Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Fate

"Tinggal berapa jauh lagi?"

Ah, tanda tanya lagi. Subin menyibak belukar di depannya dengan kasar. Itu adalah belukar yang terakhir. Mereka sudah mencapai ujung hutan. "Baiklah. Kita sudah keluar dari hutan."

Alice ikut merunduk saat keluar agar tidak mengenai dahan-dahan rimbun yang saling menyimpul dan keras. Subin juga menahan dedahan itu. Mungkin saja ada dahan usil yang ingin mengait rambut gadis itu.

Mata Alice terpana. Di depannya terbentang sebuah lembah yang luas. Pemandangannya sangat terbuka hingga ujung cakrawala, tidak ada penghalang apapun. Namun, suasana yang ia saksikan menusuk hatinya. Ia baru sadar dengan warna langit di atasnya, tertutup awan tebal. Awan yang biasa menyelimuti saat musim dingin. Tiba-tiba ia merasakan getaran yang menyakitkan di dadanya, menjalar turun hingga ke ujung jemari. Seharusnya, lembah seperti ini terhias indah dengan rerumput hijau dan bebunga warna-warni yang bermekaran. Tapi, yang ada di seluruh penjuru arah hanyalah kelabu. Warna putih kehitam-hitaman itu memenuhi ruang pandang, mengiris tipis jantungnya. Ia bahkan bisa melihat kesedihan yang dipancarkan oleh pantulan warna air sungai yang mengalir di seberang perbukitan itu. Ada kabut tipis yang menyelimuti permukaannya.

"Sebenarnya, apa yang terjadi di sini?" Alice menyeka ujung matanya yang berair.

Subin menangkap perubahan di raut wajah Alice. Ia dapat memahami suasana hati gadis itu. Lagipula, ia juga sudah merasakan kesedihan itu selama bertahun-tahun terakhir. Tidak hanya dia, tapi seluruh penduduk Victonland.

"Seperti yang kukatakan tadi, aku akan menceritakannya di perjalanan." Subin memakaikan Alice mantelnya. "Pakailah! Cuaca di sini memang tidak bersahabat. Lebih lagi di lembah Timeline ini." Lelaki itu memberikan alasannya sebelum mendapatkan tanda tanya lagi.

Mereka melanjutkan perjalanan. Subin memenuhi perkataannya. Ia menceritakan sejarah Alice dan Wonderland yang telah lalu. Dengan seksama gadis itu mendengarkan.

"Kau mempunyai kupu-kupu biru bernama Absolem, 'kan?" Subin menoleh ke arah Alice. Ia terkejut saat mendapati gadis itu tertinggal beberapa langkah di belakangnya.

"Hey!" Subin mendekati Alice. Ia sedikit mencondongkan badannya ke depan untuk melihat wajah Alice yang tertunduk.

Pipi Alice membiru. Tubuhnya kaku. Kedua tangannya memeluk dadanya. Ia tidak bisa bergerak.

Dengan cekatan, Subin mendekap Alice. Ia menenggelamkan wajah gadis itu ke dalam pelukan eratnya. Kemudian, ia menutupinya dengan jubah rompi yang ia pakai. Sekarang saatnya....

*******
Alice merasakan kepalanya sangat berat. Ia menghirup napas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ada selimut tebal yang membalut badannya. Dahinya berkerut. Terakhir kali yang ia ingat, ia sedang berjalan bersama Pangeran Subin di lembah Timeline. Akan tetapi, kini ia terbaring di sebuah kamar berdinding kayu.

Kepalanya berdenyut, sangat menyakitkan. Namun, Alice tetap memaksakan diri untuk bangkit dari kasur. Ia membuka pintu kamar.

Di sana, ada meja makan panjang yang dipenuhi dengan hidangan lezat. Ia melihat para penikmat hidangan itu. Mereka—

"Alice!" Mad Hatter berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Alice. "Aku sangat bahagia bisa bertemu denganmu kembali." Kedua tangannya meremas pundak gadis itu.

Semua yang mengelilingi meja makan itu menoleh. Mereka menunggu reaksi Alice.

"Mad?" Alice memastikan kalau ia tak salah kenal.

Semua berdiri dan membuka mata lebar-lebar. Mulut mereka menganga, tidak percaya. Kemudian, dengan serempak mereka menoleh ke arah lelaki yang masih duduk tenang di ujung meja. Ia menyendok makan malamnya dan mengangkatnya untuk memberi isyarat. Senyuman bangga terukir di bibirnya. Lantas, mereka semua bersorak sorai sambil meninggalkan meja, menuju Alice.

Alice tampak kebingungan dengan apa yang sedang terjadi. Ia melihat makhluk-makhluk yang mulai mengerumuninya satu per satu dengan linglung. "Ada apa, teman-teman?" Ia benar-benar tidak mengerti.

"Kau... kau telah mengingat kami." Mad hampir menangis mengatakan hal itu.

Alice mengerutkan dahinya.

"Apakah kau tahu siapa aku?" Kelinci berjas biru itu menunjuk dirinya.

"White Rabbit, kumohon jangan bercanda."

Kelinci itu menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.

Alice pun dibanjiri dengan pertanyaan yang serupa dari makhluk-makhluk yang lain. Dengan masih terheran-heran, ia menjawab mereka satu per satu.

"Kau memang hebat, Pangeran Subin." Bayard, anjing setia White Queen, mendatangi Pangeran Subin dan memujinya.

"Hey, tunggu dulu. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan kalian?" Alice tak habis pikir.

"Kau tak mengenali kami saat kami muncul di negeri asing itu. Beberapa kali kami melambaikan tangan ke arahmu, menyapamu, tapi kau tidak mempedulikan kami." March Hare berteriak sambil mengacungkan tangannya ke udara, tidak terima.

Alice semakin bingung. Namun, dengan segera Pangeran Subin bangkit, berjalan menuju mereka, dan menengahi. "Yang terpenting sekarang adalah Alice sudah dapat mengingat kalian lagi." Ia mengulurkan tangannya.

Tanpa kata protes, Alice menyambut tangan itu dan berjalan bersama Pangeran Subin ke meja makan. Pangeran Subin mempersilakan kepadanya untuk duduk. Ia pun meletakkan pantatnya di kursi sambil terus memandangi lelaki itu. Ia meminum air dari gelas yang diberikan kepadanya.

"Kenapa mereka ada di sini?"

Pertanyaan lagi yang keluar dari bibir gadis itu. Pangeran Subin bertumpu pada meja dan sandaran kursi Alice. Kemudian ia mendekatkan wajahnya. Kedua matanya mengunci manik biru itu. "Untuk menghadiri pesta pernikahanmu." Ia berbisik.

"Hey! Hey! Hey! Jangan dekat-dekat! Kau harus menjaga sopan santunmu!" Dormouse mengayunkan pedang kecilnya ke arah Pangeran Subin. Entah kapan ia berlari ke meja makan

Dengan gampang, jari tengah dan telunjuknya menangkap mata pedang itu. "Kau lupa ya kalau aku seorang pangeran?" tanya Pangeran Subin sambil menatap kedua mata tikus itu lekat, sangat mengintimidasi.

Dormouse melepaskan pedang dari tangannya dan mundur perlahan. Kemudian, ia berlari kencang dan bersembunyi di topi Mad.

"Pesta pernikahanku? Aku akan menikah?"

Pangeran Subin mengangguk. Begitu pula sekelompok makhluk Wonderland yang-entah kenapa-berdiri dengan tegap di sana.

"Jangan bilang aku harus menikahimu." Alice menajamkan tatapannya. Ia bisa mencium ketidakberesan di sini.

"Tidak. Hmmm, kalau saja aku memiliki kendali tanah, mungkin itu bisa saja terjadi. Tapi, yaa... apa boleh buat," Pangeran Subin mengangkat kedua bahunya, "yang kumiliki adalah kendali udara. Kita tidak berjodoh." Kata-kata itu terdengar ringan saat keluar.

Alice terdiam. Ia menatap Pangeran Subin lekat, mencari nada alasan dari sana untuk meyakini bahwa ucapan lelaki di depannya barusan hanya candaan. Namun, ia tidak mendapatkannya.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?"

"Lalu, aku akan menikah dengan siapa?"

"Dengan Pangeran Sejun! Pangeran keempat di Victonland yang sedang sekarat sekarang." Kupu-kupu Absolem menggagalkan Twedledum dan Twedledee untuk menjawab pertanyaan Alice. Padahal, mereka sudah membuka mulut lebar-lebar.

Absolem masuk dengan diikuti oleh para lebah yang membawakannya Peta Takdir Victonland, Emmyplay. Ia berisyarat kepada Mad Hatter dan March Hare untuk menyingkirkan makanan di atas meja. Dengan senang hati mereka menarik taplak meja dan mengosongkan meja dengan seketika. Absolem pun bertepuk tangan dua kali dan para lebah membentangkan Emmyplay di atas meja. Ia hinggap di sketsa salah satu gambar di sana.

"Ini adalah hari pernikahanmu dengan Pangeran Sejun, Hari Petal. Hari ketika bebunga yang tak mekar sempurna menggugurkan mahkotanya untuk menyuburkan tanah. Victonland yang dilanda bencana kesuraman ini akan kembali menjadi seperti sedia kala. Percayalah, Alice. Ini adalah pernikahan yang ditunggu-tunggu oleh seluruh penduduk Victonland." Absolem berkata.

"Dan juga Underland." Mad Hatter mengimbuhi.

"Aku bahkan tidak pernah mengenal Pangeran Sejun sama sekali. Kenapa aku harus menikah dengannya? Hamish Ascot yang sudah kukenal sejak dulu saja aku menolaknya. Apalagi orang asing."

Pangeran Subin memukul meja makan dengan keras, hingga membuat Absolem sedikit terpelanting di udara. Untung saja ia dapat menyeimbangkan diri dengan sayapnya. "Apa kaubilang? Orang asing? Tunggu sampai kau mengetahui siapa dia."

"Bagaimana aku tahu siapa dia, aku tidak pernah bertemu dengannya." Alice tidak mau kalah. Ia jengkel, kenapa lelaki itu harus meninggikan suara kepadanya. Apa yang salah dengannya? Padahal, baru saja ia bersikap manis di depannya.

Wajah Pangeran Subin kebas. Entah kenapa ia sangat ingin marah. Setelah menghela napas dalam, ia menarik tangan Alice dan membawanya pergi.

Semua makhluk yang ada di situ hanya menyaksikan. "Baiklah, teman-teman. Kita akan aman jika diam di sini tanpa menghalangi Pangeran Subin." White Rabbit memperingatkan. Semuanya mengangguk setuju.

"Kau ini apa-apaan, hah?" Alice memberontak dan melepaskan tangannya dari cengkeraman erat Pangeran Subin.

"Ayo kita ke istana utama dan menemui kakakku dan mari kita lihat bagaimana reaksimu." Pangeran Subin berucap tegas.

Alice mengunci sorotan mata itu dengan sedikit kekecewaan. "Apakah kau mempercayai takdir itu begitu saja?"

"Kenapa tidak? Itu adalah Peta Takdir Victonland, Emmyplay. Semuanya akan terpenuhi sama saat kau ditakdirkan untuk membunuh Jabberwocky."

Mata Alice berkaca-kaca. "Apakah kau memang tak peka?" ucapnya lirih.

Pengeran Subin meredam perasaannya. "Aku tahu. Tapi itu tidak akan mungkin. Kau bukan untukku, Alice." Ia tertunduk. "Sungguh kau akan menyesal telah mengatakan demikian saat bertemu dengan Pangeran Sejun."

Daun pintu lebar nan megah itu dibuka. Pangeran Subin dan Alice memasuki istana utama. Mereka segera menuju ruangan Pangeran Sejun.

"Alice!" Ratu Putih terkejut dengan kehadiran Alice. Serta merta ia memeluk gadis itu dan menciumi kedua pipi itu.

"Kami akan menemui Pangeran Sejun." Pangeran Subin mengabari saat mengetahui Ratu Putih kesulitan untuk mengeluarkan pertanyaan.

Bibir yang semula terbuka lebar itu pun mengulas senyuman canggung. "Begitu rupanya. Baiklah, silakan. Aku harus mengurus beberapa hal lain bersama suamiku." Ia dapat merasakan aura suram dari Alice.

Alis Alice bertautan.

"Aku sudah menikah dengan Pangeran Seungwoo," kabarnya.

Alice pun mengangguk, entah kenapa ia tak berniat untuk tahu lebih detailnya. Ia mengikuti langkah Pangeran Subin lagi. Mereka melewati perpustakaan. Di sana ada Pangeran Byungchan dan Pangeran Seungsik. Keduanya sedang sibuk membaca buku. Dua ruangan setelahnya adalah ruang latihan para pangeran. Ada Pangeran Heochan dan Pangeran Hanse di sana. Sama seperti tadi, ia tak berminat untuk mengetahui secara detail.

"Kau harus masuk sendiri. Aku yakin, dia sedang menunggumu." Pangeran Subin membukakan pintu kamar yang berada di bagian istana paling timur itu.

Pintu terbuka. Alice melangkah, memasuki ruangan luas tersebut. Interior yang sangat bagus. Ia takjub. Ia melihat sekeliling dan berhenti pada seseorang yang ia yakini sebagai Pangeran Sejun.

Benar, lelaki itu menoleh. Ia terlihat amat pucat dan sakit. "Welcome." Kata-katanya itu terdengar sangat berat.

Seketika itu Alice langsung lemas. Air matanya mengalir begitu saja. Dadanya bergemuruh. Benar apa yang dikatakan Pangeran Subin, ia akan menyesal telah mengatakan hal tadi saat bertemu dengan Pangeran Sejun.

Lelaki segera itu mendekati Alice meskipun ia terlihat amat kesusahan. Membuat Alice semakin teriris jantungnya.

"Apakah kau baik-baik saja?" Pangeran Sejun khawatir dengan Alice yang tiba-tiba saja menangis.

Alice memeluk Pangeran Sejun. Ia tak peduli akan dikatakan sebagi wanita tak tahu diri atau apapun. Lelaki ini—

"Aku merindukanmu, Smith. Maafkan aku." Alice berucap lirih. Ia tidak bisa menghentikan air matanya.

Pangeran Sejun membalas pelukan gadis itu. "Aku juga."

"Kenapa kau sangat pucat? Apakah kau sakit?" Alice melepas pelukannya dan menangkup wajah putih pucat itu.

"Kau ingat saat terakhir kali kita bertemu, saat kita masih berumur lima belas tahun?"

Alice mengangguk. "Bagaimana aku lupa. Aku yang membuatmu terkena jerat rumput tajam hingga kau mengeluarkan banyak darah."

"Dan ternyata rumput itu bukan rumput biasa. Rumput itu beracun dan menyerap kekuatanku untuk mengendalikan tetumbuhan di sini. Karena itulah, Victonland menjadi seperti apa yang kaulihat."

"Lalu, apa hubungannya denganku?"

Pangeran Sejun tersenyum. "Kau mau jawaban naif atau dramatis?"

"Aku mau jawaban yang sebenarnya." Alice sudah tidak sabar mengetahui detailnya.

"Semuanya benar."

Alice memutar kedua bola matanya. "Baiklah, jawaban dramatis."

"Karena kau yang mencabut rumput itu sampai akarnya dan tidak berpengaruh apapum kepadamu. Itu berarti kau bisa menetralisir racunnya. Maka dari itu, kita ditakdirkam bersama."

Alice terlihat berpikir. "Hmmm, kalau jawaban naif?"

"Karena kita adalah cinta sejati."

Mereka pun terkekeh bersama.

Tiba-tiba Alice terdiam. "Kau pasti sangat kesakitan." Tangannya membelai rambut putih Pangeran Sejun. Rambut itu masih menawan seperti dulu. Tatapan mata mereka berpadu.

"Ini." Pangeran Sejun mengangkat tangannya yang dibebat perban. "Luka itu masih basah. Hanya kau yang bisa menyembuhkannya."

"Bagaimana?"

Pangeran Sejun mengambil sebilah pisau di atas meja kamarnya. Ia membelah perbannya. Tampak ada luka yang menghitam di telapak tangannnya. "Darahmu yang bisa menetralisir racun ini."

Tanpa dipinta, Alice mengambil pisau itu dan menyayat telapak tangannya. Ia meneteskan darah segarnya ke luka Pangeran Sejun. Benar saja, luka itu menutup sedikit demi sedikit, lalu menghilang.

Mereka berdua saling memandang tak percaya. Itu berhasil. Dengan cekatan, Pangeran Sejun mengambil benda kecil, sekecil biji kacang hijau dari toples. Ia meletakkanya di telapak tangan Alice. Luka sayatan pun menutup dengan sendirinya. Perasaan lega tak dapat mereka sembunyikan dari ekspresi wajah mereka.

"Tunggu. Kalau begini, bisa saja kita tidak menikah di Hari Petal. Lukamu sudah sembuh."

"Yang digambarkan oleh Emmyplay bukan kesembuhan lukaku, Alice. Tetapi, pernikahan kita."

Mereka tersenyum bahagia dalam dekapan erat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro