Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian Satu: Pecah

Arisa diam memandangi sepatu yang dipakainya. Gadis dengan rambut ikal sebahu itu mengalihkan pandangan pada sepanjang jalan yang sepi, hanya dilewati sesekali oleh mobil. Awal musim dingin ini dingin. Akan tetapi, hatinya lebih dingin.

Dia bersandar pada pembatas jalan, bersidekap dada.

Sebuah taksi berhenti di hadapan. Yuki keluar dari sana.

"Maaf merepotkanmu, Arishima-san," kata pemuda itu.

"Tidak apa-apa." Arisa berjalan, beriringan dengan Yuki. "Aku sudah telanjur terlibat."

Yuki bergumam.

"Kau sungguh membuatku kagum." Arisa tersenyum. "Aku tidak tahu bahwa rumor kalau kau bisa melihat segalanya itu asli. Maksudku ..., itu tidak masuk akal. Ah, jangan tersinggung, ya?"

"Ini memang tidak masuk akal."

"Tapi kau sudah membuktikannya. Bahkan kakakku tidak tahu kalau aku bisa berkomunikasi dengan arwah. Yah, maksudku kepribadian lainku yang bisa. Hanya saja ..., aku tidak tahu kalau kau sampai menghubungiku. Kudengar kau pemalu. Dan, ya, kau pasti kesusahan. Aku senang bisa membantu."

"Aku benar-benar berterima kasih, Arishima-san."

"Jangan katakan hal itu lagi. Aku juga ingin masalah ini cepat selesai. Aku tidak ingin lulus dengan bayang-bayang mereka yang sudah tidak ada."

Yuki tersenyum tipis pada Arisa. Kemudian, sebuah titik putih tertangkap pandangannya. Dia melihat langit di mana salju turun dengan lembut.

"Ini sangat cepat datang."

"Ya, 'kan?"

.

.

Yuki dan Arisa sampai di tempat tujuan. Sebuah lingkungan yang tidak begitu baik. Perumahan yang tidak teratur apalagi rapi. Mereka berdiri di balik tembok sebuah rumah, hanya sedikit jauh dari objek di ujung jalan. Kediaman Hinata. Hinata Ritsu.

Di malam yang tenang, mereka tahu di tempat lain tidak seperti itu.

"Jika kita tidak pergi sekarang—"

"En."

Arisa yang akan berjalan terlebih dahulu menghentikan langkahnya. Dia memperhatikan Yuki yang memaku di tempat. Wajah pemuda itu sangat tenang, tetapi tangannya yang mengepal tidak berhenti gemetar.

"Yuki-kun," panggil Arisa. "Kita biarkan saja?"

Pada rumah gelap di ujung jalan, muncul cahaya yang terlihat dari luar jendela. Namun, ini sudah tengah malam dan salju perlahan turun. Tidak ada yang memperhatikan. Terlalu malas dan dingin.

Tidak sampai cahaya itu membesar dan menghasilkan asap. Lama kelamaan semakin pekat. Suara sesuatu yang roboh terdengar dari dalam. Sedikit demi sedikit lampu tetangga menyala, bahkan ada teriakan.

Rumah Ritsu terbakar. Api dengan cepat menyebar dan melahap rumah yang didominasi kayu itu.

Arisa menggenggam tangan Yuki, menarik pemuda yang linglung itu menjauh, menuju taman yang berada sedikit ke atas. Mereka bisa melihat situasi dari sana. Lebih aman dibanding berada di tempat yang mana mereka bisa dicurigai sebagai pelaku.

"Harusnya ... kita bisa ... mencegahnya." Yuki dengan napas terengah mencengkram lututnya. Kemudian, pemuda itu terduduk di tanah.

Arisa berdiri di depan, menatap ke kejauhan. Dia adalah seorang atlet, jadi berlari jauh bukanlah masalah. "Kita bukan pembunuh juga, 'kan?"

"Hatiku tidak nyaman."

"Bukankah dengan begitu kau lebih yakin untuk menghentikannya?"

"Tapi ... karena keterlambatanku, rumah Hinata-san ...."

Arisa berbalik, menyengir. "Sejak awal kau memang tidak berniat mencegah hal ini, bukan? Kau membiarkannya mengambil hal ini sebagai hadiah."

"Hadiah?"

"Hadiah perpisahan."

Yuki menatap asap yang tidak terlalu jauh keberadaannya, memutar pandangan pada gadis yang duduk santai di ayunan.

.

.

"Pak, rumah Hinata-san terbakar."

Sendou Juan mengerjapkan matanya beberapa kali, mengumpulkan kesadaran. Dia baru saja terbangun karena telepon dari temannya. Pria itu ke luar dari kamar, menatap Victor dan Nagisa yang bergadang sembari bermain game di ruang tengah.

"Ada apa, Ayah?"

Setelah dia menjelaskan secara singkat, ketiga orang itu langsung bersiap dan pergi ke tempat kejadian.

"Bukankah kalian ke sana sebelumnya?" Juan bertanya.

Victor yang menyetir berdeham sementara Nagisa yang duduk di kursi belakang mengeluarkan pulpen perekam dari saku bajunya.

"Ada apa lagi kalian datang ke sini? Tidakkah yang terakhir kali cukup? Sekarang media sudah mengetahui kasus ini. Semua orang menunjuk-nunjuk kami. Anak pembawa sial itu terus menjadi benalu bahkan setelah dia mati!"

Suara pintu yang ditutup dengan keras terdengar.

"Hanya itu," kata Nagisa. "Kami tidak mendapatkan apa-apa di sana. Sejak awal, sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka tidak peduli dengan Hinata-san. Mereka tidak tahu siapa yang berkemungkinan melakukan semua ini."

"Pelaku sangat berani untuk melakukan langkah besar seperti kebakaran. Padahal dia bisa membunuh mereka secara diam-diam." Juan menatap jalanan di depan.

"Mungkinkah ... pelaku bukan hanya ingin melenyapkan keluarga Hinata-san, tetapi juga tempat di mana Hinata-san menderita?"

Victor berdecak. "Sebuah pikiran yang melintas di benakku adalah semua ini perbuatan psycho yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan gadis malang itu. Seperti dia sengaja menggiring kita untuk mengaitkan semua ini dengan Hinata-san, hanya untuk bersenang-senang." Dia hanya bisa memarkirkan mobilnya cukup jauh karena tempat itu sudah dipenuhi warga.

"Aku malah berpikir bahwa keluarga Hinata-san adalah pelakunya dan mereka akhirnya memutuskan untuk bunuh diri." Nagisa berkata pelan.

Juan memberi arahan, "Kita akan mengecek tempat bersama petugas yang lain setelah api padam. Untuk saat ini, fokus mencari orang yang mencurigakan."

.

.

Terjadi kebakaran di Kediaman Hinata. Keluarga yang terdiri dari tiga orang itu tewas di tempat kejadian. Kuat dugaan bahwa kemalangan itu disengaja. Ada jejak borgol yang ditemukan yang sepertinya penyebab para korban tidak bisa melepaskan diri dari kobaran api.

"Meskipun aku sempat kesal dengan perlakuan mereka pada Hinata-san, tapi kasihan juga."

"Apa ... ini perbuatan Hinata-san? Keluarganya juga suka menyiksanya, bukan?"

"Dia membalas keluarganya?"

"Terlalu gegabah jika ini dilakukan orang lain. Berarti dia asal menebak perasaan Hinata-san pada keluarganya, bukan?"

"Benar. Mungkin maksudnya ingin membalas dendam Hinata-san, padahal dia sendiri tidak tahu apakah Hinata-san membenci keluarganya."

"Tapi ... membakar sebuah rumah dengan tiga korban di dalamnya .... Jika ini pelaku yang sama dengan yang meneror sekolah, maka ... tidakkah terlalu kejam? Aku takut."

"Jangan bilang dia akan membakar sekolah ini? Aku tidak mau! Aku masih bermimpi untuk lulus dengan baik."

Miwa mendesah lega ketika memasuki kelas. Koridor yang sebelumnya sunyi bagai kuburan mendadak ramai karena berita tentang terbakarnya rumah Hinata Ritsu. Mendengarnya membuat telinga sakit.

Yah, topik Hinata memang sesuatu yang tidak bisa dilewati. Hal itu seakan menjadi pusat perhatian SMA Hikaru sekarang dan beberapa waktu ke depan.

"Apa kau bertemu Yuki-kun?" Natsuki yang sedang membersihkan papan tulis bertanya.

Miwa melirik tiga kursi sebarisan yang kosong di dekat jendela. "Sachi bolos?"

Rachaela yang sedang mengerjakan pekerjaan rumahnya mengangkat kepala. "Mungkin."

"Bersama Kai?"

"Kurasa mereka kencan."

"Tidak ada akhlak. Kenapa tidak kencan di hari minggu saja?"

Rachaela tersenyum. "Mau kencan?"

.

.

"Apa Paman Weifler tidak marah?" Kai menatap Sachi yang asik memakan takoyaki di tangannya.

Gadis itu berpikir sejenak. "Sepertinya tidak. Jika iya, dia pasti sudah menjemput kita."

"Aku masih tidak mengerti tentang keluarga kalian."

"Hem?" Sachi mengerjapkan mata hijaunya. "Kami hanya sedikit berbeda. Itu saja. Kau tidak perlu mengetahui lebih banyak hal."

Wajah Kai berubah cemberut. Pemuda berjaket hitam itu membuka sebuah botol air minum dan memberikannya ke Sachi.

Sang pacar meminumnya hingga tinggal setengah. "Sebenarnya ... kau tidak perlu merasa tersinggung. Dulu, ayahku berjuang keras untuk berpisah dari keluarga. Jadi, aku juga berniat seperti itu, setelah dewasa nanti. Keluargaku sangat rumit dan membingungkan. Kita sebaiknya tidak berurusan dengan mereka."

"Kau tidak lelah?"

"Aku sedikit mengantuk."

Di taman yang sepi itu, keduanya duduk di sebuah kursi panjang dengan pohon besar yang menghalangi sinar matahari. Sachi bersandar pada Kai setelah menghabiskan takoyaki-nya.

Kai merangkul, mencium puncak kepala gadis itu.

Ada suara langkah kaki yang terdengar sangat kuat, anehnya.

Di lain tempat, Miwa yang baru saja keluar dari gerbang sekolah menghentikan langkah melihat dua pria asing berdiri di hadapan.

.

.

16 Juli 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro