Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ECS - Bab 3. Sesosok Rindu yang Menggebu

selamat membaca...

semoga kalian suka...

Endemi Cinta Sukma – Bab 3. Sesosok Rindu yang Menggebu

Semalam, setelah berselancar di dunia maya dan tanpa sengaja menemukan sesosok kenangan, Sukma menjadi gundah gulana. Ditambah pemberitahuan mendadak jika esok harinya dia harus bertugas sore. Mengkondekturi kereta Argo Wilis jurusan Solo Balapan – Surabaya Gubeng. Jika bisa, Sukma ingin sekali mangkir dari dinas kali ini. Bukan dia tidak profesional, hanya saja ini Surabaya. Kota yang lumayan jauh dari kampung halamannya. Karena profesionalitas adalah nomor satu, maka Sukma harus menjalani dinas kali ini. Apapun yang dia rasakan sekarang, tidak bisa dijadikan alasan untuk mangkir dari tugas.

"Ibu, nanti Sukma dinas sore. Teman Sukma tiba-tiba minta tukar jadwal," ujar Sukma ketika mereka selesai sarapan bersama.

"Apakah kamu merasa tidak nyaman?" tanya sang ibu.

"Sedikit, Bu. Tapi ya sudahlah. Ibu jaga diri baik-baik, ya, selama Sukma dinas ke Surabaya.,"

"Iya. Ibu sudah bukan anak kecil lagi. Justru kamu yang harus jaga diri baik-baik. Dinas malam itu berbeda dengan dinas pagi. Apalagi ini kereta jarak jauh. Jangan lupa selalu berdoa, mohon perlindungan dari-Nya,"

"Iya, Ibu. Selalu. Sukma mau istirahat dulu, Ibu jangan lupa vitaminnya pagi ini. Antibiotiknya harus dihabiskan,"

"Iya iya... anak ibu sudah menjelma menjadi dokter pribadi sekarang,"

Senyum terkembang tatkala Sukma mendengar jawaban Ibu dan melihat senyum secerah matahari pagi ini. Hanya ibu yang akan selalu menjadi alasan Sukma untuk terus bekerja keras.

***

Pukul 17.00 WIB. Kereta Argo Wilis jurusan Surabaya Gubeng sudah mengular melewati daerah persawahan nan hijau dan asri. Melihat seberkas lembayung senja dari kabin kondektur, senyum Sukma terbit. Mengingat beberapa interaksi kecil dengan sang ibu, selalu dapat membangunkan semangatnya. Terlebih dalam perjalanan kali ini. Sukma membutuhkan banyak sekali suntikan semangat dari sang ibu. Meninggalkan Ibu dengan kondisi yang lebih fit dari biasanya, sedikit banyak membantu Sukma untuk bisa bekerja dengan tenang.

Baru saja Sukma bertukar pesan dengan sang ibu, padahal baru beberapa menit yang lalu dia meninggalkan rumah. Tetapi rasa rindu sudah menggebu. Dasar anak manja. Rutuknya dalam hati. Tak ingin berlama-lama terjebak dalam suasana melow drama, Sukma kembali menjalankan tugasnya. Tinggal satu gerbong terakhir yang belum dia periksa. Oke, here we go!

Gerbong terakhir kereta Argo Wilis. Semua penumpang sesuai dengan yang seharusnya. Tetapi ada satu lagi penumpang yang belum Sukma konfirmasi. Sejenak, Sukma tertegun dengan paras penumpang tersebut. Berhenti untuk menata hati demi segala kemungkinan yang akan terjadi. Kelihatannya penumpang tersebut belum menyadari kehadiran Sukma dalam gerbong ini. Karena dia masih sibuk dengan komputer jinjingnya dan juga telepon cerdas yang terselip di antara telinga dan bahu.

Hhhmmm, sebegitunyakah orang-orang kalangan jetset? Ah, iya. Argo wilis adalah kereta eksekutif yang biasanya dinaiki oleh orang-orang yang mempunyai mobilitas tinggi. Seharusnya mereka lebih nyaman dan efisien naik pesawat alih-alih kereta, tetapi memang ada segelintir orang yang merasa lebih nyaman bepergian via transportasi darat. Dengan fasilitas yang mewah namun tetap terjangkau. Eh, tapi, kan kalangan atas itu uang tidak pernah menjadi soal. Kata siapa ceunah? Ah, sudahlah.

Semakin dekat langkah kaki Sukma dengan penumpang tersebut, semakin cepat ritme detak jantungnya. Apakah mungkin dia? Atau jangan-jangan hanya ilusi saja. Tubuh Sukma sudah panas dingin. Telapak tangan hampir basah kuyup akibat kinerja jantung yang mendadak naik pesat. Tolong, tangan jangan ikutan tremor. Enggak lucu, tau!

"Mohon maaf, Bapak. Boleh saya lihat tiket kereta Anda?"

Deg!

Tatapan itu masih sama persis seperti saat terakhir mereka bertemu. Meski sudah bertahun-tahun berlalu, tetapi rasanya masih sama. Tajam menghunus hingga relung hati.

"Aku tutup dulu!"

Kan, masih saja judes itu kata-kata yang keluar dari mulutnya. Padahal bukan bermaksud bicara kepadaku, tetapi rasanya aku juga terkena imbasnya. Aku menyadari, mungkin kemunculanku mengganggu waktunya. Tetapi, kan, ini tugasku. Untuk memastikan setiap penumpang mendapatkan tempat serta fasilitas yang disediakan oleh kereta sesuai dengan kelasnya.

"Ini,"

Setengah takut aku meraih benda pipih nan mahal milik penumpang tersebut. Dia memesan tiket via aplikasi, sehingga tiket yang ditunjukan pun berupa soft copy. Tidak masalah, yang penting sesuai dengan apa yang tertera.

Aku membaca sebaris nama. Nama yang unik dan penuh makna. Anehnya, aku hanya terpaku di sana. Tanpa meilhat prosedur yang lain. Hanya sebaris nama, dan itu membuat hatiku jungkir balik tidak keruan. Bolak-balik aku melirik wajahnya dan membandingkan dengan nama yang tertera. Tampan. Masih tetap tampan seperti terakhir kali bertemu. Dan mata elang itu, semakin tajam menghunus. Rambutnya yang sedikit acak-acakan, semakin menambah pesona dalam dirinya. Sangat cocok dengan nama yang ia sandang.

Raphael Jati Mahesa.

Sebaris nama yang langsung aku hapal dan simpan rapat dalam hati.

"Ini, Bapak. Terima kasih. Semoga perjalanan Anda menyenangkan,"

Segera aku mengembalikan benda pipih tersebut dan berlalu. Aku tidak sanggup jika harus berlama-lama di dekatnya. Bisa membeku seluruh ragaku. Terlebih menatap sorot tajamnya yang anehnya selalu membuatku terpesona.

Raphael Jati Mahesa. Nama yang unik-menurutku tetapi penuh makna. Bentuk wajah dan tubuh yang kokoh seperti namanya, membuat anganku melayang entah kemana. Kombinasi dari tubuh tegap atletis, rambut tebal yang sedikit acak-acakan. Mata setajam elang, segaris bibir yang selalu datar dan rahang yang kokoh membuatku ingin berlama-lama memandangi mahakarya Sang Pencipta yang teramat sempurna di mataku. Katakanlah aku makhluk bucin, toh, wajar jika kalian menemui ciptaan seperti Mahesa. Eh, kok, aku main panggil namanya. Tak apalah. Hanya kalian yang tahu.

Apakah dia mengingatku? Sudah 5 tahun sejak pertemuan hari itu. Rasanya mustahil dia masih ingat. Melihat pembawaannya yang dingin dan super sibuk, pastilah dia sudah lupa akan kejadian siang itu.

Apakah ini pertanda cintaku akan bertepuk sebelah tangan? Memangnya aku mencintai Mahesa? Hanya sebatas suka, belum tentu berubah sejauh itu, kan? Sebentar lagi pasti akan berlalu rasa ini. Aku yakin ini hanya efek bucinku yang kembali muncul di permukaan. Tetapi, kenapa harus dia. Kenapa harus kepada seorang Raphael Jati Mahesa jiwa bucinku meronta? Tetapi tidak pernah berlaku untuk pria lain?

Aku terdiam sejenak di kabin kondektur. Demi menormalakan kembali detak jantung serta mengatur napas yang sempat terengah. Ah, enggak enak sekali rasanya. Tiba-tiba sesak napas saat memandang wajah tampan itu. Mahesa, kenapa tatapanmu masih memberikan efek sedahsyat ini terhadapku? Apakah kamu mengingatku? Apakah kamu ingat kejadian pagi itu seperti aku masih mengingatnya hingga sekarang?


Terima kasih sudah membaca.

Jangan lupa untuk bintangnya.
Ingin berkenalan lebih jauh denganku?
Cuss follow ig @jurnallin

Semoga kalian terhibur dengan cerita ini.

Salam penuh bucin,
Jurnallin
08 Nov 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro