Bagian Empat: Omemoto Yui
"Kau sudah baikan?"
Sachi yang berbaring menatap langit-langit Ruang UKS menggeser pandangan ke Kuroki yang berdiri di samping ranjang.
"Sejak awal tubuhku aneh," gumam gadis itu.
"Itu adalah respons otak." Kuroki memasukkan tangannya ke saku jas, melirik pemuda yang tertidur di ranjang satunya. "Trauma Yukihina-kun mungkin lebih parah."
"Kau keberatan untuk bercerita?"
"Tidak biasanya kau meminta."
"Hanya mengisi pikiran."
Pria dengan jas putih itu menarik kursi untuk duduk. "Sejauh yang kutahu, ibu Yukihina-kun memang memiliki tubuh yang lemah dan sering sakit. Beliau sering batuk darah dan menghabiskan sebagian besar waktu di Rumah Sakit. Jika saja dia tidak memaksa, maka sisa hidupnya harus dihabiskan untuk berbaring di ruangan serba putih itu. Ingatan masa kecil Yukihina-kun dipenuhi pemandangan ibunya yang berulang kali pingsan dan ayahnya yang sering menitipkannya pada keluargaku karena tidak tega membawa Yukihina-kun. Anak itu selalu menangis di kamarku."
"Itu kenangan yang menyakitkan."
Tidak menyadari sarkas tersirat, Kuroki berdeham mengiyakan.
"Kuroki-sensei," panggil Sachi. "Apa jika seseorang itu merasakan rasa sakit, maka mereka bebas melakukan apa pun?"
"Kesedihan bukanlah alasan dari perbuatan buruk yang dilakukan manusia."
"Jika Yuki yang kau kenal itu melakukan kesalahan, apa kau akan memaafkannya?"
"Yukihina-kun yang kukenal tidak akan melakukan kesalahan yang tidak bisa kumaafkan."
"Oh, benar. Aku membuat perumpamaan yang salah."
Sachi memalingkan pandangan ke luar jendela, memperhatikan mobil polisi dan ambulance yang memasuki lingkungan sekolah, juga mobil mewah yang ia yakini milik keluarga Omemoto.
"Kau tidak akrab dengan gadis itu?"
"Tidak mungkin."
Seperempat jam kemudian, Kai, Natsuki, dan Miwa datang ke UKS. Mereka berkata Rachaela menemui ayahnya sehingga ia tidak ikut.
"Kau tidak menghibur calon mertuamu, Miwa?" sindir Sachi.
Pemuda yang ditanya hanya tersenyum kecil. "Aku sudah memberikan keterangan yang lengkap kepada Sendou-san."
"Kau tahu maksudku ternyata."
"Tunggu," sela Natsuki. "Sachi-chan, saat kau berkata calon mertua Miwa-kun, itu Omemoto-san atau Sendou-san?"
Sachi beranjak duduk tanpa membalas.
"Apa yang dikatakan sekolah?" tanya Kuroki.
"Sesuatu seperti jangan panik, tetap tenang, dan semacamnya," jawab Miwa dengan datar.
"Kau bisa terlihat sedikit sedih, Miwa?" ujar Sachi. "Orang-orang akan mencurigaimu jika kau seperti itu di saat korban adalah kekasihmu."
"Mau bagaimana lagi? Aku memang tidak merasa sedih. Kalian juga tahu aku tidak benar-benar menyukai Yui. Aku malah merasa lega karena tidak ada yang mengangguku lagi."
"Jangan katakan itu di hadapan orang luar. Kau bisa disalahpahami."
Kuroki yang menyadari lirikan Sachi terkekeh canggung. "Aku warga negara yang bebas. Selain itu, kupikir kita sudah cukup akrab. Setidaknya aku tahu orang-orang seperti apa kalian dari cerita Yukihina-kun."
"Yuki-kun pingsan? Tidur?" Natsuki mendekati ranjang Yuki.
Perlahan, mata pemuda yang tertutup itu terbuka. Ada jejak ketakutan di raut wajahnya, tidak seperti Yuki yang ceria walau pendiam.
"Kau baik-baik saja, Yuki-kun?"
"Natsuki-chan," lirihnya.
"Yuki-kun yang baru bangun tidur menawan juga," gumam Natsuki.
"Bukankah kau sudah punya Murakami?" cibir Sachi.
"Eh, dari mana kau tahu, Sachi-chan? Kami akhirnya jadian setelah Yoshimura-san tidak ada. Dia berkata sebelumnya takut kalau aku akan diganggu makanya dia diam saja. Tapi, aku kan belum cerita sama sekali."
"Jangan remehkan intuisiku."
"Maksudmu ramalan?"
.
.
"Apa kau tahu Omemoto-san juga pelaku intimidasi Hinata-san?"
Rachaela terdiam atas pertanyaan Nagisa. Gadis itu menatap diam pada mangkuk berisi es kacang hijau di hadapannya.
Saat akan pulang tadi, Nagisa mengajak ke kedai kecil di belakang sekolah ini. Keduanya duduk berhadapan dalam diam untuk beberapa saat.
"Hinata-san pernah menyukai Niita-san dan Omemoto-san tidak menyukainya."
Sebagai orang yang juga sedang menyukai Miwa, Rachaela diam seribu bahasa. Selain sejak awal selalu merasa tidak aman di dekat Nagisa, baginya pemuda itu juga berbahaya. Setiap kata-katanya penuh jebakan.
"Sedikit kurang ajar jika mengatakan bahwa semua ini disebabkan oleh Hinata-san. Gadis itu sudah mati."
"Kau mengatakan kalau postingan di forum sekolah untuk memancing pelaku. Apa yang melakukannya kemungkinan ada di sekolah? Apa ini benar-benar berhubungan dengan Hinata-san?"
"Pertanyaan yang bagus," kata Nagisa. "Kau tahu sendiri bahwa benang merah yang bisa kita tarik adalah para korban tidak terkecuali Itou-san pernah menganiaya Hinata-san. Dan, dengan jejak 'bunga matahari' yang ditinggalkan pelaku ..., kau menemukannya di makam Hinata-san, bukan? Itu adalah bukti. Pelakunya mungkin beruntung karena dengan rumor semacam itu ada banyak orang datang untuk meminta maaf ke makam, tapi keberuntungan tidak akan datang selamanya."
"Jika kau mengatakan pelakunya berhubungan dengan Hinata-san dan memang benar Itou-senpai pernah menganiaya gadis itu, apa kau bisa menjelaskan kronologi kematiannya? Tidak seperti yang lain, ia bisa dibilang ... jatuh sendiri. Sulit untuk mengatakan kalau gadis itu dijatuhkan. Ada beberapa saksi."
Nagisa menyangga dagu dengan tangan. "Ada banyak orang yang menganiaya Hinata-san, apa kau berpikir dia akan membunuh mereka semua?"
Rachaela tersentak sadar. Dia menatap lurus ke arah pemuda berkacamata di hadapannya. "Itu sepertinya tidak mungkin."
"Lalu, mengapa mereka?"
Mengapa Akira, Kiyoko, dan Yui? Apa korban dipilih dengan faktor tertentu? Tapi apa? Rachaela diam merenung.
Semakin dalam dia berpikir, semakin sakit yang dirasakan gadis itu di hatinya. Ini adalah titik lemahnya. Dia selalu membenci mengapa tidak bisa menjadi sepintar Victor? Mengapa dia tidak lebih peka? Mengapa dia tidak lebih berguna? Dia tidak bisa berpikir keras. Dia tidak bisa menghubungan setiap kejadian yang ada. Dia hanyalah Rachaela, gadis yang biasa saja di keluarga yang luar biasa.
"Apa teman-temanmu tidak menyelidiki hal ini?" tanya Nagisa. "Aku banyak mendengar kehebatan kalian. Meramal, berbicara dengan hantu, melihat pikiran seseorang ..., pasti ada yang bisa digunakan."
Rachaela menggeleng. "Selain Sachi-chan dan Yuki-kun yang memang tidak tahan dengan hal-hal berdarah, yang lainnya juga tidak ingin ikut campur."
"Sayang sekali." Nagisa menyeringai. "Tapi mereka tidak mungkin menolak perintah kepolisian, 'kan?"
"Kepolisian yang percaya takhayul?"
"Kantor detektif swasta, kalau begitu. Kami suka menggunakan setiap sumber daya yang bisa digunakan. Tidak ada yang sia-sia. Bahkan walau kami harus menanggung risiko dibilang tidak masuk akal. Asal kasus yang kami tangani terselesaikan."
"Aku tidak berpikir kau bisa memaksa mereka. Latar belakang mereka tidak biasa."
"Tentu saja. Mereka adalah temanmu," kata Nagisa. "Dan, aku juga sudah menyelidiki." Pemuda itu mengambil tumpukan kertas dari tas sekolahnya. "Tidak ada satu pun yang bisa 'dipaksa' perusahaan detektif ayahku."
Rachaela mengambil satu persatu kertas, membaca satu atau dua kalimat. Semuanya berisi data tentang kelima temannya. Latar belakang, riwayat keluarga, riwayat pendidikan, catatan-catatan lain yang beberapa belum diketahui Rachaela sebelumnya. Gadis itu secara diam-diam memperhatikan data tentang Miwa untuk waktu yang lebih lama.
"Untuk apa kau mengumpulkan semua ini?" tanyanya. "Jangan bilang kau memperhatikan data setiap murid?"
"Tidak mungkin, 'kan? Aku mengumpulkan semua ini sebelum memutuskan untuk bergabung dengan klub paranormal-mu."
"Dan, apa alasan kau ingin bergabung?"
"Aku ingin tahu seperti apa pemuda yang membuat tunangan masa kecilku melupakan kesepakatan kami di masa lalu meskipun dia tahu pemuda itu sudah memiliki pacar."
Menghadapi mata penuh perhatian Nagisa, wajah Rachaela berubah kosong.
"Jangan bercanda," cibirnya kemudian.
.
30 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro