Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ECS Bab 9 - Apakah Ini yang Dinamakan Cemburu?

Selamat sore...

Selamat membaca...

Semoga bisa mengobati kangen terhadap pasangan ga jelas ini.


ECS – Bab 9. Apakah Ini yang Dinamakan Cemburu?

Play list - Day & Night [ost. Start Up]


Perjalan kami lanjutkan hingga hampir tengah malam. Jati menyarankan untuk menginap di Yogjakarta saja. Tetapi aku tetap kekeuh untuk kembali ke Solo. Bagaimana dengan Ibu jika aku tinggal sendiri lagi? Apakah beliau tidak merasa kesepian. Kami sempat berdebat. Meski tidak berlangsung lama karena Jati memilih untuk mengalah. Kami kembali dengan kereta Prameks terakhir. Terasa sunyi dan sepi.

"jadi, J, coba jelaskan kepadaku apa alasan kamu menyusulku hingga ke sini?" ulangku karena sedari tadi Jati mencoba mengalihkan arah pembicaraan kami.

"sebenarnya aku malu mengakuinya. Tetapi, karena kamu memaksa, ya, sudah. Aku akan berterus terang,"

"iya, buruan, deh," cecarku tak sabar. Karena sungguh aku penasran dengan apa yang Jati lakukan kepadaku. Apa yang dia pikirkan hingga sampai sejauh ini mengejarku? Apakah mungkin seperti yang aku pikirkan? Ataukah itu sebatas khayalku saja. Alih-alih penasaran, aku lebih memilih untuk menanyakan langsung kepada tersangkanya.

"Aku merindukanmu," ucapnya jelas. Tetapi telingaku seakan tidak percaya akan apa yang baru saja ia ucapkan. "Apa? Coba ulangi?" cercaku. Bukan untuk Jati, melainkan untuk diriku sendiri. Ingin benar-benar yakin atas apa yang aku dengar baru saja.

Aku mencubit tangan kiriku. Sakit. Lagi. Aku mencubit lengan atas sebelah kiri. Tetap sama. Sakit. Hingga pada akhirnya tanganku ditangkap oleh Jati saat akan mencubit pipiku. Ini sungguhan? Nyata Jati benar merindukanku?

"Iya, kamu enggak salah dengar. Aku merindukanmu, Sukma," ulangnya. Sangat jelas karena ia ucapkan tepat di sebelah telinga kiriku. Benar-benar lagsung menuju ke otak. Seakan semuanya melamban, apakah respon yang aku berikan seperti siput yang sedang berlari?

Tiba-tiba gejolak rasa mual melandaku. Bukan. Aku tidak pernah mabuk perjalanan. Apa jadinya seorang kondektur kereta api mabuk perjalanan? Tetapi rasa ini beneran menyiksa. Aku ingin ke toilet. Seluruh badanku lemas, rasanya seperti habis marathon. Sedahsyat inikah efek seorang Jati?

Aku beringsut hingga benar-benar mepet ke jendela. Tetapi magnet itu masih terasa kuat. Padahal, jarak kami terpisahkan oleh dua tas. Ditambah sekarang aku benar-benar menempel ke jendela.

"Kamu kenapa mepet begitu. Nanti terbentur kepalanya, kan, sakit," ucap Jati seraya mencoba untuk menarikku kembali ke tengah.

"Ti..Tidak apa-apa. Aku hanya lelah. Sebentar saja, aku ingin istirahat." Elakku.

Tanpa aba-aba dan tanpa permisi, Jati meraih tangan kiriku. Hangat tangannya menjalar hingga ke pipiku. Seketika seluruh mukaku terasa panas. Aku mencoba menoleh ke kaca jendela. Memperhatikan raut mukaku, tidak begitu jelas. Dan dengan lancangnya Jati menarik mukaku untuk menghadapanya.

"Kamu cantik, meski dalam kondisi gugup seperti ini. Apakah aku menyeramkan?" suara itu ia ucapkan dengan nada biasa, bahkan terkesan pelan. Tetapi efeknya sangat luar biasa terhadap kesehatan jantungku. Genggaman tangannya yang masih setia bertengger di telapak kiriku, membuatku semakin gugup. Aku berusaha melepaskan genggaman itu. Malu, kalau-kalau ada rekan kerja yang melintas.

"Emm, maaf. Aku belum terbiasa dengan situasi seperti ini,"

"Maaf, aku yang seharusnya mengatakan itu. Karena sudah lancang menyentuhmu. Terkesan melecehkan, ya?"

Kenapa sampai ke situ, sih? Aku kan hanya tidak terbiasa saja dengan perlakuannya yang tiba-tiba. Secara tidak langsung Jati sudah mengikrarkan dirinya terhadapku. Hanya saja, aku masih ragu dengan diriku sendiri. Baru pertama kalinya aku mengalami hal seperti ini. Biar dikata aku kuper, asal semua mimpi dan cita-citaku terwujud.

"Enggak, gitu. Aku hanya enggak terbiasa saja." Aku mencoba untuk mengurai salah paham sebelum terjadi.

Sejenak kami saling menyelami pikiran masing-masing. Aku enggak tahu apa yang saat ini Jati pikirkan. Apakah mungkin ia mengira aku ini pernah patah hati? Atau justru sikapku sangat kentara bahwa aku belum pernah pacaran? Buatku, pacaran itu hanya buang-buang waktu saja. Belum penting untuk saat ini. Entah nanti.

"Sukma, baru pulang? Bukannya udah selesai dari sore tadi?"

Aku berjengit kaget tatkala mendengar sapaan itu. Dia adalah Rico, temanku yang juga kondektur kereta api. Kami jarang berjumpa, tetapi saling mengenal. Karena kami berada di satu DAOP yang sama. Rico masih baru menjadi kondektur. Sekitar 2 tahun yang lalu, sehingga ia bertugas di kereta jarak pendek dan menengah. Tetapi dari segi umur, kami seangkatan. Bahkan ia lebih tua beberapa bulan dariku.

"Eh, Co. Iya, nih. Tadi jalan-jalan sebentar di Yogyakarta," jawabku. "Kenalkan, ini Jati. Temanku. Jati, dia Rico rekan kerjaku," aku mencoba mengurai situasi canggung ini. Berhasil. Mereka saling bersalaman.

Tanpa diminta, Rico duduk di kursi depanku. Kami berhadapan. Mungkin ia sudah selesai patroli dan punya sedikit waktu luang. Kebetulan saja bertemu denganku yang sama-sama bekerja di kereta. Jadi menurutku tidak ada salahnya kami berbincang sebentar.

Banyak hal yang kami obrolkan. Mulai dari kondisi kereta yang sedang kami tumpangi hingga topik random yang membuat kami tertawa. 15 menit kami saling bertukar berita, tetapi anehnya Jati tidak ikut dalam percakapan kami. Padahal sepanjang mengobrol, berkali-kali aku mencoba untuk melibatkannya. Biar dia juga merasa nyaman saat berada di tengah-tengah lingkup kehidupanku.

"Hei, kamu kenapa?" tanyaku pada Jati setelah Rico pamit untuk kembali bertugas.

"Enggak apa-apa. Sebentar lagi sampai, ayo bersiap." Ujarnya.

Ya, memang sebentar lagi kami sampai di Solo Balapan. Stasiun terakhir dari perjalanan kereta ini. Tetapi aku merasa ada yang sedang Jati sembunyikan. Entah. Aku tidak bisa menebaknya.

"Oh, baiklah. Terima kasih sudah menemaniku hari ini."

Sebaris kata terakhir tanpa balasan kata darinya. Hanya anggukan dan sikap sopannya sebagai laki-laki dewasa. Hingga kami turun di peron stasiun dan berpisah jalan karena aku harus mengurus absensi di kantor.

Seharusnya aku baik-baik saja. Seharusnya aku tidak merasa kecewa. Seharusnya kegamangan ini tiada. Tetapi kenapa semua terasa nyata di dalam dada? Apakah aku sudah melakukan kesalahan?


Terima kasih sudah menemani perjalan Jati dan Sukma.

Jangan lupa untuk tekan bintang di pojok kiri bawah. Sedikit perhatian kalian, akan membawa dampak luar biasa bagiku.

Salam,
Jurnallin.

17 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro