kita akan mendapat undangan perkawinan minggu ini."
Godaan mereka disambut tawa yang gegap gempita. Asmara menunduk malu, wajahnya memerah menahan rasa kesal. Sementara di sampingnya, Devan terdiam. Wajahnya mengamati Steven dengan serius. Ada sesuatu dalam diri anak itu yang perlu untuk diluruskan atau lebih tepatnya diberi pelajaran.
"Hei, jam pelajaran olah raga hari ini kan?" bisik Devan pada Asmara yang menunduk.
Tidak ada jawaban tapi Asmara menunjuk jadwal pelajaran yang tertulis di bukunya. Devan mengangguk lalu membuka buku dan mengamati tulisan yang tercetak di dalamnya. Tidak ada yang bicara sementara satu kelas masih saling menggoda.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro