The Seventh Prince
"Siapa kau?!" bentak Alice keras.
"Tenang! Tenang! Aku tak akan melepaskanmu."
"Lepaskan aku!!!" Alice memberontak. Ia tidak mengenal sama sekali lelaki yang tengah memeluk pinggangnya dengan secara kurang ajar dari belakang ini. Ia meronta-ronta di udara.
"Hey, hey, hey!!! Tenanglah! Tenanglah! Kalau kau tetap bergerak-gerak seperti ini, kau bisa jatuh ke samudera."
"Aku tak peduli. Lepaskan aku! Dasar laki-laki cabul!" Alice mencoba menerapkan semua jurus yang telah ia pelajari dari gurunya. Ia mencoba menendang, menyikut, dan menggigit, namun tak ada gunanya. Lelaki itu dengan sigap dapat mengunci tubuh Alice hingga tak bergerak.
"Maafkan aku. Aku tahu ini adalah tindakan yang lancang. Akan tetapi, aku tidak mempunyai pilihan lain lagi. Keadaan darurat. Aku harus membawamu sesegera mungkin," ucap lelaki itu di telinga Alice.
Alice hanya diam untuk sementara ini. Ia terpaksa menuruti apa kata lelaki itu meskipun hatinya sangat kesal. Seketika kekesalannya itu teralihkan. Ia dapat melihat hamparan air luas dari udara. Beberapa pulau kecil tampak bagaikan tumpukan rumput yang berpisahan. Bahkan, ia kini sejajar dengan burung-burung yang berterbangan bebas. Sangat menakjubkan.
"Kau suka?" Lelaki itu melihat Alice yang tersenyum lebar
"Bukan urusanmu!" ketusnya.
Lelaki itu hanya tersenyum melihat reaksi Alice. "Baiklah. Selagi bisa terbang, nikmatilah. Sekarang, kau harus memegang lenganku dengan kuat."
Alice menoleh dengan cepat. Ia melemparkan tatapan tajamnya. Lama-lama lelaki cabul ini semakin kurang ajar. "Untuk apa aku harus memegang lenganmu? Kau mau mencari kesempatan, ya?"
Lelaki itu sedikit terkekeh. "Andai saja itu menguntungkanku," gumamnya lirih dan dapat didengar oleh Alice. "Sudahlah, kau memang harus berpegangan erat. Aku akan mempercepat laju. Tapi, itu terserahmu kalau ingin jatuh dan dimakan hiu di bawah sana."
Alice tidak bisa berkata-kata lagi. Ia pun berpegangan erat di lengan bawah lelaki itu. Ia merasa seperti sedang dipermainkan. Pasalnya, 'berpegang erat di lengan lelaki itu' sama saja dengan membalas pelukannya. Namun, demi keselamatannya, ia akan menurut.
Lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya di pinggang Alice dan dalam hitungan kurang dari sedetik, ia membawa Alice meluncur ke bawah. Iya, menukik tajam ke arah samudera. Ia menuju sekumpulan air yang membentuk wajik dan berwarna biru muda.
Alice tak sempat berteriak kaget. Seluruh badannya sudah tenggelam di lautan bersama lelaki itu. Mereka bergerak cepat untuk menyelam, menuju dasar laut.
Brasshhh....
Alice membuka matanya. Ia merasakan sinar matahari yang terik di wajahnya. Ia terduduk dan terbatuk-batuk. Tangannya memukul-mukul dada. Hidungnya panas. Ia merasakan kepalanya sangat berat. Pening.
"Hey, kau tak apa?" Suara itu. Dengan sigap, Alice bangkit dan memelintir tangan kiri lelaki itu.
"Aaawww, maaf. Maaf. Maaf. Maafkan aku. Aku hanya ingin memberimu ini," rintihnya sambil memperlihatkan wadah minum dari kulit yang dibuat dengan bentuk unik.
"Siapa kau sebenarnya?" Alice semakin menarik tangan lelaki itu.
"Baiklah! Baiklah! Aku akan memberitahumu siapa aku, asalkan kau meminum ini."
Alice terdiam sejenak sambil menimbang keputusan. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh lelaki berambut hitam mengkilap itu untuk melepaskan tangannya.
Lelaki itu menjauh beberapa langkah. Ia melemparkan tempat minum kulit itu ke Alice. "Minumlah, agar kau kuat dalam perjalanan. Aku tahu kau merasa sesak dan pusing. Maafkan aku. Seharusnya aku memberimu pil rumput laut agar bisa bernapas di air meskipun hanya menyelam sebentar."
Alice masih waspada dengan lelaki di depannya meskipun ia harus berusaha menopang tubuhnya. Ia hanya memegang wadah minum itu. Ia melihat lelaki yang telah memeluknya dari belakang tanpa izin itu dari ujung kaki ke ujung kepala. Lelaki itu mengenakan setelan celana panjang, kemeja, jubah dalam, jubah luar dan mantel. Pakaiannya seperti itu bukanlah pakaian yang murah. Dia pasti bukan orang sembarangan.
Kedua bola mata lelaki itu berputar. "Ayolah! Kau masih tidak percaya kepadaku? Aku tidak memasukkan racun ke minuman itu. Lagi pula seharusnya kau bersyukur karena aku menyelamatkanmu dari mati penasaran."
Kedua alis Alice terangkat.
"Aku tahu. Aku tahu semuanya. Maka dari itu, sekarang kau harus meminum air Ein Jalut itu dahulu untuk meredakan pusingmu. Itu air telaga penyembuh. Sangat aman diminum dan tanpa efek samping."
Dengan ragu, Alice meneguk air dari wadah kulit itu tiga tegukan.
"Baiklah, tiga tegukan juga cukup." Lelaki itu mengulurkan tangan agar wadah minumnya dikembalikan.
Alice melemparkannya. Benar saja, kepalanya sekarang terasa enteng. Ia menatap lelaki yang sedang membuat ekspresi 'bagaimana?' kepadanya. Ia sungguh merasa gengsi untuk mengakuinya.
"Sekarang, kau ikuti aku! Aku akan membawamu ke tempat tujuan." Lelaki itu melambai ringan untuk mengajak berjalan. Ia pun berbalik badan dan mulai melangkah. Hingga beberapa hitungan, ia merasa bahwa Alice masih belum bergerak dari tempatnya. Ia menoleh ke belakang dan berisyarat dengan kepalanya. Ia bisa memaklumi sikap Alice yang sangat berhati-hati kepadanya. Lagipula, ia juga mengakui kalau tindakannya menculik dan membawa terbang Alice seperti tadi tidak dapat dibenarkan seluruhnya, tapi ia tidak punya pilihan.
"Namaku Subin." Lelaki itu memulai pembicaraan setelah memastikan bahwa Alice mengikuti langkahnya. Tangannya sibuk membelah belukar di depannya. "Kau adalah Alice," tebaknya basa-basi. "Benar 'kan?"
Tidak ada jawaban dari Alice. Ia hanya fokus mengikuti jalan yang dibuat oleh Subin, sambil terus menjaga jarak.
Alice melihat sekeliling. Hanya ada langit, tanaman-tanaman liar yang rimbun, pepohonan, dan langit yang terbentang luas di atas mereka. Hanya saja ... tunggu, ada apa dengan mereka? Bunga-bunga tampak tidak mekar dengan sempurna. Semakin jauh melangkah, semakin berat pula udara yang ia hirup. Warna dedaunan tidak hijau lagi, kelabu. Ia juga tidak mendapati satu hewan pun yang lewat.
"Kita mau ke mana?" Alice tidak membiarkan rasa ingin tahunya tak terjawab.
Subin menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah Alice. Sontak, gadis itu juga turut menghentikan langkahnya. "Kita akan ke istana," jawab lelaki itu lirih.
"Istana? Kau tidak bercanda 'kan?"
"Apakah aku seperti orang yang sedang bercanda?" Subin menatap lurus ke arah Alice. Wajah lelaki itu benar-benar terlihat muram. Ia sedikit menunduk.
"Kau melihat hutan ini 'kan?"
Alice mengangguk.
"Apa yang kaurasakan? Asri? Subur? Atau indah?" Subin menggeleng. "Kami sedang dilanda bencana."
"Apa maksudnya? Terus, apa hubungan semua ini denganku?" Alice melangkah mendekati Subin. Situasi ini membingungkan baginya.
"Kau adalah orang yang dapat memutus bencana yang sedang menimpa kami." Subin menghela napas, lalu melanjutkan langkahnya. Ia melihat sekeliling. Langit yang seharusnya cerah di siang hari pun terlihat suram. Ia merasakan sesak di dadanya.
"Kenapa harus aku?" Alice mengikuti Subin. Kali ini, ia berjalan di samping lelaki itu, ikut membelah belukar.
"Karena hanya kau yang dapat mendengar suara kami. Kenapa kau tampak terkejut? Kemarilah! Aku akan menceritakannya sambil berjalan." Subin melihat wajah Alice yang menjadi kaku. Begitu pula dengan kaki gadis itu. Lelaki itu menghamparkan tangannya untuk mengajak Alice berjalan lagi.
"Suara nada seperti ini?" Alice menirukan suara yang telah membuatnya penasaran kemarin. Tidak. Bahkan hari ini juga masih.
Lelaki itu mengangguk. "Iya. Itu adalah suara dari kami. Kami bertahun-tahun telah mencarimu, Alice. Syukurlah, kini aku menemukanmu." Kelima ujung jari Subin melambai pelan, berharap untuk disambut.
Alice yang masih kebingungan dengan situasi sekarang, memutuskan untuk meraih tangan Subin. Ia baru sadar, di depannya ada tanah yang tidak rata. Subin hanya ingin membantunya untuk melewati itu. Ia menggenggam telapak tangan lelaki itu dengan erat dan melompat. Nahas, ia menginjak kayu yang penuh dengan lumut. Ia hampir jatuh terpeleset kalau saja Subin tidak meraih tubuhnya dengan sigap.
Kedua pasang mata itu bertemu. Jarak antara mereka berdua hampir terkikis. Dalam beberapa detik, mereka tanpa sengaja menikmati tatapan itu. Hingga pandangan Subin teralihkan ke leher gadis itu. "Ternyata benar. Itu kau," ucapnya lirih.
Alice segera sadar dan menarik tubuhnya dari dekapan Subin. Ia mengibas-ngibaskan tangannya ke baju dan berdehem untuk melancarkan tenggorokannya yang tiba-tiba mengering. "A-apa yang benar? Apanya yang aku?" Gadis itu hampir terbata.
"Kalungmu. Dalam Peta Takdir, kau digambarkan memakai kalung itu." Subin menunjuk ke arah leher Alice.
Alice menunduk. "Hey, kau jangan asal bicara. Aku baru saja mendapatkan ini tadi pagi. Memangnya kau bisa melihat takdir?"
Subin tersenyum. "Kau semakin meyakinkanku kalau memang benar kaulah orang yang kucari." Ia melanjutkan jalannya.
Alice tambah kebingungan. "Sebenarnya kau ini siapa?" Suaranya terdengar jengkel.
"Bukankah sudah kukatakan, aku Subin."
"Iya, maksudku kau ini siapa? Bukan hanya nama." Nadanya sedikit meninggi.
"Aku adalah pangeran ketujuh di Victonland." Subin membungkukkan badannya dengan sopan. Mungkin terasa sangat tiba-tiba, tapi ia perlu memberi hormat kepada gadis itu sekarang.
"A-apa? Pangeran ketujuh? Victonland?" Gadis itu tidak tahu lagi harus bereaksi bagaimana. Sudah banyak hal tak masuk akal yang didengarnya hari ini.
"Tunggu. Apakah kau lupa dengan Dunia Bawah? Kenapa dari reaksimu kau terlihat sangat terkejut?"
"Apa maksudmu Dunia Bawah? Bawah tanah? Perkuburan?"
Subin memejamkan kedua matanya. Ternyata, memang akan serumit yang dikatakan oleh kakak pertamanya, Pangeran Seungwoo. Ingatan Alice sudah berubah. "Ugh, darah ungu sialan!" umpatnya lirih.
"Darah ungu?" Alice tak mengerti. "Memangnya ada darah berwarna ungu?"
"Itu darah Jabberwocky yang telah membuatmu lupa, Alice. Kau pernah meminumnya. Oh ya Tuhan, apakah aku harus menjelaskannya ulang dari pertama?" Rasanya, Subin ingin meratapi tugasnya.
Alice mengerutkan dahinya. "Kau ini berbicara apa?"
"Sudahlah, aku akan menjelaskan semuanya sambil berjalan. Rombongan dari Wonderland sudah menunggu kita di seberang hutan ini. Mereka juga hendak menjenguk kakak keempatku."
"Rombongan Wonderland? Ya Tuhan, apalagi itu?"
Subin sangat ingin menangis sekarang. Tanda tanya Alice serasa akan membunuhnya. Hampir semua perkataan gadis itu ditutup dengan tanda tanya. "Aku akan menjelaskannya sambil berjalan. Jadi, tetaplah di sampingku agar kau dapat mendengarnya dengan jelas." Sekaligus memastikan kalau kau tidak akan kabur, batinnya.
"Tunggu. Kenapa kita harus berjalan? Kau kan bisa terbang."
Subin benar-benar harus sabar. Bagaimanapun, ia yang bertugas sebagai penjemput Alice. Gadis ini sungguh mempunyai tingkat keingintahuan yang sangat tinggi.
"Baiklah, berarti kau mengizinkanku untuk memelukmu lagi." Subin sudah melebarkan lengannya.
"Berhenti! Atau aku akan mematahkan tanganmu?" Alice sudah memasang kuda-kudanya.
Lelaki itu tertawa. "Maka dari itu, terimalah bila harus berjalan. Kita sudah lumayan dekat."
Alice pun terdiam menahan malu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro