Bagian Empat: Itou Akira
"Karena kau bisa meramal, kupikir kau tidak perlu belajar."
Rachaela yang sedang duduk di bangku Miwa memperhatikan Sachi yang sedang fokus pada buku bahasa inggris di tangannya.
Mengangkat dagunya dengan sombong, Sachi berkata, "Aku bukan orang yang hidup hanya mengandalkan bakat."
Kai di depannya menoleh dengan wajah memelas.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa meskipun Kai bukan termasuk orang terbawah, dia selalu mengandalkan teman-nya saat ujian. Ada beberapa orang di kelas yang mengaku beberapa kali merasa merinding saat ujian, tetapi mereka tidak bisa melaporkan apa-apa. Para guru sangat realistis.
"Katakan saja kalau kau tidak bisa meramal semua jawaban," cibir Rachaela. "Siapa yang waktu itu berkata tidak mengenal belajar?"
Sachi berpura-pura fokus pada bacaannya, tidak menanggapi.
Miwa dan Natsuki masuk ke kelas dengan makanan dan minuman kotak di tangan mereka.
"Tadi Nihei bertanya," Miwa menyerahkan jus leci ke Yuki, "sejauh mana penyelidikan kita."
"Aku juga menantikannya," gumam Rachaela. Dia memakan roti dengan selai pisang yang dibawakan Natsuki.
Sachi menutup buku. "Kupikir kau tidak mewarisi darah detektif keluargamu."
"Kau lupa dengan chunibyo miliknya?" Miwa meletakkan satu tangannya di pinggang. "Saat ini pasti ada banyak hal-hal fantasi tersimpan di dalam kepalanya."
"Menjadi chunibyo tidak buruk juga," ujar Sachi.
Miwa menatap aneh sementara Natsuki memasang wajah antusias pada kalimat Sachi berikutnya.
"Seorang chunibyo itu bisa memikirkan apa yang tidak terpikirkan oleh kita. Itu bisa berguna dalam beberapa keadaan."
"Sesuatu bernama sindrom bukanlah hal yang baik, Sachi-san." Meski berbisik, suara Yuki cukup keras untuk didengar Rachaela dan yang lainnya.
Natsuki tertawa kecil.
"Sebenarnya," kata Sachi, "hanya Kai saja yang pergi sudah cukup. Jika kita ke sana pun kita tidak akan bisa menemukan apa pun."
Sebelum Kai membuka suara, Rachaela berkata, "Aku menolak!"
"Aku juga ingin pergi." Natsuki duduk di bangkunya.
"Apa yang menarik dari menyelidiki hal semacam ini?"
"Kau mengkhianati statusmu sebagai anggota klub paranormal," cibir Miwa. "Berurusan dengan hal-hal ghaib semacam ini adalah jati diri kita. Benar, 'kan?" Pemuda itu menjentikkan jari kepada Natsuki dan Rachaela yang mengangguk semangat.
"Jika kau tidak ingin pergi, aku akan menemanimu, Sachi-san," ujar Yuki yang dibalas tatapan sinis oleh Kai.
Pemuda bertindik itu berkata tajam, "Hubunganku dan Sachi tidak menerima roda ketiga."
Yuki mengabaikannya dan hanya fokus menatap Sachi. Kai berdecak.
"Kita pergi pulang sekolah ini, ya?"
"Aku tidak ingin ikut," gumam Sachi.
Kai tersenyum dan mengelus kepala gadis itu. "Kalau begitu kaupulang saja."
Meski sudah dikatakan begitu, pada akhirnya Sachi mengikuti kelima temannya ke tangga utara setelah pulang sekolah.
Karena dua kasus yang telah terjadi, hampir tidak ada siswa yang ingin tetap di gedung kelas setelah jam pulang berdering. Meski masih di sekolah, setidaknya mereka menjauhi tangga horor itu. Tangga yang telah memakan dua korban. Walau yang pertama dikui sebagai bunuh diri.
Untuk tidak mengusik pandangan orang-orang, garis polisi dilepas dengan cepat. Sekilas, itu hanya tangga biasa yang lebih bersih dari tangga yang lain dan lebih harum. Akan tetapi, keindahan itu justru membuat segalanya lebih menakutkan.
Sachi dan yang lainnya tidak berniat mencari tahu siapa yang meletakkan dua tangkai bunga bakung putih di dua vas berisi air di belokan tangga. Mereka hanya berusaha untuk tidak menyenggolnya sedikit pun.
Setelah beberapa menit berlalu, Sachi mendengkus. "Apa yang akan kita lakukan di sini?"
"Kita di sini menemani Kai melihat keadaan," ujar Miwa.
Yuki maju menyodorkan sebotol air kepada Sachi. "Mau minum, Sachi-san?"
Sachi mengangguk dan menerimanya.
Berbeda dengan Kai yang melihat ke sana kemari tanpa berfokus pada apa pun, Rachaela tampak mengamati tangga.
"Polisi sudah memeriksanya. Mereka pasti sudah menyimpan semua bukti," kata Sachi. "Dengan semua kebersihan ini, kau tidak akan menemukan jejak apa pun selain kita."
Natsuki tampak menahan senyum. "Jangan menganggu jiwa chunibyo-nya, Sachi-chan."
"Tidakkah kalian merasa merinding?" Rachaela menyentuh lehernya.
"Gadis itu sudah mulai," gumam Miwa.
"Itu murni kecelakaan," kata Kai, memutus tawa tertahan Sachi, Natsuki, dan Yuki.
"Seharusnya memang begitu." Miwa meregangkan tangannya. "Ada apa dengan Nihei, Yuki?"
Sembari keenam orang itu menuruni tangga, Yuki tampak berpikir panjang.
Setelah mereka meninggalkan lingkungan sekolah, Yuki berkata, "Shigeto-san meminta hal itu bukan karena permintaan siswa lain, tetapi karena Shigeto-san sendiri merasa takut."
"Kau sungguh merasakan hal itu?" tanya Sachi.
"Aku melihatnya dengan jelas, Sachi-san."
Sachi meneruskan langkahnya dalam diam.
.
.
Setelah berpisah dengan yang lain di persimpangan, Miwa kembali menemani Sachi untuk membeli bunga.
Meski memiliki niat untuk menahan gadis itu, dia hanya diam karena takut perbuataannya disalahpahami oleh Sachi. Meski sedikit pendiam, Sachi adalah orang yang sensitif.
Atas beberapa pertimbangan, pemuda itu hanya mengikuti apa yang dilakukan Sachi. Membeli bunga dan berkunjung ke makam.
"Ritsu ... bukan orang yang akan melakukan hal semacam itu."
Setelah mengatakannya, Sachi masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Miwa melangkah mundur dan memilih pergi ke ruang tengah untuk menonton televisi.
Beberapa tahun berlalu, sudah menjadi kebiasaannya untuk tinggal di rumah Sachi sementara orang tuanya pergi ke luar kota atau ke luar negri. Meski memiliki pelayan, dilihat dari segi mana pun tidak baik meninggalkan Miwa di rumah saat orang tuanya berada jauh.
Selain itu, dimulai sekitar empat atau lima tahun yang lalu dia lebih memihak masakan Allen daripada koki rumahnya.
Rumah mewah tingkat tiga miliknya tidak senyaman rumah sederhana dua tingkat milik keluarga Sachihata. Selain itu, dia sedang malas menaiki tangga menuju kamarnya di lantai tiga.
Meskipun begitu, untuk masalah pindah kamar, dia tidak tega meninggalkan atap khusus yang bisa tembus pandang menatap langit. Obsevatorium yang dibuatkan ayahnya ketika dia masih SD.
[ Miwa-kun, apa Allen ada di rumah?]
Miwa menatap pesan yang dikirimkan Yuki kepadanya.
[Tidak ada. Apa kau mencarinya?] balas Miwa.
[Tidak mungkin aku mencari Allen. Hanya saja mood Sachi-san tidak terlihat bagus. Aku ingin datang, tetapi tidak berani jika ada Allen] Yuki yang jujur.
Miwa mendesah dalam hati, Allen itu teman sekelasmu, lho.
[Datang saja] ketik Miwa. [Bawakan makanan yang banyak] sambungnya.
Sesuai dugaan Miwa, tidak sampai sepuluh menit hingga Yuki datang.
Menurut letak rumah pemuda itu, seharusnya memerlukan waktu sekitar dua puluh menit. Sudah jelas dia sedang dalam perjalanan ketika bertanya.
Dan, sesuai permintaan Miwa, Yuki membawa dua kantung kresek berisi makanan ringan.
Yuki tidak pernah diberi uang saku berlebihan, tetapi kebiasaan menabung pemuda itu membantu dirinya sendiri untuk menyuap Miwa.
"Sachi ada di kamarnya. Dikunci," ujar Miwa selagi matanya meneliti makanan apa saja yang dibawa Yuki.
Yuki membawa dua kantung makanan ringan berukuran besar dan mengetuk pintu kamar Sachi yang bisa terlihat dari ruang tengah. Saat mencoba membukanya, itu sudah tidak dikunci.
Yuki masuk dan melihat gadis itu berbaring malas di ranjangnyaa. Dia meletakkan makanan ringan yang dibawanya ke atas meja belajar.
"Yuki, tugas," ujar Sachi.
Pemuda itu dengan tanggap mencari buku bahasa inggris di antara tumpukan buku Sachi yang tidak tersusun rapi.
Dia mendiktekan soal, Sachi menjawab, dia menulis jawaban Sachi. Kelebihan lain yang dimiliki Yuki adalah bisa meniru tulisan tangan Sachi dan tidak pernah dicurigai hingga sekarang.
Sachi menganggap hal itu keberuntungan, tidak tahu bahwa Yuki sudah berusaha keras meniru tulisan tangannya agar bisa membantu Sachi menulis tugas.
Ketika sudah sampai pada soal terakhir, Yuki melirik Sachi yang duduk di sofa yang ada di dekat jendela membuka salah satu bungkus makanan. "Sachi-san," panggilnya.
Sachi menoleh, membungkam apa yang ingin dikatakan Yuki.
"Kau selalu bisa melihat banyak hal, Yuki. Hanya saja kau terlalu pengecut untuk mengungkapkannya," kata gadis itu. "Jika begitu, lebih baik sejak awal kaurahasiakan saja kemampuanmu itu. Aku tidak suka kau buat penasaran setiap kalinya."
Yuki diam menundukkan kepala.
"Aku tidak peduli bahwa kau memiliki luka karena mengetahui terlalu banyak hal. Aku hanya peduli pada apa yang kau ketahui, jika itu berkaitan denganku."
.
.
Kamis, 13 Februari 2020
08.19 PM
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro