Bagian Tiga: Yoshimura Kiyoko
Merasakan sesak pada pernapasan, dia membuka mata.
Kiyoko Yoshimura mengingat dengan jelas bahwa tadinya dia sedang tidur nyenyak di atas ranjang lembut di kamar, mengenakan piyama berwarna kuning kesayangannya. Akan tetapi, melihat pada dirinya yang saat ini mengenakan seragam sekolah ... ini pasti mimpi, 'kan?
Berada di ruang musik sekolah, mengenali ruangan ini dengan benar sebagai anggota klub musik dan sebagai satu-satunya pemegang piano sekolah selama dua tahun. Tentu, sekolah mereka tidak kekurangan pianist. Hanya saja dia selalu secara diam-diam menghalangi jalan setiap orang yang berpotensi untuk menyaingi dirinya.
Menghasilkan sesuatu dari cara yang kotor adalah jalan hidupnya.
Rasa sakit dari punggung membuat dia tersentak, mulai memercayai bahwa ini adalah kenyataan.
Kedua tangannya benar-benar terikat pada kait yang seakan sudah dipersiapkan di langit-langit ruang musik. Dia tidak bisa memastikan, tetapi dia yakin ada cukup banyak lilitan di lehernya. Tali itu juga terikat pada kait di langit-langit.
Jika tidak ada kursi piano di bawah kakinya, dan jika kedua ikatan tangannya putus, maka dia akan tercekik.
"Seperti yang kutebak dari seseorang yang memiliki banyak wajah." Sebuah suara berbicara. "Kau tidak membiarkan ekspresi aslimu bocor bahkan di saat genting seperti ini."
Kiyoko ingin membalikkan badan, tetapi tidak bisa. Ingin berbicara, tetapi dia merasa mual karena ikatan di leher.
"Ini sedikit panas, bukan?"
Seakan diingatkan, Kiyoko sedikit menggerakkan tubuh dan merasakan bahwa di balik seragam masih ada piyama. Piyama di atas lutut miliknya tidak dilepas, hanya dilapisi dengan seragam.
"Apa ... kau ingin ... menjahiliku? Ulang tahunku ... masih lama," ujar Kiyoko dengan susah payah.
Untuk sejenak, dia tidak memikirkan sesuatu yang berbahaya. Selain dari tangan dan lehernya yang terikat, penjahat macam apa yang ingin susah payah menculik mangsanya di tengah malam, membawanya ke ruang musik yang dia sukai, dan memakaikannya seragam?
Dia memiliki dugaan bahwa ini hanyalah temannya yang jail.
Zaman sekarang ada berbagai macam candaan.
Dan, hal positif tentang Kiyoko adalah dia tipe orang yang suka berpikiran positif.
Siapa pun itu di belakangnya terdengar melangkahkan kaki kemudian dari cahaya bulan dia melihat bayangan. Gadis itu sedikit menggeser pandangan melihat punggung seseorang yang mengenakan hoodie dan celana berwarna hitam, membelakanginya untuk membuka jendela membiarkan angin malam masuk.
"Padahal kupikir kau gadis manja yang hanya tahu mewujudkan keinginan pribadi," kata orang itu. "Aku kagum ... karena kau masih belum membiarkanku mendengar tangisan meyedihkan atau merasakan raut cemasmu."
Dari suara, Kiyoko tidak mengenali orang ini sama sekali. Dia tidak bisa mengingat siapa pemilik suara seperti ini. Suara yang bisa disandingkan untuk pria maupun wanita.
Dengan sangat terlambat, dia mulai merasa dingin di hati. "Siapa ... kau?"
Orang itu menyuarakan senyumnya. "Aku dan kau memiliki kesamaan dalam menyukai musik."
Satu petunjuk.
Pikiran Kiyoko langsung menyempit menjadi hanya tertuju pada orang-orang di klub musik. Ingatannya dengan cepat mendata orang-orang yang telah dbia rugikan.
"Aku yakin kau akan susah mengenaliku. Kau sendiri yang tahu sudah berapa banyak orang berseteru denganmu, di permukaan maupun di dalam."
Kiyoko tidak begitu naif untuk berpikir bahwa semua yang dia lakukan selama ini tidak akan mendapat balasan. Hanya saja ... ini terlalu berlebihan.
Rasa takut muncul di hati. Dia mengepalkan tangan berusaha melonggarkan tali yang sayangnya terikat sangat kuat.
"Lepaskan aku," ujarnya dingin.
"Kau memiliki mentalitas seorang tuan putri, ya, Kiyoko." Orang itu membalikkan badan.
Kiyoko menatap lamat pada wajah yang ditutupi topeng putih polos.
"Pengecut!"
Orang itu tampak tidak peduli. Doa mengambil gunting yang ada di atas piano.
Tubuh Kiyoko dalam tinggi yang normal. Dengan kursi di bawah kakinya, dia menunduk saat orang itu sampai di hadapannya.
Gunting itu memantulkan cahaya, terlihat begitu tajam.
Tanpa kalimat tambahan, orang itu mengarahkan gunting pada perut Kiyoko, membuat gadis yang napasnya sesak itu semakin sulit bernapas.
"Hentikan!" Kiyoko berusaha memundurkan badan menghindari ujung gunting yang runcing. Keringat dingin mulai keluar dari kulitnya.
Dengan gerakan acuh tak acuh orang itu menggunting baju Kiyoko asal-asalan. Setelah baju seragam terpotong dari perut ke bawah, potongannya jatuh ke lantai, selanjutnya mengarah pada piyama gadis itu.
Gerakannya tampak dikasarkan, beberapa ujung gunting menusuk perut Kiyoko. Meski dangkal, tetap saja menyakitkan. Gadis itu tersentak-sentak, berteriak tertahan.
"Hentikan!" Mata Kiyoko mulai menunjukkan rasa takut dan cemas. Air mata menggenang.
Orang itu mendongak sedetik sebelum mulai mengitari badan Kiyoko. Piyama yang lebih tebal dari seragam tampak membuatnya sedikit kesal. Jika tusukan sebelumnya agak tidak disengaja, maka tusukan kali ini benar-benar di sengaja.
Hingga akhirnya orang itu berhenti.
Kiyoko menatap horor aliran darah yang terlihat di perutnya, menunduk dalam dengan menahan sesak di leher. Dia tidak bisa membayangkan luka macam apa yang ada di bagian belakang. Itu terasa panas, sakit, dan perih.
"Le-lepaskan aku!" Air mata mulai mengalir membasahi pipi.
Dia sesegukan dan terlihat seperti orang yang sedang asma. Jika dalam keadaan biasa sudah sulit bernapas, dalam keadaan ini dia harus ditahan paksa oleh tali yang seakan tidak bisa dilepas.
"Akhirnya kau membuat ekspresi yang sesuai." Orang itu mendesah puas.
"Sakit! Lepaskan ... aku!" Kiyoko memohon. "Apa yang ... kau ... inginkan?"
Kiyoko memuntahkan udara, tidak kuat dengan rasa mual yang naik ke kerongkongannya. Air liur memenuhi mulut, setetes dua tetes jatuh, terlihat menjijikkan.
"Lepaskan aku!" teriaknya.
Seakan baru saja menghabiskan seluruh tenaga, badan Kiyoko terkulai lemas. Topeng anggun dan penuh ketenangannya jatuh. Dia tidak bisa berpikir positif. Dia tidak bisa membohongi dirinya bahwa semua ini hanya mimpi buruk.
"Aku memang menunggu reaksimu, tetapi bukan seperti ini. Hanya beberapa tusukan kecil dan kau sudah kehilangan harapan?" Orang itu menghela napas.
"Bajingan!" Kiyoko menggertakkan gigi. "Ini sakit."
"Mulutmu sangat tidak berbudi luhur. Sayangnya saat ini aku tidak membawa alat jahit."
Angin bertiup.
Peristiwa gunting menggunting tadi telah membuat bagian perut dan belakang Kiyoko kehilangan penghalang. Rasa dingin seakan mendorong luka di badan gadis itu terasa semakin perih.
Seakan belum cukup, orang itu menyimpan gunting ke dalam saku hoodie-nya dan mengambil pisau lipat yang baru Kiyoko sadari tergantung di ikat pinggang orang itu sedari tadi.
"Sudah cukup," lirihnya.
Orang itu meletakkan tangan pada pinggiran tudung hoodie yang dia kenakan. "Aku bahkan belum mulai mengukir."
Selang sedetik, sebuah teriakan memilukan terdengar. Suara napas memburu, suara berisik dari gadis yang memberontak, suara tangisan.
Kiyoko menatap nanar pada goresan di perutnya. Air mata sudah tidak terbendung. Air liurnya ikut terus menetes karena sesak dan mual dari tenggorokan.
"Aku sangat menyukai seni."
"Seni membuatku bisa berekspresi."
"Itu menyelamatkanku dari rasa kesepian."
"Karena itu, bisakah kau tidak menghalangi jalanku?"
Pada setiap kalimat yang diucapkan orang itu membuat mata Kiyoko semakin membola. Dia mengingat bahwa itu adalah kata-kata yang dia ucapkan pada ... Ritsu Hinata.
.
.
2 Maret 2020
08.47 PM
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro