Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian Lima: Topeng

"Kau percaya kalau ia benar-benar bunuh diri? Seperti Hinata-san?" Nagisa menghampiri Victor yang baru saja akan pergi.

"Ada buktinya, bukan?" Victor mengajaknya masuk ke dalam mobil.

Pagi tadi, seakan mengulang kejadian Hinata Ritsu, ada orang yang tergantung di ujung tangga menuju lantai tiga. Shigeto Nihei, pemuda nomor satu di SMA Hikaru. Sang ketua dewan murid.

Ada bucket bunga matahari dan ponsel di bawahnya. Di balik chasing ponsel itu, ada sebuah kertas bertuliskan:

Aku akan meminta maaf kepadanya.

Yang diduga ditujukan kepada Ritsu. Dan, diperkuat dari jejak pesan terakhirnya ke Sachihata Yousei. Jika pesan seperti itu diketahui oleh siswa, pasti akan ada kegemparan tambahan.

"Luka di wajahnya itu, kau mengatakan kalau sudah ada sejak kemarin. Siapa yang melakukannya?"

Nagisa menggeleng pelan. "Aku tidak tahu."

"Sachi-chan tidak datang hari ini?"

"Allen berkata gadis itu sakit."

"Karena pesan yang Shigeto-san kirim?" Victor menghela napas. "Seharusnya kita bisa mendapat banyak informasi dari gadis itu. Ia tidak terlihat dekat dengan Shigeto-san, bukan?"

"Begitulah."

"Tapi dari pesannya, mereka seperti kenalan dekat."

Nagisa menatap ke luar jendela selagi Victor melajukan mobil keluar dari lingkungan sekolah.

"Aku jadi tahu kalau Sachi-chan pernah melakukan percobaan bunuh diri. Gadis yang rumit."

Dalam diam, Nagisa mengernyit atas panggilan Victor. Pemuda itu tentunya tidak mengenal Sachi, tetapi memanggilnya dengan akrab. Tidak ada kecanggungan sama sekali.

"Kabar baiknya, aku jadi bisa berkunjung ke rumah Sachi-chan." Victor berkedip. "Aku tidak sabar."

"Bukankah gadis itu sakit?" kata Nagisa. "Kau berpikir Allen berbohong?"

"Siapa saja yang mendapat pesan seperti itu pasti akan merasa sakit. Karenanya, aku akan ke sana untuk menenangkan."

"Setelah ada kasus seperti ini dan informasi kalau Yousei-san tidak datang, Nishiki-san sudah pergi terlebih dahulu."

"Oh, pacarnya? Itu bagus. Aku penasaran seperti apa lelaki yang disukai Sachi-chan. Kau tahu, aku bisa berubah menjadi apa saja."

Nagisa memutar mata, yang sangat jarang dilakukannya.

.

.

Saat Sachi membuka mata, dia berada di kamar Allen. Kepalanya pusing. Ada beberapa hansaplas di tangannya. Ketika melihat itu, dia tahu pesan Nihei sebelumnya bukanlah mimpi. Pemuda itu benar-benar menelepon.

Sachi menyibak selimut, berniat turun dari ranjang, tetapi rasa sakit menyapa. Kakinya tidak lepas dari luka. Dia melihat jam yang menunjukkan pukul sembilan. Perutnya bergemuruh.

Weifler menyambutnya setelah dia bersusah payah pergi ke dapur. "Duduklah. Aku baru saja membuatkanmu nasi goreng."

Sachi makan dalam diam.

"Tadi teman-temanmu datang ke sini, tapi mereka pulang karena kubilang kau masih tidur. Mereka orang-orang yang baik. Pantas saja kau tidak ingin pindah."

"Apa yang terjadi semalam?"

"Sebenarnya, aku tertidur pulas semalam," kata Weifler. "Allen yang bercerita kalau dia mendengar suara gaduh dari kamarmu. Yah, kamar itu belum dibersihkan, kau sebaiknya tidak melihatnya dulu. Bisa membuat kepala sakit. Oh, Allen sepertinya memiliki dendam pada ponselmu. Dia hampir melempar benda itu ke dinding jika tidak kucegah. Dan juga, ada kasus lagi di sekolahmu. Aku bersungguh-sungguh, Sachi, sebaiknya kau dan Allen keluar dari sana. Aku mendengar banyak wali murid juga ingin melakukan hal yang sama."

"Bisakah kau berhenti, Paman?" Sachi memegang kepalanya yang mulai sakit.

"Tidak. Allen berkata aku harus terus bicara dan memenuhi pikiranmu agar kau tidak memikirkan hal lain." Weifler tersenyum tipis.

"Jadi, ponselku masih dipegang Allen?"

"Sepertinya begitu."

"Sekolah tidak diliburkan?"

"Seharusnya iya, tapi dia belum pulang."

Bertepatan dengan itu, bel rumah berbunyi. Weifler awalnya mengira itu Allen, tetapi siapa yang perlu membunyikan bel di rumahnya sendiri?

Ketika dihampiri, seorang pria muda menunjukkan surat tugas dan kartu nama, menunjukkan profesinya sebagai detektif. "Saya Sendou Victor. Kupikir ini kediaman Sachihata Yousei?"

Wajah Weifler berubah gelap, menatap menyelidik pada dua pemuda di hadapannya, yang mana satu orang mengenakan seragam sekolah SMA Hikaru. "Benar. Ada perlu apa?"

"Kami perlu memberikan beberapa pertanyaan kepada Sachi-chan. Kebetulan dia adalah orang terakhir yang berhubungan dengan Shigeto Nihei-san melalui ponsel."

"Jika keponakanku tidak keberatan." Weifler membawa keduanya masuk, tidak mengubah raut wajahnya terhadap orang yang terlihat asing, tetapi memanggil Sachi dengan akrab.

Sachi, Victor, dan Nagisa duduk di ruang tengah. Weifler berada di ruang kerjanya, tampak tidak berminat.

"Meskipun kudengar kau sakit, kuharap kau bisa menjawab pertanyaan kami dengan baik," kata Victor mengawali.

Sachi mengangguk pelan.

Perhatian Nagisa tersita oleh tangan gadis itu yang memegang bantalan sofa, dihiasi banyak hansplas. "Dari mana luka di tanganmu berasal?"

"Kupikir kalian sudah tahu tentang pesan yang Nihei kirimkan kepadaku. Aku hanya ... sedikit frustasi."

"Kalian sepertinya dekat. Meski tidak pernah berinteraksi." Victor saling melempar pandangan dengan Nagisa.

"Kami berasal dari SMP yang sama."

"Dengan Hinata-san juga?"

"Ya."

Victor mengeluarkan ponsel, menunjukkan foto dari kertas yang ditulis Nihei.

"Kaupikir yang dia maksud adalah Hinata-san?"

"Ya." Sachi menatap kedua pemuda di hadapannya bergantian, berpikir sejenak. "Sebelum mengirim pesan, Nihei meneleponku. 'Aku sudah memutuskan untuk meminta maaf pada Ritsu,' katanya."

"Apa hubungan mereka?"

"Nihei menyukai Ritsu, tapi gadis itu sudah menyukai orang lain. Nihei tidak menyerah dan Ritsu pun mulai membuka hati untuknya. Sayangnya, Nihei tidak sabaran. Dia ... melakukan sesuatu yang sangat buruk pada Ritsu."

Victor dan Nagisa memiliki pemahaman diam-diam mengenai maksud Sachi. Dinilai dari kalimat sebelumnya, mungkin Nihei sudah memaksakan dirinya pada Ritsu.

Bagi mereka yang sudah terbiasa melihat sisi gelap orang lain, itu bukan hal yang aneh. Bahkan untuk seorang ketua dewan murid.

"Berapa jangka waktu kejadian itu dengan peristiwa bunuh diri Hinata-san?"

"Cukup dekat." Sachi bergumam.

"Apa hubunganmu dengan kedua orang itu?"

"Kami berasal dari SMP yang sama."

"Sepertinya lebih dari itu." Victor menyandarkan tubuhnya, bersikap santai. "Kudengar kau bisa meramal. Apa kau mengetahuinya dari ramalan? Tapi Shigeto-san tampak sangat terbuka denganmu. Kalian seperti memiliki pemahaman diam-diam antara satu sama lain."

Sachi diam untuk waktu yang lama. Gadis itu seperti terjebak dalam pikirannya sendiri, menghasilkan pandangan yang kosong. Perlahan, dia berkata, "Nihei mengajakku untuk bunuh diri bersamanya."

"Karena?"

"Aku tidak mencegah Ritsu bunuh diri."

Victor maupun Nagisa merasakan hal yang aneh dari gadis di hadapan mereka, seperti jiwa telah keluar dari tubuhnya.

"Sepupuku masih sakit. Kupikir kau bisa menyudahinya di sini." Allen sudah berdiri di pintu, membukanya dengan lebar, secara blak-blakan mengusir dua pemuda asing dari rumahnya.

Setelah kedua orang itu pamit dan pergi, Allen menyalakan televisi, duduk di samping Sachi. "Ini acara yang kau sukai. Lihat, kucing mereka bertambah lagi. Aku tidak tahu berapa banyak uang yang mereka habiskan untuk merawat kucing. Padahal mereka hewan yang merepotkan."

"..."

"Bahkan mereka mengambil kotoran kucing dari pasirnya. Meski dengan sekop, itu tetap menjijikkan."

"..."

"Memelihara ikan dan kucing bersama-sama lebih tidak masuk akal."

Allen terus berbicara, tidak merasa mulutnya pegal sama sekali. Dia terus berbicara sampai Sachi akhirnya merespons, meski hanya gumaman lembut. Gadis itu mengambil es krim dari kulkas sebelum kembali duduk bersama Allen, lanjut menonton televisi.

Berbeda dengan penampilan pendiamnya tadi, dia kini sesekali berbicara.

.

.

11 Juni 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro