1.3
"Selamat datang di ruang makan Myrtlegrove Manor, para tamu sekalian."
Dengan cekatan Mr. Kai menarik satu kursi terdekat di dalam dining room. "Mr. Mitford, apabila Anda berkenan, bisa duduk menunggu di sini selagi makanan dibawa kemari?"
Entah karena kakinya terkilir atau memang sudah jadi standar pelayanan, yang jelas Mary senang diperlakukan seperti tuan putri—atau lebih tepatnya pangeran, karena saat ini dirinya sedang menjadi laki-laki. "Terima kasih banyak, Mr. Kai." Gadis itu mengangguk, menempati tempat duduk yang sudah disediakan.
Jiwa mata-mata dan reporter membuat mata Mary tak bisa diam. Ia mengedarkan pandangan, mencari sesuatu atau seseorang yang mencurigakan. Belajar dari pengalaman, untuk kali ini dia akan mengamati dalam diam saja, tidak mendekati apa pun. Mario tidak mau hari pertamanya di tempat ini menyusahkan banyak orang—terutama Detektif Whetstone.
Area ruang makan luas itu tampak bisa menampung banyak orang. Namun, Myrtlegrove Estate tidak dihuni banyak anggota keluarga selain para pelayan dan Tuan Rumah sendiri—sepanjang yang Mary tahu. Mary jelas penasaran, tapi belum menemukan cara yang bagus untuk mengulik hal itu.
"Mr. Kai, bolehkah saya bertanya sesuatu?" Mary mencoba mengajak Mr. Kai mengobrol. Berbeda dengan Dokter Harold, sejujurnya gadis brunette itu merasa segan dan sedikit ... merinding? Entahlah.
"Oh, tapi kalau Mr. Kai kurang nyaman, tidak apa-apa. Tidak perlu meladeni saya." Dirinya baru ingat tensi yang tinggi di ante room tadi. Tidak lucu kalau Mary menimbulkan keributan baru sebelum makan enak.
"Bukankah Anda sudah bertanya sekarang, Mr. Mitford?"
Mary mengerutkan hidung. Oke. Sepertinya memang itu candaan orang kaya yang sulit ia pahami, tapi harus ia terima.
"Benar juga, ya." Gadis itu terkekeh. "Ini pertanyaan ringan, kok. Apa yang membuat Anda menyukai perkerjaan ini?"
Percakapan ringan. Mungkin bisa digiring ke arah tertentu, tapi untuk saat ini Mary hanya ingin mencari cara untuk mendekati Mr. Kai. Bibir tipisnya terkatup sejenak, baru menyadari kalau jawaban Mr. Kai bisa jadi sama persis dengan yang di ante room ketika Detektif Whetstone menginterogasinya. "Selain kedekatan—eum, maksud saya, kesetiaan Anda kepada Master Myrtle. Mungkin rekan kerja yang baik, interaksi dengan orang-orang, atau suatu hal lain yang menarik untuk diceritakan?"
Ia melirik Detektif Whetstone yang sedang menyelidiki perapian. Sebenarnya Mario mau ikut, tapi takut malah membuat si detektif semakin kesal.
Oke, kepalanya benar-benar terbentur dan menggeser sesuatu di otaknya. Sejak kapan Mary punya rasa sungkan untuk Detektif Whetstone?
"Apa yang membuat pekerjaan saya menarik?" gumam Akio mengulang dengan perlahan, sekata demi sekata pertanyaan Mary. Tangan pemegang garpunya menopang siku tangan lain yang sedang menyentuh dagu. "Hmm, sejujurnya saya sama sekali tidak pernah memikirkan konsep itu."
Alisnya tak sampai bertaut, tetapi Mr. Kai sempat diam untuk beberapa saat. Sebelum kemudian menurunkan tangannya, kembali pada sikap menanti khas butler, dan menjawab, "Bagi saya mendapat pekerjaan adalah menerima kehormatan untuk dilakukan dengan sebaik mungkin dan penuh tanggung jawab dan saya hanya menjawab kehormatan itu dengan segenap kemampuan saya. Hanya begitu saja."
Mary tahu kalau para butler dan maid memang dilatih untuk bertutur penuh sopan santun dan mengabdi, tapi jawaban Mr. Kai sungguhan menarik. Maksudnya, mengingat:
sepertinya Mr. Kai sudah selama itu bekerja di sini,
tawaran gaji besar yang pernah Mary dengar dari desas-desus,
dan parasnya yang jelas menyerukan ras yang tidak umum di tempat ini,
Mr. Kai punya banyak alasan untuk minggat begitu hartanya sudah cukup. Kenapa ia begitu menikmati pekerjaan melayani orang lain yang bukan keluarganya?
"Kalau semua butler seperti Anda, Mr. Kai, sepertinya para master akan sangat bahagia dilayani dengan penuh penghormatan seperti itu." Si gadis tertawa renyah. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Pembawaan Anda luar biasa. Saya kagum, sungguh. Saya jadi ingin tahu, apakah pernah ada momen di mana Anda ingin berhenti mengabdi? Mungkin karena lelah atau hal lain?"
Mengingat pembawaan Mr. Kai yang sangat berhati-hati, Mary langsung menambahkan. "Saya rasa ruangan ini aman untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Master Myrtle tidak mungkin tiba-tiba turun kemari, 'kan?"
"Mr. Akio, apa anda tahu siapa yang terakhir menggunakan perapian ini?" Tiba-tiba Detektif Whetstone menyela.
Fokus Mr. Kai juga teralih. Meski begitu, ia masih menyempatkan diri untuk menanggapi Mary. Sungguh laki-laki yang sopan santunnya another level.
"Setahu saya yang menggunakan perapian seharusnya hanya footman atau maid yang bertugas menyalakan arang," Mr. Kai menjawab. "Dan itu bisa dicek pada jadwal tugas hari ini," gumam Akio menambahkan sembari melangkah mendekati perapian juga. "Apakah ada benda lain yang terbakar di situ, Mr. Whetstone?"
Perapian, ya? Tubuh mungil Mary celingak-celinguk, mencari bagian aneh mana yang dicurigai Detektif Whetstone.
Lelaki dengan kacamata hitam itu bertanya mengenai jadwal menyalakan perapian, dan Mr. Kai memberikan catatan sekaligus penjelasannya. Mary gatal ingin mendekat, tapi lagi-lagi ia sadar diri kalau kehadirannya berpotensi mengganggu.
Seorang maid yang sama dengan pengantar kue dan teh masuk, menyajikan sup dan potongan roti ke tempat duduk Mary. Detektif Whetstone pun menarik kursi dan duduk.
Tumben ingat makan, itu yang melintas di kepala Mary.
Baru saja Mary membatin begitu, si detektif berdiri lagi. Detektif itu menilik tempat lilin. Oke, mungkin kamera Mary bisa berperan di sini. Seharusnya inisiatif yang satu ini tidak akan diprotes oleh Detektif Whetstone.
Mary menguping percakapan detektif dan maid—Miss Adaline namanya—seraya mengarahkan kamera yang lebih besar dari wajahnya sendiri itu dan mencari sisi yang sekiranya tidak menghalangi investigasi detektif itu. Rasanya tidak perlu izin juga, karena kedatangan mereka yang diterima artinya mereka bebas melakukan apa pun dalam rangka penyelidikan, bukan?
Blitz dari kamera Mary menyapa perapian, juga tempat lilin—karena sepertinya itu yang diperhatikan oleh Detektif Whetstone sebelum mengajak maid berbicara.
Semoga ini benar-benar bisa membantu Detektif Whetstone, karena jujur saja Mary masih merasa bersalah dengan impresi pertama yang ia buat di ante room tadi. Gadis itu menimbang-nimbang apakah ia masih harus berdiri untuk memotret hal-hal lain ataukah kembali ke tempat duduknya.
Sepertinya tidak ada lagi yang perlu difoto Mary. Ia kembali ke tempat semula. Sup krim ayam dan roti yang sudah dibawakan oleh Miss Adaline belum tersentuh, tapi makanan enak tidak mungkin dilewatkan begitu saja.
Kepala mungil itu geleng-geleng melihat sesi interogasi Detektif Whetstone dan Miss Adaline. Demi Tuhan, kenapa Mr. Whetstone tidak menembakkan pertanyaan-pertanyaan itu sambil duduk saja? Dasar. Lihat muka maid itu, gugup sekali begitu terkena aura mengintimidasi dari orang bertampang sangar itu.
Ketika jemari kurus Mary menyentuh permukaan mangkuk, sup krim itu sudah mendingin. Wajar, karena cuaca dan tadi ditinggal foto. Namun, tidak apa-apa. Sudah dibilang, Mary suka makanan enak, apalagi yang jelas-jelas dibuat dengan bahan berkualitas.
Ia menyendok sup krim ayam lebih dulu, mengejar sisa-sisa kehangatan. Lantas, ia menoleh pada Mr. Kai, teringat percakapan yang tadi terputus.
"Enak sekali, Mr. Kai!" Mary tersenyum lebar. Matanya melirik jatah makanan milik Detektif Whetstone yang belum tersentuh sama sekali.
Sudah dibilang, kan? Lelaki itu lebih mengutamakan rokok daripada makanan.
"Terimakasih atas pujiannya, akan saya sampaikan pada koki yang bertugas," balas Mr. Kai seraya mengangguk santun.
"Maafkan rekan saya, ya. Dia memang begitu kalau sudah fokus dengan pekerjaannya." Yang ini Mary ucapkan lebih pelan agar tidak terdengar oleh orang yang sedang dibicarakan—meskipun Detektif Whetstone juga tidak peduli kalau pun itu kedengaran.
Butler itu menggeleng perlahan. "Bukan salah Anda berdua. Saya lupa memperhitungkan faktor kebiasaan tamu dan berasumsi semua yang baru melakukan perjalan panjang pasti membutuhkan tambahan nutrisi."
"Mr. Kai, apakah setelah ini Anda ada keperluan lain? Saya ingin melanjutkan obrolan tadi dengan Anda jika Anda tidak sedang sibuk."
Mata Mr. Kai yang sudah kecil itu kian menyipit.
"Ah, ya ...," gumamnya memulai. "Anda tadi sempat meragukan perasaan saya terhadap pekerjaan ini, bukan?"
"Bukan, bukan maksud saya meragukan Anda, Mr. Kai." Mary buru-buru menggeleng. "Hanya saja, biasanya orang punya titik jenuh atau menemukan sesuatu yang membuat ia ingin meninggalkan pekerjaan itu. Apalagi jika dilakukan bertahun-tahun di tempat yang sama. Apakah Anda tidak pernah merasa seperti itu?"
Manusia mungil dengan nafsu makan besar itukembali menyendok supnya sembari menunggu jawaban Mr. Kai.
"Mohon maaf, tapi ... saya tidak paham. Apakah orang memang bisa jenuh pada pekerjaan yang sudah mereka pilih sendiri?" Mr. Kai terdengar heran.
"Kenapa tidak bisa?" Mary terkekeh. Ia teringat masa menjadi mata-mata, ketika ia sering diremehkan hanya karena dia perempuan remaja—tapi di saat bersamaan, sering pula "ditumbalkan" untuk tugas yang mengancam nyawa. Gadis itu suka jadi mata-mata, tapi benci dipandang sebelah mata hanya karena gender. "Dulu, saya pernah punya atasan yang menyebalkan. Walau saya suka pekerjaan itu, tapi ada kalanya saya enggan bekerja karenanya."
Mata kelabu Mary menatap Mr. Kai penuh rasa ingin tahu. "Jadi, apakah pernah ada momen di mana Anda ingin berhenti mengabdi karena sesuatu ... atau seseorang?"
Wajah Mr. Kai yang tadi begitu tegang, melunak. "Ah, rupanya begitu," gumamnya seperti baru saja menyadari suatu misteri terbesar dalam hidup. "Menjelaskan mengapa para pegawai yang sebelumnya rajin bisa malas-malasan di hari berikutnya, atau makin bertambah banyak kesalahan yang dilakukan setelah menerima teguran. Saya paham sekarang, terima kasih banyak atas penjelasan Anda, Mr. Mitford," dia menambahkan dengan ekspresi jauh lebih cerah.
"Mengenai saya sendiri, tidak. Saya tidak pernah ingin berhenti mengabdi hanya karena seseorang tidak saya sukai atau membuat situasi kerja saya menjadi kurang menyenangkan apabila pekerjaan itu saya sendiri yang menerima. Mengusahakan agar diri ini bisa mencapai kondisi yang masuk kategori sesuai untuk meneruskan pekerjaan juga termasuk dalam hal yang harus saya lakukan. Menurut bahasa kalian, apa itu namanya ...?"
Tangan Mr. Kai memutar-mutar telunjuk, seperti mencoba mencari sesuatu di ingatan. Kemudian senyumnya mengembang ketika menemukan jawaban yang dicari.
"Ah, benar ... Work Risk!"
"Betul-betul etos kerja yang luar biasa." Mary geleng-geleng kepala. Ia kembali menyendok sup sebelum melanjutkan obrolannya. "Saya tidak bermaksud mengajak Anda bergosip atau semacamnya, ya, Mr. Kai. Tapi ...."
Sebenarnya, Mary ingin masuk ke pertanyaan mengenai karakter para pegawai yang menghilang. Siapa tahu itu membantu.
Pertanyaannya, apakah ini waktu yang tepat?
Mario melirik detektif dan maid. Sepertinya sesi interogasi sudah nyaris berakhir, dan hari sudah malam. "... Tidak jadi, deh. Mungkin besok saja."
Sesi makan Mary dan Detektif Whetstone habis hanya dalam waktu beberapa menit. Mary, yang menandaskan makanan karena dia memang suka, dan Detektif Whetstone yang hanya makan agar ia bisa lanjut merokok. Benar-benar berbeda.
Gadis itu sedikit merengut ketika Detektif Whetstone berkata tidak usah ada acara makan malam. Sungguh tidak tahu diuntung, padahal itu kesempatan untuk makan enak dan mewah. Tapi, yah, kalau dipikir-pikir, tubuhnya lelah dan kakinya perlu diluruskan, jadi Mary tidak bisa protes juga.
"Ah, tentu saja, Mr. Whetstone. Kebetulan ...," Mr. Kai melirik jam sakunya, "... kamar untuk rekan Anda juga pasti sudah selesai disiapkan."
Setelah memasukan kembali jam berantai itu ke saku, Mr. Kai melangkah menuju pintu, mencari seseorang—mungkin untuk dikabari, atau diperintahkan sesuatu.
"Juga ... apabila Anda berdua lebih memilih untuk beristirahat di kamar lebih awal dan melewatkan acara makan malam, kami bisa menyiapkan agar makanan dikirim ke kamar Anda masing-masing. Katakan saja bila ada jenis makanan yang lebih disukai, mungkin suhu sup yang tak terlalu panas, sayuran, maupun daging yang dipilih?" Mr. Kai tersenyum dengan khas—lagi. Lama-lama Mary merasa senyuman template Mr. Kai seperti terprogram otomatis di kepalanya—sampai ia menyadari kalau dirinya sendiri juga hobi cengegesan.
"Terima kasih banyak, Mr. Kai." Mary bangkit dari tempat duduknya. Kakinya sudah tidak terlalu sakit, tubuhnya yang pegal. "Saya bisa makan apa saja, karena saya percaya manor ini akan menyajikan makanan-makanan yang lezat. Diantar juga boleh apabila itu tidak merepotkan."
Ia melirik ke arah detektif. "Kalau Detektif Whetstone, sepertinya lebih baik Anda bertanya apa jenis rokok kesukaannya, Mr. Kai. Orang itu selalu mementingkan rokok di atas apa pun." Mario mendengkus pelan.
"Tidak perlu repot menyiapkan makanan untuk saya, terserah kalau misal asisten saya itu mau makan malam atau tidak." Detektif Whetstone sekedar mengangkat bahu. Jelas orang itu tidak peduli.
"Kalau begitu, saya mohon permisi untuk hari ini. Terima kasih sudah cukup kooperatif dalam penyelidikan."
Mr. Kai sepertinya sudah maklum dengan pembawaan dingin Detektif Whetstone. "Baiklah, kami akan menyiapkan makan malam praktis untuk dikirim ke kamar Mr. Mitford. Apakah pukul 8 malam adalah waktu yang sesuai?"
"Boleh. Terima kasih banyak!" Mary mengangguk riang pada Mr. Kai.
Kemudian lelaki dengan rambut yang ditata rapi tak bercela itu membuka pintu menuju lorong, sembari meneruskan, "Sedangkan untuk Mr. Whetstone, bisa memanggil salah satu footman atau maid yang bertugas bila menginginkan tambahan air atau camilan ...." Kalimatnya berhenti sejenak untuk bertatapan langsung dengan seorang footman. "Saya tidak tahu apakah mereka akan seenaknya lagi bertukar jadwal kerja," dia menambahkan dengan tatapan masih tertuju pada pemuda yang terlihat gugup itu.
"Silakan, setelah makan Anda bisa mengikuti lelaki muda ini untuk menuju kamar masing-masing."
*
Kamar Mary dan Detektif Whetstone terletak di lantai dua, bersebelahan. Mary sempat berpikir andai kamarnya hanya satu dan para pelayan di manor tidak sempat menyiapkan kamar untuknya, tapi langsung ditepis. Ia belum segila itu.
"Mitford," tiba-tiba Detektif Whetstone memanggil ketika mereka berdua masih berada di depan pintu kamar. "Selain bersenda gurau dengan butler, dokter, dan mungkin maid tadi, apa kamu menyadari sesuatu?"
"Hei, aku sedang pendekatan agar lebih mudah mencari informasi, bukan bersenda gurau!" Mary protes. Gadis itu berpikir sejenak. "Di ante room, aku melihat foto Henry Myrtle muda—eh, belum bisa kupastikan karena tadi aku terjatuh ... Tapi yang jelas ada sosok pria yang sepertinya berada di usia 20-an, seorang wanita, dan anak bayi dalam gendongan."
"Foto Henry Myrtle muda yang tampak masih berkeluarga lengkap, ya. Sementara manor ini sepi layaknya kuburan hidup." imbuh Detektif Whetstone.
Sebetulnya hanya itu yang sepertinya berguna, tapi tentu saja Mary gengsi. Ia berpikir keras terkait apa yang ia dapatkan di hari kedatangan mereka. "Sejauh ini, aku belum bisa mengorek seperti apa Mr. Kai dan Dokter Harold, tapi sepertinya Dokter Harold sering kena rumor, berdasar obrolan kami sebelumnya. Biasanya orang yang ramah itu malah bikin curiga. Lalu, Mr. Kai ...."
Butuh waktu untuk berpikir sejenak. Gadis itu ingin menganalisis Mr. Kai, tapi data yang ia dapatkan terlalu minim. Sulit.
"... Ya? Ada apa soal Mr. Akio?"
"Mr. Kai itu ... apa ya? Dia mau melakukan apa pun demi melindungi manor ini. Dia juga tipe orang yang benar-benar setia dengan apa yang ia pilih untuk jalani. Tapi aneh saja, karena kupikir sebenarnya dia bisa pergi kembali ke negara asalnya kalau mau? Pasti gaji butler di sini besar."
Mary menjeda sejenak. Ocehannya terlalu ke mana-mana, kebiasaan kalau mulai panik—padahal Detektif Whetstone juga tidak sedang menekannya. "Menurutku, ya, bisa jadi ada rahasia besar tentang dirinya yang dipegang oleh Henry Myrtle atau siapa pun yang menjadi orang penting di sini, kan?"
Lagi-lagi gadis itu mengerutkan hidung—refleksnya ketika merasa bingung. "Tadi aku belum sempat mengorek banyak. Waktu makan terlalu singkat, mungkin besok akan kucari bagaimana caranya mencari tahu selama kau menyelidik. Lalu, malam ini aku akan mencoba untuk mencetak foto-foto yang sudah diambil untuk membantu penyelidikan. Semoga tidak gagal cetak."
Gadis itu menggigit bibir. Dia tidak seceroboh itu biasanya, tapi dengan kejadian terjerembab di hari kedatangan dan minimnya informasi yang ia dapatkan, jujur saja ia jadi takut sungguhan menyusahkan Detektif Whetstone. "Hari ini aku memang tidak mendapat banyak informasi, tapi kalau ada yang mau didiskusikan, aku siap membantu, kok!"
Mary serius dengan ucapannya. Begini-begini, otaknya bisa cukup diandalkan—tapi sepertinya Detektif Whetstone akan menolak tawarannya. Di mata pria tua itu, pasti Mary dianggap sepertu anak kecil. Menyadari hal itu, si gadis menghela napas.
"Yah, toh yang kita dapat sama-sama saja. Belum ada bukti konkrit yang condong pada satu kemungkinan." Detektif Whetstone menggelengkan kepala. Tuh 'kan, benar. "Ini hampir terdengar baik korban atau pelaku sama-sama berteriak kalo mereka semua korban."
Mary menarik napas dalam-dalam. "Masih hari pertama, kok. Wajar kalau masih banyak missing link." Ia mengucapkan itu dengan nada sesantai mungkin—tapi sebenarnya ucapan itu lebih ditujukan kepada dirinya sendiri. "Kita baru saja melalui perjalanan panjang dan langsung memulai pekerjaan di tempat ini. Tidak buruk juga."
Karena merasa butuh untuk menyemangati dirinya sendiri dan pujaan hati, Mary memberanikan diri untuk menepuk bahu Detektif Whetstone. "Selamat malam, Detektif. Sampai jumpa besok—atau mungkin nanti? Kalau kau mau diskusi, ketok saja pintu kamarku, ya!"
Begitu saja, mereka masuk ke kamar masing-masing.
Entah Mary harus bersyukur atau bagaimana hari ini. Yang jelas, kaki kiri yang tadi terkilir terpantau aman, jadi ia bisa leluasa bergerak. Gadis itu langsung melemparkan tubuhnya ke kasur yang luas.
"Andai kamar tempat tinggalku sebagus ini." Ia menghela napas. "Tapi, kalau uangku sebanyak itu sampai bisa membeli tempat tinggal seperti ini, mungkin aku tidak akan bertemu Viper Whetstone." Mary terkikik geli mendengar ucapannya sendiri.
Omong-omong, ternyata tenggorokannya sakit juga dipakai bicara sebagai Mario terlalu lama. Biasanya, Mary memasang jeda dengan cara kabur entah ke mana di jam kerja, agar pita suaranya bisa beristirahat sejenak. Mungkin gadis itu harus mencari cara agar bisa lebih nyaman dalam penyamarannya sepanjang lima hari ke depan.
Sejujurnya, Mary lelah, tapi masih ada tugas yang harus ia lakukan untuk menutup hari. Gadis itu meregangkan punggung setelah merasa lebih baik, lantas menyiapkan peralatan untuk mencuci foto.
Setelah menyalakan lampu minyak mungil dan menyelubunginya dengan gelas kaca merah, Mary mematikan lampu ruangan. Dengan penuh kehati-hatian, ia mengurai rol film yang sudah terpakai hari ini dan memasukkannya ke dalam developer tank.
Yang ini tidak boleh gagal. Sudah cukup kecerobohannya hari ini. Lagipula, ini pekerjaannya sehari-hari. Konyol sekali kalau sampai tidak berhasil.
Setelah proses pencucian foto yang cukup menguras waktu dan tenaga—bahkan gadis itu hampir kelepasan menyahut dengan suara perempuan ketika pelayan mengantar makan malamnya—ia menjemur film yang sudah bisa diintip hasilnya. Samar-samar, manik abu-abu cenderung biru itu mendapati beberapa bagian film gelap sempurna.
Tunggu. Fotonya rusak?
Mary memicingkan mata, mencoba kembali mengamati di tengah remang-remang merah. Benar, hanya potret wadah lilin yang menampakkan wujudnya—walaupun nyaris tidak selamat. Bagian film lainnya sama sekali tidak menampakkan siluet atau apa pun itu yang seharusnya ia potret tadi.
Air merebak di pelupuk mata Mary. Gadis itu mendadak sensitif. Rasa-rasanya Mary sudah berusaha melakukan usaha terbaik yang ia bisa. Walaupun perasaan sukanya pada Detektif ikut andil dalam keputusan Mary ikut kemari, gadis itu sungguh-sungguh ingin membantu memecahkan misteri di Myrtlegrove Estate. Kenapa takdir seakan tak berpihak padanya hari ini?
***
Author note:
HUAAA. AKHIRNYA YAH WKWK. Aku agak shock sejujurnya karena hasil rekapannya nyaris 7k kata. Mau dijadiin satu bab, nanti pegal gais, jadi kubagi tiga sajaa :)
Terus, niatnya aku mau ngasih media buat memberikan gambaran visual, karena agak susah juga menyelipkan penjelasan visual di tengah cerita yang padat begini. Cuma, Wattpad-nya nggak ngasih, padahal bukan foto aneh-aneh, loh. Tjih.
Day 1 ini, dari 5x gacha nasib (tebak di adegan yang mana saja), hanya 1 yang berhasil. Padahal yang di-gacha itu skill terbaik Mary. Aku merasa dibadutin sama gacha T-T) Semoga POV Mary ini masih kerasa cerita misterinya ya alih-alih sitkom atau romance WKWKWKWK.
Seperti yang kubilang di prolog, wish us many good luck gachas. Biar terungkap misterinya T-T
Kalau mau lihat dua daddy adu intelek (dan clue-clue yang didapat salah satu dari mereka, karena gachanya bagus):
frixasga as Police Detective
Catsummoner as Butler
Kalau mau lihat POV dokter godain cewek2:
amelaerliana as Doctor
Kalau mau lihat POV maid yang nggak lugu-lugu amat dan dapat info mencengangkan:
Nanaasyy as Maid
Sampai jumpa di day 2!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro