Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2.3

Mary tidak berpapasan dengan Detektif Whetstone di mana-mana, bahkan setelah makan siang. Sebetulnya, ujung mata mungil Mary sempat menangkap keberadaan beliau di ante room, tapi gadis yang segala unsur tubuhnya kecil itu tahu Detektif yang sedang bekerja tidak bisa diganggu. Sebagai rekan-garis-miring-orang-yang-memaksa-untuk-ikut, gadis mungil itu tak ingin membuat lelaki paruh baya itu jadi kesulitan bekerja karenanya, jadi ia tidak menyapanya.

Mata kelabu Mary sempat melirik ke arah seorang maid yang tengah memberesi living room. Kemungkinan, Detektif Whetstone sudah melakukan sesi wawancara atau semacamnya ke semua orang yang ia temui, sepertinya termasuk maid yang satu itu. Tak ingin mengusik—dan tidak yakin dengan kemampuan interogasinya sendiri—gadis itu langsung melenggang ke library room.

Ada beberapa rak yang berjejer di sana. Mungkin hal yang ia temukan di tempat ini berguna, kalau matanya bisa lebih tajam dalam mengamati.

Ayolah, Mary. Gadis itu menggerutu dalam hati. Kau ini tak sebodoh itu. Ayo, jangan sampai kemampuanmu tumpul!

Tangannya sempat mencoba untuk mengambil salah satu buku, tapi urung. Tidak ada siapa-siapa di sana. Kalau dia sembarangan atau tak sengaja merusakkan sesuatu, bahaya. Akhirnya, gadis itu mengeluarkan kameranya dan memotret rak-rak yang ada di sana.

"Tapi kalau cuma foto rak, apa gunanya, Mary?" Ia berdecak, bicara pada dirinya sendiri. "Kau tak seceroboh itu, kok."

Setelah memastikan kalau memang tidak ada orang yang bisa ia mintai izin dan ia bisa mengutak-atik buku-buku di sana sendiri, Mary mengambil beberapa buku dari rak yang dirasanya menarik, lantas memotret isinya.

Semoga foto-foto ini benar-benar berguna.

Mary sedang memotret objek kesekian di rak ketika suara wanita yang terasa begitu ringan menyapa.

"Sedang apa, Mr. Mitford?" Ternyata Ms. Adaline. Wanita itu menghampiri si gadis.

"Oh, hai, Ms. Adaline." Mary yang baru saja berjongkok untuk mengembalikan buku mendongak. "Cari petunjuk. Biasa, tugas asisten."

Lantas Mary bangkit, menyejajari Ms. Adaline yang sedikit lebih tinggi darinya. Dalam hati, Mary membatin bagaimana bisa Tuhan memberinya fisik serbamungil ketika takdirnya membuat ia harus menyamar jadi laki-laki. "Sedang bertugas di library room, Miss?"

Ms. Adaline tertawa kecil. Tawanya merdu. Lalu, gadis itu mengangguk. "Iya, rasanya hari ini tugasnya jadi lebih banyak. Hampir semuanya sibuk."

Sepertinya, baru tengah hari, tapi Ms. Adaline tampak sedikit lelah. Wajar sebenarnya, mengingat luasnya area estate ini. Mary menatap pemilik mata hijau zamrud dengan penuh simpati.

"Astaga. Semangat, ya. Sudah makan, 'kan?" Mary membenahi kerah turtleneck-nya. Untung ini musim dingin, jadi tak terasa gerah. "Sepertinya para pelayan memang jadi lebih sibuk, ya. Tadi Mr. Kai juga tampaknya banyak yang harus diurus."

"Ah, begitu ya. Pantas saya belum melihat Mr. Kai hari ini," balas Ms. Adaline. Rasanya Mary ingin memanggil wanita itu dengan nama depannya saja agar bisa lebih akrab, tapi urung. Saat ini, identitasnya adalah Mario Mitford, dan ia takut memanggil nama depan bisa menimbulkan kesalahpahaman untuk Ms. Adaline.

Omong-omong, Mary jadi teringat percakapan mereka tadi pagi sebelum Richard si tukang kebun menghampiri. Sepertinya, ada lagi yang mau disampaikan oleh wanita itu. Mary menangkap perasaan Ms. Adaline ketika Richard tiba-tiba muncul.

Apa sebaiknya dilanjutkan di sini, mumpung hanya ada mereka berdua di tempat ini?

"Oh, ya, Ms. Adaline. Sepertinya obrolan kita tadi pagi belum selesai." Mata kelabu Mary memastikan sekali lagi bahwa tidak ada orang selain mereka berdua. Ia menggulung lengannya, lantas mengambil buku lagi. "Selain kertas dan koran itu, adakah hal yang mencurigakan lagi?"

"Saya tidak menemukan hal aneh lainnya ...."

Ada ragu yang menggantung. Mary menaikkan alis. Ia yakin betul kalau ada hal lain yang belum disampaikan oleh Ms. Adaline. Mata kelabunya menyipit, menatap gadis berambut ungu itu lebih intens. "Yakin?"

Ms. Adaline mengangguk. "Saya belum menemukan apapun lagi, Mr. Mitford tau sendiri saya pegawai baru di sini."

Tidak salah juga, sih. Mary meyakini instingnya kalau ada yang masih tertahan dari mulut wanita itu, tapi mengejar orang hingga mau mengaku dengan cara apapun bukan keahliannya. Mungkin lain waktu saja, kalau begitu.

"Iya juga, ya." Mary tertawa kecil. Setelah memotret sesuatu yang dirasa menarik dari buku yang baru diambil, gadis ramping itu mengembalikannya ke tempat semula. "Tapi serius, Ms. Adaline. Kalau ada apa-apa yang sekiranya mencurigakan seperti tulisan yang Anda dapatkan pagi ini, segera kabari saya atau Detektif Whetstone. Tolong jangan disimpan sendiri. Kami akan berusaha sebisa mungkin agar kasus ini selesai dan keamanan kalian di sini bisa lebih terjamin."

Mary sungguh-sungguh saat ia bilang begitu. Lebih cepat selesai, lebih baik. Seluruh sudut perpustakaan sudah ia jelajahi dan ia sudah mengambil sebanyak mungkin foto untuk bahan investigasi rekannya. Gadis itu melemparkan senyuman lebar, memamerkan deretan giginya. "Sampai jumpa, Ms. Adaline!"

Wanita dalam balutan seragam itu balas tersenyum manis. "Iya, sampai jumpa Mr. Mitford." Ms. Adaline mengangguk.

Sebelum kembali ke kamar, Mary menyempatkan diri melongok ke arah ante room. Detektif Whetstone masih di sana, serius menekuri dinding, potret, lantai, atau apapun itu yang dilihat oleh si lelaki. Gadis itu turut menyapukan pandangan. Dia sempat ingin mengganggu, tapi urung. Ini bukan waktunya. Hanya saja, Mary tetap menghampiri Detektif Whetstone dengan senyuman di wajah. Bukan untuk mengganggu kok, Mary berani sumpah.

"Kira-kira, apakah malam ini kau luang?" Gadis mungil itu berjalan mendekati Detektif Whetstone. "Aku mau memberikan foto-foto yang sudah kudapat semalam dan hari ini."

Si gadis teringat insiden gagal cuci film semalam, lantas meneguk ludah. Semoga ia tidak dianggap tak berguna karenanya. "Dan ... sebelum aku kembali ke kamar untuk cuci foto, apa kau butuh bantuanku?"

"Sudah sana, cuci fotonya dulu. Ini masih terlalu dini." Sang detektif melirik ke arah belakang Mary. Entah apa yang ia lihat. Ekspresinya datar. "Dan dinding bisa saja mendengar kita mengoceh, kita bisa dianggap telah membahayakan para penghuni di dalamnya."

Dia benar-benar menekankan apa maksudnya, tanpa melebih-lebihkan.

Manusia mungil itu mengangguk. Memang ada orang yang bilang dinding punya telinga, dan itu tidak sepenuhnya salah.

Mary jadi teringat bayangan tadi pagi—

Mata Mary langsung memejam sesaat,

berusaha mengenyahkan tatapan nanar yang mendadak melintas di kepalanya.

"Oke, sampai jumpa kalau begitu!" Gadis itu melenggang begitu saja, meninggalkan Detektif Whetstone seorang diri di ante room.

*

Langit masih belum terlalu gelap saat Mary kembali ke kamar. Hal yang pertama kali ia lakukan begitu menutup pintu adalah meletakkan tas kamera di nakas dan melemparkan diri ke atas kasur yang nyaman.

Hari ini pun, rasanya tidak banyak yang Mary dapatkan. Hanya foto-foto yang entah bagaimana hasil jadinya dan percakapan yang entah bisa berguna atau tidak. Gadis itu bukannya amatir dalam memotret (kalau tidak ahli, tidak mungkin ia dipekerjakan sebagai reporter yang terjun langsung ke lapangan), tapi ia sedang merasa dirundung kesialan, entah mengapa.

Apakah ini azab memaksakan diri untuk membuntuti pekerjaan pujaan hati, padahal sudah ditolak?

Rambut brunette tepat di bawah telinga yang tadinya tersisir rapi, kini acak-acakan. Mary melempar jasnya ke sembarang arah, lantas menatap tempat bayangan yang membuatnya murung sepagian ini. Tidak ada yang berubah, untungnya, tapi tetap saja Mary merinding hanya dengan mengingat sepasang mata yang kabur itu.

Tiba-tiba, anak itu merasa tidak aman tidur di kamarnya sendiri. Masalahnya, tidak mungkin, 'kan, tiba-tiba ia mengungsi tidur di tempat lain—kamar detektif, misalnya?

Bisa-bisanya Mary sempat menghalu seperti itu. Buru-buru ia mengenyahkan ide mengungsi ke kamar detektif dari benaknya. Buat apa takut? Masa remajanya habis di medan perang. Itu jauh lebih menyeramkan daripada sesosok bayangan di manor mewah. Setidaknya, ancaman nyawanya tidak seintens masa perang. Benar, 'kan?

Gadis itu menghela napas. Akan lebih baik kalau bayangan tadi hanya hantu iseng dan semacamnya. Manusia lebih menakutkan. Namun, ia tidak punya data yang cukup untuk membuat asumsi, maka satu-satunya langkah preventif adalah mengamankan barang-barang yang sekiranya penting untuk penyelidikan dan penyamarannya.

Mata kelabu Mary melirik jendela. Apa sebaiknya ia berkelana lagi ke ruangan-ruangan lain? Tapi, proses cuci foto memakan waktu cukup lama dan ia sudah berjanji untuk memberikan semua yang ia dapatkan—walau tak seberapa—pada Detektif Whetstone malam ini. Jadi, gadis mungil itu bangkit dan pergi membersihkan diri sebelum hari sempurna gelap.

Singkat cerita, Mary sudah berganti baju. Sebenarnya ia ingin mengenakan terusan baju tidurnya saja, tapi setelah ini dirinya masih harus keluar dan ia tak mau mengambil risiko. Teringat kejadian saat seorang footman mengetok pintu di tengah proses cuci foto semalam, Mary mengambil secarik kertas dan menyelipkan pesan di luar pintu: apabila ada makan malam, tolong diletakkan di samping pintu saja, karena ia sedang bekerja. Tidak perlu mengetuk.

Setelah memastikan peralatan cuci foto lengkap dan aman, Mary memulai proses ritual—ralat, pekerjaannya. Gadis itu melakukan semuanya dengan penuh kehati-hatian, jelas tak ingin kejadian malam lalu terulang.

Selang beberapa jam, gambar dari rol film yang Mary cuci sudah berpindah ke dalam kertas foto. Gadis itu mendengkus melihat banyaknya rol film yang terbuang karena hasil fotonya yang buram. Apa-apaan? Padahal Mary itu pemotret yang handal!

Apakah ada sesuatu di manor ini yang melumpuhkan kemampuan memotretnya?

Setidaknya, hasil cetak foto hari ini tidak separah kemarin. Mary menghela napas lega. Dirinya masih berguna, ternyata. Masih ada potret yang bisa ia bawa untuk bahan diskusi dengan Detektif Whetstone. Ia memberesi perangkat cuci fotonya yang terserak di lantai, berhati-hati agar tidak tersenggol.

Mary tidak ingat ini jam berapa, yang jelas waktu makan malam pasti sudah lewat. Seharusnya hidangan sudah ada di luar pintu, kalau memang diantarkan. Saat hendak membuka pintu, kakinya menginjak sesuatu yang berbeda dari tekstur karpet.

Sepucuk surat. Dari siapa?

Gadis itu urung mengambil makan. Ia beralih fokus pada surat yang tampak ditulis terburu-buru itu. Dari ... Gaela Adaline.

Benar, 'kan? Masih ada yang belum tersampaikan. Insting Mary tidak salah kali ini. Ia membawa kertas itu ke kasur dan membaca kalimat demi kalimat lamat-lamat. Intinya, ada sesuatu yang ia temukan di perpustakaan dan gadis itu percaya pada Mary untuk melanjutkan penyelidikannya terkait hal itu.

Harus malam ini, 'kah? Mary menatap langit pekat di luaran sana. Mungkin besok saja, setelah berdiskusi dengan Detektif Whetstone. Ia meletakkan surat di nakas dan mengambil makan malamnya. Bagaimanapun juga, perut harus diisi dulu agar otak bisa bekerja.

*


Mary, dalam balutan kemeja putih polos dan celana selutut tartan coklat muda, mengetuk pintu kamar Detektif Whetstone malam-malam.

"Permisi, Detektif!"

"Masuk," Detektif Whetstone menyahut dengan suaranya yang sedikit serak. Dia sudah menyalakan rokok lagi ketika gadis itu menginjakkan kaki ke dalam kamarnya.

Mary tahu, ini urusan pekerjaan, dan Mary juga tahu kalau Detektif Whetstone sama sekali tidak melihatnya sebagai wanita, tapi perempuan mana yang tidak berdebar ketika masuk kamar seorang lelaki yang ia sukai? Gadis itu susah payah mengenyahkan  mulai bermekaran di kepalanya.

"Jadi, apa saja yang kau dapat hari ini?" Pertanyaan lelaki dengan kacamata hitam yang senantiasa bertengger itu mengembalikan Mary pada kenyataan.

Beberapa lembar foto dan robekan koran Mary letakkan di meja tempat Viper Whetstone bekerja. Ia memisahkannya satu per satu.

"Tempat lilin yang kemarin." Wanita berkulit pucat itu meminggirkan foto yang dimaksud. "Foto sudut kamarku—tadi pagi ada yang muncul di sana tapi aku tak bisa memastikan. Dia keburu hilang. Jadi, aku hanya memotret bekas tempatnya." Mary meraih robekan kertas dengan tulisan RUN dari Ms. Adaline. "Yang ini dari Ms. Adaline tadi pagi. Katanya, saat bangun tidur, robekan koran beberapa bulan yang lalu bertebaran di sekitarnya dan ada kertas ini."

Si gadis menarik napas, menghirup udara yang sudah bercampur dengan wangi tembakau pekat. Apakah ruang-ruang yang didiami oleh Detektif Whetstone aromanya selalu seperti ini?

Ayo fokus, Mary. Manusia itu memarahi hatinya yang menyetir pikiran tanpa melihat situasi dan kondisi. Fokus berusaha ia kembalikan pada foto-foto yang sudah dibawanya. "Ini foto-foto buku di perpustakaan yang cukup bisa dibaca. Mungkin berguna untuk dianalisis."

Jeda sejenak. Lantas, Mary menggigit bagian bawah bibir tipisnya, memasang tampang bersalah. "Yang lainnya ... rusak. Atau blur. Maafkan aku."

Wajah Detektif Whetstone begitu serius tatkala mengamati foto-foto yang dijajarkan Mary di atas mejanya. Foto-foto yang masing-masing menyimpan rahasianya.

"Sudut kamar? Ah, jadi benar kau melihat hantu?" Detektif Whetstone menarik potret itu terlebih dahulu. Foto-foto lainnya menyusul. Begitu dalam lelaki itu tenggelam dalam pemikirannya, hingga Mary tak berani mengusik atau bertanya apapun. Gugup juga gadis itu. Bagaimana kalau si detektif marah karena ternyata ada hal penting yang seharusnya ia dapatkan potretnya, tetapi luput?

"Hm. Tidak masalah. Terima kasih." Akhirnya lelaki dengan rambut yang sudah mulai memutih sebagian itu kembali buka suara. Ia menyundutkan rokoknya dan memulai batang baru. Mary langsung menghela napas lega—hanya sesaat karena pertanyaan selanjutnya membuat gadis itu membulatkan mata.

"Omong-omong, kau dengar kalau salah satu maid, Katherine Taylor, tidak kembali ke Estate sejak pergi dari sini kemarin?"

Pertanyaan pertama tentang hantu kembali membuat Mary teringat si pemilik mata nanar sialan—entah itu siapa atau apa. "Entah hantu entah bukan. Yang jelas aku hanya ingat dia menatapku nanar dan rasanya merinding." Lalu, respon untuk pertanyaan terakhir yang membuat kelegaan Mary hanya bertahan sekejap. "Aku baru dengar. Tadi aku bertemu dengan Mr. Kai dan Ms. Adaline, tapi sama sekali tidak mendengar kabar itu. Dia hilang tanpa jejak?"

Orang hilang? Saat penyelidikan berlangsung?

Apa yang sebenarnya terjadi?

Mendadak, Mary teringat percakapan dengan Richard tadi pagi. Sepertinya yang itu juga perlu dilaporkan walaupun info yang ia dapat hanyalah kelakuan si dokter yang entah benar entah tidak.

"Tadi aku coba mengobrol juga dengan Richard si tukang kebun, omong-omong. Hanya saja, dia cuma bilang kalau Dokter Harold suka membawa perempuan ke sana." Gadis itu berdecak, teringat pembawaan lelaki tukang kebun yang membuatnya gemas. "Harusnya kutanyai lagi, tapi orang itu pintar sekali berkelit. Menyebalkan."

"Yah ini baru sehari, sih. Tapi sudah terlalu sulit untuk menelusuri mereka yang pergi—entah kenapa Myrtlegrove Estate tidak pernah menerima kembali mereka yang kabur atau entah 'diminta' pergi," tukas Viper Whetstone. Yang itu sepertinya untuk menanggapi soal Katherine Taylor.

"Semua pekerja di sini lebih senang bungkam ketimbang terancam posisinya, atau mungkin mereka juga takut dihilangkan. Yang bisa kutarik kesimpulannya adalah beberapa pekerja kemungkinan punya hubungan khusus, dan itu bisa jadi salah satu penyebab segala masalah yang bermunculan."

Lagi-lagi Detektif Whetstone membuka catatannya.

"Tidak hanya Richard, Mrs. McFadden pun bisu ketika ditanya banyak soal Katherine dan Dorothy." Lelaki dengan mata tajam itu membalik halamannya dengan sebelah tangan. "Lalu bercak di dinding ante room tampak identik dengan bekas yang ada di tempat lilin dining room ..."

Matanya melirik ke arah foto-foto lagi. Entah apa yang ada di benak Detektif Whetstone. Mary bukan cenayang dan tidak sepintar itu, jadi ia hanya berceletuk menanggapi dengan asumsinya sendiri.

"Kalau dari cerita Richard, rasanya aku ingin coba mendekati Dokter Harold, deh, untuk tahu lebih banyak." Mary mengernyitkan hidung. "Sepertinya orang itu bisa dekat dengan segala jenis manusia selama ia mau. Tadi pagi juga dia kelihatannya lumayan akrab dengan Ms. Adaline di dining room."

Ah, ya. Lagi-lagi momen acak melintas di kepala Mary—kali ini tentang apa yang dilihatnya di ante room siang tadi. Mata kelabu Mary melirik Detektif Whetstone. "Omong-omong, apa yang kau lihat di ante room tadi? Wajahmu tampak sedikit sendu—ah, maafkan aku yang sok tahu ini." Gadis itu baru sadar kalau dia bisa terdengar sangat menyebalkan dengan pertanyaan itu. "Aku belum bisa melihat benang merah yang jelas, sejujurnya. Semuanya begitu mencurigakan. Belum lagi pemilik manor ini yang tak pernah terlihat ...."

Benar juga. Apakah Henry Myrtle tahu tentang chaos yang tengah terjadi di kediamannya ini?

Mary diam lagi, mencoba mempekerjakan otak mungilnya.

"Saat ini, seperti yang Mr. Akio coba katakan, tampak Tuan Rumah tidak pernah tahu apa-apa soal kejadian ini atau sejenisnya. Melihat masa lalu beliau pun, rasanya tidak aneh bila beliau hanya sekedar tahu tapi tidak berbuat apa pun karena beliau dikabarkan sakit - atau yah, sudah tidak mampu berbuat apa-apa dalam kasus ini," Detektif Whetstone berujar.

Mary dapat melihat lelaki berusia nyaris paruh baya itu menjepit rokoknya ketika pertanyaan tentang foto di ante room ia lontarkan. Perasaannya tidak enak.

"Hm? Ah, cuma kebetulan melihat tahun yang familier, 1916. Sepertinya Myrtle muda kehilangan nyawanya juga di medan perang." jawab Viper Whetstone datar.

Mary mengatupkan bibir. Dia jelas paham tentang 1916. Di balik datarnya jawaban itu, Mary yakin banyak kecamuk emosi yang bergejolak jauh di dasar hati, walaupun sang detektif tidak pernah mengatakannya secara gamblang. Lebih baik tidak diteruskan.

"Kalau yang kau lihat di perapian kemarin malam?" Mary mencoba beralih topik. "Kemarin aku tidak sempat memperhatikan betul-betul dan fotonya rusak, jadi aku tidak tahu itu apa."

Detektif Whetstone mengeluarkan kertas yang ditemukannya di perapian, sebuah potongan yang tidak terbakar berisi nama 'Dorothy' yang ditulis tangan.

"Kemungkinan bagian dari sebuah surat, tapi sayangnya yang memakai perapian itu terakhir adalah Katherine Taylor ... Dan kau tahu nasib Katherine Taylor sekarang, lenyap."

Mary menghela napas. Ia mencoba membuat garis hubung dari petunjuk-petunjuk yang mereka miliki.

Bercak hitam. Surat terbakar. Robekan koran. Pelayan hilang.

Semuanya begitu acak. Walau Mary percaya ia cukup pintar, untuk saat ini pikirannya seakan tidak mau diajak bekerjasama. Apalagi yang harus mereka ketahui agar mereka bisa memetakan masalahnya?

Kata Richard, kalau tahu terlalu banyak, bisa-bisa dia yang hilang. Berkalang tanah. Walau orang itu tampak main-main, Mary juga tahu itu bukannya tidak mungkin.

"Apa yang mungkin dilakukan seorang dokter dan seorang wanita di taman yang lebih mirip hutan mungil?" Gadis itu menatap jendela. Ujaran itu keluar begitu saja dari mulutnya. Ia lantas bersedekap. "Tiga hari lagi, ya, kita di sini?"

Tiga hari lagi sebelum mereka angkat kaki dan segalanya belum terlihat jelas.

"Kau mencurigai Dokter Wayne, Mitford?" tanya Detektif Whetstone, mendengar ucapannya itu. "Yah, kalau kita tidak dilenyapkan, sih, mungkin kita masih punya tiga hari." Si lelaki mengedikkan bahu.

"Lalu? Apa lagi yang kau dapat dari Maid dan Dokter Wayne?"

Mary baru sadar kalau ia menyuarakan pikirannya. Padahal asumsi itu hanya muncul dari potongan-potongan kata orang, bukan data yang terbukti valid. Ia buru-buru menggeleng dan mengoreksi ujarannya.

"Eh, bukan. Aku cuma kepikiran ucapan Richard. Dia bilang, wanita-wanita yang hilang dari tempat ini juga pernah dibawa Dokter Harold ke sana, tapi kapan dan untuk apanya aku tidak tahu. Lalu aku jadi kepikiran, apa yang mungkin mereka lakukan di sana? Apakah itu bisa membuat orang kabur?"

Dasar Mary, asumsinya makin melebar ke mana-mana begitu disuarakan. Sebenarnya, gadis itu tidak yakin dengan dugaannya sendiri. Dokter Harold sejauh ini masih jadi orang paling ramah yang ia jumpai di tempat ini. Tapi, Mary teringat catatan batin yang ia buat untuk dirinya sendiri: jangan percaya siapa pun seratus persen.

Si gadis mengerjap, matanya terasa kering karena terlalu lama terbuka. "Untuk Ms. Adaline ... Aku merasa ada yang ingin ia sampaikan lagi selain kertas koran itu, tapi tadi dia diam saja saat kutanya di library room. Entah memang tidak ada apa-apa lagi atau ada yang disembunyikan. Seperti katamu, orang-orang di sini sungguh tertutup."

"Hmm, jadi Dokter Wayne mengencani beberapa maid? Ya, bisa saja itu menjadi masalah, tapi itu hanya menjelaskan sisi para pekerja wanita yang hilang, mereka mungkin diminta atasan untuk tidak mencampur hubungan profesional dengan pribadi—dan mungkin konflik asmara muncul saat para wanita tahu kalau Harold Wayne tidak mengencani satu wanita saja." Itu komentar Detektif Whetstone, dan Mary mengamininya. Dalam hati, ia minta maaf kepada dokter ramah yang sudah mengobati kakinya itu. Sungguh, gadis itu tak bermaksud untuk berburuk sangka.

"Tidak ada yang aneh lagi di kertas koran itu tapi ..." Viper Whetstone menunjuk foto sisa bayangan di kamar Mary. "Di sini, di dekat plafon, sepertinya ada lubang untuk orang bisa memanjat dan sembunyi."

Mata si gadis yang bentuknya serupa almond dengan ujung yang sedikit naik itu memicing demi melihat area dekat plafon yang lelaki itu maksudkan. Lantas, gadis itu meneguk ludah. Itu artinya, kamarnya bisa dimasuki sesuatu—atau seseorang?

Mendadak, Mary semakin enggan untuk kembali ke kamarnya.

"Kalau dia muncul lagi ... gimana?" Suara Mary mencicit.

"Apa, kau mau numpang bermalam di sini? Atau kita tukar kamar?" Detektif Whetstone tahu-tahu saja mengusulkan ide itu dengan intonasi santai, seakan-akan itu bukan hal besar. "... Perlu kita laporkan ini pada si butler? Entah apa alasan yang nanti dibuatnya."

Hei! Apakah lelaki itu sama sekali tak berpikir tentang dampak dari tawarannya? Mary sejak awal sudah berusaha mengenyahkan opsi menumpang di kamar beliau, dan tahu-tahu saja yang bersangkutan menawarkan dengan begitu ringannya? Yang benar saja. Detektif satu ini lupa, 'kah, kalau ia seorang perempuan?

Degup jantung Mary mengencang dan wajahnya menghangat. Gadis itu sungguh berdoa wajahnya tidak merona hebat saat ini. Kalau ini kondisi biasa, sudah pasti dirinya salah tingkah luar biasa ... masalahnya, salah tingkah di kondisi seperti ini jelas terasa salah.

"T-Terserah kau sajalah. Kau sendiri lebih nyaman bagaimana?" Gadis berwajah tirus itu berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Untuk laporan, mungkin besok pagi? Kasihan Mr. Kai, pasti ia lelah. Lagipula, siapa tahu ada titik terang baru dari sana."

Detektif Whetstone terdiam sejenak. Rokok di tangannya habis dan ia bersedekap.

"Ya sudah, kita bertukar kamar saja." Detektif Whetstone memutuskan. Dia memasukkan buku catatan lusuhnya kembali ke saku. "Ada lagi yang perlu kita diskusikan? Selain ... ah, mungkin kau harus coba bertanya soal Dorothy dan potongan kertas di perapian itu pada Mrs. McFadden, mungkin karena sudah ditekan beberapa kali, akhirnya dia bicara."

Debaran di dada Mary perlahan mengendur. Padahal Mary pikir dia bisa melihat Detektif Whetstone bekerja semalaman kalau sekamar, tapi kalau dipikir-pikir hal itu tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Gadis itu mengangguk gugup.

"Aku belum punya bahan untuk didiskusikan kembali, sih ...." Mary mengerutkan hidung, berpikir keras. Sepertinya, memang sudah tidak ada lagi yang bisa digali untuk malam ini. "Baiklah, besok aku akan pergi ke living room. Kebetulan memang aku belum berkenalan dengan Mrs. McFadden."

Si pemilik bibir tipis menyunggingkan senyum terbaiknya. Perlakuan kecil begini saja sudah membuat Mary merasa jauh lebih baik. "Terima kasih, Detektif. Maaf aku merepotkanmu."

Viper Whetstone mengangguk pelan. Sepertinya memang lelaki itu sama sekali tidak sadar—atau tidak peduli—tentang hati lawan bicaranya yang baru saja gonjang-ganjing. Dia sudah memutar badan ke arah pintu untuk segera menuju kamar si reporter sebelum ada yang melihat.

Saat lelaki itu sudah melenggang pergi, barulah Mary menyadari: ia lupa mengabari Viper Whetstone tentang surat dari Ms. Adaline!

Ya sudahlah. Besok pagi saja. Toh kotak itu juga belum dibuka. Semoga esok hari dan seterusnya berpihak pada usaha mereka menguak titik terang kasus yang sudah berbilang tahun ini. Dengan pemikiran seperti itu, Mary terlelap sambil tersenyum.

*

Author notes:

Kalau dibagi dalam tiga bab gini, capek nggak bacanya? Aslinya, total jumkat rekapan day 2 ini ada di kisaran >8500 kata. Nggak sampai 9000, tapi ya lumayan. Mau dibagi empat bab tapi rasanya nggak pas gitu, jadi kubagi tiga. Kuharap tetap nyaman dibaca, ya.

Apakah sudah bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi di Myrtlegrove Estate?

Dan btw, tolong doakan gacha kami bagus semua 😭🙏

Seperti biasa, jangan lupa mampir ke POV tokoh lain dan lengkapi puzzle-nya!

frixasga as Police Detective
Nanaasyy as Maid
amelaerliana as Doctor
Catsummoner as Butler

Special mention:
PhiliaFate as Richard, Jane, dan semua NPC yang tiba-tiba nongol. Ya siapa tau beliau tiba-tiba mau nulis rekapan dari POV mereka 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro