Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15: Dia yang Hanya Ada dalam Mimpiku

Tuhan mendengar doaku. Setidaknya dalam mimpi. Setelah mimpiku suram sekian lama, malam ini aku berada di sisi pulau kapuk yang indah sekali. Sebuah lilin tersemat di tengah-tengah meja. Angin laut yang hangat dan sedikit asin menyapa indera penciuman. Piring berisi ikan bakar utuh dan semangkok sambal matah tersaji di antara aku dan ... tunggu. Mukanya buram.

Aku mengerjap. Fisik lelaki itu jelas. Kulit coklat keemasan, gelang tali hitam yang melingkar di lengan kiri, jari yang padat dan tak gempal. Ciri-cirinya Nara banget. Akan tetapi, wajahnya kabur oleh angin.

Tak ada yang berminat memecah keheningan. Anehnya, malam ini terasa begitu tenang. Rasanya, tak perlu bertukar kata untuk saling terhubung. Meski wajah Nara masih kabur, aku bisa merasakan senyum di sana, dan aku tak bosan memandanginya.

Perlahan, kabut yang menyelimuti muka Nara terempas. Benar, kan? Ia tersenyum hangat. Aku turut menyunggingkan senyum lebar. Mimpi ini terlalu nyata untuk dibilang mimpi, tapi tidak ada tempat seperti ini di Kota Nirkhayal. Lelaki itu berdiri, memotong daging ikan dan mengambilkan porsi besar untukku.

"Kak Azlin suka pedas?" Nara bertanya seraya mengambil sambal matah dari wadah. Aku mengangguk penuh semangat. Dengan penuh kehati-hatian, ia menyendokkan sambal dengan aroma bawang dan serai yang segar itu ke dalam piringku.

Apa ini artinya sebentar lagi Nara akan mengajakku makan malam berdua?

Rasanya, kali ini aku tak ingin bangun. Sayang, bunyi alarm tahu-tahu merasuk. Aku kembali ke kamarku, sendirian, dan tak sempat mencecap makan malamnya. Kuhela napas panjang. Giliran mimpi indah saja, jadinya pendek. Banyak detail momen yang terluput. Aku hanya ingat kami makan malam berdua dengan suasana syahdu di tepi pantai. Padahal, lebih baik aku mengingat mimpi indah saja agar yang terwujud yang baik-baik.

Sudahlah. Aku harus berangkat ke kantor. Mana belum bikin sarapan, lagi. Aku berusaha membayangkan detail mimpi yang menaikkan rasa bahagiaku saat memecah telur, tapi alih-alih makin rinci, malah banyak bagian mimpi yang terlupa. Kenapa, sih?

Oke, Azlin, fokus. Toh setelah ini juga kamu ketemu Nara yang asli, kan, di kantor?

Tiga fluffy pancake dengan irisan apel dan taburan gula aren tersaji dalam tiga kotak kertas. Agak tidak ramah lingkungan, sih, tapi biarlah. Yang penting mudah dibawa ke kantor.

"Runa ambil cuti, ceunah." Mas Yogi langsung memberitahu tanpa kuminta saat aku masuk ruangan. Dahiku berkerut. Cuti? Bukannya jatah cuti Runa sudah habis? Aku bertanya alasannya pada Mas Yogi, tapi jawabannya hanya kedikan bahu.

Oh, mungkin telat datang saja, ya? Namun, sampai setengah jam setelah batas waktu masuk kantor, batang hidung Runa masih tak terlihat. Aku ingin memastikan kabarnya melalui Mei, tapi aku teringat insiden di pantry kemarin.

Masa Runa tidak masuk karena marah padaku?

Alasan yang tidak logis dan tidak Runa, sih. Hanya saja, sepertinya kalau aku menghubungi Mei dan ketahuan Runa, masalahnya akan makin runyam. Pilihan satu-satunya yang masuk akal adalah mendiamkan.

Mungkin memang harusnya begitu, ya. Benar kata Nara, orang stres sulit berpikir jernih.

Terus, jatah sarapan Runa buat siapa, dong?

Aku melongok ke meja Nara. Yang bersangkutan masih fokus dengan pekerjaannya. Ia baru beralih saat kepalaku menutupi sebagian layarnya. "Kenapa, Kak Azlin?"

"Mau jajan, enggak?"

"Ini maksudnya lo mau ngajakin gue keluar di jam kerja, Kak?" Dahi Nara mengerut. Aku langsung menggeleng, menunjuk tiga kotak fluffy pancake di mejaku. Mulut Nara membentuk huruf O. "Oh, Kak Runa enggak masuk hari ini?"

Bisa-bisanya anak itu baru sadar. Aku berdecak. "Ke mana saja kamu, Nara?"

"Ya maaf, Kak. Gue juga ngejar deadline ini." Nara tertawa kecil. "Punya lo udah kelar semua emang, Kak?"

Kupasang senyum tanpa dosa. "Belum, sih."

"Yeu, dasar." Kekehan kembali meluncur dari mulut Nara. Lelaki yang hari ini mengenakan kemeja flanel kotak-kotak biru itu bangkit, meregangkan tangan ke atas. "Boleh, deh. Yuk, jajan."

Ternyata, Mas Yogi di dekat jendela mendengar percakapan kami. Pria tambun itu berkacak pinggang, pasang tampang galak yang tidak ada garang-garangnya. "Mau ke mana kalian, hoi?"

"Makan di kantor doang, Mas Yogi. Santai napa?" Aku mengambil sekotak pancake dan menyodorkannya ke arah supervisorku yang satu itu. "Mau enggak, Mas? Berhubung Runa enggak masuk hari ini."

"Oh, padahal kalau mau di luar berdua juga enggak apa-apa, sih." Mas Yogi menerima pemberianku. Pria dengan garis muka macam pelawak itu tertawa kecil. "Gue mah, yang penting kerjaan lo pada kelar."

Kenapa Mas Yogi bilang gitu sambil senyum-senyum, sih? Aku tidak sepolos itu untuk mengabaikan makna tersirat di balik senyumnya. Pipiku merona. Nara sendiri hanya ikutan ketawa dan beranjak dari tempatnya, menghampiri mejaku. Lelaki itu mencomot pancake-nya. "Mau keluar, Kak? Gue mau ngopi, sih."

Woi! Nara mengajakku ke kedai berdua. Meng-a-jak-ku. Artinya, dia duluan yang berinisiatif. Bagaimana mungkin aku bisa menahan diri? Senyumku melebar tanpa bisa dicegah. Aduh, Azlin, tahan. Jangan rusak progres hubungan yang membaik ini dengan kelakuan yang bikin ilfeel, tolong!

Kedai yang Nara maksud terletak tak jauh dari kantor dan menghadap ke taman umum. Tempat kerja kami memang lokasinya cukup strategis. Kami mengambil lokasi dekat jendela. Matcha latte untukku, americano untuk Nara. Sepiring fish and chips tersaji di antara kami, menemani fluffy pancake yang kubuat.

Tidak persis dengan yang ada di mimpi, sih, tapi bisakah kusebut ini dreams come true?

"Kak, gue penasaran sama mimpi lo yang baik kayak gimana. Seindah apa?" Nara menatapku seraya menyeruput kopinya. "Mau elaborate, enggak?"

Itu pertanyaan yang sama sekali tak pernah kubayangkan akan meluncur dari mulut seorang Nara, warga Kota Nirkhayal yang tidak percaya kekuatan magis apa pun. "Kenapa tiba-tiba kamu penasaran?"

"Karena lo keliatan seneng banget tiap kali ngomongin mimpi, Kak." Lelaki yang kali ini tak mengikat rambutnya itu mengetuk-ngetukkan jari ke meja.

Dadaku berdesir. Apa maksudnya, coba? Apakah itu artinya selama ini Nara memperhatikan kebiasaan-kebiasaan kecilku?

Dijawab dulu itu pertanyaan Nara, Azlin. Aku memejamkan mata, berusaha menenangkan hati yang bergemuruh. "Mimpiku yang bagus-bagus mah banyak banget, Nara." Sebisa mungkin aku menjawab dengan nada biasa. "Dulu aku dapat hint keterima di Masatoki juga dari mimpi."

Alis Nara terangkat sebelah. "Enggak seru, dong? Semuanya ketebak."

"Enggak semua langsung kejadian di hari itu." Lewat jendela, aku bisa melihat kumpulan anak-anak dalam seragam kotak-kotak. Ditilik dari perawakan dan betapa berisiknya mereka, sepertinya itu anak-anak TK. Aku jadi teringat momen di masa kecil, ketika keluarga besarku berkumpul dan kami yang masih kecil mengelilingi Nenek yang bercerita tentang kekuatan mimpi beliau. "Pas udah dewasa gini, beberapa mimpi baru sungguhan ada di dunia nyata setelah sekian hari."

"Berarti mimpi lo enggak selalu benar, dong, Kak, kalau kayak gitu?"

Tentu saja langsung kusanggah! "Selalu, kok. Timing-nya aja yang beda-beda."

"Ada batas waktu kejadiannya, nggak?" tanggap Nara.

Pertanyaan Nara membuatku berpikir. Aku tidak pernah memperhatikan kemampuanku sampai menghitung jangka waktunya segala. Lebih tepatnya, selama ini yang kuyakini adalah, selama aku ingat detail mimpinya, kejadiannya akan termanifestasi juga di dunia nyata.

"Kak Azlin?"

"Sabar, bentar. Aku lagi coba ingat-ingat." Biar sudah bilang begitu pun, sampai beberapa menit kemudian, hasilnya nihil. Aku menyerah. "Kayaknya enggak ada batasnya, deh, Nara."

"Lah? Kalau gitu, lo bisa bilang semua peristiwa di dunia ini kejadian gara-gara lo mimpiin, dong?" Nara langsung protes. "Enggak masuk akal banget!"

Mukaku langsung bersungut-sungut. Sebal. "Ya enggak gitu juga dong, Naraaaa!"

"Ya terus gimana, Kak Azliiin?" Anak itu sengaja menirukan caraku memanggil. Rasanya ingin kucubit saja hidung bangirnya itu. Percuma aku menjelaskan urusan mimpi ke orang-orang yang lebih percaya dengan akal mereka.

Kuputuskan untuk mengalihkan topik. "Nara, aku juga penasaran tentang sesuatu. Aku boleh tanya?"

"Apa, Kak?"

"Cincin yang di leher kamu tuh punya siapa, sih?"

"Oh? Ini cincin nikahnya Ibu. Punya Ayah gue pakai." Nara menunjukkan cincin perak dengan mata berlian supermungil yang melingkar di jari manis kanannya. Aku baru sadar kalau selama ini dia juga mengenakan cincin di jarinya. "Kenapa lo penasaran banget? Dari hari pertama juga lo nanyain ini."

Ternyata, Nara masih ingat. Aku juga masih ingat dengan respons dinginnya saat itu. Mungkin memang aku perlu lebih banyak bersabar. Bukannya aku sendiri yang bilang kalau tidak semua mimpiku langsung kejadian saat itu juga? Buktinya, sekarang Nara sudah lebih cair.

Aku bertopang dagu. "Kamu ada rencana pasangin cincin itu ke pasangan kamu nanti?" Entah kenapa, aku terbayang kalau suatu hari nanti aku juga punya cincin nikah sendiri, mungkin cincin itu akan turut bertengger di leher Nara. 

Setelah pertanyaan itu terlontar, aku terbatuk sendiri. Kenapa aku malah bertanya sefrontal itu, coba? Azlin Bodoh Nadia!

Ekspresi Nara berubah. "Kak. Dari hari pertama, gue bukannya kepedean, nih ... tapi, lo emang sengaja deketin gue?"

Pertanyaan yang Nara lepaskan membuat ulu hatiku macam terhujam. Jadi, dari awal, laki-laki itu sudah sadar?

Astaga, malunya. Wajahku langsung merah. Bagaimana aku menjawabnya? Haruskah langsung kuiyakan? Kalau dipikir-pikir, memang hanya orang bodoh yang tidak sadar betapa kerasnya usahaku untuk mengajak Nara berbincang, karena aku benar-benar mencari kesempatan di segala momen ... tapi, kukira Nara memang tidak peka karena sikap dinginnya itu?

Belum juga dijawab, anak itu sudah mengajukan pertanyaan "Jangan bilang karena gue pernah muncul di mimpi lo?"

"Iya ...?"

Air muka Nara berubah. "Lah, beneran?"

Sejak tadi, Nara hanya menduga-duga? Dan aku malah menjawabnya kelewat jujur. Sungguh kebodohan berlipat ganda. Mau ditaruh mana mukamu, Azlin?

Sorot mata dingin Nara yang sudah lama tak muncul ke permukaan, kembali. "Bisa ya, lo deketin orang sampai segitunya cuma gara-gara mimpi?"

Nara balik badan, meninggalkanku sendirian dengan sejuta tanda tanya. Bahkan, kopinya belum tandas.

Sebentar. Dia tersinggung?

*

01/05/2024. 1482 words.

Sudah mau jam satu siang dan baru satu bab wkwk. Tapi aku tetap optimis kalau naskah ini bisa tamat secepatnya :)))

Buat kalian yang udah baca sampai sini, terima kasih buanyaaak! Apalagi yang ngikutinnya pas masih on-going. Lopenya kuadratin dah. If you don't mind dan menurut kalian ini layak buat direkomin, tolong bagi cerita ini ke teman2 kalian yaa. UwU

// balik ngetik lagi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro