Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20: Aku yang Terbangun dari Mimpiku

Kembali ke Kota Nirkhayal tak pernah seberat ini rasanya. Aku sudah pernah bilang kalau pekerjaanku termasuk hal yang sangat kucintai, bukan? Akan tetapi, secinta-cintanya aku dengan pekerjaanku, aku lebih sayang kedua orang tuaku.

Ketika Mama dibilang bisa pulang, beliau memang sudah mulai berlatih untuk melakukan aktivitas selain berbaring. Duduk, turun dari kasur, berjalan tanpa pegangan. Akan tetapi, banyak sekali obat yang harus Mama minum, dan Papa tidak bisa menemani sepanjang waktu.

“Ini Azlin serius disuruh balik aja?” Sekali lagi, aku memastikan. Parnonya masih ada banget, jujur. Bagaimana kalau kesialan beruntun yang kulihat dalam mimpi terjadi setelah aku angkat kaki? Akan tetapi, semalam aku mimpi kembali ke Masatoki dan diserahi amplop oleh Mbak Sella. Aku keburu bangun sebelum sempat mengintip isinya, tapi sepertinya itu pertanda akan ada sesuatu di kantor saat aku kembali. Aku memang harus kembali.

“Mau Papa tendang keluar rumah biar kamu balik?” Papa berseloroh sembari menyiapkan obat pagi Mama. “Atau kamu sengaja mau lama-lama biar bisa bolos kerja?”

“Ya enggak, lah!”

“Nah, ya sudah, kembalilah ke Masatoki. Mama sehat kok.” Papa menepuk bahu sang istri. “Ya kan, Ma?”

Mama mengangguk pelan. Beliau mencoba bangkit dari duduk dan meraih puncak kepalaku. Aku buru-buru menunduk agar Mama lebih mudah mengusap rambut merah di sana.

Suara Mama sudah tidak separau di rumah sakit, walau masih terbata. Seperti ada yang mengganjal lidah beliau sehingga pelafalannya tidak sempurna. Meski begitu, aku masih bisa menangkap apa yang Mama sampaikan.

“Kejar cita-citamu, Nak. Doakan Mama dan Papa dari sana, ya.”

Sekali lagi, aku menatap Mama lekat-lekat. Mama tidak mati sekarang dan Mama sudah membaik. Boleh kan aku percaya kali ini kalau mimpiku tidak terwujud? Mimpiku salah untuk pertama kalinya dan aku bersyukur akan hal itu.

Kekuatan apa yang bisa membuat mimpiku kalah? Takdir, kah? Atau doa?

Sepanjang malam, aku dan Papa hanya bergantian jaga di empat malam pertama, karena aku nyaris tak pernah tidur saking ketakutannya dengan mimpi pemakaman dan sesak napas begitu terlelap. Setelah itu, Papa memaksaku tidur di rumah sakit. Aku di kasur, Papa di lantai beralas kain tebal.

“Biar kamu enggak sakit,” ujar beliau.

Aku tetap tidak bisa tidur saat itu, tapi aku tidak ingin kekhawatiran Papa berlipat ganda. Jadi, saat aku berusaha terjaga, aku meringkuk di balik selimut dan mengintip seisi ruang.

Ternyata, Papa juga tidak tidur semalaman. Papa terus komat-kamit dan menengadahkan tangan. Ritual berdoa. Masyarakat di negara kami jarang berdoa karena sudah banyak keajaiban yang Tuhan berikan tanpa perlu memohon, tapi Papa begitu khusyuk.

Apakah doa yang terpanjatkan setiap malam itu kuncinya?

“Enggak ada yang ketinggalan?” Suara bariton Papa mengembalikanku dari lamunan. Aku mengangguk pelan. Hatiku berat. Bukan karena khawatir, tapi ternyata belum beranjak pun rinduku pada Mama dan Papa sudah membuncah lebih dulu.

Mama perlahan merentangkan tangan, menarikku dalam pelukan. Biasanya Mama bersenandung, tapi sekarang Mama bergeming. Tidak apa-apa. Sensasi tenang dari telepon dan bertemu langsung jelas berbeda. Aku mendekap Mama lebih lama, berusaha meraup rasa nyaman itu sebanyak-banyaknya sebelum kembali pada kerasnya Kota Nirkhayal.

*

Aku suka pekerjaanku. Aku suka pergi ke kantor. Hanya saja, pagi ini langkahku gontai. Kantor terasa seperti momok dan aku tidak ingin menemuinya.

Masalah pekerjaan, aku menyelesaikannya tepat waktu kok di sela menjaga Mama. Kalau ditanya hasilnya, nah, itu beda urusan. Aku sudah siap kalau Mbak Sella bakalan menyemprotku habis-habisan, tapi ada hal lain yang membuatku ketakutan.

Mimpi Runa marah-marah dan Nara yang membenciku masih terngiang dalam benak. Premis kematian Mama dalam mimpiku memang sudah dipatahkan takdir, tapi tiada jaminan hal itu berlaku bagi Runa dan Nara juga. Apalagi dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini.

Perutku mual. Hari ini aku tidak bawa bekal apa-apa. Selain lelah, aku takut ditolak. Bodohnya, aku lupa menyiapkan sarapan untuk diriku sendiri. Alhasil, asam lambungku naik kuadrat. Langkahku sudah terlalu limbung, bahkan untuk sekadar melipir ke minimarket.

“Kak Azlin?”

Nara sedang berada di kiri jalan, membawa kresek merah besar. Aku mengerjap, memastikan itu betulan Nara. Raut muka si lelaki tampak … khawatir?

Aku mau bilang ini mimpi, tapi rasa perih maag yang bergejolak dalam perut terlalu nyata. Terakhir kali kami bertemu, Nara sepertinya marah padaku. Aku tidak mau merusak pagi seseorang, jadi aku kabur secepat yang kubisa.

“Eh, Kak, tunggu!”

Terkutuklah asam lambung ini. Nara berhasil menyusul dalam beberapa langkah saja. Lelaki yang hari ini menguncir rambutnya dengan gaya cepol atas itu menghadang jalan. “Kabar mamanya Kak Azlin gimana?”

Tidak ada jejak kemarahan di sana. Meski begitu, tetap saja. “Bukannya kamu marah sama aku?”

“Hah?”

“Udah mepet jam masuk kantor.” Aku berkelit. Kalau Nara mau pura-pura peduli, bukan sekarang saatnya. “Aku duluan, ya.”

Sepertinya, Nara tidak mengejar kali ini. Aku berusaha tidak peduli, walaupun kalau boleh jujur, hatiku sempat berbunga-bunga sejenak dan layu dalam sekejap. Setelah aku mengaktifkan nomor kantorku, tidak ada pesan sama sekali dari Runa dan Nara. Wajar kan kalau aku menganggap mereka masih marah padaku?

Dua pekan ditinggal, tidak ada perubahan signifikan. Hanya tumpukan kertas yang bertengger di mejaku—seingatku benda-benda itu tak ada di sana sebelum aku pergi. Sisanya sama saja, termasuk Runa yang fokus menghadap gawainya.

Gadis dengan bandana kuning itu menoleh saat aku masuk ke tempat dudukku. Runa hanya menatapku. Segan. Aku juga tidak berani berbalas pandang lama-lama. Takut.

Malah Mas Yogi yang merusuhi mejaku. Supervisorku yang satu itu bertanya kabar, mencecarku (“Lo pucet bener, yang sakit lo apa emak lo, sih?” katanya), dan melaporkan apa saja yang terjadi di kantor selama aku pergi. Kecepatan bicaranya macam kereta api, sampai aku hanya bisa menangkap seperlima isi pembicaraan. Intinya, proyek yang kutinggal mendadak kemarin aman, sudah naik cetak, dan respons masyarakat cukup positif.

Bagus, deh.

Seseorang menepuk bahuku. Aku mendongak. Tebakanku, itu Mas Yogi. Atau Mbak Sella. Siapapun juga bisa, sih. Yang jelas, dari semua nama yang muncul dalam tebakan, bukan Runa orangnya.

Ketakutan menyergapku. Runa mau mendampratku lagi?

“Nyokap lo udah sehat?”

Canggung begitu kentara mendominasi suara Runa. Aku hanya mengangguk kaku sebagai jawaban. Padahal, Runa bertanya kabar itu momen langka. Andai situasinya berbeda, aku sudah langsung cerita panjang lebar tentang apa yang kualami dua pekan ke belakang.

Runa melirik jam tangan di pergelangan kiri. “Mau ngobrol sebentar, boleh? Lo lagi enggak ada job, kan?”

Ragu-ragu, aku mengangguk. Kami pergi ke pantry. Terakhir kali aku berselisih dengan Runa, tempatnya di sini juga. Rasanya sesak.

“Azlin, gue mau bikin pengakuan.” Runa menarik napas panjang. Mata bulat Runa memejam saat napasnya berembus. “Gue … sorry. Gue bilang lo enggak bisa mahamin gue, tapi ternyata gue juga enggak pernah coba mahamin lo.”

Kenapa tiba-tiba? Runa kesambet?

Setitik air muncul di pelupuk mata Runa. Langsung dihapus. Runa kembali terpejam sebelum melanjutkan. “Perhatian yang lo kasih ke gue, bikin gue stres. Tapi, ternyata lebih stres kalau lo hilang dari hidup gue.”

Reaksi apa yang Runa harapkan? Karena jujur, setelah mendengar pengakuan barusan, aku tidak tidak tahu bagaimana respon yang tepat.

“Lo marah?”

Aku tersentak. Perasaan, dari kemarin, yang emosi selalu Runa, deh. Kenapa malah ditanya balik? “Harusnya aku yang tanya begitu, Runa.”

“Kalau gue ngaku iri sama lo, apa lo masih mau temenan ama gue?”

Sedetik. Dua detik. Aku berusaha mencerna. “Kenapa …?”

“Di mata gue, lo bahagia karena keluarga lo baik, dompet lo tebel.” Runa tertawa getir. “Akhir-akhir ini, gue iri sama lo yang bisa senyum tanpa beban karena udah ada safety net dari orang tua.”

Jeda sejenak. Helaan napas panjang meluncur dari bibir tipis gadis itu. Runa dengan ekspresi kalut bukan pemandangan wajar, dan aku masih tergugu saking terkejutnya. “Maaf. Gue yang enggak pantes jadi temen lo.”

Bagaimana aku harus merespon? Aku bukan nabi yang mudah memaafkan, bukan juga malaikat yang bersih hatinya. Bohong kalau kubilang aku baik-baik saja setelah mendengar pengakuan Runa. Meski begitu, Runa sudah kuanggap saudaraku sendiri. Bagaimana aku bisa membencinya?

“Kamu nolak terus tiap kali aku mau bantu. Padahal, kalau diterima, uangmu bisa dipakai untuk yang lain.” Aku berusaha memilih rangkaian kata yang tepat, tapi entah bagaimana terdengarnya.

Ekspresi Runa berubah. Matanya memicing sinis. “Ternyata, lo emang enggak bisa paham.”

Loh? Kok malah playing victim, sih? Ke mana Runa yang dewasa dan logis itu? Padahal, selama ini kontrol emosi Runa jauh lebih baik dariku. Berkali-kali dibilang seperti itu bikin capek hati, lho?

“Bagian mana yang enggak bisa kupahami?” Aku menghela napas, berusaha tidak mengamuk. “Beritahu, Runa. Aku sulit paham kenapa kamu segitunya menolak tawaran dariku, tapi aku berusaha. Jadi, tolong kasih tahu mana yang selama ini salah di mata kamu.”

“Lo pikir, nerima bantuan dari orang yang bikin lo iri itu gampang?” Runa berdecak. “Kebiasaan hidup enak, sih. Hal-hal kayak gitu susah pahamnya.”

Tadi, Runa memanggilku ke sini untuk minta maaf kan ya awalnya? Dia malah menghunus pedang ke hatiku dengan kalimatnya yang terakhir. Lupakah dia alasan kenapa dua pekan terakhir aku menghilang dari Masatoki? Apa yang enak dari menunggu Mama di rumah sakit dan berkali-kali memimpikan ambang kematian?

Air muka Runa berubah lagi. Sekarang sedih. “Maaf, Lin. Gue enggak bermaksud.” Dan ia pergi dari pantry, meninggalkanku sendiri dengan sejuta tanda tanya.

Apa ini salahku karena ditakdirkan lahir di keluarga berkecukupan? Tidak sekali-dua kali orang yang sudah kuanggap teman malah minder dan mundur gara-gara ini. Padahal, aku sama sekali tidak pernah membeda-bedakan. Mama dan Papa selalu mengajarkan hidup secukupnya—walaupun saat dewasa aku sadar, standar sederhana tiap orang memang berbeda. Akan tetapi, intinya adalah aku tidak pernah bermaksud membuat orang iri dengan apa yang Tuhan titipkan padaku.

Kukira, Runa paham.

Syukurlah, kemarin aku meminjam kekuatan menenangkan diri milik Mama dari pelukan. Sebab, berkali-kali disakiti sahabat ternyata membuatku ingin meraung sekarang.

*

“Bukan salah lo. Itu masalah Kak Runa sama dirinya sendiri. Give her some time.”

Pengakuan Runa masih terngiang sejak tadi. Sepertinya terlalu mengusik kepala, karena aku nyaris menubruk Nara saat mau keluar ruangan—asal-muasal kami berdua terdampar di kafe sekarang.

Nara yang mengajak. Sejujurnya, aku masih bertanya-tanya kenapa Nara tersinggung waktu itu tapi sekarang bersikap seakan tidak ada apa-apa. Hanya saja, alih-alih bertanya kenapa, Nara malah berhasil membuatku menumpahkan semua uneg-uneg di kepala.

“Kurang lama apa dua minggu, Nar?” Aku menelungkupkan kepala di atas meja. “Apa emang pertemanan kami cukup sampai di sini aja?”

Memang aku tidak belajar dari pengalaman. Cerita dengan Nara membuat hatiku lega, tapi kan Nara masih kesal padaku? Aku langsung mengerem mulut, tidak mau Nara jadi benci padaku juga gara-gara hal yang tidak make sense di matanya.

Nara bertopang dagu. “Ya, suka-suka lo sih, Kak. Orang kan memang datang dan pergi.”

Aku memandangi Nara lekat-lekat. “Kenapa kamu ngajak aku ngobrol kayak gini?”

“Enggak boleh?”

“Ya boleh sih, tapi—”

“Mama lo gimana, Kak Azlin?”

Lelaki itu malah bertanya tentang kabar Mama, seakan-akan kami tidak bertengkar hebat sebelum ini. Anak itu pura-pura lupa atau memang masalah yang kemarin hanya dianggap angin lalu?

Tentu saja, pertanyaan tentang Mama kujawab panjang kali lebar. Di akhir, baru aku menyesal. Sifat oversharing-ku yang sulit direm ini menyebalkan sekali, sih?

Sepanjang itu, Nara hanya mengangguk-angguk sebagai respon. Mukanya tenang sekali. Aku jadi tergelitik.

“Kamu bukannya marah sama aku?”

Dahi Nara mengerut. “Sejak kapan gue marah sama lo?” tanyanya balik. “Tadi pagi, malah lo yang menghindar!”

Kuabaikan kalimat terakhir. Mumpung belum terlalu jauh, aku harus memastikan Nara tidak menyimpan perasaan yang sama seperti Runa. “Kamu enggak benci sama aku?”

“Itu kesimpulan dari mana, deh, Kak?”

“Kamu selalu dingin sama aku dari awal kenal. Kamu juga lebih nyambung sama Runa daripada aku. Apalagi aku sama sekali jauh dari kata logis kayak kalian berdua.” Aku tersenyum pendek. “Wajar kan aku jadi mikir gitu?”

Nara memijit pelipisnya. “Ya ampun, Kak, ini mah lo yang hobi overthinking.” Helaan napas terdengar. “Lo ceriwis banget, Kak. Gue cuma bingung responnya. Kenapa lo malah ngira begitu?”

“Tapi, kamu sama Runa ngalir banget ngobrolnya?”

“Perasaan lo aja kali, Kak. Orang sama aja gue nanggapinnya. Emang di mata lo keliatan kayak gimana?” Nara terkekeh. “Jangan-jangan lo demen ama gue, terus cemburu?”

Ini kedua kalinya aku melihat sisi Nara yang kepedean seperti ini. Sejenak, aku lupa dengan masalah-masalah yang bercokol dalam hati beberapa waktu terakhir—tapi tidak bertahan lama karena teringat Nara marah saat aku mengakui alasan utamaku mengejarnya waktu itu.

“Kamu masih menganggap aku enggak serius suka sama kamu gara-gara semuanya berawal dari mimpi, ya?” Aku menunduk. “Waktu itu, kamu langsung marah.”

Dahi Nara berkerut. Ada jeda beberapa detik sebelum wajahnya tampak seperti menyadari sesuatu. “Gue enggak marah, Kak Azlin. Waktu itu, gue cuma kecewa.”

Demi mendengar kalimat terakhir yang Nara lontarkan, mataku membulat. Fokusku teralih sepenuhnya. “Kecewa? Kenapa kamu kecewa?”

“Kemarin, sebelum mamanya Kak Azlin masuk rumah sakit, lo mimpi apaan emang? Cerita lo kepotong tadi.” Nara malah menjawabnya dengan pertanyaan baru. Dipikir aku bisa teralih begitu saja? Ungkapan kecewa Nara menggelitik rasa penasaranku.

“Tadi kan kamu sudah tanya tentang Mama.” Aku berkacak pinggang. “Jawab dulu pertanyaanku, Nara.”

“Jawab apa?” kilah Nara.

Aku langsung pasang ekspresi bersungut-sungut. “Kamu jangan pura-pura enggak tahu, deh!”

“Kalau yang nongol di mimpi lo bukan gue, berarti lo enggak bakal pedekatein gue?”

Nara menanyakan hal itu sambil berpaling, padahal dari tadi kami mengobrol dan saling menatap. Ekspresinya datar. Namun, boleh tidak aku merasa kepedean sekarang? Pertanyaannya yang barusan itu … terdengar seperti orang cemburu.

Aku berusaha menahan senyum. “Enggak perlu kalau-kalau. Orang yang nongol kamu, kok. Pakai baju pengantin, pula.”

“Kepercayaan lo yang satu ini selalu bikin gue takjub, Kak.” Nara geleng-geleng kepala. “Lo seyakin itu, ya, sama mimpi-mimpi lo?”

Kalau Nara bertanya sebelum Mama masuk rumah sakit, pertanyaan itu akan kuiyakan dengan mantap. Akan tetapi, nasib Mama mengubah sudut pandangku.

“Mimpiku memang bertuah, tapi ada yang lebih kuat dari mimpi.” Aku tersenyum, mengingat Papa dan doa-doanya. “Kalau kamu risih sama aku, Nara, kamu bisa kok doa biar mimpiku enggak kejadian.”

Nara terkekeh. “Ngapain? Gue enggak pernah benci sama lo.”

“Jadi, kamu juga suka sama aku?”

“Enggak gitu dong kesimpulannya, Kak Azlin.” Nara mendelik. “Belum sesuka itu.”

“Berarti akan sesuka itu?”

“Lihat nanti, deh, Kak.” Si lelaki berdecak. Ia kembali menyeruput kopinya. “Tau gitu, gue harusnya pasang mode es terus aja.”

Aku tertawa. Nada dan ekspresi yang dipakai Nara berkebalikan dengan kata-katanya barusan. Mimpiku mulai menemui titik terang—ah, bukan begitu. Aku akan mengusahakan perasaan ini, dan itu bukan karena mimpi semata. Kalaupun nanti malam aku mimpi berpisah dengan Nara, aku akan berusaha untuk tetap mengambil hati anak itu.

Sebab, mimpi bukan satu-satunya penentu takdir, kan?

💭

04/05/2024. 2310 words.

TAMAT JUGAA AKHIRNYA YA ALLAH!? Alhamdulillah 😭

Seharusnya, bab ini naik dua hari lalu. Akan tetapi, kantor lagi hectic dan aku stres sama Azlin. Jadilah aku malah adu cerpen sama teman-temanku, alih-alih menyelesaikan naskah ini. Astaghfirullah.

Aku tidak ingin mengakui ini karena kesannya gimana gitu, tapi karena teman-teman dekatku yang jadi saksi proses penulisan Azlin dari awal juga sudah memvalidasi, aku akan bilang. Sebenarnya, aku pingin nangis banget selama ngerjain naskah ini.

Nangis karena Azlin nggak keluar sesuai yang kumau.

Nangis karena jahitan ceritanya berantakan banget di mataku. Sebelum orang lain point out, aku juga udah ngerasa, kok.

Nangis karena banyak ekspektasi yang tidak terpenuhi selama proses penggarapan ini.

Nangis karena aku merasa bisa lebih baik harusnya. Lebih cepat. Dan lebih-lebih lainnya yang ternyata tidak tercapai sampai akhir.

Nangis karena merasa ceritaku yang ini nggak sebagus tulisan-tulisanku yang lain, padahal kalau dipikir-pikir ya kondisinya berbeda juga. Naskah ini ditulis sambil ngantor dan kuliah, ya jelas alokasi waktunya lain. Waktuku sudah nggak seluang itu untuk menyempatkan diri mengecek kembali. Dan aku kecewa karenanya.

Tapiiii, toh kelar juga, kan? Alhamdulillah 😭

Banyak hal yang sebenernya masih ingin kuceritakan. Momen2 Azlin dan Nara. Latar belakang Runa dan Nara versi detail. Mimpi-mimpi Azlin dan manifestasinya. Tapi aku capekk 🤣 pending dulu dah wkwk.

Entahlah cerita ini akan direvisi dalam waktu dekat apa enggak. Yang jelas, selain self-correction, aku juga butuh perspektif kamu.

Jadi, bagaimana pendapat kamu yang udah baca kisah Azlin sampai akhir? Berantakan apa nggak? 🥲

Please lemme know kalau ada plot hole or something off!

Dan terima kasih sekali lagi karena sudah mampir ke versi pertama Azlin yang dibuat dengan darah dan air mata (litereli) ini 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro