Chapter 8 - Hard Decision
Senja terbentang. Menghapus sang jumantara bernuansa biru di atas sana. Serta menemani sang mentari kembali ke peraduannya.
Langkah kakinya berjalan perlahan. Menginjak tanah yang dilapisi oleh dedaunan yang telah rontok dari pohonnya. Meskipun kakinya tetap setia melangkah, pikiran gadis itu justru tertuju kepada hal lain.
Perkataan Kagaya tadi masih berputar-putar di dalam kepalanya bak kaset rusak. Sungguh sulit untuk membuat keputusan dengan risiko yang sama besar seperti itu. Kini, perasaan bimbang pun kembali menghantuinya.
Di satu sisi, (Y/n) ingin melindungi semua orang dengan cara menjadi Hashira. Ia yakin, dengan gelar itu ia bisa mendapatkan misi yang lebih sulit. Tentunya dengan tingkat keselamatan yang lebih tinggi.
Namun, di sisi lain, secara perlahan (Y/n) akan kehilangan kekuatannya. Ralat, kekuatan milik Asano yang diberikan untuknya. Jika gadis itu sudah tidak memiliki kekuatan, apakah ia masih bisa melindungi semua orang?
Entah bagaimana caranya agar ia bisa menguasai sebagian kekuatan Asano dalam dirinya. Lelaki itu hanya pernah memberitahu kepadanya jika kekuatan itu bisa dicegah agar tidak terserap begitu saja oleh para Hashira. Tetapi, kembali lagi ke titik awal. (Y/n) masih tidak tahu harus berbuat apa.
Pikirannya terus memikirkan hal yang sama hingga ia tiba di rumahnya. Asano yang kebetulan berada di luar pun segera menyadari keberadaan (Y/n). Gadis itu tampak berjalan dengan terhuyung-huyung dan tatapan kosongnya.
Melihat kondisi (Y/n) yang seperti itu, Asano langsung menghujaninya dengan banyak pertanyaan. "(Y/n)-san? Ada apa dengan dirimu? Bagaimana dengan misimu hari ini?" cecarnya.
Pikiran gadis itu sontak buyar kala ia mendengar pertanyaan Asano yang terlampau banyak. "Asano-san..." Namun, gadis itu hanya bisa memanggil asma lelaki itu.
"Ada apa, (Y/n)-san?" tanyanya lagi. Tatapannya yang menyiratkan kecemasan ditujukan pada (Y/n).
"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu," ujar (Y/n).
Lega karena (Y/n) tiba-tiba berbicara, Asano segera menyahut, "Kita bicarakan di dalam saja."
Seusai duduk saling berhadapan dengan meja bundar kayu di hadapan mereka, (Y/n) pun kembali diam. Ia berniat untuk mengatakan apa yang terjadi hari ini sebelum Asano berubah kembali menjadi cahaya biru. Namun, kerongkongannya terasa seperti tercekat. Mencegah kata-kata keluar dari sana.
Tetapi, (Y/n) pun tidak bisa memendamnya selamanya. Setelah membulatkan tekadnya, menarik napas panjang, gadis itu pun mulai membuka suara.
"Aku akan mengatakannya sekarang."
"Katakan saja, (Y/n)-san. Aku akan mendengarkannya." Asano tersenyum dengan lembut. Berusaha menyalurkan ketenangannya pada (Y/n) melalui senyuman itu.
Sekali lagi, (Y/n) menarik napas, lalu ia hembuskan. Berusaha mengalirkan ketenangan di dalam dirinya.
"Hari ini aku bertemu dengan para Hashira."
Manik hazel milik Asano pun membulat. Raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran. "Apakah kau baik-baik saja? Apa ada bagian di tubuhmu yang terasa sakit?" Lagi-lagi lelaki itu menghujani (Y/n) dengan banyak pertanyaan.
Sebuah senyum tipis (Y/n) lemparkan ke arah Asano. "Aku tidak apa-apa. Hanya saja kepalaku terasa sangat pening saat bersama mereka. Sepertinya aku masih bisa menahan kekuatan milikmu agar tak diserap oleh mereka. Kuharap demikian."
"Saat ini kau mungkin masih bisa menahannya. Namun, jika hal itu terjadi dalam jangka waktu yang panjang, kau akan merasakan dampak yang lebih parah, (Y/n)-san. Aku ingin agar kau mengingat hal itu."
Anggukan yang (Y/n) berikan tidak membuat Asano menghilangkan tatapan khawatirnya. "Tentu saja aku akan mengingatnya, Asano-san. Tetapi, masih ada satu hal yang mengganjal di pikiranku."
"Apa itu?"
"Oyakata-sama memintaku menjadi salah satu Hashira."
Keterkejutan meliputi diri lelaki itu. "Apakah kau menyetujuinya? Atau sebaliknya?" desaknya.
Gelengan kepala (Y/n) membuat Asano menghela napas lega. "Masih belum kuberikan jawaban apapun. Aku meminta waktu untuk berpikir sebelum menjawab permintaan beliau itu," jawabnya sambil menatap ke arah lain.
Hening kembali muncul ke permukaan. Sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Logika dan perasaan (Y/n) sedang bertarung saat ini. Logikanya mengatakan jika dirinya harus menolak permintaan Kagaya. Dikarenakan jika (Y/n) menyetujuinya, maka secara otomatis ia akan kehilangan kekuatan untuk menjadi seorang pemburu iblis. Secara perlahan namun pasti.
Sedangkan perasaannya sendiri mengatakan hal yang sebaliknya. (Y/n) justru harus menyetujui permintaan Kagaya agar bisa menyelamatkan semua orang. Toh memang itulah tujuannya datang ke dunia ini.
Keputusannya sudah bulat. (Y/n) memilih untuk mengikuti perasaannya. Ia memang sudah tahu bagaimana akhir dari cerita Kimetsu no Yaiba. Yang pasti, dirinya tidak ingin cerita ini berakhir tragis seperti itu. Kedatangannya ke sini bukanlah suatu kebetulan belaka. Ia memang telah ditakdirkan untuk menyelamatkan mereka yang sebelumnya tidak terselamatkan.
Pada akhirnya, sang logika akan selalu kalah oleh perasaan.
"Aku akan menjadi Hashira."
Sebuah kalimat itu cukup untuk mengejutkan Asano. Ia menatap (Y/n) sangsi. "Apa kau serius? Kau akan menanggung semua rasa sakit itu. Apa kau sudah siap, (Y/n)-san?"
(Y/n) mengangguk yakin. "Keputusanku sudah bulat. Aku sangat yakin saat ini, Asano-san." Netra (e/c) itu saling bersitatap dengan netra hazel milik Asano.
Lelaki itu menghela napas panjang. Tampak jika dirinya sudah tidak bisa mengganggu gugat keputusan (Y/n) itu. "Aku menyerahkan semuanya padamu, (Y/n)-san. Aku pasti akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu."
Sebuah kurva melengkung yang terbuka ke atas terpatri pada paras ayu milik (Y/n). "Arigatou, Asano-san! Kau memang yang terbaik!"
Meskipun (Y/n) akan merasakan sakit yang luar biasa nantinya, setidaknya ia tidak akan menyesali keputusannya nanti. Ya, ia harap demikian.
***
Dua hari telah berlalu semenjak keputusan (Y/n) untuk menjadi seorang Hashira. Sejak saat itu, frekuensi latihannya ia tambahkan. Tidak ada waktu untuk berleha-leha menikmati fakta bahwa dirinya masuk ke dalam isekai.
Hari ini (Y/n) berencana untuk mengunjungi kediaman Kagaya. Tentu saja untuk menjawab permintaannya di tempo hari.
Sang jumantara yang bernuansa biru tampak sangat cerah. Seolah-olah memang mendukung (Y/n) untuk mengutarakan keputusannya. Ia sudah siap jikalau dirinya akan bertemu dengan salah satu Hashira di tempat itu maupun di tengah perjalanan. Memang hal itulah yang sudah menjadi risikonya.
"Aku akan mengatakannya pada Oyakata-sama hari ini."
Perkataan (Y/n) itu membuat Asano menoleh padanya. Tatapan penuh keyakinan tanpa ragu sedikit pun terpancar dari balik manik (e/c) itu.
"Berhati-hatilah, (Y/n)-san," pesan Asano.
Masih dengan keyakinan dalam benaknya, (Y/n) pun mengangguk. Ia sudah sangat siap saat ini.
***
Sang cakrawala yang terlampau indah menarik perhatian (Y/n). Gadis itu hanya terus berjalan sambil menatap ke angkasa. Tempat di mana para burung beterbangan dengan bebas. Tak memusingkan masalah duniawi. Namun, karena hal itu juga, (Y/n) menginjak kakinya sendiri. Menghilangkan keseimbangan tubuhnya hingga membuat dirinya hampir terjatuh jika saja tak ada sepasang tangan yang menahan pinggangnya.
Sejenak, tatapan (Y/n) terperangkap di dalam danau berwarna biru samudra itu. Tak dapat ia alihkan barang sedetik pun.
"Tomioka-san?"
Menyadari jika posisi mereka saat ini bisa mengundang berbagai asumsi yang berlebihan, (Y/n) pun langsung berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Ia segera mengalihkan pandangannya dari netra Giyuu yang sempat membuatnya terperangkap selama beberapa saat di dalam sana.
"Bagaimana kau bisa mengetahui namaku?"
Pertanyaannya itu membuat (Y/n) tersentak. Bagai disengat oleh listrik secara mendadak. Otaknya berpikir dengan cepat agar jawaban yang keluar dari mulutnya tidak akan membuat Giyuu bertanya lebih lanjut.
"Bukankah seharusnya sebagai sesama pemburu iblis harus saling mengetahui nama masing-masing?"
Entah mendapatkan keberanian dari mana, kalimat itu pun diucapkan oleh (Y/n). Namun, gadis itu merasa sangat bersyukur karena kalimat tersebut berhasil membungkam mulut Giyuu untuk tidak bertanya lebih lanjut mengenai hal yang lebih baik tidak ditanyakan itu.
Suara yang tidak mengenakkan seketika terdengar di antara mereka. Kedua insan saling terkejut. Menatap satu sama lain, kemudian mengalih tatapan sedetik setelahnya. Suasana seketika berubah canggung.
Ya, suara yang berasal dari perut Giyuu.
"Apakah kau merasa lapar, Tomioka-san?" tanya (Y/n) seraya tersenyum geli.
"Um, aku belum makan sejak kemarin malam setelah menyelesaikan misi."
(Y/n) memberikan tatapan ibanya. Wajah Giyuu yang selalu datar memang sulit untuk menebak apa yang sedang lelaki itu rasakan. Termasuk rasa lapar tersebut.
"Apa kau ingin aku masakan sesuatu untukmu?" tawar (Y/n) tanpa pikir panjang.
Anggukan kepala Giyuu itu membuat (Y/n) tersenyum sekaligus mendengus geli di saat yang bersamaan. Sepertinya ia harus menunda rencana pertemuannya dengan Kagaya pada hari ini.
***
First published :: October 1st, 2020
Revised :: February 17th, 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro