
Chapter 2 - Memory Fragment
Selama ini, roh-roh tak kasat mata yang (Y/n) lihat selalu berwujud menyeramkan. Entah itu tangannya yang tak ada, kepalanya, kakinya, tubuhnya bahkan terkadang hanya suaranya. Oh, jangan lupakan semua sosok itu pun berdarah-darah.
Namun kini, sosok yang berdiri di depan (Y/n) justru terlihat seperti manusia normal. Hanya saja jika kakinya menapak ke atas tanah dan ia tidak diabaikan oleh orang-orang di sekitarnya.
"Kau benar-benar bisa melihatku ya?"
Ia tersenyum lagi. Entah mengapa (Y/n) merasa lelaki yang kini duduk di sebelahnya itu tampak bahagia hanya karena (Y/n) bisa melihatnya. Ah, mungkin ini hanya perasaan gadis itu saja.
"Tidak," sahut (Y/n) seraya menoleh ke arah lain. Menghindari tatapan miliknya yang menatap gadis itu berbinar-binar.
"Tetapi, kau menjawab pertanyaanku tadi," ujarnya lagi dan kali ini berhasil membuat (Y/n) menoleh. Namun, gadis itu kembali mengalihkan pandangannya kala ia tahu jika itu hanyalah cara agar ia menoleh padanya.
"Lalu, kau ingin apa? Apakah kau juga perlu bantuan seperti yang lain?" tanya (Y/n) setelahnya.
"'Yang lain'?" Ia tampak bingung.
"Ya, makhluk tak kasat mata sepertimu pasti membutuhkan sesuatu dariku. Makanya, kau pun mendekatiku. Benar 'kan begitu?" cecar (Y/n).
Lelaki itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Namun, kemudian sebuah tawa lolos dari bibirnya. Membuat (Y/n) melemparkan tatapan keheranan.
"Mengapa kau justru tertawa?" (Y/n) pun bertanya dengan heran dan alisnya yang ditautkan.
Tidak menjawab pertanyaan (Y/n) yang sebelumnya, justru ia berkata setelah tawanya reda, "Kau lucu, (Y/n)."
"Dari mana kau tahu namaku?" todong (Y/n). Ia tidak pernah memberitahu namanya selama mereka duduk bersama di taman rumah sakit yang kini tampak sepi itu.
Ia pun tersenyum. "Aku sudah sering mendengar namamu di saat kau datang ke sini untuk membeli obat. (F/n) (Y/n), benar 'kan?"
Mata (Y/n) sontak menyipit. "Kau memata-mataku selama ini ya?" tuduhnya tak senang.
"Eh? Tidak! Untuk apa?"
"Baguslah jika kau tidak melakukannya," ujar (Y/n) kemudian.
Setelah berkata seperti itu, (Y/n) pun bangkit dari duduknya. Ia menepuk-nepuk rok seragamnya. Gadis itu nyaris pergi dari sana kala sesuatu yang hangat terasa mengalir dari hidungnya. Ia menyekanya dengan tangan dan benar saja. Cairan berwarna merah pekat terlihat di tangannya.
"Kau baik-baik saja?" tanya sosok lelaki yang masih berada di sebelah (Y/n).
(Y/n) tak menjawab. Ia sibuk mencari tisu dari dalam tas sekolahnya. Lelaki bersurai pirang itu ingin membantu. Namun, ia bahkan tidak bisa menyentuh apa-apa.
"Ya, aku baik-baik saja. Ini sudah biasa terjadi," jawab (Y/n) kemudian setelah darahnya yang mengalir di hidungnya pun berhenti. "Aku hanya belum memakan obatku hari ini," lanjutnya.
Sebuah botol air dari dalam tasnya dikeluarkan oleh gadis itu. Ia memasukkan sebutir obat ke dalam mulutnya lalu menelannya dengan bantuan air. Semua kegiatan yang dilakukan oleh (Y/n) diperhatikan oleh lelaki di sebelahnya itu.
"Apakah kau tak pernah melihat orang lain memakan obat?" sindir (Y/n) kala ia memasukkan botol minumnya kembali ke tempat semula.
Ia hanya terkekeh sebagai respon atas sindiran (Y/n). Kemudian, ia berkata dengan pandangan yang menerawang jauh, "Aku pernah memakan obat. Bahkan melebihi dosis yang dianjurkan."
(Y/n) menatapnya heran. "Kau—"
"Sudah, jangan kau pikirkan," selanya lebih cepat sebelum (Y/n) menyelesaikan perkataannya.
(Y/n) pun hanya mengedikan bahunya kemudian. Ia mengambil tas sekolahnya yang masih duduk manis di atas kursi taman.
"Aku pulang dulu," pamit (Y/n).
Namun, seketika ia berhenti melangkah. Lalu, menoleh ke belakang. "Namamu... siapa namamu?" tanyanya tiba-tiba.
Yang ditanya pun tersenyum. Ia tidak menyangka jika gadis berpenampilan tomboi itu akan menanyakan namanya.
"Chifuyu, Matsuno Chifuyu."
(Y/n) diam sejenak setelah mendengar namanya. Kemudian, gadis itu pun berlalu dari sana. Baginya, sosok lelaki bersurai pirang tadi adalah sebuah penampakan yang pertama kalinya ia ajak bicara. Selama ini (Y/n) selalu menghindari mereka. Ia pikir, ia akan melakukan hal tersebut hingga akhir hayatnya.
Namun, kini sepertinya pemikiran itu telah berubah.
***
(Y/n) mengambil sebuah buku dari lemari buku di kamarnya. Ia mengeluarkannya dari sana lalu membacanya sampul buku tersebut.
Tentang Mata Lavender.
Begitulah tulisan yang tertera di atasnya. Selama ini, (Y/n) selalu membaca buku itu. Tujuannya adalah untuk menghilangkan Mata Lavender yang ia warisi dari neneknya. Namun, tidak ada tata cara tentang menghilangkan mata itu dari dirinya. Alhasil, (Y/n) pun hanya menghela napas panjang kala tak menemukan apapun di sana.
(Y/n) hendak menutup buku itu kala ia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah tulisan tangan yang ditulis dengan ukuran yang cukup besar membuatnya mengurungkan niatnya untuk menaruhnya ke dalam lemari.
Manik (e/c)nya kini bergerak menelusuri setiap kata yang ditulis dengan rapi di sana. Selama beberapa saat, (Y/n) merenungi semua perkataan-perkataan yang tertulis tanpa kesalahan itu. Ia tidak tahu jika hal itu benar-benar bisa dilakukan atau tidak.
"'Mata Lavender bisa digunakan kepada orang lain dalam waktu tiga puluh menit. Setelah itu, orang tersebut pun akan lupa dengan Mata Lavender ini'." (Y/n) membaca tulisan itu.
(Y/n) masih merasa tidak yakin jika kata-kata yang dibacanya tadi benar-benar bisa dilakukan. Ia menatap ke arah jendela kamarnya. Terlihat rintik-rintik hujan yang membasahi kaca jendela.
"Jika tidak kucoba, maka aku tidak akan tahu apakah berhasil atau tidak, 'kan?" gumamnya.
***
Entah apa yang merasuki (Y/n) sore ini, tubuhnya tiba-tiba saja sudah berdiri di depan sebuah gedung rumah sakit. Rumah sakit yang sama dengan yang kemarin ia datangi untuk membeli obat asam traneksamat untuk mimisannya.
Padahal, ia sudah membeli obat tersebut cukup banyak sehingga (Y/n) tak perlu datang lagi ke sini dalam kurun waktu yang dekat. Namun, nyatanya hari ini ia kembali lagi. Menatap lurus ke arah gedung rumah sakit bercat putih di depannya itu.
Apakah penyebabnya adalah sosok lelaki bernama Matsuno Chifuyu yang ia temui kemarin?
Gadis itu sontak menggelengkan kepalanya. Menyadari pikirannya yang mulai kacau.
Tanpa sadar, langkah kakinya telah membawanya menuju taman rumah sakit. Sore ini, taman itu terlihat cukup sepi. Hanya ada beberapa pasien ataupun pengunjung rumah sakit yang mengunjungi sanak saudaranya.
(Y/n) duduk di kursi yang sama, tepat di sebelah pohon sakura yang tampak masih belum mekar. Ia menoleh ke pohon sakura itu sejenak. Kemudian, mengalihkan tatapannya kembali ke depan.
"Mencariku ya?"
Sontak (Y/n) tersentak. Ia melirik ke kirinya dan langsung bersitatap dengan mata Chifuyu.
"Jangan mengejutkanku, Matsuno."
"Panggil aku Chifuyu saja. Karena aku ingin memanggilmu (Y/n)," ujar Chifuyu yang langsung disetujui oleh (Y/n).
"Tidak masalah bagiku," sahutnya.
"Kau belum menjawab pertanyaan pertamaku tadi."
(Y/n) menoleh. Lalu, mengembalikan pandangannya ke depan. "Aku tidak mencarimu."
Chifuyu terkekeh. "Ternyata aku terlalu percaya diri ya?" ucapnya masih disertai tawa.
"Chifuyu."
"Hm?"
"Mengapa... kau masih berada di sini?" tanya (Y/n) pelan. Ia tak berani menatap ke arah Chifuyu di sebelahnya.
"Maksudmu, belum pergi dari dunia ini ya?" Chifuyu tampak paham dengan apa yang ingin (Y/n) tanyakan.
"Ikutlah denganku!" seru Chifuyu.
"Ke mana?"
"Sudah, sudah. Ikuti aku saja dahulu," ujarnya tanpa menjawab pertanyaan (Y/n).
Pada akhirnya, (Y/n) pun menuruti perkataan Chifuyu meskipun ia masih memiliki banyak pertanyaan di dalam kepalanya. Mereka keluar dari area rumah sakit. Kemudian, berbelok ke kanan.
Tentu saja, orang-orang yang berada di sekitar (Y/n) hanya melihat gadis itu seorang. Tanpa Chifuyu yang melayang-layang di sebelahnya dan tampak bahagia meskipun ia tak kasat mata. Sekali lagi, mungkin ini hanya perasaan (Y/n) saja.
Chifuyu pun tiba-tiba berhenti di depan sebuah bangunan yang mungil. Alhasil, (Y/n) pun menatap bangunan itu dari luar. Ia mengamatinya sejenak, membaca papan nama yang berada di atasnya, lalu menatap ke arah pintu bercat merah itu.
"Ayo masuk," ajak lelaki itu.
Pastinya (Y/n) masuk lebih dulu untuk membuka pintu masuk. Kala ia membuka pintu, bunyi lonceng memasuki indra pendengarannya. Di dalam sana, banyak sekali hewan yang terlihat imut nan menggemaskan. Beberapa di antara mereka ada yang tertidur dan yang lainnya ada yang tengah bermain sendirian.
"Selamat datang."
Suara sapaan itu membuat (Y/n) menoleh. Seorang lelaki bersurai hitam panjang tampak berdiri di balik meja kasir. (Y/n) hanya mengangguk singkat ke arahnya.
"Ia temanku, Baji Keisuke."
Chifuyu yang tiba-tiba menjelaskan sontak membuat (Y/n) sedikit tersentak. Gadis itu pun menatap ke arahnya.
"Oh."
"Reaksimu begitu saja?"
"Memangnya seharusnya reaksiku seperti apa?" balas (Y/n).
"Entahlah. Tetapi, tidak sedatar yang kau tunjukan tadi," ujar Chifuyu.
Sebuah dengusan dikeluarkan oleh (Y/n). Namun, sebuah senyuman tersungging di bibirnya.
"Siapa yang kau ajak bicara?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro