Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian Dua: Hinata Ritsu

Rachaela mengingatkan, "Kalian belum menjawab pertanyaanku tadi."

"Kau ingin cemilan ikan?" Natsuki berpura-pura memusatkan perhatian pada kucing di lengannya.

Yuki yang berjalan di samping Natsuki, yang juga berada pada barisan paling depan, dengan mudah membuat langit oren menjadi pemandangan paling menarik. Rachaela berdecih.

"Novel apa yang baru kaubaca?" Miwa berjalan di sampingnya.

Dia dan keempat lainnya tahu betul sindrom terpengaruh pada apa yang baru dibaca milik Rachaela. Gadis itu akan terus membahas dan mengungkit-ungkit hal yang sama dari sebuah buku, yang terkadang tidak sesuai logika, hingga dia menemukan bacaan baru. Lalu, dari bacaan baru itu akan memunculkan pembahasan baru hingga buku lainnya dibaca. Terus seperti itu.

"Aku baru saja selesai membaca sebuah novel komedi."

"Eh?"

"Ini tidak ada hubunganya dengan novel yang baru kubaca," ucap Rachaela.

"Lalu?" Miwa mengernyit. Mungkin kali ini tidak seperti biasanya.

"Aku hanya penasaran," kata gadis itu. "Aku pernah membaca bahwa pada saat-saat terakhir kehidupan manusia, mereka akan diperlihatkan apa yang telah mereka lalui dalam hidup. Lalu, pada akhirnya mereka kembali menginginkan kehidupan. Meski terlambat."

Sachi yang berjalan di belakang berkata sinis, "Tetap saja kau terpengaruh pada apa yang kaubaca."

Rachaela mengabaikannya karena tahu gadis itu masih kesal dengan kebenaran yang secara sengaja dia katakan di depan Kai. Sekarang pemuda itu mengunci Sachi di tangannya, terus berpegangan tanpa lepas sedetik pun.

"Itu juga berpengaruh pada orang yang bunuh diri?" Natsuki mengangkat lengan kucing dan memaju-majukan bibirnya, bermain dengan kucing itu.

"Mungkin." Rachaela tidak bisa memastikan.

"Orang yang bunuh diri adalah mereka yang paling menginginkan kehidupan," ujar Sachi. "Karena bukannya mereka ingin mati, melainkan karena mereka ingin menghentikan rasa sakit."

Miwa berdecak. "Dengan kehidupan Hinata-san yang seperti itu, sebuah kehebatan bahwa dia bisa bertahan hingga sekarang."

"Para penggertak itu keterlaluan," gumam Yuki cukup keras. "Orang tuanya juga."

"Orang yang tidak membantunya tidak berbeda dari mereka yang menyakitinya," sarkas Sachi.

Yuki tersentak, terdiam. Dia menoleh ke belakang dengan wajah cemas. "Sachi-san."

"Aku juga tidak berbeda," lanjut Sachi dengan lirih.

Kai menatap gadis itu dalam diam.

"Maaf," ucap Yuki.

"Anggap saja konsep reinkarnasi itu ada," Miwa menengahi, "pasti Hinata-san sudah memiliki kehidupan lain yang bahagia. Takdir tidak sekejam itu."

"Untukmu," sinis Rachaela.

Miwa belum sempat bertanya apa maksudnya sebelum sebuah suara genit memanggil namanya. Dia melirik ke depan salah satu toko di sebrang jalanan kota yang mereka lewati, melihat pacarnya berada di sana. Omemoto Yui, sang bunga sekolah.

"Takdir juga tidak selalu memihakku." Miwa pasrah.

Agar tidak mempermalukan gadis yang sedang bersama dua temannya itu, dia dengan sabar menunggu mereka menyebrang. Hingga mereka berhadapan, Yui memeluk lengannya.

"Ayo pulang bersama." Gadis itu tersenyum manis.

"Oke," balas Miwa singkat.

Pasangan itu pergi, dua teman Yui juga dengan cepat pergi, meninggalkan lima anggota klub paranormal yang memasuki sebuah toko makanan penutup. Masing-masing memesan satu macam minuman dan satu macam kue, kecuali Sachi si mulut manis yang memesan hingga empat macam kue.

Dia tidak mungkin menghabiskan semua itu, tetapi dia memiliki pacar yang bisa membantunya, juga sang tangan kanan yang terpercaya.

"Apa yang kaulihat?" Rachaela memulai pembicaraan.

Yuki menghela napas lega dalam hati. Karena menebak Rachaela akan bertanya seperti itu, dia sudah menyempatkan diri untuk bertatapan dengan Yui walau tidak sampai sedetik.

"Sama seperti sebelumnya, Omemoto-san benar-benar menyukai Miwa," ungkapnya. "Malah kupikir rasa sukanya bertambah."

"Itu sulit dipercaya," respons Rachaela. "Mengabaikan sikap aslinya, Omemoto berpenampilan baik di depan umum. Miwa pernah menyelamatkan nyawanya atau apa? Aku menolak percaya bahwa perasaannya pada Miwa sangat tulus."

"Miwa-kun sangat mahir menggoda wanita. Kupikir karena itu," ucap Natsuki. "Dan, setiap wanita yang menyukainya tidak menyukai kita. Jangankan tersenyum, menoleh saja tidak. Aku membencinya."

"Aku tetap menolak percaya," tegas Rachaela.

Yuki tersenyum kecil. "Kau meragukan kemampuanku?"

"Maaf, Sensei." Rachaela terkekeh.

Gadis itu memakan kue almond miliknya sembari melirik Sachi dalam diam. Kata-kata gadis itu mengenai orang yang tidak membantunya tidak berbeda dari mereka yang menyakitinya persis seperti apa yang diberitahukan sang ayah.

Sebagai keluarga yang menjunjung kebenaran dan keadilan, sikap Rachaela terhadap Ritsu merupakan hal yang memalukan. Bunuh diri adalah hal paling menyakitkan di dunia. Hal itu seakan-akan mengatakan bahwa dari banyaknya umat manusia, gadis itu hanya seorang diri.

Hati nurani dan rasa simpati tidak akan berguna selama kau tidak berani.

Selama semalam suntuk Rachaela mendapat ceramah dari orang tuanya. Seorang keturunan Sendou membiarkan temannya diintimidasi di sekolah, itu tidak bisa diterima. Bahkan meski Rachaela tidak terlalu mengikuti jejak keluarganya, setidaknya dia masih memiliki nurani sebagai manusia.

Rachaela tidak membenci kata-kata yang menusuk itu. Dia yakin dengan begitu ia bisa selalu mengingatnya sepanjang hidup dan tidak akan membiarkan hal semacam ini terjadi di hadapannya lagi.

"Orang tuamu benar-benar memarahimu dengan keras, ya?"

Memiliki teman yang bisa melihat melalui tatapan terkadang tidak mengenakkan. Saat sudah bertemu dengan pemuda itu, semua rahasia yang berusaha dia simpan tidak akan berguna. Meski Yuki tidak selalu mendapat penglihatan, hal-hal mengesalkan tidak lepas darinya.

"Tidak semua orang berani. Jangan terlalu dipikirkan," ujar Natsuki.

Rachela menumpukan kening pada meja. Natsuki yang duduk di sampingnya mengelus punggungnya.

Dia sedikit menyesal mengapa harus duduk di hadapan Yuki, membiarkan Natsuki duduk berhadapan dengan Sachi. Akan tetapi, membiarkan Natsuki dan Yuki duduk berhadapan juga tidak bagus. Satu-satunya yang cocok duduk di hadapan Yuki adalah Sachi, tetapi pacar gadis itu yang duduk di sebelahnya sedang tidak dalam mode ramah.

"Aku menyetujui perkataan Natsuki." Sachi menghabiskan kue pertamanya. "Meskipun kebenarannya tidak ada, aku lebih suka mengatakan bahwa tidak semua orang begitu berani menghentikan para penggertak. Mereka yang pemberani juga tidak semua memiliki hati sebaik itu."

"Habiskan kuemu."

Sachi menatap Kai selama beberapa saat sebelum dengan lesu menundukkan kepala, menghabiskan kue-kue miliknya.

Kafe ini adalah kafe favorit Sachi sejak sekolah dasar. Saat dia menunjukkannya pada lima temannya, ternyata mereka juga setuju bahwa rasa di sini juara.

Apakah itu kue atau minuman, para pelayan selalu memiliki saran yang pas, dan suasananya yang santai juga nyaman membuat siapa pun ketagihan. Gaya bangunannya memadukan kayu khas tradisional, tetapi juga terdapat unsur-unsur modern. Terlebih ada banyak kalimat-kalimat motivasi yang ditulis di dinding. Para pengunjung juga bisa menghabiskan waktu dengan buku yang bisa dipinjam gratis di sana.

Menyadari Yuki yang selalu diam, Sachi menyenggol lengannya. "Tidak usah dipikirkan."

"Maaf." Yuki menunduk dalam.

"Ngomong-ngomong, sebentar lagi ujian. Kalian sudah belajar?" tanya Natsuki.

"Belajar?" Sachi berkata angkuh, "apa itu?"

Natsuki menyatukan dua telapak tangannya. "Tolong ajari aku, Sachi-sensei."

"Kauminta diajari Kai saja, aku sibuk," kata Sachi.

"Aku lupa." Natsuki menghela napas.

Sachi bisa meramal.

Percaya tidak percaya, kebanyakan gadis masih mendatanginya untuk menanyakan hal-hal mengenai percintaan maupun kehidupan pribadi. Lalu, saat akan ujian seperti ini, para lelaki juga akan ikut mendatanginya untuk menanyakan kunci jawaban ujian.

Meski dia tidak akan mendapat masalah karena guru-guru kebanyakan tidak percaya takhayul, untuk berjaga-jaga dia hanya akan memberikan jawaban sebanyak seperempat dari jumlah soal. Yang tentu saja, semua itu tidak gratis.

Orang-orang tidak ingin rugi, jadi tidak ada seorang pun yang secara cuma-cuma menyebarkan jawaban yang telah dia beli kepada temannya, membiarkan temannya itu membeli sendiri ke Sachi. Hal itu membuat Sachi mendapat penghasilan yang banyak di masa seperti ini.

"Selesai ujian nanti, akan aku traktir ramen."

"Begitulah caramu berteman." Rachaela menunjukkan jempolnya, masih dengan wajah menghadap ke lantai.

.

.

23 Januari 2020

06.34 PM

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro