Bab.2b
Menarik napas panjang, Asmara mengetuk pintu dan membukanya perlahan. Bu Santi sedang duduk di kursinya, tangannya sedang sibuk mengikir kukunya yang dicat silver. Saat melihat Asmara, wajahnya berubah kesal.
"Dari mana saja kamu, jam segini baru datang?" tanyanya dingin.
"Maaf, Ma. Mara ada pelajaran tambah---,"
Prang!
Suara benda dilempar ke tembok membuat Asmara berjengit.
"KAMU PIKIR, KAMU DIGAJI UNTUK TELAT! KAMU PIKIR SEGALA KEBUTUHAN HIDUPMU BISA KAMU DAPATKAN GRATIS?!"
Teriakan Bu Santi membungkam mulut Asmara. Dia menunduk, merasa gendang telinganya berdengung.
"Maaf, Ma," ucapnya pelan.
Bu Santi bangkit dari duduknya, menghampiri Asmara dan menatap tajam dari balik bulu mata palsunya. Matanya melotot dan wajahnya menyiratkan kebencian teramat sangat. Jika dilihat lebih dekat tanpa kemarahan menghiasi wajahnya, Bu Santi terhitung wanita cantik di usia pertengahan empat puluh. Sayang sekali, kebencian seperti mengikis kecantikannya, tidak peduli bagaimana dia berusaha memoles wajahnya.
"Kamu sungguh nggak tahu diri, aku merawatmu tapi kamu mengecewakan. Kali ini aku memaafkanmu, sekali lagi kamu ulangi, aku nggak akan memberimu uang saku selama satu bulan."
Asmara mendongak, wajahnya memerah menahan tangis, "Jangan begitu, Ma. Mara janji nggak akan ulangi tapi jangan ambil uang saku Mara."
Bu Santi menepuk pelan kening Asmara dan berbisik, "Kalau begitu, jangan bandel. Sana, bersikan seluruh kamar mandi dari lantai satu sampai lantai tiga.
Asmara menunduk lemas, tidak lagi berani menentang perkataan mamanya karena dia tahu, semakin dia menentang akan semakin keras hukumannya. Dengan langkah gontai dia berjalan keluar, mengambil peralatan untuk kebersihan dan mulai bekerja.
Ya Tuhan, apa salahku sebenarnya, sampai mendapatkan ibu tiri seperti itu? Memangnya aku nggak boleh punya kehidupan normal seperti anak muda pada umumnya? Apa masa mudaku harus dihabiskan di tempat ini? Asmara bekerja sambil menahan kesedihan di dadanya.
Djantik Spa awalnya adalah milik keluarga Asmara. Di saat mamanya meninggal, papa Asmara yang semula adalah manager di sebuah bank mengundurkan diri dari pekerjaannya dan mencurahkan seluruh tenaga untuk mengurus spa. Lambat laun di bawah kepengurusan papanya, spa yang semula hanya memgkhususkan diri pada perawatan tubuh, berkembang menjadi perawatan kecantikan lain untuk para wanita. Sekarang, Djantik Spa mempunyai bangunan sendiri yang terdiri atas empat lantai. Setiap hari puluhan wanita datang untuk memanjakan diri di sini.
"Hai, upik abu. Lagi kerja ya? Kasihan?" ejekan dari seorang terapis wanita membuat Asmara terdiam.
"Yang bersih ya kerjanya. Kalau nggak gue laporin Bu Santi!" ancam terapis lainnya.
Asmara terdiam, tidak menggubris perkataan mereka. Bukan hal aneh jika banyak pegawai di sini berusaha mencari muka pada mam tirinya. Salah satunya adalah dengan melaporkan kesalahannya. Hanya Nunik yang selama ini selalu membelanya.
Saat papanya memutuskan menikah lagi dengan Bu Santi, kondisi spa dalam keadaan stabil. Tidak lama kemudian Asmara mendengar jika papa meminjam bank untuk membangun spa. Ketika papa meninggal, Bu Santi berkata keras-keras pada siapa saja yang mendengar bahwa suaminya meninggalkan banyak hutang dan dia yang harus bertanggung jawab untuk membayar. Karena itulah, Djantik Spa diwariskan padanya. Banyak yang meragukan perkataan Bu Santi karena memang dia tidak pernah menunjukkan skrip warisan asli peninggalan papanya.
Dengan bersenandung kecil untuk melupakan kesedihan, Asmara menjalani pekerjaannya hingga malam menjelang.
"Aku harus kuat, aku harus kuat."
Asmara mengulang perkataannya bagai mantra. Setidaknya bulan ini uang sakunya aman.
****
Ada yang aneh di rumah kontrakan Devan malam ini. Jika biasanya, rumah itu selalu ramai dengan banyak orang datang berkunjung silih berganti dengan Devan memberi perintah-perintah pada mereka, malam ini berbeda.
Sudah dari sehabis isya sampai sekarang nyaris pukul dua belas, Devan tidak keluar kamar. Cakra menatap heran pada pintu kamar Devan yang tertutup rapat. Beberapa kali dia mengetuk kamar untuk menanyakan keadaannya tapi jawaban Devan selalu sama.
"Jangan ganggu gue!"
Dengan pasrah Cakra menunggu di ruang tamu sambil menonton tv. Sungguh hal yang membosankan untuk dilakukan. Harusnya malam ini mereka berpatroli di jalan Kenanga. Tanpa Devan, dia malas melakukannya.
Cakra mendongak saat mendengar suara motor memasuki halaman. Tidak berapa lama empat orang tergopoh-gopoh memasuki rumah. Mata mereka terlihat nyalang menatap Cakra.
"Bang Dev, mana?" tanya salah seorang dari mereka.
"Ada di kamar," jawab Cakra.
Tanpa menunggu penjelasan Cakra, mereka berjalan menuju kamar Devan dan mulai mengetuk dengan tidak sabar.
"Bang Dev, ada masalah nih."
Tidak ada jawaban dari Devan, mereka mulai menggedor pintu.
"Ini serius, Bang. Ada masalah di Caricis Pub. Alisa, Bang."
Pintu mendadak terbuka, tampak Devan keluar dengan bertelanjang dada. Tato ular nampak memanjang dari bahu sampai sikunya. Rambut panjangnya dikuncir ekor kuda.
"Kenapa dengan, Alisa?" tanyanya pada si pengetuk pintu.
"Ada orang yang mengaku, boss perusahaan tambang. Awalnya dia minum baik-baik tapi makin mabuk makin kasar. Dia bahkan nyaris menampar Alisa karena keinginannya nggak dipenuhi. Dia nggak sendiri, Bang. Bodyguardnya banyak. Sekarang dia menyandera Alisa, Bang."
Selesai mendengar penjelasan mereka, Devan menyambar kaos yang tergantung di balik pintu dan berjalan keluar. Saat melihatnya, Cakra bangkit dari kursi dan mengikuti keluar.
"Dari tadi baru keluar, lo ngapaian aja di dalam, Dev?" tanya Cakra.
"Ngerjain pr," jawab Devan sambil menstarter motornya.
"Hah, pr apa?"
"Kimia."
Terdengar suara tawa Cakra menggelegar di sela raungan knalpot motor.
"Ketawa apaan lo?" tanya Devan kesal.
"Nggak nyangka gue, kalau Devan sang preman dari utara ngerjain pr kimia, hahaha."
Devan memandang Cakra dengan sebal, "Lo nggak berhenti ketawa, gue tinggal."
"Eih, jangan tinggal gue."
Cakra berlari kecil mengejar Devan yang melajukan motor tanpa menunggunya naik. Untunglah, motor tidak melaju kencang hingga Cakra bisa menyusul dan naik ke atas jok dengan napas terengah.
Setelah memastikan Cakra duduk di belakang, Devan melarikan motornya kencang-kencang menembus lalu lintas kota yang ramai. Diperlukan waktu kurang lebih dua puluh menit dengan laju motor berkekuatan penuh untuk mencapai Caricis Pub tempat Alisa bekerja.
**
Baca gratis di yutub sampai ending. Cari channel : Nev Nov
Jangan lupa subscribe, akan banyak cerita lain.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro