Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian Satu: Topeng

Rintikan hujan menyatu dengan air mata.

Tidak ada satu orang pun murid kelas 2-C yang tidak datang ke upacara pemakaman Kaede. Berbeda dengan banyak gosip buruk dari korban-korban sebelumnya, Kaede bisa dikatakan sungguh baik hati untuk pergi secepat ini.

Tentu saja sebagian dari mereka menyaksikan berita kecelakaan yang dialami Kaede. Akan tetapi, dari apa yang telah terjadi di sekolah mereka akhir-akhir ini, sulit mengatakan mereka menerimanya sebagai sebuah "kecelakaan". Bahkan peristiwa Itou Akira sudah dicurigai sebagai suatu kesengajaan.

Begitu banyak dugaan, tetapi kesedihan masih menutupi semua itu.

Jejak air mata menghiasi wajah semua murid perempuan, kecuali Sachi. Gadis itu berdiri diam di antara Miwa dan Allen.

Meski tidak menangis, dari tatapan mata yang kosong, tidak ada yang menganggapnya tidak merasa kehilangan.

Ketika hari mulai beranjak siang, mereka satu persatu pergi.

Karena kejadian yang diidentifikasi sebagai kecelakaan tidak terjadi di sekolah, murid lainnya menjalani hari seperti biasa. Hanya kelas 2-C yang diberi izin untuk tidak masuk sehari.

"Apa itu benar-benar kecelakaan?" Rachaela tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya ketika ia pulang ke rumah, bertemu sang kakak.

Victor yang sedang duduk santai memakan keripik sembari menonton televisi tidak menoleh. "Benar?"

"Victor!"

"Tenanglah. Meski pelakunya belum ditemukan, kuat dugaan kalau itu benar-benar kecelakaan."

Rachaela menghela napas dalam diam. "Lalu, tiga lainnya?"

"Aku baru tahu kalau dulunya keluarga Hinata memiliki kebun yang berisi bunga matahari. Hinata Ritsu-san yang membuatnya, sebelum itu dihancurkan adiknya, dan kini tinggal tanah kosong. Keluarga Hinata menutupi hal itu. Untungnya ada tetangga yang menaruh sedikit perhatian."

"Dugaan sementara mengarah ke mereka?"

"Aku tidak berpikir begitu." Victor mematikan televisi. "Untuk kasarnya, aku tidak berpikir keluarga tiga orang mereka cukup pintar untuk melakukan semua ini. Bisa jadi jebakan, tetapi juga tidak. Bisa jadi pelaku hanya tahu Hinata-san menyukai bunga matahari, jadi dia meletakkannya di sana sebagai tanda. Sebenarnya, ada dugaan lain, tetapi saat ini tidak memiliki dasar."

.

.

Berita kematian putri tunggal Keluarga Omemoto tidak berhenti ditayangkan. Hal itu dikaitkan dengan kecelakaan Kaede yang baru saja terjadi, juga menggali tiga kasus lainnya. Kejadian aneh di SMA Hikaru pun menjadi rahasia publik, memberikan ketidaknyamanan bagi para siswa.

Di kelas Sachi dan yang lainnya sendiri, hampir setengah siswa absen. Guru tidak mengatakan apa-apa mengenai hal itu. Sudah pasti dia tahu penyebabnya.

Rachaela menghela napas pada meja di sisi kanannya, di mana ada bunga bakung di atas sana. Lalu, pada pemuda yang duduk di depannya.

"Miwa mengaku Omemoto-san menyuruhnya untuk membeli yogurt yang hanya ada di mesin otomatis taman sekolah, tetapi tidak ada yang bisa dijadikan bukti selain yogurt di tangannya. Setiap saksi berkata keduanya terus bersama selain saat Omemoto-san tampil di atas panggung.

"Aku minta kau mengamati pemuda itu. Tidak keberatan, 'kan? Sepertinya kau juga akan memperhatikannya tanpa diminta. Lalu, seperti apa hubungan Miwa dan Omemoto-san dari sudut pandangmu?"

"Sedang memikirkan apa?" Wajah manis Natsuki muncul di hadapannya.

Guru yang menerangkan sudah pergi. Sekarang saatnya pergantian pelajaran.

"Tidak." Rachaela membalas dengan refleks. Setelah sadar, dia menelan ludah dan mengatupkan bibir.

"Kaede-chan pasti sudah bahagia di sana."

Tidak meluruskan kesalahpahaman Natsuki, Rachaela tersenyum. "Ada apa?"

"Katsumi-sensei memanggilmu ke kantor. Aku ikut, ya?"

Setelah kedua orang itu pergi, Miwa menyentuh dagunya dengan wajah menyelidik. "Ini perasaanku saja atau Rachel tampaknya memikirkan sesuatu."

Sachi di samping menaikkan sebelah alis dengan wajah datar.

Yuki berdeham, berkata dengan suara terkecil, "Bukankah ini kesempatanmu untuk mengejarnya? Kau sekarang ... jomlo."

"Yuki, Rachel sudah bertunangan."

Pemuda itu diam-diam cemberut.

Miwa yang sangat yakin bahwa Yuki masih menganggap serius pemikiran sekilasnya tempo hari menyipitkan mata pada pemuda yang duduk di depan Sachi. "Kai, kau sebaiknya lebih berhati-hati mulai sekarang."

Dia dihadiahi lemparan pena oleh Sachi.

Tawanya yang kecil terdengar keras di kelas yang sepi. Yah, selain mereka yang benar-benar takut, beberapa pemalas mengambil kesempatan ini untuk membolos juga, menyisakan hanya dua atau tiga orang berisik.

Suasana yang tidak biasa itu perlahan menyeret yang lain untuk menjadi lesu. Bahkan pada akhir pelajaran, tidak ada sorakan maupun suasana yang terangkat.

"Kalau begitu aku akan pulang duluan," kata Kai."Nanti malam aku datang."

Sachi mengangguk dan melambai pada sang pacar. Yang lain sudah pulang, meninggalkannya sendirian di koridor. Mereka tidak mengadakan pertemuan klub, jadi seharusnya dia juga ikut pulang. Sayangnya, Allen yang saat ini sedang ke kantor guru memintanya menunggu. Mereka harus membeli keperluan rumah dan pemuda itu tidak akan membiarkan Sachi lepas dari tanggung jawab.

Tanpa diduga, saat masih menunggu, Nihei mendatanginya. Sang ketua dewan murid tidak bersama wakilnya saat ini.

"Katakan, siapa pelaku semua pembunuhan ini?" Dia berkata tanpa basa-basi.

Sachi tersenyum kecil. "Kenapa kau bertanya padaku?"

"Aku sudah meminta kalian menyelidikinya dan kalian sudah mendapatkan manfaatnya." Pemuda itu berwajah serius, tanpa setitik senyum pun. Sekilas, ada ketakutan di matanya.

"Kami melakukannya pada kasus Itou Akira-senpai. Di situ kesepakatannya," balas Sachi. "Sudah dilakukan."

"Jujur saja!"

"Apanya?"

"Bukankah kau dan Ritsu dekat?" Nihei maju dan mencengkram pergelangan tangan Sachi.

Sachi tersenyum sinis sekaligus menahan sakit. "Lepaskan."

"Gadis itu pasti berbagi rahasia denganmu. Katakan ..., dia tidak mati. Ini skema kalian untuk balas dendam, bukan? Untuk menyebar ketakutan pada kami."

"Kenapa?" Sachi menunjukkan wajah mengejek. "Kau takut? Kenapa kau takut? Apa yang membuatmu ketakutan sampai menjadi irasional seperti ini? Bukankah kau ketua dewan murid yang disukai semua orang?"

Wajah Nihei memerah, pandangan matanya menjadi tidak fokus. Tangan lainnya terangkat ke leher Sachi. Kemudian, dia tertawa gila. "Pasti! Sudah Pasti! Pasti ini memang skema kalian!"

Sachi mencoba melepas kedua tangan Nihei.

Saat inilah dia membenci kenapa dia menolak diajarkan beladiri. Setidaknya dia bisa memberikan sedikit perlawanan saat diserang. Namun, ini. Pemuda di hadapannya tidak bisa dia pindahkan, bahkan seinchi.

"Ritsu! Keluarlah!" Nihei berteriak di koridor yang kosong.

Sachi berterima kasih atas kebodohan pemuda itu, berdoa agar ada yang mendengar.

"Ritsu! Keluar atau Sachi kubunuh! Ritsu!" Dia terus berteriak, hampir frustasi saat hanya keheningan dan rintihan Sachi yang mengiringi.

Sachi mengangkat tangannya yang bebas untuk menampar pemuda itu. Tidak bisa melepaskan dirinya, tetapi setidaknya pemuda itu juga merasa sedikit sakit. Walau balasannya adalah Nihei semakin sungguhan mencekiknya.

Sachi tidak bisa bernapas. Dadanya nyeri. Bajingan satu ini! Sachi merasa pandangannya mulai kabur.

Untungnya, sebuah tinju datang dan langsung membuat Nihei tersungkur.
Allen, yang tidak tahu datang dari mana, langsung menghajar pemuda itu habis-habisan. Sachi terduduk di tempat, menghirup udara sebanyak-banyaknya.

Saat dia perlahan pulih, Allen membantunya berdiri dan keduanya pergi, meninggalkan Nihei yang pingsan dengan wajah tak berbentuk.

.

.

4 Juni 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro