Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ECS ~ Bab 1. - Kamu Siapa?

Semoga terhibur..

.

Selamat membaca...

.

Jangan lupa taburan bintang serta koment, ya!

***

https://youtu.be/CGyEd0aKWZE

Play list - Burn [Ellie Goulding]

***


Endemi Cinta Sukma – Bab 1. Kamu Siapa?

Oktober, 2013

Lonceng istirahat pertama telah berbunyi lima menit yang lalu. Tetapi, Bapak Guru yang terhormat – Sugiyarta atau yang sering disapa Pak Ugi – belum juga menunjukkan tanda-tanda mengakhiri pelajaran. Memang di hari Jumat, kelasku – 12 Akuntansi 3 – pulang lebih awal. Hanya ada 3 jam pelajaran. Sisanya, kami bebas. Sebagian gembira menyambut hari Jumat. Namun, tak sedikit yang memilih untuk menghabiskan lebih banyak waktu di sekolah. Entah untuk belajar mandiri di perpustakaan, entah memperhatikan adik kelas yang sedang berolah raga di jam ketiga dan keempat, atau melipir untuk mencuri-curi ilmu dan kesempatan menggunakan fasilitas di sekolah, komputer. Maklum saja, di tahun 2013 ini belum banyak wifi gratis yang bisa diakses. .

"Itu Pak Ugi enggak ada capek apa dari tadi ngoceh bahas situs manusia purba?"

Aku menggerutu kepada Hani, teman sebangku, yang kebetulan juga sudah merasa bosan dengan jam pulang yang terus mundur.

"Mana perutku sudah berdemo minta diisi cilok legend pojok sekolah kita. Ma, kamu gih, interupsi itu fosil. Laper banget, nih, aku."

Aku hanya memutar bola mata saat mendengar keluh kesah Hani yang kalau aku tanggapi enggak bakal ada habisnya. Aku yakin di balik alasan laparnya itu pasti dia sudah berkencan untuk bertemu dengan cowok sekolah sebelah. Maklum saja, kami bersekolah di SMK yang mana muridnya 95% perempuan. Sedangkan sekolah sebelah adalah SMK yang isinya 95% cowok. Selain terkenal dengan kepandaian muridnya, sekolah sebelah juga terkenal dengan ketajiran dan ketampanannya. Bukankah suatu kombinasi yang sempurna bagi kaum hawa untuk tertarik kepada mereka?

"Kamu aja, napa?"

"Yee, kamu enggak pren, ah!"

Terserahlah, intinya aku enggak bakal ikutin instruksi Hani. Bisa berkurang jajaran nilai A-ku jika berani menyela Pak Ugi. Guru satu itu terkenal killer dan pelit dalam memberi nilai. Susah payah aku membangun image positif selama 3 tahun bisa hancur seketika dengan aku menginterupsi penjelasannya. Nope!

Sepertinya Pak Ugi menyadari kegusaran kami, hingga akhirnya beliau mengakhiri pelajarannya.

"Materi hari ini kalian sambung dengan belajar mandiri. Tugas halaman 55-80 tolong dikerjakan dalam bentuk portofolio dan dikumpulkan minggu depan. Tidak boleh terlambat jika kalian ingin mendapat nilai bagus. Dan, ada bonus nilai jika mengumpulkan lebih cepat."

Tentu saja Pak Ugi tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas untuk menghukum muridnya. Sontak satu kelas bersorak kecewa dengan instruksi yang baru saja kami terima. Meski ada iming-iming tambahan nilai, namun aku yakin tugasnya enggak pernah sesederhana dibandingkan dengan tugas mapel yang lain. Ditambah mapel sejarah adalah mapel paling aku hindari. Bukannya enggak menarik, hanya saja setiap kali Pak Ugi menjabarkan materi, rasanya seperti dibacakan sebuah dongeng. Ngantuk. Akhirnya, semua materi hanya mengambang di awang-awang.

Jatuhnya aku kasihan dengan Pak Ugi. Namun mau bagaimana lagi, sudah bawaan mungkin. Seusai Pak Ugi meninggalkan kelas, kami semua berebut untuk melewati celah sempit berukuran 1,5 meter itu. Namun aku memilih untuk berdiam dulu di kelas. Menunggu semua bubar, baru aku keluar. Keburu apa coba sampe berjubel seperti itu?

Aku mengayuh sepedaku menyusuri jalanan tengah kota. Sebenarnya ini bukan rute favoritku. Namun, sesekali dalam sebulan aku akan melewatinya. Hanya untuk mempir ke toko buku kesayangn. Sekadar melihat-lihat novel yang baru terbit dan tentunya ada sampel gratis untuk dibaca. Atau membeli beberpa keperluan sekolahku.

Kali ini aku sengaja mampir ke toko buku untuk membeli sticky notes dan beberapa refill pulpen. Aku memang sangat boros dengan kedua benda tersebut.

Setelah aku menempatkan sepedaku di tempat parkir, aku bergegas untuk masuk. Namun, kejadian enggak mengenakkan menimpaku. Entah salah siapa, tiba-tiba badanku ambruk setelah sebelumnya merasakan benturan sesuatu yang sedikit keras di bagian keningku. Aku mencoba untuk melihat ke atas, siapa gerangan yang sudah menabrakku. Alih-alih aku mendapatkan wajah penuh penyesalan, justru tatapan tajam yang siap menembus tulanglah yang ia perlihatkan. Sedetik aku terpaku dengan parasnya, di detik berikutnya kengerian menyeruak masuk. Membuatku berjengit dan bergidik ngeri.

Tanpa meminta maaf ataupun menanyakan keadaanku, ia berlalu begitu saja. Dasar enggak punya sopan santun. Ingin sekali aku berteriak untuk memanggilnya agar ia sedikit menolongku, tapi aku urungkan. Takut ia kembali menatapku tajam. Aku memang suka diperhatikan, namun bukan perhatian macam itu. Ah, biarkan saja.

Setelah bisa menguasai keadaan, aku segera berdiri dan kembali melangkah masuk ke toko buku. Semoga kejadian tadi bukan pertanda buruk buatku.

Aku berjalan menyusuri lorong bagian sticky notes dan beberapa pernik yang lainnya. Di tempat ini, selalu berhasil membuatku kalap. Aku suka semuanya – terutama stiky dan pembatas buku yang lucu – tanpa memperhatikan kalau tumpukan pembatas buku masih banyak di laci. Huft, kebiasaan buruk. Seringnya, aku membeli karena aku suka. Bukan karena aku butuh. Jika Ibu tahu, beliau pasti akan memarahiku ralat menasehatiku panjang lebar. Mengingatkanku untuk berhemat demi meraih cita-cita. Maklum saja, kami bukan berasal dari kaum atas. Bisa cukup untuk memenuhi setiap kebutuhan sehari-hari saja sudah bersyukur. Ah, hidup. Seringnya tak dapat dimengerti.

Akhirnya aku memutuskan untuk membeli 2 bendel stikky notes berbentuk daun dan apel dan satu kotak refil pulpen. Cukuplah untuk satu bulan ke depan. Aku melanjutkan berkeliling toko buku sebelum membayar belanjaanku. Melihat beberapa buku yang baru terbit, salah satunya buku yang aku incar karya penulis asal Banda Aceh. Memang karyanya enggak masuk ke deretan best seller. Tetapi buatku, setiap karyanya penuh dengan pengajaran kehidupan. Realistis dengan keadaan yang ada. Selalu menjadi cermin untukku terus melangkah maju. Aku skimming sebentar untuk membaca blurbnya, berdoa dalam hati agar suatu hari bisa menjemputnya. Amin.

Tidak mau terlalu larut untuk melamun, aku putuskan untuk membayar belanjaanku. Karena kondisi masih lumayan pagi, toko buku masih sepi sehingga aku tidak perlu mengantri.

Selesai membayar, aku memutuskan untuk pulang saja. Sedikit membantu Ibu untuk membereskan rumah dan mengerjakan tugas dari Pak Ugi. Demi mengejar beasiswa, aku harus tetap rajin. Biar bisa meringankan Ibu dan punya uang untuk membeli buku. Anak baik, kan, aku.

Aku melongo kala melihat siapa gerangan yang sedang duduk di atas boncengan sepedaku. Cowok itu lagi. Mau apa? Atau mungkin saja dia mau meminta maaf kepadaku? Semoga.

"Aku minta maaf sudah menabrakmu tadi. Dan aku enggak terima penolakan."

Tiba-tiba saja si cowok mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dan berbicara demikian. Memang sih, dia ingin meminta maaf. Tapi, kan, nadanya itu bossy banget. Niat apa enggak, sih?

"Ngg – "

"Sudahlah, intinya aku udah minta maaf. Jam segini keluyuran, mau jadi apa kamu?"

"Hah?"

Tidak ada salam, tidak ada ucapan, dan tidak ada kesempatan buatku membalasnya, si cowok itu main ngeluyur aja. Emang dikira aku ini apa?

****

Terima kasih sudah membaca...

Aku masih menunggu taburan bintang dan coret-coretan dari kalian...


love you,
Jurnallin
21 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro