🍃┆𝗯ane 𝗼f 𝗮ll 𝗲vil ꫂ
Kaulah yang membunuhku, Xiao.
Si kepala bersurai teal itu sontak membuka matanya yang terpejam. Hanya dalam hitungan detik, pandangannya sudah tertuju ke arah pemandangan langit malam yang tampak ditaburi oleh puluhan bintang. Napasnya seketika terengah-engah.
Telah terhitung beberapa jam semenjak Xiao tertidur di sana. Namun, penyebabnya jatuh terlelap ialah karena tubuhnya yang terlalu lelah. Pikirannya pun demikian. Xiao sudah melaksanakan tugasnya dengan baik, tetapi tidak dengann urusan tubuh dan mentalnya sendiri. Ia masih merasa tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Kematian (Y/n), seseorang yang ia cintai.
Tidak hanya itu. Mimpi yang baru saja Xiao lihat justru lebih buruk. Di tangannya terdapat polearm yang biasa ia pakai. Juga darah yang menetes dari sana. Akibat hujan yang terus turun membasahi Bumi. Namun, bukan itu yang membuat mimpinya menjadi buruk. Melainkan ialah karena seseorang yang tergeletak di hadapannya. Menatapnya dengan tatapan sayu dan mengucapkan sebuah kalimat yang membuat Xiao tergugu. Bisu seketika.
Entah apa yang Xiao lihat adalah kenyataan atau sekedar bunga tidurnya belaka. Namun, apapun itu jawabannya, lelaki itu tetap tak dapat mengalihkan pikirannya dari hal tersebut.
Xiao pun memutuskan untuk bangkit berdiri. Ia menatap polearm di tangannya sendiri. Bayang-bayang mengenai mimpi yang baru saja ia lihat kembali menghantuinya. Kini di tatapannya terdapat darah yang menetes dari polearm itu. Membuat Xiao sontak mencengkeram kepalanya dengan erat. Berusaha menghapus rasa sakit yang mendadak muncul di sana.
Seketika pandangannya pun ikut memburam. Rasa sakit di kepalanya kian menyerang dirinya. Xiao tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Yang ia ingat ialah tubuhnya sudah ambruk lebih dahulu sebelum ia bahkan menyadari apa yang terjadi.
***
"Kepalamu sakit lagi?"
Yang ditanya tak mampu menjawab. Lelaki itu hanya mencengkeram kepalanya dengan erat. Berharap dengan demikian rasa sakit itu akan menghilang secepatnya. Namun, tetap saja, tak akan hilang semudah yang ia inginkan.
"Pasti sakit, ya."
Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu langsung merengkuh tubuh sang teruna. Rasa hangat pun kembali muncul ke permukaan kulit. Memberikan kenyamanan yang memang ia butuhkan.
"Tenanglah, Xiao. Tenang. Aku ada di sini bersamamu," ujar sang gadis. Bersamaan dengan tangannya yang mengusap punggung Xiao. Lembut, penuh kehati-hatian.
Dengan perlahan, Xiao menaikkan tangannya. Kemudian, berhenti pada pinggang gadis itu. Melingkarkannya dengan erat. Seolah-olah ia tak ingin melepaskannya untuk selamanya.
"Kau tahu apa yang lebih menyeramkan dan menyedihkan dari berakhirnya dunia?" bisik gadis itu pelan. Ia masih berada di dalam dekapan Xiao. Keduanya saling memberikan kehangatan bagi satu sama lain.
Xiao menggeleng. Bagi lelaki itu sendiri, mungkin tak ada hal lain yang menyeramkan. Hidupnya sudah digandrungi oleh perasaan itu sejak dulu. Lantas, untuk apa ia merasa demikian jika hal menyeramkan tersebut merupakan makanan sehari-harinya?
"Kehilangan dirimu."
Hanya sesingkat itu. Hanya dua kata yang sudah berhasil membuat Xiao mengeratkan dekapannya. Juga meneteskan setitik air mata.
***
Lucu.
Kala itu, (Y/n)-lah yang berkata demikian. Mengatakan bahwa gadis itu merasa kalau kehilangan Xiao akan menjadi momen paling menyeramkan, juga menyedihkan dari berakhir atau kiamatnya dunia ini. Namun, apa yang terjadi sekarang ialah sebaliknya.
Gadis itulah yang justru meninggalkan dirinya.
Sungguh, Xiao tak pernah menyangka jika (Y/n) yang meninggalkannya. Tanpa ragu, gadis itu pergi begitu saja. Hanya menyisakan raganya yang tak dapat berbuat apa-apa. Sama seperti Xiao. Ia pun tidak tahu dan tidak bisa melakukan apapun. Yang ia sibuk lakukan hanyalah tentang dirinya yang menolak untuk percaya mengenai (Y/n) yang telah tiada.
"Kau sudah melamun selama satu jam tiga puluh delapan menit, Xiao."
Lamunan Xiao pun sontak buyar. Kala ia menoleh ke sisinya, Venti sudah duduk di sana. Dengan sebuah lyre di tangannya.
"Mengapa kau datang ke sini?" Alih-alih menyapa, Xiao justru bertanya demikian. Meskipun tampak seperti bocah tukang mabuk, dirinya tetap saja merupakan salah seorang Archon yang dipuja banyak orang. Namun, sepertinya Xiao lupa akan hal itu.
Venti terkekeh. "Hanya berkunjung. Kau selalu tampak murung."
Xiao tak menyahut apapun. Tentu saja ia yakin jika Venti tahu apa penyebab dirinya selalu berekspresi demikian. Tanpa perlu ia jelaskan lebih lanjut lagi.
"Ia sudah bebas, Xiao. Seperti air di aliran sungai, seperti burung-burung di angkasa, dan seperti angin yang berhembus. Suatu saat kau harus merelakannya. Dan, sekarang adalah saat yang tepat bagimu untuk merelakannya."
Lantas, Xiao masih diam. Ia memilih untuk mencerna perkataan Venti tanpa berkata apa-apa. Perkataan lelaki itu benar dan juga salah di saat yang sama, menurut pandangan Xiao. Benar karena mungkin saja (Y/n) sudah merasa bebas saat ini. Namun, yang salah adalah apakah (Y/n) benar-benar menginginkan kebebasan itu? Seperti angin? Juga meninggalkan dirinya di sini?
"Hanya (Y/n) seorang yang merupakan makhluk hidup abadi yang dapat mati. Tiada, keberadaannya bak menghilang dari dunia ini. Bahkan, kata 'abadi' itu sendiri dapat disangkal oleh kematian (Y/n)," ujar Venti. Ia terkekeh dengan nada getir setelahnya.
"Apakah kau tahu apa penyebab dari kematian (Y/n)?"
Dengan pelan, Venti menghela napas. "Aku tidak tahu. Mungkin belum. Meskipun aku tahu, semuanya sudah terlambat."
Benar. Semuanya memang sudah terlambat.
***
Apakah dirinya bisa tertidur?
Tentu saja, tidak. Xiao sama sekali tidak mungkin bisa tertidur. Kemarin malam pun ia tak sengaja jatuh terlelap begitu saja. Mungkin penyebabnya adalah beban pikirannya yang membuat dirinya merasa lelah.
Dengan perlahan, Xiao menutup matanya. Barangkali ia bisa melupakan pikirannya untuk sejenak saja. Meskipun sulit, namun setidaknya Xiao telah mencoba. Itulah yang ia pikirkan saat ini.
Namun, tanpa dirinya ketahui bahwa sesuatu telah menunggunya untuk terlelap.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro