1.2
"Maaf sudah mengganggu. Aku hanya ingin menyapa para tamu yang sudah jauh-jauh datang ke sini sekaligus memperkenalkan diri."
Gadis itu langsung mengobservasi manusia yang baru muncul itu. Rambut pirang. Mata biru. Bukannya tidak ada sama sekali, tapi jarang ada orang Inggris dengan penampakan fisik seperti itu. Belum lagi aksennya yang sama sekali bukan British. Mary mencoba menebak. Bukan butler, kalau dilihat dari pakaiannya. Siapa?
"Doctor Wayne?" Mr. Kai tampak terkejut. Ternyata lelaki itu seorang dokter. Sang butler langsung sigap memperkenalkan sosok itu. "Tamu-tamu sekalian, mohon maaf atas keterlambatan saya memperkenalkan orang ini. Dia adalah dokter pribadi bagi Master Myrtle, Doctor Harold Wayne."
Kemudian Mr. Kai mengarahkan ujung tangannya pada masing-masing tamu dan meneruskan. "Beliau yang sedang duduk di situ adalah detektif polisi dari Scotland Yard, Mr. Viper Whetstone, sedangkan yang duduk di sebelah sana adalah rekan yang ikut bersama beliau, Mr. Mitford."
Sungguh, Mary ingin fokus berusaha kembali menyimak percakapan kedua orang itu. Yang jadi masalah, sepertinya salah posisinya ketika tersandung tadi separah itu, karena nyerinya tak usai-usai. Boro-boro menganalisis, gadis dengan bintik-bintik samar di hidungnya itu jadi tak bisa mengamati situasi dengan benar perkara kesakitan sendiri.
Tentu saja, walaupun kakinya membuat ia ingin menjerit, Mary berusaha tidak menunjukkan wajah menderita. Selain tidak berguna—Detektif Whetstone jelas tak peduli—gengsinya juga tinggi. Sebagai orang yang sering terjun ke lapangan dan bertemu macam-macam hal, keseleo seharusnya bukan masalah besar, 'kan?
Namun, ketika mata kelabunya bertemu dengan mata biru cerah milik seseorang yang dibilang dokter itu, tubuhnya seakan berkhianat. Rasa nyeri akibat terkilir di pergelangan kaki kirinya langsung menjalar, membuat Mary mengaduh pelan.
"Anda berdua bisa memanggil saya Harold saja," kata Harold ramah, menanggapi perkenalan dari Mr. Kai. Seseorang yang katanya dokter itu mendekat dan mengulurkan tangan pada Mary, alih-alih Detektif Whetstone, padahal Detektif Whetstone-lah tamu resminya. Mungkin karena tadi dokter itu melihat Detektif Whetstone dan Mr. Kai tengah bercakap.
"Anda tidak apa-apa, Mr. Mitford? Apakah Anda sedang tidak enak badan? Kalau iya, saya bisa memeriksa Anda." Harold masih memasang senyum ramah, lebih ramah dari milik Mr. Kai.
Duh, Mary ingin menguping, sungguh. Fokusnya jadi terbagi dua: mendengarkan adu bicara detektif kesayangannya dengan butler dan meladeni si dokter. Tangan Dokter Wayne terasa begitu besar ketika Mary menyambut uluran jabat tangannya.
Berbeda dengan dua manusia lain yang sejak tadi membersamai, aura orang ini terasa jauh lebih menyenangkan. Ya sudahlah kalau begitu. Setidaknya, walaupun mencurigakan, Mary tahu keramahan itu tidak dibuat-buat. Ia turut tersenyum.
"Mario Mitford. Salam kenal." Mary mengangguk, mencoba tetap berlagak baik-baik saja. "Di sini saya hanya bertugas membantu Detektif—aw!"
Kaki sialan. Kenapa ketika ia mencoba untuk berdiri agar bisa mengimbangi posisi dokter, pergelangannya malah berulah?
Dokter Wayne berjongkok. "Apakah saya boleh memeriksa kaki Anda, Mr. Mitford?"
"Oh? Tadi cuma jatuh biasa, kok, karena saya kurang hati-hati ...."
Mungkin memang hasil kecerobohannya tadi butuh sentuhan seorang dokter agar bisa lebih baik. Mary yang sudah mau langsung mengiyakan baru teringat sesuatu. Orang ini dokter. Kalau kakinya disingkap, apakah identitas aslinya akan terungkap?
Biarkan saja bekas terkilirnya, nanti juga sembuh sendiri. Itu pikir Mary. Masalahnya, nyeri di bawah sana makin menjadi. Bagaimana kalau kaki pincangnya yang tak diobati itu malah menghambat penyelidikan Detektif Whetstone?
Sambil berdoa agar Dokter Wayne tidak curiga dengan penampilan fisiknya, Mary mengangguk. Tak lupa juga cengengesan macam anak inosen. "Padahal saya belum ada satu hari di sini, tapi sudah merepotkan saja. Mohon maafkan kecerobohan saya."
Si gadis kembali duduk dan menatap Dokter Wayne yang kini berada di sebelah kiri, posisi yang lebih rendah darinya. Tingkat kewaspadaannya meningkat perlahan.
"Izinkan saya memeriksanya untuk memastikan. Kaki yang terkilir bisa makin parah jika tidak segera diobati." Dokter Wayne tersenyum. Sepertinya laki-laki ini sama seperti Mary, hobinya refleks tersenyum. "Sepertinya ada sendi yang bergeser. Tapi saya bisa mengobatinya."
Mata kelabu Mary masih mengamati.
"Apakah boleh saya coba?" Dokter Wayne bertanya lagi. "Rasanya mungkin sedikit sakit. Tapi, saya jamin setelah itu Anda akan merasa lebih baik."
"Boleh. Terima kasih banyak." Mary melirik Detektif Whetstone, mengecek apakah keberadaan Dokter Wayne yang mengobatinya membuat proses investigasi terganggu, tetapi sepertinya lelaki itu akan tetap melanjutkan keperluannya selama Mary tidak berdarah-darah hebat. "Apakah saya harus berada di posisi tertentu, Dokter Wayne?"
"Anda hanya perlu percaya pada saya."
Usai menjawab pertanyaan yang Mary lontarkan, Harold menyangga telapak kaki Mario di lututnya, lalu mulai menggerakkan telapak kaki Mario ke kanan dan kiri. Beberapa saat kemudian, dia melakukan gerakan menghentak untuk mengembalikan sendi yang bergeser ke posisi semula.
Bunyi berderak terdengar. Ngilu!
"Aw." Sudah berusaha ditahan, tapi Mary keceplosan mengaduh pelan ketika Dokter Wayne mencoba membenahi bagian apapun itu di ujung tubuhnya. Demi apa pun, rasanya nyeri, tapi gengsinya lebih tinggi. Dokter ini tidak akan mencelakainya, 'kan, ya?
Demi mengalihkan rasa sakit, Mary mengamati lelaki yang jauh lebih tinggi daripada dirinya itu. Baik Mr. Kai maupun dokter ini, semua tampak lebih muda daripada Detektif Whetstone. Cara Dokter Wayne berkomunikasi juga jauh lebih luwes daripada dua pria lain yang sejak tadi ia bersamai.
Ada sebuah ide yang tercetus di kepala Mary. Apakah sebaiknya ia mencoba mendekati Dokter Wayne? Sepertinya orang itu lebih terbuka daripada Mr. Kai. Mary merasa Mr. Kai akan lebih sulit ia tanya-tanyai, apalagi karena dia nyaris merusak barang di ante room di hari pertama kedatangannya. Lagipula, sepertinya Mr. Kai itu biarlah jadi urusan Detektif Whetstone saja.
"Apakah saya akan mengganggu fokus Anda jika saya mengajak Anda mengobrol?" Mary menatap rambut pirang Dokter Wayne yang bergoyang-goyang.
"Tidak, kok. Sebenarnya ini sudah selesai, tapi akan lebih baik jika untuk sementara waktu kaki Anda dibebat dulu. Coba Anda gerak-gerakkan sedikit. Apakah masih sakit?" Dokter Wayne menatap mata kelabu Mary sembari mengulas senyum simpatiknya.
Mario mencoba menggerakkan kakinya yang mungil, lantas mengangguk. "Aman. Terima kasih, Dokter Wayne."
"Syukurlah." Pria berkacamata itu tersenyum lebar. "Kalau begitu, saya kembali ke kamar dulu untuk mengambil perban dan obat. Nanti, kita bisa lanjut mengobrol sambil saya membebat kaki Anda."
Harold bangkit berdiri, dia mengangguk sekilas pada Detektif Whetstone dan Akio, lalu meninggalkan ante room.
Sembari menunggu dokter, Mary menyimak percakapan antara Detektif Whetstone dan Mr. Kai. Bukannya Mary tidak paham kalau pekerjaan detektif memang menyelidiki—dan dalam banyak kasus, jadi menginterogasi dengan penuh tekanan—tapi tetap saja ia sedikit merinding dengan tensi yang dibangun oleh Detektif Whetstone. Hanya sedikit, karena sisanya takjub. Memang tidak salah keputusannya untuk mengikuti Detektif Whetstone kemari, karena gadis itu jadi bisa melihat lebih banyak sisi keren dari orang yang ia kagumi itu.
Detektif Whetstone menyundutkan batang rokok kesekian itu dan menepuk tangannya sekali, menyingkirkan abu yang berkumpul di telapak tangannya. "Siapa—atau apa—yang sebenarnya sedang Anda lindungi dengan Anda sendiri sebagai bayarannya?"
Lihat, keren, 'kan? Mary ingin sekali bisa selihai itu dalam menekan orang lain. Andai dia punya kemampuan sehebat itu, mungkin dia bisa membungkam semua manusia yang meremehkannya sebagai seorang wanita. Tidak salah memang menjadikan lelaki itu pujaan hatinya.
Gadis itu juga mengamati bagaimana Mr Kai merespon. Kalau ditilik dari caranya bersikap dan menyambut pertanyaan Detektif Whetstone, jelas lelaki ini bukan sekadar butler biasa. Orang ini bisa bersikap tenang dan ramah sekaligus mengeluarkan aura yang membuat orang segan di waktu bersamaan. Karena Mary sendiri sudah terlatih berada di situasi semacam ini, ia tahu kemampuan untuk pembawaan seperti ini tidak mungkin muncul begitu saja.
Sebenarnya, apa yang sudah Mr. Kai lalui selama menjadi pekerja di sini?
"Sekarang aku akan membebat kakimu." Ternyata, Dokter Wayne sudah datang. Ujarannya mengalihkan fokus si gadis dari sesi interogasi. "Silakan jika ada yang ingin kau tanyakan."
Mary sedang menimbang-nimbang pertanyaan pembuka yang cocok. Mungkin sebaiknya Mary menggunakan diksi yang lebih santai juga untuk mengimbangi si dokter dan membangun suasana akrab. Dia sendiri yang bilang kalau tidak masalah dipanggil dengan nama depan. Yang Mary tangkap, itu artinya tidak masalah untuk bicara lebih ringan.
Suasana akrab. Si gadis terkikik saat kata itu muncul di benaknya. Lucu juga, ia ingin membangun kedekatan dengan orang lain ketika dua lelaki yang berjarak tak jauh darinya sedang bersitegang.
"Dokter Harold, sudah lama bekerja di tempat ini? Dilihat dari aksen dan parasmu, sepertinya kau bukan orang Inggris asli, ya?"
Sedetik kemudian, Mary baru sadar kalau pertanyaan terakhirnya terkesan sok tahu. Astaga, baru juga pertanyaan pertama. Sepertinya perjalanan berjam-jam dengan Detektif Whetstone merenggut sebagian otaknya, karena rasanya dari tadi dia terus melakukan kesalahan. "Eh, itu hanya analisis abal-abalku saja, Dokter. Mohon maaf kalau aku salah menebak!"
"Ternyata kau jeli juga, ya. Benar. Aku bukan orang Inggris, walau leluhurku konon katanya berasal dari Bristol." Sambil terus membebat kaki Mary, Dokter Harold menjawab. "Aku lahir dan besar di Manhattan. Aku mulai bekerja kepada Mr. Myrtle sejak ... err ... sekitar lima tahun lalu kurasa."
Harold kemudian berdiri sembari menepuk-nepuk kedua tangannya. Mata birunya tampak berbinar-binar. Kini, kaki Mary telah terbebat sempurna. "Asal kau tidak berlari atau melompat-lompat, harusnya kakimu sudah sembuh dalam beberapa hari."
Siapa juga orang gila yang mau loncat-loncat tanpa alasan di rumah orang? Mary mendengkus pelan. Dia hanya akan loncat-loncat kalau perasaannya pada Detektif Whetstone berbalas, alias itu adalah sebuah ketidakmungkinan yang niscaya.
"Sayangnya sekarang cuaca sedang tidak bersahabat. Nanti malam, mungkin kau akan merasakan ngilu di bagian yang cedera. Apakah kau ada kelainan jantung atau penyakit bawaan lainnya, Mr. Mitford?" Dokter Harold bertanya.
"Sepanjang hidupku, rasa-rasanya aku cuma pernah sakit parah saat Perang Dunia." Mary tertawa pelan. Ia tidak bohong, memang begitu adanya. "Seharusnya aman, Dokter."
Jeda sejenak. Mary tidak ingin membentuk impresi buruk pada orang yang baru ia kenal, tapi rasa penasarannya begitu menggebu.
"Omong-omong, sudah lama juga ya kau bekerja di sini. Apakah ...." Mata kelabu Mario melirik Mr. Kai yang meladeni pertanyaan bertubi-tubi dari Detektif Whetstone dengan senyum dan tawa seakan-akan itu bukan hal besar. Entah kenapa, sikap itu semakin menimbulkan rasa janggal di benaknya. ".... orang-orang di sini sebaik itu hingga kau bisa bertahan sekian tahun di sini, jauh dari mana-mana?"
Semoga tidak salah bicara. Mary yakin diksi yang ia pilih aman-aman saja.
Dokter Harold tersenyum lebar. "Mungkin terdengar naif, tapi aku adalah tipe orang yang percaya bahwa pada dasarnya setiap orang memiliki kebaikan. Sejauh ini, aku tidak pernah bermasalah dengan para pekerja manor maupun warga desa—kadang-kadang aku memberikan pengobatan gratis kepada mereka."
Mary mengangkat alis. Berakhlak mulia sekali. Memangnya masih ada orang yang benar-benar sebaik itu?
Si gadis mungil ingin berceletuk begitu, tapi tentu saja ia telan dalam hati. Mereka saja belum ada sehari bertemu, terlalu cepat untuk menilai. Walaupun Mary tadi membuat catatan mental untuk tidak percaya siapa-siapa, bukan berarti ia bisa berprasangka buruk pada seseorang seenak jidat.
"Kalau kau sendiri, sudah berapa lama menjadi detektif?"
Pertanyaan berikutnya membuat Mary berpikir. Kamera yang sedang dibawa seharusnya menunjukkan pekerjaannya, tapi wajar kalau ia dikira detektif juga. Haruskah ia menyebut identitas aslinya sebagai reporter? Mary takut akan terjadi huru-hara, apalagi dirinya sendiri yang memaksa ikut kemari tanpa penugasan dari siapa pun. Namun, kalau mengaku detektif pun, si gadis belum sempat menyiapkan penyamaran yang matang untuk posisi itu.
"Aku bukan detektif." Akhirnya Mary memilih jawaban diplomatis—tentu tanpa menyebutkan profesi aslinya. "Aku hanya rekan kecil Detektif Whetstone. Dia mengajakku untuk membantunya." Yang ini jelas bohong, tapi karena Detektif Whetstone sedang fokus dengan Mr. Kai seharusnya ia tidak mendengar celetukan itu. Tidak masalah. "Dokter Harold, berarti kau juga punya hubungan baik dengan orang-orang yang jadi alasan kami ke tempat ini, ya?"
Harold mengedikkan bahu. "Kalau kau tanya kepadaku. Ya. Aku merasa tidak pernah punya masalah dengan mereka. Tapi, kau mungkin juga akan mendengar rumor tentangku. Yang mungkin saja benar ... entahlah ... kita tidak bisa mengatur bagaimana perasaan orang kepada kita, kan?"
Rumor macam apa yang bisa hinggap pada orang seramah ini? Mary mengerutkan hidung.
"Sebelum aku undur diri karena masih ada hal lain yang harus kukerjakan, izinkan aku meresepkan obat untukmu."
Ekspresi Dokter Harold mendadak berubah serius. Dia mengeluarkan sebuah botol kecil berwarna bening dari salah satu saku jasnya. Terdapat stiker bertuliskan 'Laudanum' dengan tulisan-tulisan lain yang lebih kecil di bagian luar botol, sementara cairan cokelat pekat–nyaris berwarna hitam–mengisi separuh botol.
"Sebenarnya aku tidak terlalu suka meresepkan obat ini untukmu, tapi malam hari di Myrtlegrove bisa menjadi sangat dingin saat musim gugur seperti ini, dan itu bisa memicu rasa nyeri di kakimu. Aku tidak memiliki stok obat pereda nyeri lainnya, jadi terpaksa kuresepkan ini untuk berjaga-jaga. Aku sarankan kau meminum obat ini hanya jika rasa sakitnya tidak tertahankan lagi. Aku perkirakan beratmu tidak sampai 50 kilogram, jadi jangan minum obat ini lebih dari seperempat sendok teh," papar Dokter Harold sambil memberi penekanan pada beberapa kata.
Mary belum puas. Ia ingin berkenalan dan mencari kesempatan untuk mengorek lebih dalam, tapi sepertinya Dokter Harold hendak ada urusan lain. Ia mengamati botol kecil yang baru diberikan padanya, lalu menatap mata biru Dokter Harold.
"Sekali lagi, terima kasih, ya, Dokter. Mungkin nanti kita bisa mengobrol lagi kalau sedang senggang? Betapa senangnya kalau aku bisa berkenalan lebih jauh dengan orang-orang di tempat ini—terlepas dari alasan detektif yang satu itu membawaku kemari." Mary tersenyum. Yang ini tulus, bukan hanya sekadar kata pemanis untuk memudahkan proses penyelidikan, walaupun mungkin intensi yang ditangkap bisa berbeda.
"Tentu saja. Biasanya kalau sedang tidak bertugas, aku ada di perpustakaan." Wajah Dokter Harold kembali terlihat berseri-seri. "Sampai jumpa lagi, Mario."
"Sepertinya cukup untuk saat ini, terima kasih atas kerja sama anda, Mr. Akio." Detektif Whetstone memasukkan kembali buku catatan ke dalam jaketnya, tepat setelah Dokter Harold keluar. "Saya ingin sekali bicara dengan Tuan Rumah, tapi ada hal lain yang ingin saya pastikan terlebih dahulu."
"Sama-sama, Mister Whetstone. Saya juga berterimakasih atas kesempatan berbincang yang menyenangkan ini." Mr. Kai tersenyum.
Detektif Whetstone bangkit begitu saja, memutar badan, mengedarkan pandangannya ke serambi manor.
"Bisa tunjukkan saya ke arah mana area ruang makan, Mr. Akio?"
Mr. Kai tampaknya memastikan sesuatu, ditilik dari tampang, gerak-gerik, dan gumamannya. Sementara itu, Detektif Whetstone beralih pada Mary.
"Oi, asisten, kamu mau ikut atau tidak? Kalau misal masih mau urus kakimu, kembali saja ke kamar yang sudah disediakan Mr. Akio."
Detektif Whetstone menyahut, kembali menyalakan batang rokok berikutnya sebelum dia berjalan ke area makan. Benar-benar. Kalau Viper Whetstone punya nama tengah, itu pasti Lucky—dari Lucky Strike!
Lagipula, apa maksud pertanyaan itu? Mary, 'kan, di sini untuk membantu menyelidiki juga! Jelas ia akan mengikuti Detektif Whetstone selama tidak ada hal lain yang menarik perhatiannya.
"Ikut, lah! Aku 'kan asistenmu!"
"Mohon maaf, koki kami belum selesai menyiapkan makan malam. Namun bisa saja kami menyediakan sup dan roti untuk mengganjal lapar, apabila Anda berdua ..." Mr. Kai mengerling pada Mary. "... Tidak keberatan dengan itu?"
Terlepas dari kasus yang melingkupi, usaha Mary untuk menghadirkan dirinya di tempat jni ternyata bukan ide buruk. Matanya berbinar mendengar kata sup dan roti. "Apa pun jamuan yang disuguhkan, saya menerima dengan senang hati, Mr. Kai. Sebuah kehormatan bisa dijamu dengan pelayanan terbaik dari Myrtlegrove Estate."
Gadis itu mengikuti kedua orang yang sudah beranjak dari ante room. Agak lambat jalannya karena, yah, baru diobati? Namun, Dokter Harold melakukan tugasnya dengan baik. Kakinya sudah nyaris baik-baik saja, aman dipakai berjalan.
Sembari menyusul kedua lelaki yang lebih tinggi darinya, Mary menoleh ke belakang, mengamati dinding pintu masuk. Tapi, yah, sepertinya selain kaki, kecelakaan tunggalnya barusan juga membuat kepalanya tidak bekerja, karena dia tidak menemukan informasi atau jejak apa pun yang ia harapkan ada di sana.
Butler dalam balutan jas itu melangkah sedikit lebih cepat untuk mendahului langkah-langkah jenjang si detektif.
"Mari? Biar saya tunjukkan jalannya."
*
Author Note:
Karena aku nggak bisa masukin gambar visual room-nya, tolong bayangkan sendiri saja :')
Masih ada satu part lagi. Jangan di-skip!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro