2.1
Kemarin, Mr. Kai memang sudah bilang kalau hawa di sini lebih dingin daripada London. Namun, bukan hanya tusukan suhu yang membangunkan Mary. Ada sesuatu entah apa yang menyentuh kulitnya, menimbulkan sensasi berdesir yang sama sekali jauh dari kata nyaman. Itulah yang membuat gadis itu tersentak.
Sekujur tubuhnya seakan terpaku ketika ia saling tatap dengan sekelebat sosok. Belum juga gadis itu bergerak, bayangan itu menghilang secepat kedatangannya.
Napas Mary terengah-engah. Hanya mata mereka yang sempat bertemu sekilas. Tatapan nanar.
Itu apa?
Refleks pertama Mary adalah menggapai kamera yang ada di nakas. Masih dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, ia nyaris menjatuhkan kamera dengan tangannya sendiri. Untung saja gadis itu sadar sebelum hal itu sungguhan kejadian.
Gadis berambut brunette itu bangkit ke kamar mandi, membiarkan air menyapa tangan dan wajahnya. Hangat mengaliri permukaan kulit sejenak. Oke, sekarang dirinya sudah sempurna sadar. Setelah menepuk-nepuk handuk ke wajah, Mary kembali ke area nakas dan meraih kameranya, lantas memotret area yang ia yakini menjadi tempat bayangan tadi berada.
Astaga, padahal pagi baru saja dimulai. Pagi pertama di Myrtlegrove Estate, bisa dibilang.
Semoga hari ini keberuntungan senantiasa menyertai, rapal Mary dalam hati. Kepala wanita mungil itu rasanya seperti berputar-putar, paduan dari berbagai pikiran dan perasaan yang berkecamuk di benaknya bagai badai.
Entah berapa lama sejak Mary terbangun ketika pintu kamar tiba-tiba diketuk.
"Permisi, Sir. Apakah saya boleh membuka pintunya sedikit untuk menanyakan perihal sarapan pagi ini?" Seorang footman dengan seragam pelayan yang sedikit lebih sederhana dari milik Mr. Kai menyahut dari balik pintu.
Mary tersentak. Ia masih mengenakan piyama yang jelas-jelas menegaskan identitasnya sebagai perempuan. Buru-buru ia merapikan rambut dan berdeham untuk menyesuaikan suara sebelum memunculkan kepala dari balik pintu.
"Selamat pagi. Ya, boleh. Jadi bagaimana?"
Sebenarnya, Mary masih berdebar tak karuan. Saat bercermin di kamar mandi pun, bintik-bintik di wajah tampak semakin kontras dengan pucat mukanya, tapi ia berusaha menutupi hal tersebut.
"Apakah ... Semuanya baik-baik saja, Sir?" Footman mengerutkan dahi, tampak heran. Apakah Mary terdengar gelagapan? "Anda tampak agak kurang sehat."
"Ba-baik, kok. Anda tenang saja." Si gadis berdeham, memastikan suara yang ia pakai adalah milik Mario Mitford dan bukan suara aslinya yang melengking. "Jadi, tadi Anda mau bertanya tentang sarapan, ya ...?"
Footman tersebut mengangguk. "Benar. Apakah Anda akan turun ke dining room atau tetap di kamar saja untuk sarapan pagi ini?"
Dengan posisi melongok begitu, kepala Mary sedikit pegal, sejujurnya. Namun, kehati-hatian tetap yang utama. Gadis itu berusaha mengatur posisi agar hanya kepalanya yang terlihat, lantas melirik pintu kamar Detektif Whetstone.
"Eum, apakah Anda tahu Detektif Whetstone turun ke dining room atau tidak?"
Mengangkat alis mendengar pertanyaan sang tamu, footman itu melirik ke arah kamar manusia yang dimaksud. Mary juga bisa melihatnya: Detektif Whetstone sudah menuruni tangga.
Berharap apa kamu, Mary? Gadis itu memutar mata, merasa bodoh karena sempat berharap bisa turun sarapan bersama demi menetralkan waswas di benak. Tidak mungkin seorang Viper Whetstone mau menunggunya.
"Nampaknya, Mr. Whetstone pagi ini sarapan di dining room, Sir." Si footman menyuarakan apa yang Mary lihat.
"Oh." Mary mengangguk. "Kalau begitu, saya akan turun ke dining room setelah bersiap." Dia mencoba mengkalkulasi waktu menata penyamarannya. Seharusnya tidak ada setengah jam. "Nanti saya turun sendiri saja."
"Baiklah, kalau begitu. Kehadiran Anda kami tunggu di dining room untuk sarapan pagi ini. Saya permisi."
Footman itu membungkuk sedikit dengan sopan, lalu berbalik pergi. Mary kembali menutup pintu, lantas mengubah penampilan secepat yang ia bisa. Sekarang, Mario Mitford sudah siap untuk menyambut hari ini yang entah akan berjalan seperti apa. Penuh kabar baik, semoga.
*
Footman yang mengantarkan Mary tiba, tak lama setelah Viper Whetstone duduk di tempatnya. Seperti rekannya, dia juga membukakan kursi untuk tamu estate yang dikawal. Persis di seberang kursi si detektif.
"Silakan duduk, Mr. Mitford."
Mary mengangguk. Masih dengan sosok bermata nanar yang menjadi pembuka hari keduanya. Kenapa ia terus bercokol di benak? Haruskah ia mengabarkan hal semacam ini pada Detektif Whetstone?
"Permisi, saya lupa menanyakan." Suara footman mengembalikan Mary ke dunia nyata. "Untuk sarapan ini, apa ada menu yang Anda inginkan, Sir?"
Kepala Mary kosong. Ketika pekerja yang tampak sepantaran dengannya itu bertanya, gadis dalam balutan jas hitam kebesaran itu hanya sekilas melirik Detektif Whetstone, lantas menghela napas.
"Samakan saja dengan orang di seberangku."
Sepertinya si footman bicara sesuatu, tapi hanya masuk kuping kanan keluar kuping kiri untuk gadis bermuka pias itu. Pikiran Mary kembali melayang setelahnya. Apa makhluk yang ia lihat sebenarnya? Hantu? Manusia?
Mary bukannya tidak percaya dengan hal-hal gaib semacam itu—Tuhan juga gaib, kan? Namun, gadis itu akan lebih lega kalau pemilik bayangan yang bercokol di kepalanya itu hantu. Makhluk halus yang berbagi ruang jauh lebih baik daripada orang yang masuk tanpa izin.
Tahu-tahu saja, seorang maid datang menghampiri. Itu Ms. Adaline, gadis berambut ungu yang kemarin.
"Silakan," ujarnya seraya menyajikan rak berisi roti panggang, juga teko panjang dengan aroma kopi yang mengepul dari moncongnya.
Sebagai jawaban, Mary hanya mengangguk tipis saat maid yang dikepang rambutnya itu mempersilakan untuk makan.
Belum ada yang Mary temukan lagi di manor ini, sehingga ia tidak punya data—atau minimal dasar untuk berasumsi—untuk menduga sosok bayangan itu yang sebenarnya. Bayangan sialan. Kenapa ia tak mau enyah dari kepala kecilnya yang tak seberapa itu?
Mary tersentak saat Ms. Adaline meletakkan piring dan cangkir di hadapannya. Barulah ia menyadari kalau ia sedang berada di ruang makan dengan Detektif Whetstone. Bahkan keberadaan lelaki yang nyaris tak pernah melepas rokok dari bibirnya itu tidak berhasil membuat gadis itu fokus pada apa yang ada di hadapannya sekarang. Mary baru benar-benar sadar dengan kehadiran si detektif ketika orang itu menyapanya.
"Mitford." Suara Detektif Whetstone terdengar heran. "Kamu habis lihat hantu? Kok lesu begitu?"
Mata kelabu kebiruan milik Mary mengerjap. Apakah tampangnya benar-benar meneriakkan hal itu?
"Ya? Bagaimana?" Mary gelagapan. "Hantu?"
Detektif Whetstone menatapnya. Mungkin bingung karena Mary seperti orang bodoh pagi ini. "Hantu, ya hantu. Wajar 'kan kalau Manor setua ini punya satu atau dua penunggu?" ucapnya datar. "Atau kalau kamu tidak percaya soal hal-hal non-saintifik seperti hantu, apa yang sudah kamu lihat, hm?"
Bayangan. Yang menghantui. Mary lebih senang kalau itu memang hantu, tapi rasanya bukan. Bagaimana cara menceritakan hal itu tanpa terdengar konyol? Belum lagi kalau ia menyuarakan hal itu di sini, rasanya tidak aman. Selain mereka berdua, ada telinga lain yang mendengar.
Tangan kurus Mary meraih selembar roti yang berbaris dalam wadah besi di antara mereka. "Tadi pagi ... ada sesuatu—tapi, entahlah? Mungkin halusinasiku saja."
Kalau dalam kondisi biasanya, tentu si gadis akan sangat bahagia karena Detektif Whetstone akhirnya menaruh sedikit perhatian padanya. Jadi, Mary memasang senyum cerianya yang biasa agar tidak lagi dicurigai. "Aku tersanjung kau menanyakan kabarku. Jadi, apakah tidurmu nyenyak semalam, Detektif?"
Pertanyaan itu tidak bersambut, karena ada orang lain yang hadir di dining room. Dokter Harold. Aroma sabun yang segar langsung menguar saat lelaki tinggi pirang itu menyapa.
"Selamat pagi, Semuanya. Apakah aku boleh bergabung dengan kalian?" Suara Dokter Harold begitu riang. Kontras dengan suasana meja makan beberapa saat lalu. Mary, yang sudah bisa berpikir lebih jernih dan sadar sepenuhnya, turut memasang wajah ramah untuk mengimbangi sapaan si dokter.
"Selamat pagi, Dokter Harold. Tampaknya kau sedang bahagia sekali." Mary tersenyum. "Tentu saja boleh!"
Dokter Harold menarik kursi di sebelah Mary lalu duduk di sana. "Ah, tidak. Biasa saja. Aku memang selalu seperti ini." Pria berkacamata itu mengamati wajah orang yang dirawatnya kemarin. "Kau tampak sedikit pucat? Apakah semalam kakimu sakit lagi?"
Mary tahu, kulitnya memang pucat, tapi sepias itukah tampangnya pagi ini?
"Oh? Tidak, kok." Gadis mungil itu menjulurkan kaki kirinya yang sudah tak berbalut perban sejak semalam. "Syukurlah, aku tidak harus meminum obat darimu. Tidak apa-apa 'kan kalau aku langsung lepas perban?"
"Boleh saja, sih. Yang penting kau tidak berlari atau melakukan aktivitas yang berlebihan. Apakah tidurmu nyenyak semalam?" Dokter Harold kembali bertanya.
Ah, tidur nyenyak, ya? Tidur Mary nyenyak, bangunnya yang bermasalah. Namun, bukan waktunya untuk menyuarakan hal itu.
"Nyenyak, kok." Mary mengangguk, lantas teringat pertanyaannya yang belum dijawab sebelum Dokter Harold datang. Ia menoleh pada si detektif. "Hei, Detektif Whetstone. Tidurmu nyenyak, tidak?"
"Hm? Haruskah saya menjawab itu?" Detektif Whetstone hanya menaikkan sebelah alis.
Berharap apa kamu, Mary Mitford?
"Dasar menyebalkan." Si gadis mencebik. Ia kembali beralih pada Dokter Harold. Rasa waswasnya mulai terkikis oleh suasana. "Hari ini, apa agendamu, Dokter? Aku penasaran apa yang kau lakukan jika sedang tidak ada yang perlu dirawat."
"Harusnya obat-obatan yang kupesan melalui Mr. Kai datang hari ini. Jadi aku akan memeriksa stok obat-obatan. Tidak banyak yang bisa kulakukan di sini, jadi kalau tidak ada panggilan mendadak dari warga desa, kemungkinan aku akan membaca buku di perpustakaan." Dokter Harold beralih menatap Detektif Whetstone. "Kalau Anda sendiri? Apa agenda Anda hari ini, Detektif?"
Viper Whetstone menyesap kopinya tanpa rasa bersalah. Mary yakin, walaupun tadi ia sempat tidak fokus dan tak memperhatikan, pasti itu sudah bukan cangkir pertamanya.
"Tidak banyak," jawab Detektif Whetstone singkat pada pertanyaan Dokter Harold. "Saya tidak melihat anda di estate saat malam, apa anda lebih sering keluar dari rumah ini dan tidak banyak bertugas mengawasi Tuan Rumah?"
"Kamar saya ada di annex, bersama pekerja lain. Wajar kalau Anda tidak melihat saya," jawab Dokter Harold sambil tersenyum.
Oh, ada bangunan lain rupanya. Pasti estate sebesar ini tidak mungkin hanya menggunakan satu gedung, tapi Mary belum tahu keberadaan pastinya.
"Jadi, apakah Anda sudah mendapatkan petunjuk tentang kasus yang Anda selidiki?" Pria dengan mata biru cemerlang itu balik bertanya.
"Kalau petunjuk dengan mudah dicari, rasanya saya tidak perlu berlama-lama di sini." Detektif Whetstone terdengar sinis. Lagi-lagi rokok kesayangannya bertengger di bibir. "Omong-omong anda sendiri, Dokter Wayne, sudah berapa lama anda dekat dengan pihak keluarga Myrtlegrove?"
"Seperti yang sudah saya jelaskan kepada Mr. Mitford kemarin. Saya sudah bekerja di sini sekitar lima tahun."
Mary menyimak dengan seksama seraya mengambil sepotong roti lagi.
"Artinya anda kenal dengan semua orang yang dianggap hilang dari estate ini?" Detektif Whetstone membuang abu rokoknya sedikit dan mengisap pucuknya lagi. Dari balik kacamata hitamnya, mata kiri sang detektif terasa begitu tajam. "Dan kalau boleh saya tahu, selain Tuan Rumah yang sepertinya tidak enak badan, apa anggota keluarga Myrtlegrove sering berkonsultasi dengan anda?"
"Ya. Tentu saja saya mengenal mereka, meski tidak bisa dibilang dekat juga." Dokter Harold mengangguk. "Saya tidak hanya melayani Mr. Myrtle. Seluruh pekerja Myrtlegrove dapat berkonsultasi dengan saya. Gaji saya sudah mencakup layanan itu."
"Ini sarapan anda, Dokter Wayne." Ms. Adaline kembali ke dining room dan meletakkan piring berisi pesanan Dokter Wayne. English breakfast komplit, dengan aroma bacon yang menguar sampai hidung mungil Mary. Barulah Mary menyadari kesalahan besar pagi ini: tidak meminta sarapan level bangsawan dan malah menyamakan menunya dengan Viper yang menjadikan rokok sebagai makanan pokok.
Bayangan sialan. Selain menghantui, dia juga mengurangi jatah makan mewah Mary satu kali!
Sambil memotong sosis di piringnya, Dokter Harold menatap Detektif Whetstone dengan sorot serius. "Jadi, Detektif Whetstone, menurut Anda apa yang terjadi kepada orang-orang yang Anda anggap hilang tersebut?"
Yang ditanya mengembuskan rokoknya pelan.
"Saya kira mereka memang sengaja dihilangkan." Si detektif terkekeh. Tawanya terdengar menyenangkan di telinga Mary—oke, ini artinya Mary versi normal sudah mulai kembali. "Daripada menanyakan saya, bukankah anda yang sudah lama ada di dalam Estate ini harusnya lebih paham perihal ini, Dokter Wayne? Untuk apa bertanya pada orang luar?"
"Masalahnya. Saya tidak tahu mereka hilang sampai Anda berdua datang ke sini." Mata Dokter Harold terlihat sayu. Suaranya pun terdengar makin lirih. "Yang saya tahu, mereka mengundurkan diri dari pekerjaan atau memang sengaja kabur dari Myrtlegrove Estate. Setidaknya begitulah yang saya dengar dari para pelayan di sini."
Dokter Harold mengerjap cepat, lalu kembali memasang senyum. "Saya harap, Anda dapat menemukan mereka, Detektif Whetstone."
"Terutama Dorothy. Dia adalah gadis yang baik. Saya harap tidak terjadi hal buruk kepadanya."
Jemari Detektif Whetstone mengetuk-ngetuk di meja sejenak. "Dorothy Herring? Apa anda kenal dekat dengan wanita itu?"
Sepanjang interogasi mendadak—atau entah sebetulnya itu masuk dalam interogasi apa tidak, karena sejak berada di sini Detektif Whetstone selalu bertanya dengan cara mengejar lawan bicaranya—Mary sudah menandaskan segelas kopi susu dan lima lembar roti. Perutnya memang karet, kontras dengan perawakan mungilnya. Mata kelabu itu melirik Ms. Adaline yang merapat ke dinding, seakan menjaga jarak dari mereka. Lantas, ia mengamati Dokter Harold dan Detektif Whetstone.
Sejujurnya, Mary ingin menimbrung karena diam bukanlah sifatnya, tapi nanti ia malah mengacaukan pekerjaan detektif kesayangannya. Jadi, ia memutuskan untuk bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Ms. Adaline.
"Hai, Ms. Adaline." Mary melambaikan tangan, menyapa. "Kita belum sempat berkenalan dengan benar, ya, kemarin. Namaku Mario Mitford. Salam kenal!" Tangan terulur, tapi sepertinya Ms. Adaline tidak menyadarinya. Atau mungkin wanita itu tak nyaman berjabat tangan dengan seorang pria—walaupun sebenarnya Mary bukan pria.
Yang manapun itu alasannya, uluran tangan Mary tidak bersambut. Dia mengantongi tangannya, lantas bersandar di dinding sembari mengamati dua lelaki di meja makan. Percakapan dua orang itu semakin intens. Detektif Whetstone yang memang selalu bicara pada intinya, juga Dokter Harold yang berasal dari tempat di mana orang-orangnya cenderung lugas sepanjang pengetahuan gadis itu.
Menarik.
"Detektif satu itu, pagi-pagi sudah interogasi saja." Pemilik rambut brunette pendek itu berkomentar—lebih pada celetukan untuk dirinya sendiri, sebenarnya. Lalu, tiba-tiba sesuatu melintas di kepalanya.
Mary menatap Ms. Adaline. "Ms. Adaline, pertanyaan acak. Andai Anda adalah korban hilang berikutnya dan sudah diberitahu lebih dulu oleh pelakunya, akankah Anda kabur atau bertahan?"
Yang ditanyai bergeming. Mary baru sadar kalau pertanyaannya terdengar menyeramkan.
"Tolong jangan ketakutan, ya." Buru-buru wanita dalam balutan celana hitam yang juga kebesaran itu menambahkan. "Itu pertanyaan acak saja. Saya ingin tahu saja, soalnya tadi saya lihat tampaknya Anda cukup penasaran saat Detektif Whetstone bertanya soal hantu. Sepertinya seru juga kalau pelakunya sungguhan hantu terus dia melakukan hal itu."
"Saya belum ada pilihan yang lebih baik selain bertahan, Mr. Mitford." tukas Ms. Adaline setelah beberapa saat.
Si gadis mengangkat alisnya yang tipis mendengar hal itu. "Kalau ternyata itu bukan hantu, tapi sosok yang Anda kenal baik, apakah jawaban Anda masih sama?"
"Baik, kalau begitu, bagaimana dari pihak keluarga Myrtle sendiri? Apa mereka mengetahui banyak pekerja mereka yang 'hilang'? Kenapa mereka diam saja, apa ini bentuk kesengajaan?" Detektif Whetstone mengejar Dokter Harold, Mary dapat mendengarnya.
Pertanyaan yang tidak sejenis untuk orang yang berbeda pula, tetapi dilontarkan bersamaan dan bermuara ke arah yang sama: kasus orang hilang.
Ms. Adaline tampak tertegun. Ia menyembunyikan tangan di balik badan. Bahunya sedikit bergetar.
"Apa ... pihak kepolisian sudah punya kecurigaan?"
Hidung Mary mengerut melihat gestur Gaela. Adakah hal yang tengah ia sembunyikan?
"Belum, kok. Maunya sih sudah, ya." Anak itu terkekeh. "Saya senang-senang saja berada di sini, tapi sepertinya kawan saya yang ada di meja makan itu inginnya cepat pulang saja."
Apakah Ms. Adaline takut dengan Mary? Gadis itu memutuskan untuk bicara dengan intonasi yang lebih lunak—tapi tetap dalam suara berat buatannya. "Omong-omong, santai saja kalau bicara dengan saya, Ms. Adaline. Saya tidak menyeramkan seperti orang itu." Dagu Mary terangkat, mengisyaratkan tunjukan ke Detektif Whetstone yang masih mencecar Dokter Harold dengan pertanyaan.
"Ah, baik. Mr. Mitford memang terkesan lebih ramah." Ms. Adaline tertawa kecil. Tentu saja Mary mengamini. Lelaki pucat mungil yang bahkan lebih pendek dari maid yang sedang berbicara dengannya itu tentu tampak jauh lebih mudah untuk didekati. Apalagi kalau perbandingannya adalah sosok dengan wajah dingin dan bekas luka di wajah—yang, entah bagaimana, malah jadi menarik di mata Mary.
Cukup, Mary. Ini bukan waktunya mengagumi tambatan hati.
"Memangnya, kalau sudah ketahuan, apa yang akan Anda lakukan?" Mary nyengir. Ia melirik Detektif Whetstone. "Akankah Anda kabur? Atau bertahan?"
"Ehm ..." Gadis dengan rambut dikepang itu tampak berpikir sejenak sebelum kembali bersuara. "Jika polisi bisa langsung menanganinya, saya pikir masih aman bagi saya untuk bekerja di sini," jawab Ms. Adaline dengan senyum tipis.
"Berarti sebisa mungkin harus terungkap dalam lima hari ini, ya. Eh, empat." Mary terdiam sejenak. Seingat Mary, Ms. Adaline adalah maid baru di tempat ini, yang artinya bisa jadi lebih mudah diajak bekerjasama—seharusnya. "Mohon bantuannya, Ms. Adaline. Kalau ada petunjuk atau hal yang dapat kami selidiki, mohon kerjasamanya."
"Saya harap saya bisa membantu." Ms. Adaline mengangguk kecil, tersenyum.
Hening sejenak, karena Mary melihat Dokter Harold membisikkan sesuatu pada Detektif Whetstone. Apa pun itu yang dibisikkan, sepertinya itu hal yang menarik, karena ada nama Mr. Kai yang tahu-tahu saja ikut dalam pertanyaan Detektif Whetstone.
"Ms. Adaline." Tubuh kecil Mary bergeser sedikit agar lebih dekat dengan posisi Ms. Adaline. "Tidak ada hal yang mencurigakan, 'kah, sejak kedatangan kami di tempat ini?"
Ms. Adaline diam sebelum menjawab. Sungguh, gerak-gerik gadis ini begitu jelas. Terlihat sekali dari gelagatnya ada yang ingin dikatakan, tapi tampaknya masih ada keraguan. Wajar. Siapa pula yang tidak merasa terintimidasi ditanya-tanya seperti itu?
Mary tidak, sih. Sudah terlatih sebagai mata-mata. Namun, bukan itu poinnya.
Alis Mary terangkat, lantas melirik dua manusia lain yang tengah berada di dining room. "Kalau Anda kurang nyaman mengobrol di sini, apakah Anda bersedia untuk bicara di tempat lain? Tentu apabila pekerjaan Anda aman."
Ms. Adaline—lagi-lagi—terdiam sejenak sebelum dia mengangguk. "Mungkin akan lebih nyaman jika berbicara di taman belakang, Mr. Mitford. Kita bisa berbicara sembari menghirup udara segar."
Taman belakang, ya. Ide bagus. Mary mengacungkan jempolnya sebagai tanda persetujuan, kemudian menghampiri kedua manusia yang tengah berdialog di meja makan.
"Detektif, aku mau ke taman dulu, ya! Kalau butuh aku, hampiri saja di sana." Mary nyengir. Lalu, ia menoleh pada Dokter Harold. "Dokter, aku izin duluan, ya. Sampai jumpa nanti!"
*
Author notes:
Lagi-lagi, day 2 akan terbagi menjadi beberapa bagian, jadi akan kusematkan catatan versi panjang di akhir. Dan Dina masih struggle tidak bisa mengunggah gambar ruangan dan denah. Naha kitu ga direstui? T-T
Update jam 5 sore tadi: ternyata bisaa! Wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro