Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 9-Pernikahan

Matahari pagi itu bersinar cerah.

Lebih tepatnya panas...dengan suhu kira-kira mencapai 34 derajat celcius. Untunglah AC dalam gedung bisa mencukupi untuk memberikan hawa sejuk bagi semua orang.

Sean memberikan instruksi kepada direksinya di kantor melalui ponsel. Ia melepas dasinya dengan kesal dan meremas rambutnya. Sesekali ia membentak sambil berjalan mondar mandir. Pendeta yang berdiri di depannya berdeham, tapi Sean tidak mempedulikannya. Tamu-tamu yang duduk mulai ramai berbisik-bisik. Budi yang berdiri di sebelahnya menjadi pengiring pengantin merasa sangat malu. Iya...ini pernikahan temannya dekatnya itu, dan Sean bertingkah seolah-olah ini hanya acara kumpul-kumpul biasa. Ia benar-benar merasa sial menjadi manusia di muka bumi ini yang terpilih sebagai pengiring pengantin Sean Martadinata.

Sean sebenarnya merasa frustasi. Jam sudah menunjukkan pukul 11 siang dan gadis bernama Valeria Winata belum juga menunjukkan dirinya. Seharusnya acara ini sudah dimulai. Apa ia dan keluarganya kabur? Terkutuklah jika itu benar-benar terjadi. Sean akan memburu mereka hingga ke ujung dunia dan akan melakukan tindakan paling anarkis....

Pikirannya terhenti oleh suara musik orkestra yang tiba-tiba berkumandang. Ia melihat Valeria berlari memasuki ruangan diikuti keluarganya yang mengejarnya cemas. Valeria melihat ke kanan kirinya lalu berhenti memperbaiki riasan rambut dan bunganya dan melanjutkan berjalan dengan anggun. Semua tamu berhenti berbisik-bisik dan terkesima melihat pengantin wanita.

Ia berjalan menaiki dua anak tangga lalu berhenti di sebelah Sean. Matanya memandang lurus ke depan, tanpa menoleh ke Sean. Sean terpana sejenak menatapnya. Valeria begitu cantik dalam balutan gaun pengantin itu. Gaun itu dimulai dari dada dan turun membungkus tubuhnya yang masih ramping lalu agak mengembang di bagian pinggang tapi tidak terlalu mengembang dan turun memanjang hingga menutupi kakinya diikuti ekor gaun yang tidak terlalu panjang. Rambutnya disanggul ke atas dan otomatis memperlihatkan lehernya yang begitu indah. Dari samping, bulu matanya yang dihiasi maskara terlihat begitu...

"Pak...Pak..." suara samar di ponselnya menyadarkannya. Ia belum memutus ponselnya.

Budi melongo melihatnya. Mulutnya menganga. Hampir saja ia menjatuhkan cincin ke lantai panggung. Ia...benar-benar telah melihat bidadari dari kahyangan! Sean Martadinata putus dengan tunangannya dan mendapatkan gadis secantik ini? Kenapa bajingan ini begitu beruntung, rutuknya dalam hati.

***

Selesai upacara, Sean tidak menyapa tamu dan langsung menyeret Valeria memasuki mobil yang sudah menunggu di depan gedung. Valeria belum sempat berpamitan dengan keluarganya, tapi Sean sudah menyambarnya lebih dulu tadi. Ia juga mendengar ibu Sean, Marinka memanggil mereka, Valeria menoleh mencari asal suara tersebut namun ia tidak bisa berhenti karena ditarik Sean. Ada apa sih dengan orang ini!

Sean membukakan pintu mobil limo untuknya. Valeria menatapnya kesal. "Aku bisa masuk sendiri, terimakasih!"

"Terserah!" Ia memutari mobil dengan kesal dan masuk ke pintu di sisi yang berlawanan. Sean masuk dan menghempaskan tubuhnya di kursi. Ia melirik ke sebelahnya dan melihat Valeria memasuki mobil dengan susah payah. Setelah duduk, ia masih harus menarik ekor gaunnya yang kelihatannya berat. Ia kewalahan.

Sean membungkuk hendak membantunya tapi bentakan Valeria membuatnya terhenti. "Aku bisa sendiri!!"

Sean tidak percaya yang didengarnya. Valeria mulai menunjukkan taringnya? Baiklah! Biar saja anak penuh harga diri ini melakukannya sendiri. Sean menontonnya.

Sedikit lagi, Valeria berhasil memasukkan gaun itu ke mobil. Tiba-tiba, karena terlalu mengerahkan segenap tenaga untuk menariknya, ia terjungkal ke belakang dan menabrak Sean. Punggungnya mendarat di dada Sean dan rambutnya membentur dagunya. Oh, ini benar-benar kacau! Ia bersentuhan dengan Sean Martadinata! Ia sangat ketakutan hingga tak bisa bergerak. Pelan-pelan Valeria menengadah menatap Sean. Sean terlihat kaku. Tiba-tiba, ia mendorong Valeria kembali ke tempat duduknya.

Sean terkejut Valeria tiba-tiba jatuh di tubuhnya. Ia dapat merasakan sedikit kelembutan tubuh Valeria dan itu sudah cukup untuk membuat bagian bawah tubuhnya mulai bereaksi. Dan mata Valeria yang besar tiba-tiba menoleh menatapnya. Sial!! Ia hampir tidak bisa menahan diri. Cepat-cepat ia mendorong gadis itu.

"Jangan-pernah-lakukan-itu-lagi!" Sean mendesis sambil menatapnya dingin. Lalu memalingkan wajahnya. Kelihatan seperti menahan sesuatu.

Ia menyalahkan dirinya?! Valeria tidak percaya ini! Meskipun takut ia tidak terima diperlakukan seperti ini. "Ini semua gara-gara dirimu!" Ia protes sambil menutup pintu mobil dengan susah payah.

Sean menoleh. "Aku?!"

Valeria mundur ketakutan. Ia berusaha duduk di jarak terjauh yang bisa digapai dari posisi Sean Martadinata. Mobil mulai bergerak maju.

"Aku tidak pernah memesan gaun sialan ini! Aku memesan gaun sederhana yang bisa membuatku lebih mudah untuk bergerak. Memakainya saja membuatku menghabiskan waktu berjam-jam dan seharian ini aku merasa bagaikan menggotong dua karung beras!" Valeria memprotes sambil terengah-engah. Pipinya merekah merah. Sean memalingkan wajahnya cepat-cepat.

Sean teringat ia memang merubah beberapa pesanan pilihan pengantinnya itu. Saat mengecek tagihan EO, ia mendapati Valeria telah memesan gaun paling sederhana dan termurah diantara semua gaun yang ada. Bukan hanya gaun, tapi semua,,mulai dari cincin, buket bunga, sepatu dan lainnya. Sean memang merevisinya.....Ia tersenyum geli.

Valeria mengerutkan alis.

"Kau pengantin keluarga Martadinata. Aku akan malu jika orang-orang sampai mengetahui bahwa diriku membelikan pengantinku sendiri barang-barang murah dan sederhana"

"Kate Middleton saja menikah dengan gaun sederhana dan dunia masih tetap mengakui William sebagai Pangeran!" Valeria membalas. "Kau hanya terlalu berlebihan"

Sean diam saja. Ia menatap keluar jendela.

Suasana hening seketika. Valeria makin tersiksa. Ia memilin jari manisnya yang berhiaskan cincin kawin. Tadi Sean menyematkannya dengan setengah hati dan menciumnya juga dengan cepat. Bahkan bibir mereka hampir tidak bersentuhan. Ia sempat khawatir Sean akan menciumnya seperti saat mereka bertemu pertama kali. Bayangan itu membuatnya merona kembali.

Sepertinya Sean Martadinata sekarang tidak terlalu tertarik padanya. Valeria maklum dengan semua itu karena Sean sebenarnya tidak ingin menikah dengannya, namun terpaksa menikahinya karena bayi yang dikandungnya. Valeria seharusnya merasa lega dengan semua itu. Tapi, Sean pasti membencinya sekarang dan ia harus hidup bersama orang yang membencinya itu hingga sembilan bulan ke depan.

Mungkin ia akan berusaha membuat Sean bisa bersahabat dengannya. Di sekolah, hampir semua orang mau menjadi sahabatnya. Mulai dari para murid hingga tukang kebun sekolah dan pedagang cimol. Ia anak yang baik dan menyenangkan. Iya! Dia harus bersahabat dengan Sean Martadinata untuk kelangsungan kehidupan mereka yang lebih baik. Valeria merasa mendapat pencerahan. Tapi...bagaimana caranya?

"Kau tidak usah mengikuti resepsi jadi kita langsung menuju rumah" Sean tiba-tiba bersuara. "Aku akan membuatkan alasan untuk ketidakhadiranmu. Acara itu akan membuatmu lelah"

Valeria terpana. Ia menoleh Sean yang berbicara tanpa menolehnya. Sean mengkhawatirkannya! Mungkin Sean tidak sejahat yang dipikirkan orang-orang....

"Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan bayiku yang kaukandung itu" Sean menambahkan.

Valeria meralat semua yang ia pikirkan tadi. Sean Martadinata benar-benar tidak berperasaan, egois, kasar, kurang ajar, sombong dan semaunya. Ia merasa rugi sempat memikirkan Sean sebagai sosok yang mulia meski hanya sedetik.

"Kau memiliki rumah?" Valeria bertanya. Dari cerita Kak Jean, ia mengetahui Sean tinggal di apartment dan hotel.

"Rumah itu tidak pernah kutepati sendiri karena terlalu besar. Mama tidak mau tinggal di kota. Kurasa tinggal di apartment tidak baik untuk wanita hamil sepertimu, jadi aku membuka rumah kembali." Sean menjawab tanpa menatapnya juga.

***

Valeria menatap rumah megah bagaikan istana yang kini menjulang di depannya. Ini rumah Keluarga Martadinata? Pantas saja Sean tidak mau tinggal disini.

"Rumah ini kubeli setelah ayah meninggal dan rumah keluargaku kujual" Sean berbasa-basi.

Bisa-bisanya Sean menjual rumah keluarganya. Bagi Valeria, kenangan bersama keluarga adalah hal yang menakjubkan. Papanya pernah mengalami krisis sekitar sepuluh tahun yang lalu dan berencana menjual rumah mereka. Saat itu Valeria dan Felix yang masih kecil menangis meraung-raung. Mereka terlalu menyayangi rumah itu. Untunglah tiba-tiba ayahnya mengalami kemajuan dan tidak jadi menjualnya. Bahkan kekayaan mereka bertambah berkali-kali lipat sejak saat itu.

Valeria mengikuti Sean memasuki ruangan.

"Semua kamar tidur ada di lantai dua. Kau tinggal bertanya pada Pak Dira dan istrinya ini." Sean menunjuk seseorang yang bertampang kaku dan sopan. Sepertinya ia pengurus di rumah ini. "Aku harus kembali ke resepsi. Mama sudah menelponku puluhan kali." Sean berlalu keluar rumah meninggalkannya. Valeria mendesah lega. Ia merasa bisa bernafas kembali.

"Nyonya, silahkan saya antar anda ke kamar Pak Sean" Pak Dira tersenyum. Tangannya mempersilahkan Valeria naik tangga.

Kamar Sean?

Valeria menimang-nimang. Apakah ia harus tidur bersama Sean Martadinata? Bagaimana kalau Sean tidak suka akan hal itu? Sean sepertinya tipe manusia yang tidak suka jika orang lain mengetahui urusan pribadinya, jadi kamar tidurnya pasti tempat yang sangat privasi baginya. Valeria tidak bisa membayangkan Sean mendapatinya tidur di kamarnya dan mengusirnya. Tidak!!!!! Itu tidak boleh terjadi! Kenapa Sean tadi tidak menjelaskan dimana ia harus tidur? Valeria menggeleng-gelengkan kepala.

Pak Dira dan istrinya merasa bingung melihat tingkah nyonya baru mereka.

"Nyonya...."

Valeria menoleh. Ia sebenarnya merasa risih dipanggil nyonya. "Tolong antarkan saya ke kamar yang lain saja. Jangan kamarnya"

***

Pukul satu pagi, Sean pulang dari resepsi bersama Mamanya. Mamanya mengerutu tentang banyaknya tamu yang datang. Sean juga sebenarnya sempat tidak percaya. Ia hanya mengundang beberapa ratus teman dekat dan kolega, tetapi undangan yang datang mencapai sepuluh kali lipat. Ia mengamati bahwa setiap orang yang ia undang sepertinya memboyong semua anggota keluarga mulai dari buyut hingga cicit. Kenapa tidak membawa satu kampung sekalian?

Salahnya sendiri ia tidak membatasi undangan. Untunglah Ia sudah mempersiapkan segalanya, mulai dari tempat hingga makanan untuk mengantisipasi hal semacam ini. Mamanya menaiki tangga dan berlalu menuju kamarnya. Sean melepas jasnya dan memasuki kamar juga. Ia menatap tempat tidurnya. Gadis itu tidak ada. Ia mengamati sekeliling dengan gontai. Tidak ada tanda tanda keberadaan gadis itu di kamarnya.

"Pak Sean ingin mandi sekarang?" Pak Dira yang kelihatan setengah mengantuk bertanya. Pak Dira adalah salah satu pelayan Marinka yang dipindahkan kemari.

"Dimana dia?" Sean bertanya.

Pak Dira berkerut terlihat berpikir. "Kalau maksudnya nyonya muda, ia tadi masuk ke kamar sebelah dan baru saja tidur, Pak"

Sean tak percaya yang didengarnya. Valeria tidak mau tidur di kamarnya!? Ia membanting jasnya ke tempat tidur hingga membuat pembantunya sedikit terkejut. Sean terduduk di kasur dan meremas rambutnya. Ingin rasanya ia mendobrak pintu kamar yang dimaksud dan menyeret gadis itu tanpa ampun kemari. Tapi rasa lelah dan mengantuk lebih menuntut didahulukan dibanding kemarahannya itu, lagipula Valeria juga pasti sudah tidur. "Aku mau langsung tidur. Kau boleh kembali" Sean menjawab.

Pak Dira keluar dan menutup pintu kamar Sean. Sean tertidur dengan segera saat tubuhnya mencapai kasur.

***

Keesokan paginya. Sean terbangun dan langsung mandi. Ia mengenakan kaus seadanya dan keluar dari kamarnya. Ia langsung membuka kamar sebelah untuk menemui Valeria dan segera melampiaskan kekesalannya. Ruang tidur itu kosong, tetapi tempat tidurnya sedikit acak-acakan. Jadi benar gadis itu tidur disana. Beberapa boks kardus berisi buku-buku pelajaran terlihat terbuka. Rupanya barang-barang Valeria sudah dikirim kemari. Mungkin kemarin sore.

Sean turun untuk sarapan. Ia hanya menemukan ibunya yang duduk sendirian di meja makan dan kelihatannya sudah hampir selesai sarapan.

"Dimana Valeria?" Sean bertanya.

"Dia sudah berangkat sekolah,baru saja. Jangan khawatir, ia sudah sarapan cukup banyak. Ia anak yang manis dan penurut juga" Mamanya menyahut.

Sean melirik jam dinding

"Ini baru pukul lima pagi! Apa yang dilakukannya sepagi ini di sekolah? Menyiram kebun?!"

"Sean! Kau jangan se-skeptis itu terhadap Valeria. Meski ia istrimu tapi kau harus ingat ia masih sekolah" mamanya kembali mengoleskan selai di roti.

Sean hendak berbalik ke kamarnya dengan kesal.

"Mama akan pulang sore ini, kuharap kau baik-baik saja dengan Valeria selama Mama tidak ada"

Marinka tinggal di Bogor, agak dekat dengan SICC. Mamanya memang lebih menyukai tinggal di daerah pegunungan yang sejuk.

"Jangan terlalu sore Ma, ingat macet. Perlu kuantar?" Sean menawarkan.

"Tidak usah. Kau uruslah pekerjaanmu di kantor."

***

"Kemarin libur kemana lu, Val?"

Valeria tersedak jus mendengar pertanyaan temannya. "Aku....anu...Kak Jean kemarin tunangan sama pacarnya jadi aku terpaksa libur." Valeria berbohong.

Untuk ke depannya ia mungkin akan lebih sering berbohong. Jangan sampai teman-temannya tahu bahwa ia sudah menikah!

"Hah? sama cowok keren yang tampangnya mirip ama bintang pilem Turki itu ya?" Gwen langsung antusias. "Ya ampun, dia keren banget Val!!!! Pas elo liatin fotonya di hape, gue langsung jatuh cinta pada pandangan pertama! Ntar kalo semisalnya dia putus ama kakak lo, kabarin gue ya"

Buset dah. Kak Jean bisa ngebunuh dia kalo kejadiannya bener begitu.

"Kamu selera ama cowok lebih tua, Gwen?" Dinda yang juga temen sekelas mereka ikut menimpali.

"Yang ini beda, Din. Val! Liatin lagi gih fotonya! Lagian dia umurnya baru 26 kok. Keren kan?" Dinda melihat dengan antusias. Diikuti teman-temannya yang lain.

"Iya lho, mirip Zayn Malik" "Nggak ah, jauh! ini mah lebih mirip yang main Cinta Musim Duren itu" teman-temannya mulai membandingkan.

"Valeria..." sesosok tubuh mendekati mereka. Ternyata Fabian, pacarnya.

"Cieeee!!!' Teman-temannya mulai gaduh bersorak

Valeria mirip orang syok. Ya, ampun! Fabian! Ia hampir lupa dengan pacarnya itu. Gara-gara permasalahan yang dihadapinya ia sampai lupa bahwa ia memiliki pacar. Bagaimana ini?

Mereka berbicara berdua di samping aula di belakang sekolah yang agak sepi.

"Udah lama kamu nggak buka messageku di line, bbm ama yang lain. Hapemu gak hilang kan?" wajah Fabian terlihat tak enak menanyakannya.

Valeria membeku. "Eng...enggak Bian...aku agak sibuk akhir-akhir ini soalnya kakakku mau nikah. Itu aja, jadi gak ada waktu ngebuka hape" Valeria akhirnya sanggup mengeluarkan suara.

Fabian menampakkan wajah lega. Ia mengelus dada. "Kupikir kau sudah memutuskanku secara sepihak nih" Fabian tersenyum.

Valeria mengerang. Ia memang harus memutuskan Fabian, tapi bagaimana cara menyampaikannya tanpa menyakiti perasaannya? Apa yang harus ia katakan? Apa alasannya? Memikirkan semua itu membuatnya pusing. Atau ia akan menunggu sampai lulus dan perlahan-lahan menghilang dari Fabian Rizaldi.

Ya Tuhan. Kenapa Fabian begitu baik? Seandainya ia lebih resek sedikit, Valeria dengan senang hati akan memutuskannya saat ini juga.

"Val...aku..." Fabian mendekatkan kepalanya. Ia akan mencium Valeria.

"Tidak!!!" Valeria tersentak dan mendorong Fabian. Ia mendorong Fabian!! Ya ampun, ia tidak sengaja melakukannya. Ia benar-benar refleks mendorong Fabian tadi. Sebelumnya ia tidak pernah seperti ini. Entah apa yang dipikirkannya tetapi ia merasa sangat berdosa jika sampai berciuman dengan orang lain selain dengan....Tidak!Ini semua gara-gara Sean Martadinata sialan itu!

Valeria menaikkan wajahnya memandang Fabian. Fabian menatapnya malu dan kebingungan.

"Fabian..." Valeria hendak meraihnya.

"Nggak apa-apa. Aku yang minta maaf, Val. Mungkin aku terlalu tergesa-gesa dan bikin kamu kaget tadi" Fabian tersenyum kembali."

Demi Tuhan! Kenapa Fabian tidak marah saja!? Itu akan lebih membuat Valeria merasa lega.

***

Sean pulang terlambat lagi malam itu. Sudah tiga hari ini ada pekerjaan yang harus dikerjakan secepatnya dan semua direksinya ikut lembur. Saat semua direksi sudah pulang, ia masih harus mengecek lagi pekerjaan mereka satu persatu. Otomatis ia pulang lebih malam lagi. Sean menatap ponsel dan melihat waktu menunjukkan pukul satu pagi..

"Apa dia sudah tidur?" Sean bertanya.

Pak Dira mengerutkan kening lagi. "Kalau maksud anda nyonya muda, iya dia sudah masuk kamar jam 11 tadi, Pak. Dia sempat menunggu anda dan akhirnya masuk kamar."

"Kamar yang kemarin lagi?"

"Iya, Pak." Pak Dira agak heran dengan hubungan antara majikan dan istrinya itu.

Ternyata gadis itu tetap berkutat di kamar yang ia pilih. Mungkin untuk seterusnya. Sean menahan dirinya agar tetap sabar. Salahnya memang selalu pulang malam. Tapi yang membuatnya dongkol adalah di pagi hari saat ia mencari Valeria, gadis itu selalu sudah berangkat sekolah.

"Hari ini juga nyonya mengajak pembantunya dari rumah kemari, Pak"

Sean menoleh "Untuk apa ia membawanya? Disini kita sudah memiliki lebih dari sepuluh pengurus rumah kan?"

"Katanya ayahnya yang menyuruh. Hanya untuk melihat keadaan anaknya."

Andre Winata...Sean mengepalkan tangannya. Orang tua itu benar-benar masih tidak percaya padanya. Memangnya ia kriminal apa?

Sean akhirnya tertidur lagi dengan perasaan kesal malam itu.....

Dan lebih kesal lagi saat ia terbangun di pagi hari dan menemukan Valeria sudah berangkat sekolah.

***

"Bik Sani, jangan nonton konser dangdut melulu dong! Bantuin Vally buat tugas napa!" Valeria melempar remasan kertas pada Bik Sani. Ia paling suka mengganggu pembantunya itu kalau sudah asyik nonton konser dangdut.

"Aduh, Non! Jangan ganggu napa! Ini favorit bibik sedang nongol nih." Bik Sani bersungut-sungut. Valeria terkikik jahil sambil menopangkan dagu di meja.

Valeria merasa bahagia. Ini sudah hari kelima ia berada di rumah ini dan segalanya berjalan damai. Sean Martadinata tidak pernah mendatanginya. Tampaknya ia tidak keberatan Valeria tidur di kamar terpisah. Valeria merasa lega telah memilih kamar yang berbeda. Apalagi ditambah kedatangan Bik Sani yang katanya menginap selama tiga hari ini menemaninya. Bik Sani datang dua hari yang lalu beserta baju-bajunya juga. Papanya yang menyuruh karena khawatir Valeria kesepian. Yah, meskipun kamarnya jadi bertema musik dangdut setiap malam.

Kamar yang dipilihnya juga menyenangkan. Kamar ini luas dan bernuansa warna biru. Saat pertama kali memasukinya ruangan ini sudah berisi tempat tidur, lemari dan meja kerja. Saat ditambah dengan barang-barangnya, Valeria serasa berada di rumahnya sendiri.

Tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah Sean Martadinata dengan wajah yang bisa dibilang jauh dari senang.

Bik Sani terkejut dan mengucapkan beberapa kata latahnya. Valeria terlonjak dari meja belajarnya dan menjauh ke sudut dinding. Apa yang ia lakukan? Ia refleks melakukan hal itu. Sean benar-benar menakutkan.

Sean mengerutkan kening melihat televisi. Bik Sani cepat-cepat mencari remote dan mematikannya. Suasana menjadi hening.

Ia menoleh kepada Valeria yang sedang berdiri di sudut kamar. Gadis itu ketakutan. Biar saja! Sean menikmati pemandangan ketakutan Valeria. Biar gadis itu tidak meremehkannya lagi. Tapi Valeria begitu menarik dengan pakaian santainya. Ia hanya mengenakan kaos longgar dan celana hot pants yang menampakkan kaki jenjangnya. Rambutnya dijepit seadanya di kepala sehingga beberapa helai terjatuh di dekat telinganya dan itu terlihat sangat sensual.

"Apa maksud semua ini?" Sean bertanya sambil mendekatinya pelan.

Valeria mulai panik. Ia ingin melarikan diri. Seandainya ia mempunyai kemampuan memanjat tembok seperti spiderman..Kenapa Sean baru muncul sekarang? Dan terlihat begitu marah. Ia sepertinya baru pulang dari kantornya karena masih memakai kemeja putih bergaris dan celana panjang.

"A..apa maksudmu?" Valeria mencicit.

"Kenapa kau tidur di kamar ini?"

Valeria makin merayap ke sudut dinding. Tangannya meraba-raba sambil terus menatap ketakutan pada Sean yang terus mendekat. Ia menemukan tirai gorden dan menyembunyikan setengah badannya di sana

"Kau menikahiku karena terpaksa bukan? Apa kau akan senang jika seseorang yang tidak kausuka tidur di kamarmu. Berseliweran tiap hari di kamarmu?!" Valeria balik bertanya setengah berteriak sambil memeluk tirai gorden seakan-akan tirai gorden itu bisa melindunginya.

Sean berhenti dan memejamkan mata. Ia sebenarnya merasa geli mengamati tingkah lucu Valeria, namun ia tetap menjaga ekspresinya. "Pindahkan semua barang-barangmu ke kamarku dan mulai sekarang kau tidur di sana. Kau tidak perlu peduli dengan apa yang kusuka dan apa yang tidak kusuka. Mengerti?" Ia berbalik keluar ruangan.

Valeria mengawasi kepergiannya dengan cemas sambil tetap mendekap gorden.

"Bik, gimana nih?!!!!" Valeria meringis

"Gak tau Non! kok malah nanya Bik sih???Bik juga takut!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro