Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab. 1a

"Sial!"

"Ini nggak mungkin terjadi."

"Ada apa sama, Amel? Jadi gitu dia?"

Suara gumanan menjalar di seantero rumah. Ada belasan laki-laki berkumpul, tersebar di ruang depan. Spekulasi, teka-teki dan banyak tanda tanya berputar di sekeliling mereka bagai udara yang mengisi rongga dalam rumah. Sebagian bicara sambil ngopi dari gelas kecil, ada juga yang sembarangan mengunyah cemilan, asap rokok mengepul di sela-sela bibir.

Rumah tempat mereka berkumpul terbilang bangunan tua tapi luas, beratap rendah dengan pilar pendek menyangga bagian teras. Dindingnya bercat kuning pucat dengan lantai marmer warna merah. Ada pohon manga berdaun lebat di halaman, menaungi banyaknya motor yang parkir. Meski tua tapi rumah itu terlihat terawat. Menghadap langsung ke arah jalan raya, menampakan pemandangan lalu lintas yang bersliweran tanpa henti.

Di dalam kamar kecil bernuansa cerah, seorang gadis terbaring lemah. Wajah pucat dengan rambut tergerai berantakan menutupi sebagian lehernya. Tubuhnya ditutupi selimut tipis. Dia tidak terpengaruh meski ada suara memanggilnya. Jendela kaca dengan gorden merah muda bermotif bunga tersingkap lebar, menampakkan pemandangan samping rumah yang di tumbuhi bunga soka.

Seorang laki-laki bertubuh gempal memandang sekeliling kamar yang ditempel poster artis Korea dengan pandangan nanar. Dahinya mengernyit saat melihat setangkai bunga mawar layu yang diletakkan di atas meja kecil di samping ranjang. Bunga layu di dalam gelas berisi air yang mulai keruh. Di sampingnya, seorang wanita berambut pendek memanggil gadis yang sedang terbaring dengan suara pelan.

"Amel, bangun."

"Amel, Sayang. Kamu sudah beberapa hari ini nggak bangun. Nggak lapar, Sayang? Kakak masak kesukaan kamu loh? Soto daging."

Diam, tidak bergerak. Gadis bernama Amel tidak terpengaruh dengan panggilan untuknya.

"Bagaimana ini, Bang? Sudah nyaris tiga hari dia begini."

Wanita itu mendongak dari tempat duduknya, memandang laki-laki gempal yang berdiri bingung di sampingnya.

"Minggu lalu dia nggak gini, apa yang terjadi, Mayang?"

"Entah Bang, aye juga nggak paham. Kayaknya die lagi jatuh cinta gitu, suka senyum sendiri. kelihatan bahagia, trus mendadak murung, nggak mau keluar kamar. Eih, sekarang jadi gini," desah Mayang.

"Lo tahu dari mana dia jatuh cinta?"

"Yee, Bang Amir gimana? Anak cewek kalau lagi demen ama orang yang kelihatan kalii? Minggu lalu dia pernah ijin buat pergi nonton, pulang jadi murung."

Amir mendecakkan lidah, menatap Amel yang masih tertidur pulas. Keadaan adiknya benar-benar bikin dia kuatir. Dia harus cari tahu, penyebab adiknya depresi sampai tidur dan enggan bangun.

Meninggalkan Mayang dan Amel di dalam kamar, Amir melangkah menuju ruang depan.

"Bang Amir."

"Gimana Bang?"

Beberapa orang yang semula duduk di sofa berdiri menyambutnya. Sementara mereka yang berada di luar berjalan tergopoh-gopoh menghampiri. Amir duduk di sofa memandang anak buahnya satu persatu. Menyambar rokok dari atas meja dan menyulut api.

"Sepertinya ada yang lagi main-main sama adik gue," ucap Amir sambil mengembuskan asap rokok.

"Siapa Bang? Biar kita hajar dia!"

"Iya, Bang. Kita bantai."

Amir mengangkat tangan untuk menghentikan celotehan anak buahnya.

"Kalau gue tahu siapa orangnya, udah gue habisin dia dulu. Kagak usah nunggu kalian."

Semua yang ada di ruangan terdiam, berpandangan sambil menganggukkan kepala.

"Di mana Devan?"

"Bentar lagi sampai sini, Bang." seorang laki-laki bertubuh kurus menyahut.

Amir mengangguk, menghisap rokoknya pelan. Semua orang memandangnya penuh hormat. Bagi mereka Amir adalah boss sekaligus kepala keluarga. Di usia yang menginjak tiga puluh lima tahun, Amir terlihat tampan dengan rambut panjang yang dikuncir kuda.

Sebagai ketua organisasi masyarakat terbesar di wilayah Jakarta, Amir cukup disegani baik oleh anak buah, orang awam maupun lawan bisnisnya. Organisasi mereka meliputi perlindungan terhadap pedagang kaki lima, pengamen jalanan, lahan parkir kendaraan baik di minimarket maupun di pasar. Preman yang bermartabat, itu motto kerja mereka.

Suara motor memasuki halaman, semua memandang pintu dengan senang. Tidak berapa lama masuk dua orang laki-laki. Berjalan paling depan seorang laki-laki berumur dua puluhan, deretan anting tersemat di kedua telingannya, berambut panjang sebatas bahu dengan tato menyembul di lengan kanan, secara mengejutkan wajahnya terlihat tampan dan imut untuk ukuran seorang preman. Di belakangnya, laki-laki yang lebih pendek dan berbadan gemuk berjalan sambil menenteng sebuah plastik kecil.

"Bang Amir," sapa laki-laki tampan dengan hormat.

"Devan, lo duduk sini. Gimana tugas lo buat cari info?"

Devan menyambar plastik dari tangan orang di belakangnya dan duduk di samping Amir.

"Ini, Bang. Pin dari OSIS di sekolah swasta terkenal, kalau nggak salah nama sekolahnya SMA Bina Muda." Devan meletakkan pin mengkilat dari kuningan dengan logo burung elang terpatri di atasnya.

Amir mengangguk, mengambil pin yang tergeletak di atas meja dan mengamati bentuknya. Benda ini dia temukan tergeletak di dekat kepala Amel. Mayang mengatakan itu adalah pin kesayangan Amel karena sering melihat gadis itu membawanya kemana pun dia pergi. Amir yang curiga jika keadaan Amel berhubungan dengan si pemilik pin yang sebenarnya, menyuruh Devan mencari informasi.

"Jadi, bajingan yang bikin adik gue menderita sekolah di sini? Apa setiap murid di sekolah itu pakai pin ini?"

Devan menggeleng, "Itu sekolahan mahal, tergolong elite. Untuk pin ini hanya anggota OSIS yang memakai. Murid biasa nggak ada yang punya."

Amir mengangguk, meletakkan pin kembali ke atas meja dan memandang anak buahnya yang berdiri berjajar dengan gelisah. Ada antipati di antara mereka jika sesuatu yang besar akan terjadi. Membela kehormatan boss mereka adalah suatu bentuk tanggung jawab.

"Gimana selanjutnya, Bang? Apa kita cari ntu bajingan buat tanggung jawab?" Laki-laki berbadan gemuk yang datang bersama Devan mencoba memberi saran.

Amir meletakkan rokok di asbak dan mematikan api.

"Gue ada rencana sendiri buat ini, lo pade tahu kan kalau urusan sama anak sekolahan ntu nggak mudah," ucap Amir sambil mengerutkan dahi. Teringat pada keadaan Amel yang tertidur di dalam kamarnya dan enggan bangun. "Buat masalah ini gue akan minta bantuan Devan."

Semua tersentak, Devan yang sedang asyik memainkan gelang rantainya menoleh dengan kaget.

"Gue, Bang?" tunjuknya sama diri sendiri.

"Iyee, Lo. Ini cuma lo yang bisa bantu gue."

"Mau Abang gimana? Gue cari tuh cecurut terus gue hajar gitu?" tanya Devan.

Amir menggeleng, "Bukan, lo masuk ke sana."

Devan berpandangan sama teman-temannya dan merasa bingung.

"Maksud gue, lo sekolah di sana trus bantu gue cari itu orang."

"Hah, Abang nggak salah nih? Masa gue disuruh sekolah lagi?" gelak Devan tidak percaya.

Terdengar tawa lirih di sana- sini, semua berpikir jika rencana Amir adalah sesuatu yang lucu. Lalu tertangkap oleh mereka ekpresi Amir yang seolah mengatakan dirinya sedang tidak becanda. Seketika tawa lenyap dari mulut mereka.

"Iye, lo sekolah lagi," tegas Amir.

"Tapi, Bang. Umur gue? Trus biaya?" tukas Devan.

Amir mengibaskan tangannya, "Lo nggak usah pusingin masalah biaya. Itu urusan gue, akan ada orang yang bantu lo ama gue buat lancarin lo sekolah di sono.Yang penting lo jadi murid trus temuin tuh orang buat gue, selesai."

Devan menarik napas panjang, mengacak-acak rambut gondrongnya dengan bingung.

"Kenapa harus gue sih, Bang?"

Amir menepuk punggungnya, "Pertama karena lo paling ganteng di antara kami."

"Ciee ...."

"Cih,"

"Uwek!"

Berbagai macam umpatan dan sindirian terdengar saat Amir memuji Devan. Meski begitu semua mengakui, dibandingkan dengan anggota geng lain yang kebanyakan bertampang dekil khas preman jalanan dan umur yang tidak lagi muda, Devan meski bertato dan gondrong tetap saja ganteng.

"Ke dua, di antara kami lo yang kelihatan paling muda dan lo dulu pernah sekolah SMA meski nggak lulus. Joko dan Nardi emang lulusan SMA dan umur masih di bawah lo tapi keadaan mereka nggak mendukung. Gue yakin cuma lo yang bisa buat tugas ini."

"Gue nggak yakin, Bang," ucap Devan. "Lo tahu sendiri, bentar lagi bakalan ada event pameran di Halika Center. Gue harus ada di sana buat ngatur parkiran, security sama pedagang kaki lima."

"Itu malam Dev, lo bisa pulang sekolah trus kerja. Lo tahu sendiri itu pameran jam empat sore baru buka? Lagi pula ada Cakra sama Dino buat kordinasi sementara lo nggak ada."

Dua orang yang disebut namanya mengangguk mantap, Dino si bapak tua dengan luka di pelipis kanannya dan Cakra si gemuk yang datang bersama Devan.

"Gue minta tolong ama lo, Dev. Demi Amel, demi gue. Lo nggak usah pikirin gimana cara lo masuk ke sana, biaya dan lainnya. Gue cuma butuh lo bilang setuju."

Devan bangkit dari duduknya, berdiri sambil membuka lengan baju dan menunjukkan tatonya yang memanjang hingga nyaris mencapai siku. "Okelah, gue mau Bang. Rambut gue gondrong bisa dipotong, gimana sama tato gue?"

"Itu bisa gue atur, yang penting lo mau!"

"Damn!" teriak Devan dalam hati.

**

Cerita lengkapnya bisa dibaca di yutub Nev Nov. Gratis, jangan lupa subscribe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro