ECS - Bab 10. Kok Aneh?
selamat membaca. semoga bisa mengurangi kepenatan kalian...
•
ECS Bab. 10 – Kok Aneh?
•••
Play list - Mercy [Shawn Mendes]
•••
•
Seharusnya Jati baik-baik saja selepas menyusul Sukma. Tetapi kenapa hati ini terasa sakit sekali. Mengingat kedekatan yang terjalin antara Sukma dan Rico, membuat semuanya kabur. Rencana yang tersusun rapi menjadi hambar setelah melihat mereka bersama. Apakah benar hanya sebatas teman saja? Bagaiman dengan Rico? Yakin enggak ada maksud lain kepada Sukma? Apakah aku harus melangkah secepat itu?
Bisa saja karena sudah terbiasa bersama. Sedangkan bersamaku baru hitungan hari. Tetapi, kan, Jati lebih dulu melihatnya?! Hanya sekadar melihat memang, karena waktu itu aku tidak punya cukup keberanian untuk mengajak berkenalan. Dan Jati menyesal karenanya. Andai punya Doraemon.
Setelah membersihkan diri dan memsan makanan via online, Jati merebahkan diri di sofa. Menghidupkan layar televisi 40 inchi yang menampilkan kabar berita terkini. Mungkin saja pandangan Jati tertuju ke layar yang ditampilkan, tetapi tidak dengan pikirannya. melanglangbuana entah ke mana. Bertanya kepada diri sendiri, mengapa sampai sepertin ini mengejar Sukma? Apakah ada rasa lain yang membuatnya kuat untuk mnegejar? Apakah benar dia sudah bisa membuka hati untuk wanita? Padahal selama ini Jati tak pernah berniat untuk menjalani suatu hubungan serius dengan lawan jenis. Tetapi mengapa saat kembali melihatSukma, pemikirannya berubah haluan? Apakah benar Sukma yang telah mendiami sanubarinya sejak hari itu?
Lantas bagaimana dengan Sukma sendiri? Apakah sama dengan yang Jati pikirkan? Ataukah ini hanya sekadar euforia Jati sendiri saja? Mereka baru berkenalan secara resmi selama beberapa hari? Apakah sudah tepat bahwa Jati mengklaim Sukma menjadi miliknya? Benarkah ini bukan hanya sekadar napsu sesaat? Terlalu banyak pertanyaan yang Jati punya, hingga tak sadar bel pintu kamar hotel berbunyi beberapa kali. Mungkin saja dari layanan pesan antar makanan yang beberapa waktu lalu ia pesan.
Ia berjalan menuju pintu dan melihat melalui lubang di pintu. benar dari layanan pesan antar. Jati lantas membuka pintu dan menerima makanan yang ia pesan. Seporsi nasi panggang dengan keju melting dan sapi panggang sebagai lauk pelengkap. Masih panas dan kelihatan menggugah selera.
Selesai dengan sang pengantar makanan, Jati kemudian menuju mini dapur yang terdapat di kamarnya. Jangan heran, Jati adalah pemilik hotel ini, jadi dia mempunyai satu kamar khusus untuk ia tempati. Di dalamnya terdapat fasilitas lengkap seperti di sebuah apartemen studio. Minus kolam renang pribadi, karena rasanya mubazir saja memiliki sebuah privat pole. Yang bahkan ia sendiri tidak tahu kapan akan memakainya.
Sembari menunggu kopinya siap dari mesin peracik kopi, Jati membuka sekotak nasi yang ia pesan. Aroma gurih dari keju dan lada hitam memenuhi indera penciumannya. Lezat sekali. Lengkap dengan segelas americano, favoritnya.
Di tengah-tengah Jati menikmati santap malam, denting ponsel mengusik napsu makannya. Siapa gerangan yang terlalu penting hingga menghubunginya di jam ini? Biarkan saja dulu. Makan dulu, nanti kalau sudah selesai dan ada minat untuk menjawab, akan dijawab.
Pikirnya, hanya sebatas laporan progres pembangunan hotel di Surabaya. Tetapi denting ini beruntun masuk dan memecah konsentrasi serta napsu makannya. Namun Jati teringat kata mama, jangan menyisakan makanan. Kalau memang enggak lapar, ya jangan makan. Ingatlah kepada mereka yang berjuang mati-matian hanya untuk mendapatkan sebutir nasi yang akan ia bawa kepada keluarga. Oleh sebab itu, Jati bergegas menyuapkan nasi ke dalam mulutnya tanpa bisa menikmati rasa yang ada. Suapan terakhir, sebaris kalimat bagai petir. "Kenapa diam, Mahesa?"
Jati terdiam membaca sebaris kata tersebut. Dalam benaknya, ia belum bisa melupakan kejadian sewaktu di kereta. Ternyata Sukma menyadarinya. Menyadari perubahan sikap Jati yang tiba-tiba. Memang sekentara itu? "Apakah aku sudah menyinggung perasaanmu, Mahesa? Boleh kan, aku memanggil dengan nama itu alih-alih Jati?"
Lagi, perutnya terpuntir dan jantungnya tersiksa. Mengapa harus mengalaminya? Mengapa dia peka? "Maaf. Maaf untuk setiap kata dan perbuatan yang mengusikmu. Selamat beristirahat."
Aku harus membalas apa?
Aku harus bagaimana?
Saat ini, aku ingin sekali berlari dan memeluknya. Masalahnya, aku enggak tahu di mana rumahnya. Aku juga enggak tahu siapa saja temannya. Masa bodolah..
Jati bergegas menghabiskan kopinya, berlari mengambil jaket dan kunci mobil serta mengantongi ponselnya. Sampai di basement parkir, ia memacu SUV hitam kesayangannya menuju entah ke mana. Kemudian ia menghubungi satu nomor. Tersambung. Nunggu. Dan itu membuatnya semakin kacau. Hingga akhirnya pada telepon kedua, disambut oleh suara manis.
"Hai, kok malah telepon?" sapa Sukma.
"Bisakah kamu kirimkan lokasimu saat ini?"
"Untuk apa?"
"Kirimkan saja. Tenang, aku enggak akan melakukan apa-apa"
"Oke, tunggu sebentar."
Begitu sambungan terputus, masuk sebuah pesan. Berisi lokasi terkini dari Sukma. Segera Jati meluncur mengikuti arahan dari peta tersebut. Degup jantung mengiringi perjalanan Jati malam itu. Sudah larut untuk mengajak seseorang bertemu. Namun hati ini tak bisa dibendung. Sebentar saja, hanya sebentar. 5 menit saja cukup untuk mengikis sedikit rasa rindu ini.
30 menit perjalanan dari hotel, Jati tiba di sebuah perumahan sederhana di pinggiran kota Karanganyar. Kelihatan nyaman untuk dijadikan hunian, karena berada di pinggir kota. Juga tadi sempat Jati melihat beberapa lokasi yang kelihatannya cocok untuk didirikan sebuah hotel. Sepanjang perjalanan, Jati mencoba menormalkan degup jantungnya. Dengan melihat keadaan sekitar, meski penerangan hanya dari lampu jalan yang jaraknya tidak terlalu rapat, tetapi mata jelinya mampu melihat dengan jelas sektor yang menjanjikan. Termasuk kawasan hunian yang ditempati Sukma.
Aplikasi penunjuk arah yang sedari tadi Jati gunakan telah menunjukan bahwa ia sampai di tujuan. Untuk memastikannya, Jati mencoba untuk mengirim pesan kepada Sukma.
RJM : coba tengok ke depan rumah, please.
Sukma – jiwa : hah?
RJM : iya, keluar sebentar, dongg..
Centang dua dan berubah menjadi biru. Oaky, mari kita tunggu sebentar.
Tak berapa lama, terlihat sosok wanita cantik mengintip dari balik tirai jendela. Benar, di sini rumahnya. Seketika Jati melambai kepada wanita tersebut yang memang adalah Sukma. Melihat Sukma membuka pintu rumah dan berjalan menghampirinya, tiba-tiba perut Jati melilit. Padahal selama perjalanan tadi dia tidak merasakan apa-apa. Kenapa ini?
Jati membuka kaca jendela dan mempersilakan Sukma untuk masuk ke dalam mobil. Awalnya Sukma menggeleng, enggak enak katanya dilihat oleh tetangga. "Sebentar saja, aku janji ga lebih dari 15 menit," bujuk Jati. Akhirnya dengan sedikit pertimbangan dan menengok kanan-kiri, Sukma menuruti keinginan Jati.
"Hanya 15 menit. Kenapa enggak masuk saja? Enggak enak tahu kalau sampai ada yang liat," gerutunya kepada Jati. Mana bisa Jati masuk ke rumahnya di waktu selarut ini. Bisa-bisa digerebek se RT. Datang ke sini saja sudah banyak pertaruhan.
"Aku hanya mau bilang, terima kasih. Maaf tadi enggak sempat mengucapkan." Katanya seraya menatap mantap kedua manik mata Sukma. Baru Jati sadari bahwa sorot mata Sukma sangat meneduhkan. Mata sewarna madu yang jernih. Dipadukan dengan bulu mata yang lentik dan bola mata yang pas, membuat paras Sukma semakin ayu. Sekian detik mata Jati tertaut dengan mata Sukma. Seaakan tersedot ke dalamnya, Jati enggan kembali. Hingga Sukma mengedipkan mata, barulah ia menemukan kembali kewarasannya.
"Ma..maaf. aku enggak bermaksud –"
"Ada apa?"
Hanya itu yang Sukma tanyakan. Pertanyaan sederhana dan simpel. Tetapi tak sesimpel jawabannya. Jati tidak tahu harus menjawab apa. Karena dia juga bingung tentang apa yang saat ini ia rasakan. Secara impulsif dia tiba-tiba samp[ai di sini, di tempat ini. Padahal bisa saja ia membalas rentetan pesan yang Sukma kirimkan tadi. Namun, kenapa harus sampai di sini? Sejauh itukah?
"Aku enggak tahu apa yang aku rasakan. Maaf, tiba-tiba sampai di sini selarut ini. Hanya ingin mengucapkan langsung saja,"
"Kenapa enggak lewat telepon?"
"...."
"Kok, diem? Maaf kalau terlalu banyak pertanyaan,"
"Bukan begitu. Aku hanya enggak tahu harus mengatakan apa dan berbuat bagaimana. Semua ini baru buatku. Jika saja aku bisa mengulang saat kita bertemu pertama kali dulu, mungkin akan berbeda ceritanya."
"Kenapa enggak kita ulangi saja pertemuan kita dengan cara yang wajar?"
Itu juga menjadi pertanyaan buat Jati. "Kenapa enggak?" dengan senyum cerah di wajah, Jati mengulurkan tangannya kepada Sukma. "Raphael Jati Mahesa. Kamu bisa panggil apa saja sesukamu," jawabnya sumringah.
"Arunika Sukma Baswara. Panggil saja Sukma atau siapa saja sesukamu," timpal Sukma tak mau kalah.
Sura kikik tawa memenuhi isi mobil. Mereka sama-sama memalingkan muka, dan tertawa bersama. "Kenapa aneh gini, sih?" Semuanya terasa aneh dan baru untuk mereka berdua. Jati memikirkan kembali momen saat mereka bertemu. Momen canggung seumur hidup Jati, karena harus berurusan dengan cewek. Selama ini Jati tidak pernah sekalipun meladeni tingkah para cewek yang mengejarnya. Hanya sekadar beri senyum tipis saja, mereka akan teriak-teriak seperti orang gila. Seampuh itukah pesonanya?
Tetapi kenapa waktu berjumpa pertama dengan Sukma, ekspresinya berbeda? Dan kenapa Jati justru merasa tertarik dan ingin bertemu kembali dengannya?
"Sudah 15 menit. Sesuai janji," bisik Sukma memecah keheningan yang tercipta.
"Ya, aku akan pegang janjiku. Kamu boleh masuk ke rumah sekarang, dan terima kasih sudah bersedia menemuiku meski pertemuan ini lebih tepat disebut 'mencuri'"
"Jujur saja aku kaget tiba-tiba kamu sampai sini. Semoga next time bisa bertemu dengan ibu. Sekarang beliau sudah istirahat, enggak enak untuk membangunkannya."
"It's okay. Aku hanya ingin meilhat wajahmu. Terima kasih sudah bersedia hadir dalam kehidupanku. Selamat malam, selamat beristirahat."
Sukma terdiam tak mampu membalas perkataan Jati. Beberapa detik yang terasa sangat cepat, akhirnya Sukma menganggukkan kepala dan melemparkan sebuah senyum yang luar biasa meneduhkan. Akhirnya ia keluar dari mobil Jati dan berjalan masuk ke rumah. Setelah memastikan Sukma masuk rumah dan mengunci pintunya, barulah Jati menyalakan mesin mobil dan mulai berkendara kembali ke hotel.
Sungguh impulsif sekali apa yang ia perbuat barusan. Bukan Jati yang biasanya. Ini adalah Mahesa, sosok lain dari Jati yang lebih manusiawai terhadap perempuan. Seperti permohonan Sukma untuk memanggilnya dengan nama itu, maka akan ia persembahkan dirinya yang lebih manusiawi kepada Sukma seorang. Sepertinya benar apa yang Kristo bicarakan beberapa waktu lalu, bahwa Jati tengah merasakan sesuatu yang baru. Dan benarkah ia jatuh cinta kepada Sukma? Ataukah semua ini hanya napsu belaka?
Bonus castnya Sukma..
Han Ga-In as Arunika Sukma Baswara.
Terima kasih sudah mampir.
Selamat menutup tahun 2020 yang luar biasa ini. Semoga di tahun 2021 setiap asa dan cita yang kalian inginkan menjadi nyata.
Salam,
Jurnallin.
31 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro