Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09: Dia yang Sulit Kupahami

Dua tahun berteman dengan Runa sudah cukup untuk membuatku kenal dengan keluarganya. Kedua orang tuanya masih ada, memang. Akan tetapi, keduanya sakit dan butuh perawatan intensif. Ada adiknya yang bisa gantian berjaga di rumah, untungnya. Tetap saja, itu tidak mengubah fakta bahwa Runalah satu-satunya yang bisa diharapkan untuk mencari nafkah.

Kalau ditanya, aku paham kenapa Runa marah padaku. Okelah, Runa tidak percaya pada mimpiku dan aku membuatnya kesal. Yang sulit kumengerti adalah kenapa Runa menolak bantuanku, padahal jelas-jelas ia sedang membutuhkannya. Lagipula, aku tidak bermaksud menutup pintu rezekinya. Justru, kalau dia betulan kecelakaan dan berimbas pada keluarganya, aku yang akan maju paling depan. Akan kuajukan diriku menjadi samsak sukarela karena tidak melakukan apapun untuk mencegah.

Aku sayang Runa. Benar-benar sayang.

Runa masih tidak mau membalas sapaanku hari ini. Ia hanya merespons ketika ditanya tentang kerjaan—yang sayangnya, sedang banyak yang tidak beririsan. Di luar itu, dia menghindar. Dan itu menyakitkan.

Apa yang bisa kulakukan untuk menebusnya? Dibantu pun ia tak mau!

Entah sampai kapan anak itu mendiamkanku. Permintaan maafku tak digubris, dan aku kehabisan ide pendekatan yang membuat hati Runa luluh.

“Kak Azlin ini enggak ada peka-pekanya atau memang kurang common sense, dah?”

Nara, yang kuseret paksa untuk jadi tempat curhat dengan sogokan segelas kopi cold brew (aku tahu favoritnya!) kuharap bisa membantu, tapi aku tidak mengajaknya untuk ikutan menyalahkanku. Aku bersungut-sungut. “Justru karena peka dan khawatir, aku mencegah Runa dari bahaya!”

“Kak. Enggak semua yang ada di mimpi Kak Azlin bakal kejadian.” Nara menghela napas. “Gue kalau jadi Kak Runa juga bakal dongkol banget kalau dicegah buat kerja pas lagi butuh-butuhnya. Alasannya enggak make sense, pula.”

Mata bolaku mendelik. Tidak semua yang sulit diindera itu tak masuk akal, kan? “Kamu tidak tahu kalau warga Kota Ilusi punya kekuatan meramal lewat mimpi?”

“Tahu. Tapi, enggak semuanya kejadian persis, kan?”

“Lebih banyak yang kejadian. Terlalu banyak untuk sekadar disebut kebetulan.”

“Apa ada kecelakaan rutin tiap pekan atau bulan setelah Kak Azlin mimpi buruk, sampai situ bisa nyimpulin kayak gitu?”

Nara bertanya bersamaan dengan aku yang menyesap earl grey tea. Tentu saja aku langsung tersedak. “Amit-amit, Nara!”

“Ya, kalau enggak begitu, berarti kan enggak bisa diklaim pasti terjadi. Kejadiannya jarang-jarang juga.”

Sial, aku tidak bisa menyangkal. Biarpun dibilang akurasinya nyaris sempurna, memang beberapa ramalan mimpi dari warga Kota Ilusi melenceng jauh. Akan tetapi, perbandingannya satu banding seratus. Lebih bahkan. Kans benarnya jauh, jauh lebih besar. Lagipula, kemarin sungguhan ada kecelakaan tunggal, persis di tempat yang muncul dalam mimpiku. Bagaimana kalau Runa tidak kucegah dan menjadi korban?

“Lagian ya, Kak, enggak cuma itu yang bikin gue ngomong Kakak kurang common sense.”

Aku mendongak, bersitatap dengan mata Nara. Perasaanku saja atau tatapannya melembut?

“Kak Runa tipe orang yang punya pride tinggi. Dengan Kak Azlin nawarin bantuan duit blak-blakan kayak gitu, dia pasti tersinggung.” Lelaki berkulit keemasan itu menyesap kopinya. “Saran gue, Kakak tawarin kerjaan freelance buat dia, terus Kakak bayar dari situ. Gue yakin Kak Runa bakal lebih oke dengan cara begitu.”

Dengan kondisi Runa yang selalu tutup mulut kala berpapasan denganku? Aku tak yakin. Tentu saja kuutarakan keraguanku itu.

Nara menatapku dengan tatapan yang-benar-saja-masa-yang-begini-diajarin? “Lo nawarinnya jangan bilang buat bantu keluarganya, Kak. Bilang aja lo lagi butuh dan cuma Kak Runa yang bisa.”

Kalau dipikir-pikir lagi, Runa memang ciamik dalam pekerjaannya. Hasil copywriting-nya top notch. Pernah ada masanya anak itu sering dilirik agensi dan klien yang terhitung besar. Akhir-akhir ini sepi, memang, tapi tidak mengubah fakta bahwa gadis berbandana itu jago.

Apa, ya, pekerjaan yang bisa kutawarkan dan perlu banget pakai jasanya Runa?

“Lo buka jasa ilustrasi, enggak, sih, Kak?” Tiba-tiba Nara bertanya hal di luar dugaan. Memang terkadang aku membuka sampingan berupa slot komisi gambar, tapi jarang. Selain karena ilustrasi dan desain yang harus kukerjakan di Masatoki sebanyak itu, yah … aku tidak butuh-butuh amat melakukan pekerjaan sampingan untuk sekarang. Mama dan Papa sudah menopang hidupku sedemikian rupa dan selalu terbuka apabila suatu hari nanti aku harus melepas pekerjaanku. Bisa dibilang, tanpa bekerja pun, aku masih hidup, jadi untuk apa menyusahkan diri sendiri dengan gawe di luar jam kerja?

Nara menaikkan alisnya. “Kak Azlin tipe anak princess, ya?”

Mulutku membulat. Bingung dengan pernyataan yang kelewat tiba-tiba dari lawan bicaraku. “Hah?”

“Hidupnya udah terbiasa serba enak, jadi enggak kepikiran nyari pendapatan tambahan.” Nara bertopang dagu. Runa pernah bertanya hal yang sama padaku, tentu dengan tambahan kesinisan (yang kumaklumi, karena waktu itu memang gadis itu sedang capek-capeknya), dan beberapa rekan selama kuliah juga melontarkan pertanyaan seperti itu. Pantas Azlin manja, kata mereka. Sudahlah anak tunggal, kaya pula.

Memangnya salah, ya, kalau takdirku lahir dan besar di keluarga berada?

Aku sudah siap kalau Nara memandangku manja seperti orang yang sudah-sudah. Agak sakit, sih, tapi bertahun-tahun dibilang begitu menambah kekebalan hati sebesar satu persen. “Kalau iya, kenapa?”

“Ya enggak apa sih, Kak. Good for you. Tapi sayang banget kalau skill gambar lo kepakai buat Masatoki doang.” Nara mengangkat bahu. Tidak ada nada penghakiman di sana. “Mungkin, Kak Azlin bisa minta tolong Kak Runa buat build akun portofolio lo? Kak Runa juga ada pengalaman di bidang social media strategist, kan?”

Wow. Aku sama sekali tidak kepikiran ada opsi itu. Akun media sosial yang kukhususkan untuk galeri gambar memang sudah terlantar. Pada dasarnya, aku memang hanya berselancar untuk mencari keributan dan referensi ilustrasi, sih ….

Iya juga, ya. Di profil akun profesional Runa, ia juga mencantumkan posisi itu. Ide brilian!

“Kamu cerdas banget, sih?” Refleks, aku menggenggam tangan Nara di atas meja saking girangnya. “Makasih, loh, idenya!”

Nara langsung mengibaskan tangan. “Sama-sama, tapi enggak usah pegang-pegang, kali, Kak.”

“Ih, aku loh enggak aneh-aneh juga!” Bibirku mengerucut. “Kamu dingin banget, sih, sama aku? Beda banget sama Nara yang kutemui di mimpi. Sebal.”

Mata sayu Nara menatapku datar. “Tuh, kan, bahas mimpi lagi. Kenapa sih lo bisa seyakin itu sama mimpi lo, Kak?”

Sepertinya aku memang harus menceritakannya. Kejadian demi kejadian (yang sayangnya, mayoritas buruk) penyebab aku bisa meyakini mimpiku sekuat itu. Aku belum pernah cerita pada siapa pun di Kota Nirkhayal. Tidak juga Runa, orang yang paling dekat denganku di kota ini. Bagaimana mungkin? Anak itu saja langsung alergi duluan ketika aku cerita tentang mimpi. Atau adiknya Runa, yang terlalu semangat mengagumi dan tak pernah sekalipun bertanya bagaimana awalnya.

Sepertinya, Nara akan jadi yang pertama.

Go ahead, Kak.” Nara hanya mengangkat bahu ketika aku minta izin bercerita. Sepertinya itu memang gestur favoritnya.

Akhirnya, kisah yang sudah lama terpendam ini mengalir. Kemampuan itu, menurut dugaan, kuwarisi dari kakek buyut. Mama dan Papa sendiri tidak bisa menerawang masa depan melalui mimpi, tapi cerita tentang kekuatannya mengalir deras dalam keluarga besar. Adik Mama dan kakak Papa pun dianugerahi kemampuan ini.

Ketika masih di Kota Ilusi, akurasi mimpiku jauh lebih mengerikan, dan kilasan kejadian melintas di kepala saat tidur. Selama itu pula aku menyaksikan teman yang kecelakaan tanpa sempat kucegah, padahal aku sudah melihatnya lewat mimpi. Dengan kronologi persis, pula.

Pertama kalinya aku menyadari mimpiku bertuah adalah ketika sekolah dasar. Aku mimpi teman sekelasku kecelakaan sepulang sekolah, sampai-sampai aku menangis ketika terbangun. Padahal itu orang yang kubenci. Lalu, keesokan paginya, aku mendapat kabar duka. Kejadiannya plek dengan isi mimpiku.

Waktu itu, aku tidak cerita pada Mama dan Papa. Sama seperti orang-orang di Kota Nirkhayal, keluarga intiku juga tak begitu percaya pada kekuatan bunga tidur.

Namun, hal itu kejadian lagi.

Yang paling sering itu di masa sekolah menengah. Berapa kali sudah aku melihat orang-orang celaka dalam mimpiku? Kakak tingkat, teman sebaya, guru-guru, saudara jauh. Selama itu pula, aku mulai menyadari polanya.

Adik Mama yang menyadari hal itu. Entah dari mana. Beliau yang bilang bahwa kemungkinan aku mewarisi kekuatan dari kakek buyut. Akan tetapi, aku masih tidak percaya.

Puncaknya … aku memimpikan tanteku. Adik Mama. Tentu bukan mimpi yang baik, aku hanya cerita pada Papa—itu juga saking ketakutannya.

Dan kalian bisa menebak ujungnya, kan?

Aku tidak ingin hal itu terjadi lagi.

Sepanjang cerita, kukira Nara akan menyela dengan argumennya. Atau menyimak dengan ekspresi bosan. Lebih buruk lagi, memasang tampang dingin dan meninggalkanku karena tak tahan dengan apa yang merupakan takhayul konyol baginya. Ternyata … tidak. Lelaki itu menyimak penuh perhatian, sesekali manggut-manggut, dan intens menatapku selama mulut ini bertutur.

Sejujurnya, aku jadi sedikit salah tingkah. Maksudku … ini Nara, lho. Orang yang membuatku ragu pada mimpiku sendiri karena sikapnya yang dingin padaku, berkebalikan dengan Nara versi mimpi. Ketika aku sudah mulai gamang, ia malah menunjukkan sisi lainnya yang membuatku merasa diberi lampu hijau.

Bagaimana aku tidak salting, coba?

“Tapi, gue jadi penasaran. Mimpi Kak Azlin yang kejadian cuma mimpi buruk emangnya?”

Pertanyaan itu membuatku teringat mimpi pernikahan. Entah warnanya berubah merah atau tidak, yang jelas pipiku menghangat. Bayangan Nara dalam balutan beskap kembali membayangi kepala.

“Halo, Kak?”

“Eh, iya.” Aku mengerjap. Bahaya juga anak ini, presensinya saja berhasil membuat imajinasiku berkeliaran ke mana-mana. “Banyak, kok, mimpi bagusnya! Kenapa kamu bertanya seakan-akan aku punya spesialisasi di bidang meramal mimpi buruk saja, sih?”

“Dari pertama kali kenal, gue lebih sering dengar Kakak curhat mimpi buruk. Don’t blame me.” Pria dengan poni depan yang terbagi jadi dua itu mengangkat bahu. “Jangan-jangan lo mimpiin gue yang jelek-jelek lagi, makanya jadi gampang ngenalin?”

“Sembarangan!” Aku langsung membantah. Hampir saja aku menambahkan kalau Nara di mimpiku adalah orang yang mencintaiku sepenuh hati. “Mimpi yang melibatkan kamu, untungnya, mimpi yang bagus-bagus. Jangan buruk sangka gitu lah, Nara.”

Gelak mengalir dari bibir Nara. “Banyakin cerita mimpi baik makanya, Kak.” Ekspresinya melembut. “Kakak pernah dengar konsep manifestasi, enggak?”

Sebenarnya pernah, tapi aku menggeleng. Aku ingin menyaksikan Nara versi ramah padaku lebih lama lagi. Cerita saja sepuasnya, aku akan setia mendengar selama itu Nara.

Lelaki itu tampak begitu hidup saat menjelaskan konsep manifestasi. Paham maksudku, tidak? Semangatnya benar-benar menggebu. Aku menyimak penjelasannya, tapi gestur dan ekspresinya jauh lebih menarik untuk diperhatikan.

“Malah senyum-senyum.” Nara menggerutu. “Lo paham yang gue jelasin, enggak, Kak?”

Astaga. Aku sampai tidak sadar kalau bibirku terangkat ujung-ujungnya. Nara yang antusias benar-benar memukauku. “Paham, kok.”

“Jangan paham-paham doang, Kak.” Nara berdecak. “Diterapin juga. Banyakin afirmasi positif, biar mimpi lo banyakan yang bagus-bagus. Kalaupun lo mimpi buruk, anggap saja itu cuma mimpi, biar enggak kejadian.”

Aku tahu, kok. Tetap saja, sebagai penduduk asli Kota Ilusi, kasusnya berbeda untukku. Ini bukan hanya soal manifestasi. Bagiku, mimpi dan kemampuan untuk menebak masa depan darinya adalah dua hal yang tidak mungkin terpisah. Lalu, aku memang semi-semi cenayang, tapi mengatur masa depan sesuai keinginan bukan kemampuanku. Alias, mana bisa aku mengatur mimpiku sendiri?

Seseorang yang sejak kecil nyaris tak pernah terpapar keajaiban macam penduduk Kota Nirkhayal, kurasa, memang tidak akan pernah seratus persen paham dengan hal ini. Akan tetapi, setidaknya Nara tak memandangku dengan tatapan menghakimi sekarang.

“Terima kasih, ya, Nara,” ujarku sungguh-sungguh.

Alis Nara terangkat. “Makasih buat?”

“Terima kasih karena sudah mau meminjamkan telinga dan membantuku mencari solusi, walaupun biasanya kamu dingin banget sama aku.” Aku tersenyum, kali ini sengaja. “Balik sekarang?”

Nara hanya mengangguk. Tidak menawarkan tumpangan atau mengantar. Aku juga sudah menurunkan ekspektasiku, sih. Mau diajak mengobrol panjang begini saja aku sudah senang. Sungguh pelipur lara di tengah kesedihanku perkara diabaikan sahabat sendiri.

💭
14/04/2024. 1808 words.

Bab ini ditulis sepanjang perjalanan LBJ-CGK dan diunggah saat pesawatnya baru saja mendarat. Selamat kenbali beraktivitas setelah libur lebaran ✨

Sudah sembilan bab, tapi kok nggak ada komen apa-apa, ya? 🥹

Aku penasaran apa pendapat kalian dengan karakter Azlin yang kubawa pakai POV 1 ini. Pas aku nyodorin outline awal buat diskusi sama temanku, rata-rata emosi sama Azlin soalnya .... wkwkwkkw. Pls gimme your thought 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro