Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian Lima: Terjatuh

"Sejak kapan ... Yuki bisa mendekati gadis lain? Apa dia sudah sadar diri?" Miwa menatap ragu pada Yuki yang berjalan di depan bersama seorang gadis dari kelas sebelah.

Rachaela menyipitkan mata, menatap punggung Yuki dan Arisa yang menghilang di belokan gerbang sekolah.

"Aku tadi melihat Arishima-san duduk sendirian di kelasnya. Apa dia menunggu Yuki-kun?" tanya Natsuki. "Jika begitu, seharusnya Yuki-kun tidak perlu ke ruang klub dan langsung pulang saja, daripada membuat seorang gadis manis menunggu."

Kelima orang yang berjalan bersama bepikir dalam diam.

"Bagus," celetuk Kai.

Miwa tertawa. "Kau tidak perlu waspada lagi, ya?"

"Syukurlah." Natsuki melambaikan tangan. "Sepertinya Yuki-kun sudah dewasa."

"Apa kau ibunya?" Sachi tersenyum kecil.

"Kau baru tahu?"

Keduanya tertawa.

Sachi, Rachaela, dan Natsuki berencana untuk membeli manisan di toko yang baru saja dibuka, tidak jauh dari sekolah, sekalian bergosip. Karenanya, Natsuki dengan paksa menyuruh Miwa dan Kai memisahkan diri. Kedua pemuda itu tidak memiliki pilihan selain menuruti.

Setelah mencoba berbagai macam manisan, ketiganya duduk di tanggul sungai, menatap pantulan langit sore di air.

"Sudah lama tidak bersantai seperti ini," kata Natsuki.

"Seharusnya masa SMA kita habiskan dengan penuh kebahagiaan." Rachaela menekuk kakinya, meletakkan dagu ke atas lutut.

"Kudengar Hayagi-san sudah diangkat menjadi ketua dewan murid. Karena kemungkinan tidak akan ada acara apa pun sampai tahun depan, sepertinya tidak ada wakil yang diangkat."

"Kita sudah tidak membutuhkan yang seperti itu lagi."

"Aku ingin mengulang masa SMA-ku di tempat lain bersama kalian. Masa SMA yang tidak dibayangi kematian seperti ini." Natsuki melirik Sachi yang diam sedari tadi. "Sachi-chan, kapan semua mimpi buruk ini akan selesai? Apa kita bisa lulus dengan baik."

"Yah, kau bisa lulus dengan baik. Mungkin."

Natsuki mendengkus. Gadis itu melepas bandana yang seharian ini dipakainya. "Kau lebih banyak diam seharian ini. Bisa meramal pasti sangat berat."

Sachi menatap anak-anak yang bermain layang-layang di tepi sungai. Kenapa dia bisa meramal? Untuk apa?

Mereka tidak berada di dunia fantasi yang mana penyihir berkeliaran melawan monster. Dia tidak benar-benar membutuhkan kemampuan itu. Tidak. Sebenarnya, dia sangat tidak membutuhkan kemampuan itu. Jika saja ada cara untuk menghilangkan kemampuannya melihat masa depan.

"Sachi-chan, Rachel, maaf, ibuku berkata bahwa Mister Misteri tidak mau makan dari pagi karena kutinggal. Aku harus pulang sekarang."

Sebelum Rachaela bisa membalas, putri dari pemilik toko hewan itu sudah pergi.

"Aku kadang memiliki perasaan bahwa kita tidak lebih penting dari kucing." Rachaela terkekeh.

"Dia bersama Mister Misteri lebih lama dari kita."

"Benar juga, ya."

Kedua gadis itu diam untuk beberapa saat.

Jika dipikir-pikir, kebanyakan interaksi mereka dijembatani oleh Natsuki. Aslinya, mereka canggung antara satu sama lain. Tidak ada yang tahu harus memulai percakapan seperti apa.

Pada akhirnya, sembari memutar-mutar sejumput rambutnya, Sachi bertanya, "Kau pernah duduk di sini seperti ini?"

Rachaela memahami tanda itu sebagai cara Sachi menutupi kegugupan. "Aku tidak terlalu ingat. Karena jalan ini berbeda dari arah rumahku, sepertinya belum pernah."

"Begitu." Sachi mengecilkan suara hingga hanya dia yang mendengar. "Kau lupa."

"Apa kau membaca postingan tentang pengakuan di forum sekolah?" Mata Rachaela berbinar saat dia akhirnya menemukan topik pembicaraan.

"Ya."

"Apa kau percaya? Eh, jangan-jangan kau sudah tahu?"

"Aku melihatnya." Sachi mengalihkan pandangan tanpa melihat tatapan kaku Rachaela.

"Menjadi peramal itu identitas yang berat, ya."

"Apa kalian terbantu dengan pengakuan Arishima-san?"

"Lumayan, sih. Eh ..., aku tidak tahu kau juga bisa memakai -san untuk orang lain." Meski tidak sembrono, Sachi juga bukan orang yang terlalu sopan.

"Aku menghormati mereka yang pantas kuhormati. Keberanian Arishima-san membuatku kagum."

"Ayahku sepertinya mengirim orang untuk menjaganya."

Sachi mengangguk. "Itu memang berbahaya. Menulisnya di forum sekolah menunjukkan bahwa dia tidak berhati-hati."

"Tapi ..., pengakuan itu mengubah banyak hal. Kalimat-kalimatnya mengungkap kebenaran yang bahkan baru kuketahui."

"Perkataan adalah pisau. Tajam ke sisi lain."

"Benar. Aku sering menemukan ungkapan seperti itu di buku-buku yang baca, menunjukkan betapa pentingnya kita menjaga omongan."

"Ternyata kau mengerti."

Rachaela tertawa lepas. "Meskipun aku tidak lebih pintar darimu, aku juga tidak bodoh."

"Kupikir tidak."

"Dingin sekali, Sachi."

"Rachel, apa kau mengenal Ritsu?"

Tawa Rachaela berhenti. "Tidak. Ngomong-ngomong ..., kau dari SMP Ttoma, 'kan?"

"Ya. Aku mengenal Ritsu. Dulu."

"Mau ke makamnya?"

"Sudah sore. Aku harus pulang sebelum Allen mencariku." Sachi berdiri.

"Ah, oke." Rachaela ikut berdiri. "Sampai jumpa besok."

"Bye-bye."

.

.

Ren berbaring malas di sofa ruang keluarga kediaman Yukihina. Ayahnya dan ayah Yuki bekerja di perusahaan yang sama dan sering bertugas ke luar kota. Sementara itu, di rumahnya sendiri hanya ada ibu dan dua saudarinya yang bersama-sama menjaga sebuah toko bunga dan perabot taman yang cukup besar.

Pada hari biasa, dia akan sering berada di rumah Yuki. Selain menemani pemuda itu, juga untuk menghindar dari menjadi karyawan tanpa gaji. Karena mereka sudah sangat dekat, dia dipercaya untuk memegang kunci cadangan rumah. Jadi, dia bisa masuk saat rumah itu sendiri kosong.

Suara langkah kaki terdengar. Yuki akhirnya pulang.

Ren melihat ke luar jendela di mana keadaan sudah cukup gelap. "Dari mana? Pertemuan klub sastra-mu?"

"Aku ada urusan dengan seseorang."

"Ah, kencan. Yuki sudah dewasa. Aku harus menyiapkan hadiah untuk calon menantuku."

"Itu menjijikkan!" Yuki mengernyit. "Jangan bertingkah seperti kau adalah ayahku."

"Kakak laki-laki itu adalah ayah kedua." Ren membulatkan mata.

"Siapa yang kakak siapa? Aku lebih tua darimu."

"Tapi ibuku lebih tua dari ibumu."

"Mereka kembar."

"Tetap saja, ibuku lebih tua, walau hanya lima menit."

Yuki mendengkus, masuk ke kamar, membanting pintunya hingga tertutup. Pemuda itu menghela napas pelan, meredakan rasa panas di hatinya. Kemudian, dia tersenyum. Berkat Ren, dia tidak perlu menyapa rumah yang kosong.

Ren baru saja selesai memanaskan makanan yang dibawanya dari rumah setelah Yuki selesai berganti baju dan keluar kamar. Keduanya makan malam bersama lalu menonton televisi.

"Yuki, I wanna ask you something."

"Kenapa tiba-tiba memakai Bahasa Inggris?"

"Sekarang aku ketua dewan murid."

"Kau ketua dewan murid, benar, bukan presiden yang perlu ke luar negri."

"Bahasa Inggris itu penting. Sebuah pelajaran yang tidak memiliki efek negatif. Yah, kecuali kefasihan dalam makian."

"Ya, ya, ya." Yuki mengganti saluran televisi menjadi "Kehidupan Binatang Peliharaan" yang disukai Sachi.

"Aku benar-benar ingin bertanya, nih." Ren merebut bantal sofa yang dipeluk Yuki.

"Apa?" Pemuda itu menggeram kesal. Jika di rumah, dia bukanlah orang yang lembut, apalagi terhadap sepupunya itu.

"Kau bisa tahu siapa pelaku pembunuhan di sekolah, 'kan?"

"Jangan membahasnya sekarang. Aku sedang fokus menonton."

"Aku hanya ingin bertanya apakah kau tahu atau tidak. Ini semua demi ketenangan hidupku ke depannya."

"Kenapa begitu?" Yuki menoleh dengan tatapan bertanya.

"Jika kau tahu, sepertinya aku tidak perlu khawatir karena kau tidak akan membiarkanku mati. Ya, 'kan?"

"Jangan bertanya di saat kau sangat percaya diri bahwa kau tidak bersalah."

"Aku benar-benar serius." Ren mengangguk dengan wajah bersungguh-sungguh.

"Aku tahu."

"Hem?"

"Aku tahu siapa pelakunya."

"Kau tidak berniat mengungkapnya? Itu bagus untuk memutus semua kematian ini, bukan?"

.

.

02 Juli 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro