Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian Tiga: Itou Akira

Berjalan bersama ke sekolah, Sachi dan Allen terfokus pada ponsel di tangan mereka masing-masing.

Forum sekolah mulai dipenuhi banyak artikel baru sejak dua hari yang lalu. Setiap artikel memiliki ratusan komen. Semuanya membahas topik yang sama.

Pembalasan dendam korban intimidasi di sekolah.

Arwah yang menuntut balas.

Tangga berhantu.

Karma sang penggertak.

Jangan ke tangga utara menuju lantai tiga.

"Tidakkah kau berpikir orang-orang ini longgar?"

"Maksudmu skrup di kepala mereka?"

"Yeah."

"Kau baru menyadarinya sekarang?"

"En."

Di belakang keduanya, Miwa menghela napas. Sachi dan Allen ... sedikit tidak mengakui keberadaan makhluk bernama "manusia". Lebih tepatnya mereka tidak mengakui orang lain sebagai manusia.

Dia sendiri tidak terlalu yakin bahwa kedua saudara sepupu itu memasukkannya dalam daftar manusia atau tidak.

Ketika sampai di depan gerbang sekolah, mereka melihat Rachaela yang tampak memarahi seorang pengemudi mobil.

"Ada masalah apa, Tuan Putri?" tanya Miwa dengan senyum sok keren.

Pemuda itu melirik ke dalam kaca yang terbuka dan melihat seorang pemuda yang seperti Rachaela versi laki-laki duduk di sana. Menurut semua cerita Rachaela, pemuda ini pastilah sang kakak, Victor. Miwa hanya sedikit tidak menyangka bahwa kedua saudara itu benar-benar terlihat sama, bukan sekadar mirip.

"Kalian teman-teman adikku?" Victor menyeringai. "Nice to meet you."

"Anda pastilah Victor-san," ucap Miwa dengan senyum tipis.

Di belakang, Sachi memutar mata sementara Allen berjalan terlebih dahulu ke gedung sekolah.

Meski terlihat miskin, Miwa sebenarnya merupakan pewaris salah satu keluarga teratas di kota. Akan tetapi, karena kebiasaan, Sachi tidak mau menerima hal itu. Dia lebih suka sikap miskin Miwa daripada pemuda itu menunjukkan kepribadiannya sebagai generasi kedua yang kaya raya.

"Panggil Victor saja. Telingaku sakit setiap mendengar namaku ditambahkan honorifik Jepang," kata Victor, "kecuali kalau kau memanggilku Sendou, tetapi itu membuat kita tidak terlihat dekat."

Rachaela bersidekap dada dan mendengkus. "Victor, pulang!"

"Begitukah caramu berbicara dengan kakakmu ini?"

Menghadapi sikap menyebalkan sang kakak, Rachaela memilih berbalik menatap Sachi dan menggandeng tangan gadis itu memasuki gerbang sekolah.

"Sampai jumpa lagi, Victor," kata Miwa, kemudian menyusul dua temannya.

Di belakang, Victor menyipitkan mata mengingat tatapan mata hijau yang sekilas dilihatnya.

.

.

Sama ramainya dengan forum sekolah, Sachi mengernyit kecil ketika akhirnya dapat memasuki kelas setelah melewati koridor yang hanya mengandung satu pembicaraan.

Gadis yang memiliki kepangan kecil di kedua sisi kepalanya itu dengan tenang duduk di kursinya. Selain dirinya, Rachaela, dan Miwa, ketiga temannya yang lain juga sudah datang.

Menyadari mood Sachi yang tergeser, Natsuki dengan baik hati memberikannya sekotak susu coklat.

"Ramai sekali, ya, hari ini," ujar gadis berambut hitam itu tersenyum manis.

"Mereka senang melebih-lebihkan dan mengada-ada." Kai menyangga dagunya dengan tangan.

"Semua rumor itu tidak benar, ya, Kai-san?"

Kai berdeham.

"Hinata-san adalah orang yang baik. Dia tidak mungkin memendam dendam seperti itu."

Natsuki menutup mulut dengan tangan saat menyadari bahwa dia salah bicara. Topik tentang Ritsu Hinata sebaiknya tidak dibicarakan di depan Sachi.

Dia memperhatikan gadis bermata hijau yang tampak fokus dengan tulisan di hadapannya dan tersenyum minta maaf pada keempat temannya yang lain.

Sekolah berjalan normal seakan tidak ada yang terjadi. Para siswa tampak menahan pembicaraan mereka hingga sekolah selesai.

Seperti biasa, klub paranormal mengadakan pertemuan.

"Ada yang lupa kuberitahukan kepada kalian," kata Rachaela. "Ryuchi-sensei ingin kita berpartisipasi pada pementasan yang akan diadakan klub teater setelah ujian berakhir. Jika tidak, ada kemungkinan penggantian pembina."

Miwa menyugar rambutnya. "Inikah saatnya kemampuan aktingku kukeluarkan?"

"Tidak," sela Rachaela. "Ryuchi-sensei hanya mengharapkan kita sebagai penulis naskahnya saja."

"Penulis naskah?" Miwa berkedip bingung. "Ujian hanya tinggal beberapa hari lagi. Tidakkah kalian berpikir klub teater sudah mulai berlatih naskah mereka sendiri?"

"Miwa-kun benar," kata Natsuki. "Tapi kita tidak tahu kebenarannya hingga kita bertanya sendiri ke klub teater."

Sepanjang pembicaraan, Sachi dan Kai melempar tatapan datar pada Miwa.

"Jangan terlalu berharap padaku!"

"Buatlah dirimu sedikit lebih berguna," kata Sachi.

Kai melanjutkan, "Kau harus memanfaatkan apa yang kaupunya."

Miwa mengacak-acak rambutnya. Pemuda itu baru akan kembali protes saat pintu ruang klub mereka menerima ketukan.

Natsuki membukanya. Shigeto Nihei berdiri di luar.

Ketua dewan murid sekolah mereka itu ditemani sang wakil, Ren.

"Ada urusan apa ketua dewan murid sampai datang ke klub kami?" tanya Rachaela berkacak pinggang. Dia memiliki ketidaksukaan pada Ren, terlebih Nihei.

"Aku memiliki tugas untuk kalian," kata Nihei.

"Maksudmu kau ingin meminta bantuan kami?" perjelas Yuki.

Nihei tidak menanggapi nada ejekan itu.

"Kalian mengaku sebagai klub paranormal, jadi seharusnya kalian menyukai apa yang aku ingin kalian lakukan," kata Nihei. "Kalian pasti sudah mendengar rumor tangga berhantu itu. Aku ingin kalian menyelidiki apakah itu benar atau tidak."

Sekilas tatapannya menyapu Kai sebelum berhenti di Sachi. Miwa maju untuk menghalangi pandangannya. Dengan wajah tebalnya Nihei kembali bertatapan dengan Rachaela.

"Bagaimana?"

"Dengan satu syarat." Natsuki tersenyum kecil.

"Naskah pementasan teater setelah ujian akan ditulis oleh kami," sambung Rachaela.

"Aku akan menanyakannya."

Tanpa kata tambahan, Nihei dan Ren berjalan pergi.

"Selalu menghina klub kita, tetapi pada akhirnya datang ke sini. Nihei benar-benar berwajah tebal." Miwa duduk di kusen jendela.

"Tidak tahu malu!" tambah Rachaela dengan wajah puas.

"Ini tidak seperti Shigeto-san," kata Natsuki. "Dia bukan orang yang akan percaya takhayul."

"Pasti Nihei hanya ingin menaikkan reputasinya di antara yang lain," ujar Miwa. "Biarkanlah dia seperti biasanya."

"Setidaknya dia akan membantu kita berurusan dengan klub teater," kata Sachi. "Sejak teman kita yang tercinta terlalu berat hati untuk melakukannya."

Miwa yang disindir secara terang-terangan meringis menatap ke luar jendela.

"Kali ini sepertinya Shigeto-san telah termakan rumor," ujar Yuki menengahi. "Dia takut bahwa rumor tentang pembalasan dendam itu benar-benar ada."

Rachaela mendengkus. "Bagus bahwa dia menyadari kesalahannya."

"Tapi ini juga bisa menjadi cara kita untuk mendepat kepercayaan orang-orang." Natsuki tersenyum manis.

Mister misteri yang baru bangun dari tidurnya di dekat kaki sofa mengeong pelan seakan setuju.

"Aku juga sedikit penasaran," ujar Sachi.

Seakan dialiri sesuatu, Kai yang tadinya berbaring malas di sofa langsung beranjak duduk.

Miwa berkata dengan nada sinis, "Hati-hati kepalamu pusing."

Kai tidak menanggapinya dan perlahan beranjak berdiri.

"Apa kita pergi sekarang saja?" tanya Rachaela.

Sachi menggeleng. "Aku tidak ingin membuang tenaga untuk kembali ke gedung kelas."

"Kalau begitu kita lakukan besok saja. Ayo pulang."

"Oh, Rachel. Aku menyesal bertemu dengan kakakmu."

"Hah?"

.

.

"Temanmu yang bermata hijau itu, apa dia sudah punya pacar?" Victor bertanya dengan seringai lebar di bibirnya.

Rachaela fokus pada pengerjaan tugas sekolah di hadapannya, berusaha tidak memedulikan pemuda yang sedang berbaring di ranjangnya. Dia baru saja menyadari arti perkataan Sachi sore tadi.

Gadis itu pasti meramal bahwa Victor akan menaruh perhatian padanya.

Jadi, kemampuan gadis itu juga bisa digunakan dalam hal cinta.

"Racha, aku bertanya serius padamu. Kupikir aku sedang jatuh cinta."

"Sachi sudah punya pacar."

"Oh, jadi namanya Sachi. Siapa pacarnya? Apa itu seseorang yang bisa kukalahkan?"

"Terlalu cepat seratus juta tahun untuk kau mengalahkan Kai."

"Apa yang bisa dilakukan seorang murid SMA terhadap detektif muda yang tampan dan mapan sepertiku?" tanya Victor dengan penuh percaya diri.

"Banyak," jawab Rachaela dengan nada datar. "Jangan remehkan kekuatan anak SMA, terlebih mereka teman-temanku."

Victor menghela napas. "Sudahlah. Lupakan. Lalu apa kau punya pacar?"

"Aku tidak memerlukan pacar."

"Tapi jika pemuda tadi pagi itu, kau tidak akan menolak, bukan?'

"Diamlah!"

.

.

10 Februari 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro