pertama, labirin ketidakpercayaan
Deru napas yang terengah-engah mengiringi setiap langkah yang membawa dirinya menuju sebuah ruangan. Ruangan itu terletak di paling ujung lorong. Setiap kali dirinya menghirup napas panjang, bau yang khas ditangkap oleh indra penciumannya.
Tiga ratus tujuh detik yang telah dilaluinya untuk tiba di depan ruangan terasa lebih lambat. Tanpa mengetuk dan mengabaikan tata krama, ia menarik kenop pintu lalu membukanya. Di dalam sana, bau yang sejak tadi dihirup oleh hidungnya menjadi kerap tercium.
Sebuah tempat tidur dan tiang infus menjadi fokus objek pertama yang dilihat oleh matanya. Di atas tempat tidur itu, seorang lelaki duduk bersandar. Tatapannya mengarah ke luar, ke arah jendela yang menampilkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit. Dinaungi oleh cakrawala berdominan nuansa biru.
"Oh?"
Itulah kata pertama yang lelaki itu lontarkan pada gadis itu ketika ia tiba di sana. Bukan ucapan selamat pagi, siang, sore, atau bahkan malam. Terlebih juga bukan ucapan yang mengungkapkan rasa sayang padanya. Sungguh ironis.
"Kau baik-baik saja? Apa lagi yang terjadi padamu kali ini?" Mengabaikan reaksi sang lelaki ketika ia tiba di sana, (Y/n) langsung bertanya. Ia menggunakan kata "lagi" bukan tanpa sebab. Melainkan kata itu menunjukkan bahwa momen saat ini bukanlah yang pertama kali terjadi.
Masuk rumah sakit; itulah momen yang dimaksud. Terdengar tidak masuk akal, namun memang fakta yang benar. Tanpa dibenar-benarkan.
"Ah, aku hampir tertabrak tadi ketika hendak menyeberang jalan," jelasnya singkat. Seolah hal itu memang hal yang sepele. Jika kau mati sebab tertabrak, maka kau akan hidup kembali. Seperti itulah penggambaran yang terjadi.
Tatapannya pun kini sudah beralih lagi ke arah jendela. Tidak menatap si lawan bicara yang jelas-jelas sedang memandangnya khawatir. Rasa prihatin yang sia-sia pada orang yang salah. Kasihan.
Helaan napas dihembuskan dengan kencang. Sebagai tanda lelah akibat banyak berpikir dan tak kunjung menemukan jawabannya. Ah, bukan jawaban atas pertanyaan pada lelaki di hadapannya itu. Tetapi, atas pemikirannya sendiri.
"Kau selalu mengganggapnya sepele. Bagaimana jika suatu saat nanti, hal itu benar-benar akan mengambil nyawamu, Scara?"
Jenamanya disebut, namun tindakannya tetap sama. Tetap acuh, tak peduli.
"Tenang saja, (Y/n). Bukankah aku pernah berkata padamu bahwa aku tidak akan mati? Apa kau lupa akan hal itu?" cibirnya. Scaramouche selalu saja berkata demikian, itu yang (Y/n) tahu. Ia mencoba untuk percaya. Namun, apakah ia bisa benar-benar mempercayainya? Karena meskipun lelaki itu mengatakan hal yang sama, berulang-ulang kali banyaknya, faktanya Scaramouche tetap seorang manusia. Yang mungkin saja, suatu hari nanti ia pun akan meninggalkan dunia ini.
(Y/n) menggeleng kuat. Tidak, ia tidak bisa. Tak akan sanggup dirinya untuk mempercayai perkataan Scaramouche itu. Perkataan dari kekasihnya sendiri.
"Oh? Kau masih hidup rupanya."
Lontaran kalimat tersebut mengejutkan kedua insan yang sedang berdebat ringan itu. Ternyata ada bentuk kalimat yang lebih sadis daripada ucapan Scaramouche sendiri.
"Jika kau menginginkan aku cepat mati, maka kau sama saja dengan mengharapkan turunnya salju di padang gurun, Kaizen."
Si pemilik nama mendengus. "Kalau begitu, akan kubuat salju itu sendiri," balasnya.
Scaramouche menaikkan sebelah alisnya. Bibirnya pun ikut menyeringai. "Hee... kau akan membunuhku, begitukah maksudmu?"
"Ya. Apa kau merasa keberatan, Scara?"
"Coba saja kalau kau bisa."
"Ah, sudahlah kalian berdua ini." (Y/n) yang sudah merasa pening dengan pertengkaran kecil itu sontak berusaha menghentikannya. Si kembar yang memiliki watak sama itu sungguh membuat kepalanya berdenyut. Mereka berdua sama-sama keras kepala dan tak ingin merasa kalah. Tidak heran jika keduanya memang kembar.
"Kupikir kau akan tinggal selamanya di Inggris. Kapan kau akan kembali ke sana?" celetuk Scaramouche.
Kaizen berjalan mendekat. "Nanti saja. Aku masih merindukan adik kesayanganku." Ia memukul pelan kepala Scaramouche.
"Oi, sakit, Bodoh!"
Tawa Kaizen menguar ke udara. Merasa puas bisa menjahili adiknya lagi setelah menjalankan studinya di Inggris selama beberapa tahun. Memang, tinggal di sana membuatnya bahagia dan sendu di saat yang bersamaan. Bahagia karena bisa mendapatkan kesempatan untuk belajar di luar negeri, juga merasa sendu karena ia harus meninggalkan adiknya. Well, meskipun ia tak ingin mengakui rasa kesedihannya itu, terlebih pada Scaramouche secara langsung. Bisa-bisa adiknya itu akan menjadi besar kepala.
"Sejak kapan kau berada di sana, (Y/n)?" tanya Kaizen setelah ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Sejak awal, ia tidak merasa ada keberadaan gadis itu di dalam ruangan. Tatapannya hanya tertuju pada adik kembarnya sendiri, Scaramouche, yang masih duduk di atas tempat tidur. Lengkap dengan piyama pemberian pihak rumah sakit.
Ingin rasanya (Y/n) menjitak kening milik Kaizen. Apakah lelaki itu tak menggunakan matanya? Ia sudah berdiri di sana sejak tadi. Menguarkan perasaan tak percaya terhadap Scaramouche.
"Sejak seabad yang lalu," jawab (Y/n) kesal.
Oh, percayalah. Memacari Scaramouche seorang rasanya sama seperti memacari saudara kembarnya juga, Kaizen. Mereka bak pinang yang dibelah kapak, namun salah satunya lebih memiliki akal ketimbang yang lainnya.
***
Entah waktu yang berlalu terlampau cepat atau memang (Y/n) yang lamban, tetapi kini tepat tujuh hari telah dilewati semenjak Scaramouche dirawat di rumah sakit. Beberapa hari setelahnya, lelaki itu sudah diperbolehkan untuk pulang. Namun karena dirinya tidak ingin masuk ke kampus, sebab itulah ia memperpanjang masa liburnya sendiri. Dengan cara menetap lebih lama di rumah sakit.
Kaizen sendiri sudah memberinya petuah yang panjang lebar. Sekaligus cibiran dan sindirian tajam dari bibirnya. "Jika uangmu habis saat ini, kau akan langsung mati setelah mengalami kejadian seperti sekarang." Itulah yang ia katakan. Tebak, apa yang Scaramouche balas setelahnya? "Itu 'kan memang keinginanmu. Maka, mari kita wujudkan."
Benar-benar gila.
Kedua saudara kembar itu membicarakan kematian seolah-olah hal itu sama dengan janji makan siang. Bisa diwujudkan dengan mudah selama kedua pihak menginginkannya. Memang, mungkin saja mereka hanya bercanda. Tetapi, candaan ini sudah terlalu berlebihan dan bagaimana jika menjadi kenyataan? Tidak, tidak. (Y/n) sama sekali tidak menginginkannya.
"Apa yang kau inginkan untuk ulang tahunmu?"
Buana pikiran (Y/n) seketika buyar. Diliriknya ke samping. Scaramouche tampak sedang menunggu jawabannya.
"Ulang tahun?" ulang (Y/n).
"Ya, ulang tahunmu. Kau pasti melupakan ulang tahunmu sendiri, 'kan? Sungguh bodoh," cibir Scaramouche sadis. Hei, itu kekasihnya sendiri. Apakah pantas berkata demikian?
Namun, karena kekasihnya itu adalah (Y/n), si gadis hanya terkekeh saja. Tak merasa tersinggung ataupun marah. "Yang kuinginkan? Tidak ada. Hanya dengan keberadaanmu di sisiku saja, aku sudah bahagia," ujarnya.
Scaramouche mendengus kencang. "Omong kosong macam apa itu? Tak ada orang yang memiliki keinginan seperti itu di hari ulang tahun mereka. Sepertinya kau memang benar-benar bodoh, (Y/n)."
"Ada juga orang yang seperti itu. Contohnya adalah (Y/n), miliknya Scaramouche."
Sial. Umpatan itu memenuhi isi kepala Scaramouche. Lantaran wajahnya mulai memanas dan pipinya memerah. Ia sontak membuang muka ke samping. Menghindari tatapan geli milik (Y/n).
Bukankah dirinya sendiri yang bodoh? Dikarenakan hanya perkataan seperti itu saja, ia sudah tak bisa mengontrol dirinya sendiri. Oh, astaga. Kini Scaramouche memakan ucapannya sendiri.
"D-Diamlah, (Y/n)," titahnya. Masih dengan wajah memerah padam. "Jadi apa yang kau inginkan? Yang sebenarnya."
"Hanya dengan keberadaanmu di sisiku, menatap jiwa milik angkasa yang jauh di sana, sambil menikmati segelas fakta di antara kebohongan."
Scaramouche yang tak terlalu paham pun mencoba untuk memahaminya. Diksi itu terlalu tinggi baginya. Tetapi ia tak akan mengakui kebenaran itu. Dan, mungkin juga, keberadaannya itu saja memang sudah cukup bagi (Y/n).
***
Fyi, nama Kaizen diambil dari nama Wanderer di in-game akun Genshin-ku🐧
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro