🍃┆𝗮lmond 𝘁ofu ꫂ
Pada dasarnya, kebahagiaan adalah hal yang fana. Ia bisa datang, juga bisa pergi. Bahkan, ada saat di mana ia tiba hanya untuk pergi begitu saja. Meninggalkan semuanya dan juga menimbulkan rasa yang berlawanan dari kata "bahagia" itu sendiri.
Entah sudah secepat apa waktu berlalu, namun kini semuanya telah berakhir. Bukan hanya Perang Archon yang sedang bergemuruh belakangan ini, termasuk juga hal lainnya. Kehidupan mereka pun ikut berubah. Bahkan para mortal pun demikian. Mereka menjadi sosok yang mendambakan kedamaian, kesejahteraan, juga ketentraman. Memohon dan bersujud di hadapan sang Archon yang mereka sembah. Menaikkan kidung agung juga memanjatkan doa-doa.
Sayangnya, mereka tidak tahu. Bukan hanya para Archon saja yang mendengar ribuan permohonan mereka. Melainkan sang Yaksha juga turut mendengarnya. Hanya di malam itu, Xiao bisa mendengarkan permintaan juga permohonan dari para manusia. Xiao tidak membenci manusia karena mereka adalah manusia. Justru akibat manusia merupakan makhluk yang lemah. Yang hanya terus ingin dilindungi.
Hembusan napas keluar dari bibirnya. Entah hingga kapan Xiao harus terus kembali menghadapi masa lalunya. Ia tak ingin terjebak di sana selamanya. Dirinya benar-benar ingin berpaling dari masa lalunya yang kelam itu. Yang selalu berhasil membuatnya teringat akan kenangan yang sama sekali tidak menyenangkan.
Setelah cukup lama di atas bukit, Xiao pun memutuskan untuk pergi dari sana. Namun, niatnya itu mendadak lenyap di kala ia netra emasnya menangkap sesosok gadis tak jauh darinya. Jika saja gadis itu bukanlah orang yang sudah mengisi kekosongan hati Xiao, dapat dipastikan bahwa dirinya tidak akan menghampiri gadis tersebut saat ini.
"(Y/n)?"
Kala jenamanya disebut oleh sang jejaka, tatapan sayu itu pun sontak bersitatap dengan netra emas milik Xiao. Untuk sesaat keduanya terdiam demikian. Hingga pada akhirnya tubuh (Y/n) yang hampir tumbang membuat Xiao dengan sigap begerak untuk menangkapnya. Mencegah tubuhnya bertabrakan dengan lapisan rumput yang dingin.
"Ah, Xiao." Sepertinya (Y/n) baru menyadari keberadaan Xiao di sana. Meskipun sebelumnya gadis itu sudah menatap netra miliknya selama beberapa saat.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Xiao. Jelas sekali bahwa nada khawatir terselip di ucapannya. Namun, wajahnya tetap terlihat sama. Datar, tak berekspresi.
Untuk mendukung perkataannya sendiri, (Y/n) menarik sebuah senyuman. "Aku baik-baik saja. Maaf telah merepotkanmu," katanya.
Dengan perlahan, (Y/n) mencoba berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Ia sempat hampir terjatuh untuk yang kedua kalinya. Kemudian, gadis itu pun dapat berdiri setelah dibantu oleh Xiao.
Pandangan (Y/n) tertuju ke arah pergelangan tangan kanan Xiao. Di mana di sana terdapat setangkai bunga qingxin pemberiannya di hari itu. Melihat bunga tersebut masih setia melingkari pergelangan tangan Xiao, seketika bibir (Y/n) membentuk senyuman.
"Rupanya bunga itu masih ada padamu," komentarnya masih disertai dengan senyuman.
Tatapan Xiao pun ikut beralih ke tangan kanannya. Di mana benda yang dimaksud oleh (Y/n) berada di sana. "Ya. Aku tak mungkin membuangnya."
"Mengapa?"
Xiao memilih untuk bungkam. Ia tak menjawab pertanyaan (Y/n). Membiarkan pertanyaan itu dibawa oleh angin hingga jauh ke utara.
Mengetahui bahwa Xiao tak akan menjawab pertanyaannya, (Y/n) hanya mengulum senyum. Ia membuat tatapannya tertuju ke arah cakrawala malam. Para bintang berkumpul di atas sana. Menjelma sebagai sahabat sang rembulan purnama.
"Xiao, apakah kau ingat dengan janji yang pernah kita buat saat itu?" celetuk (Y/n) tiba-tiba.
Janji? Janji apa yang (Y/n) bicarakan? Jikalau memang benar bahwa mereka berdua mengikrarkan janji, seharusnya Xiao tak akan pernah melupakannya begitu saja. Namun, kali ini (Y/n) berkata mengenai janji itu. Janji yang bahkan Xiao sendiri tak ingat.
"Ah, sepertinya kau lupa, ya?" (Y/n) terkekeh. Seolah dirinya sudah tahu bahwa Xiao memang akan melupakannya. "Tidak apa, Xiao. Kau pasti akan mengingatnya nanti."
Sebenarnya, janji apa yang sedang dibicarakan oleh (Y/n)? Jika memang sepenting itu, mengapa Xiao sendiri bisa melupakannya?
***
Selama beberapa hari belakangan ini, Xiao terus memikirkan perkataan (Y/n). Mengenai janji yang saat itu disinggung olehnya pada Xiao. Namun, ia justru melupakannya. Atau memang pada awalnya janji itu tak pernah diucapkan? Mengingat Xiao datang dari masa depan, tanpa (Y/n) di sana. Tanpa sosok penuh kehangatan itu.
Sama seperti biasanya, Xiao hampir tidak pernah tertidur ketika malam menyambut. Sekalipun ia jatuh tertidur adalah akibat dari dirinya yang mungkin saja terlalu lelah. Tetapi ia terus-menerus menyangkalnya. Ditambah dengan perkataan (Y/n) seminggu yang lalu, jelas saja jika dirinya tak akan bisa terlelap.
Lagi-lagi, Xiao menghela napas panjang. Ia tak tahu harus berbuat apa saat ini. Pikirannya sudah dipenuhi oleh berbagai hal. Namun, tubuhnya masih tak bisa bertindak apapun. Sungguh menyedihkan melihat dirinya yang seperti itu.
"Hei, Xiao."
Lamunan Xiao pun buyar kala dirinya dipanggil oleh seseorang. Ia tak perlu menoleh, karena orang tersebut sudah lebih dahulu duduk di sebelahnya. Pakaiannya yang berwarna serba hijau tampak begitu mencolok di tengah sunyinya pemandangan.
Begitu Xiao menoleh, rupanya Venti sedang menengadah ke arah angkasa. Membiarkan dirinya larut dalam lamunannya sendiri. Xiao juga tak akan berkata apapun. Ia memang lebih menyukai waktunya di kala ia seorang diri. Namun, apabila (Y/n)-lah yang menemaninya, maka Xiao tidak akan berpikir dua kali untuk mengiyakannya.
"Mengapa kau berada di Liyue?"
Pertanyaan itu disambut oleh alis Venti yang dinaikkan salah satunya. Sebelum kemudian, ia pun terkekeh. "Apakah karena aku berasal dari Mondstadt, maka aku tak boleh berkunjung ke Liyue?" ujarnya jahil.
"Tidak seperti itu," balas Xiao. Ia memilih untuk diam. Mengabaikan lelucon tak lucu yang dilontarkan oleh Venti.
"Daripada kau melamun seorang diri di sini, lebih baik kumainkan sebuah lagu untukmu. Barangkali kau akan menyukainya!"
Usai berkata demikian, Venti mengeluarkan lyre-nya. Dengan telaten, jari-jemarinya memetik senar. Setiap sentuhan yang dihasilkan olehnya menciptakan sebuah melodi yang menggema ke udara. Bergabung dengan kumpulan nada yang lain dan berubah menjadi harmoni yang memancarkan estetikanya. Sungguh begitu indah.
"Bagaimana? Apa kau menyukainya?" Venti pun bertanya setelah ia selesai bermain. Senyum mengembang pada wajahnya. Sementara, kepangan rambutnya tertiup mengikuti irama angin yang tak terlalu kencang.
Xiao hanya mengangguk. Ia tak mengucapkan apapun selain anggukan kepalanya. Namun, bagi Venti anggukan dari Xiao itu sudah cukup. Hal itu telah menandakan bahwa sang Yaksha memang menyukai permainan lyre-nya. Ia pun mengembangkan senyumannya lebih lebar.
"Apakah kau bisa melihat angin, Xiao?"
Pertanyaan Venti itu membuat Xiao mengernyit. Baik manusia maupun Yaksha sepertinya tentu saja tak akan bisa melihat angin. Angin hanya bisa dirasakan, dan semua orang pun tahu akan hal itu. Lantas, mengapa Venti justru bertanya demikian?
Sebuah tawa lolos dari bibir Venti. "Tentu saja tidak, 'kan? Karena angin hanya dapat dirasakan. Namun, angin juga bisa berbisik."
Pernyataan si Anemo Archon itu memang tak bisa dimengerti oleh Xiao. Setiap katanya mengandung makna yang sukar dipahami. Terlebih bagi Xiao. Sang Yaksha yang dikenal dingin dan tak berperasaan itu, mana mungkin mengerti kosakata sulit dan pilihan diksi unik yang diucapkan oleh Venti.
"Kau tahu, angin berbisik padaku. Ia berkata bahwa ada seseorang dari buana lain. Berkunjung ke sini, karena elegi yang terus mengalun di telinganya."
"Aku tidak paham apa maksudmu," tukas Xiao ketus. Toh dirinya memang tidak paham. Benar-benar tidak paham sama sekali.
Alih-alih marah, Venti justru terkekeh. "Kau tidak perlu memahaminya, Xiao. Angin hanya ingin menyampaikannya. Itu saja," ujarnya.
Berbicara dengan Venti membuat Xiao menghela napas. Ia bingung, heran, juga tak tahu harus bereaksi seperti apa lagi di depan Archon Anemo itu. Dirinya benar-benar tak memiliki petunjuk apapun. Namun, apakah Venti membantunya? Tidak.
"Jangan terlalu dipikirkan, Xiao. Biarkan semuanya mengalir dengan sendirinya. Seperti angin yang berhembus dengan bebas di angkasa sana."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro