Part 7-Keputusan
Jangan lupa tekan bintang
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan komen
Follow akun penulis : Matchamallow
Cerita ini adalah cerita pertamaku dengan tata bahasa yang tidak sempurna
***
"Sean sudah benar-benar pergi kan, Jean?" Amelia bertanya cemas sambil memberikan air minum kepada suaminya.
"Tenang saja, Ma. Jean sudah lihat sendiri dia sudah pergi."
"Baru saja akan kuledakkan kepalanya. Berani-beraninya ia berteriak-teriak di rumah kita." Andre mengumpat.
"Papa tidak apa-apa?" Valeria turun dengan cemas dari tangga. Matanya sembab terlihat baru saja menangis. Ia menghampiri Andre dan memeluknya.
Andre mengelus-ngelus kepala anaknya. "Papa baik-baik saja, Vally. Jangan dengarkan kata-kata si bangsat tadi. Kau tidak boleh menikah dengannya, karena dirimu pantas mendapatkan yang lebih baik. Semua tetap seperti rencana semula. Berangkatlah ke luar negeri setelah lulus."
"Tapi dia mengancam akan menghancurkan Papa dan Mama." Valeria terisak di dada Papanya.
"Jangan dipikirkan. Itu hanya bualannya. Mana mungkin perusahaan Papa hancur?" Andre tertawa.
Mama ikut tersenyum dan menepuk-nepuk punggung Valeria.
Jeanita memandang mereka, lalu menerawang jauh ke luar jendela. Ia tidak yakin.
***
Di perjalanan, Sean menghubungi tangan kanannya di kantor yang mengurus hampir seluruh bisnisnya.
"Ya, Pak Sean. Kudengar anda sudah pulang?" Terdengar suara di seberang.
"Sudah. Wira, aku ingin kau melakukan sesuatu. Berapa persen sahamku di Nirwana Cargo group?"
"Saya cek dulu Pak." Wira menjawab
"Tunggu. Entah berapa pun itu. Jadikan aku pemilik saham terbesar. Aku tak peduli cara apa yang kaugunakan atau berapa uang yang harus kita keluarkan, kau harus bisa membuat pemilik saham lain menjualnya. Jatuhkan saham perusahaan itu. Ciptakanlah isu. Jika tidak berhasil, naikkan saja sehingga mereka tertarik untuk menjual dan kuharap kau tidak bertanya untuk apa. Kerjakan saja secepatnya"
"Baik, Pak"
Sean memutus ponselnya. Baiklah, ia siap kehilangan berapa pun untuk mendapatkan gadis itu. Keluarga Winata akan segera mengetahui bahwa ia tidak main-main. Kadang ia berpikir dirinya sudah gila. Nilai gadis itu sebanding dengan semua ini?
***
"Malik! Senang sekali kau mau ikut sarapan bersama kami di sini" Amelia Winata yang selalu ramah kepada semua makhluk menunjukkan kegembiraannya.
"Iya, Tante. Saya tidak sabar bertemu Jean, jadi saya langsung kemari." Malik tersenyum sambil menoleh memandangi Jean yang sedang pura-pura sibuk menyendok-nyendok supnya.
Semua memandang heran mereka termasuk Andre dan Valeria.
"Kalian tidak bertingkah seperti pasangan romantis." Andre bergurau sambil membolak-balik koran pagi.
"Itu tidak benar, Om. Kami selalu romantis. Apalagi Jean." Malik merangkul bahu Jean.
Jean menyikutnya. Malik memekik pura-pura kesakitan. "Ngapain juga kamu sarapan ke sini tiap hari? Mau ngirit ya?"
Valeria tertawa. "Kak Malik pasti sayang banget sama Kak Jean ya?"
"Pasti dong Val. Kamu mendukung kita, kan?" Malik mengacungkan jempolnya.
"Iyalah, Kak. Kalian sangat serasi."
"Serasi dari Hongkong?" bentak Jean.
"Ih Kakak, jual mahal ah. Jangan percaya dia, Kak. Di sini setiap hari dia selalu ngomongin Kakak. Aduh, Kak Malik gimana ya...apa dia baik-baik aja ya...apa dia sudah makan ya..." Valeria meniru cara bicara kakaknya.
"Vally, kamu udah bosen idup ya?" Jeanita mengancam.
Valeria hanya tertawa. Andre, Amelia, dan Malik juga ikut tertawa. Mereka sudah benar-benar melupakan insiden beberapa hari lalu. Awalnya Valeria merasa khawatir, tapi ternyata semua baik-baik saja. Perusahaan papanya bahkan mengalami peningkatan omzet, tidak sesuai dengan ancaman Sean. Papanya mengatakan karena perusahaan cargo saingan mereka mengalami masalah internal, sehingga permintaan atas jasa perusahaan papanya membludak.
"Apa-apaan ini?" Andre tampak cemas. Ia sedang membaca majalah bisnis langganannya. Ia berlangganan koran pagi dan majalah bisnis.
"Perusahaan saingan kita Nirwana Nusantara Cargo Group dibeli oleh MTD group?" Andre menutup majalah dengan gusar. Semua melihat kebingungan.
"Memangnya siapa MTD itu, Pa?" Jean bertanya sambil sibuk mengunyah makanannya.
"Martadinata Group. Itu milik Sean." Ayahnya termenung
Jeanita tersentak. Malik menampakkan wajah serius. Valeria merasakan firasat buruk tentang semua ini. Tapi ia menghapus pikiran negatifnya dan mengambil tasnya. Masa bodoh dengan Sean Martadinata. Mau dia beli saham Nirwana kek, mau beli saham lapindo kek, itu urusannya.
"Valeria berangkat dulu Pa, Ma...Kakak-Kakak..."
"Kamu sudah minum susu anti mualmu kan Vally?" Mama berteriak dari dapur.
"Sudah Ma." Valeria menjawab setengah berteriak. Kemarin ia sudah sempat memeriksakan diri ke dokter kandungan, meski dengan malu-malu. Tapi ia mulai bertekad demi kesehatan bakal kehidupan yang dikandungnya, ia akan mengacuhkan semua itu. Dokter memberinya empat jenis vitamin yang harus ia telan tiga kali sehari. Berarti dalam sehari ia meminum 12 butir pil dan itu cukup menyiksa. Ditambah lagi tiap pagi ia harus meminum susu hamil anti mual. Ia paling benci minum susu!
"Hati-hati di jalan, Vally."
"Iya, Pa..Ma." Valeria mencium pipi mereka. Papa dan Mama masih mengizinkannya menyetir mobil matic-nya sendiri ke kampus, karena kondisi tubuhnya kuat. Valeria merasa bersyukur memiliki keluarga modern seperti mereka. Saat ia mengakui kehamilannya, mereka tidak marah. Yah memang sedikit syok tapi hanya sebentar. Papanya hanya sempat gusar karena Valeria bersikeras tidak mau memberitahu siapa yang menghamilinya hingga penyakit darah tingginya kambuh. Saat itu Valeria pikir papanya terkena serangan jantung. Ia menangis dalam perjalanan ke UGD hingga dokter jaga selesai mendiagnosa. Ia tidak mau makan dan menunggui papanya di UGD seharian. Papanya memarahinya dan akhirnya Valeria bersedia makan kembali.
Valeria selalu memimpikan suatu saat nanti ia akan memiliki keluarga sendiri yang seperti keluarganya. Suaminya harus seseorang yang mencintainya dan kalau bisa memujanya seperti Papa memuja Mama. Yah ia tidak berharap banyak sih. Ia tidak secantik mamanya yang sudah menginjak kepala lima dan masih tetap cantik. Jadi...suami yang mencintainya saja sudah cukup. Lalu anak-anak yang lucu dan imut. Seperti kelinci peliharaannya. Hah? Manusia kok disamakan sama kelinci sih? Bodoh! Bodoh kamu Valeria. Valeria merutuki dirinya. Tapi....Valeria kembali lagi pada kenyataan yang dihadapinya saat ini. Kenyataan memang tidak seindah harapan. Tapi semua sudah terjadi dan semua ini pasti berlalu.
***
"Menurutmu apa yang dilakukan Sean Martadinata tadi ada hubungannya dengan ancamannya terhadap keluargaku?" Jeanita duduk bersama Malik di ayunan taman rumahnya.
"Entahlah. Tapi kurasa iya. Tapi kau jangan terlalu memikirkannya. Itu hanya pendapatku," Malik berbicara tanpa tersenyum. Jarang Jean melihatnya berbicara tanpa senyumannya. "Tapi kudengar Sean adalah salah satu pengusaha yang jenius di bidang manipulasi bisnis. Itu pun aku tidak terlalu yakin karena diriku bukan pebisnis. Aku kan fotografer. Perusahaan keluargaku sudah diurus orang-orang yang berkompeten sih." Malik kembali tersenyum. Jean merasa agak lega. Ia menatap rumput yang dipijaknya.
"Jangan khawatir. Kalau ada apa-apa, kekasihmu ini siap membantu secara material dan spiritual." Malik terkekeh. Jeanita menoleh dan menaikkan sebelah alisnya.
"Aku serius!"
"Yah, Tapi meski itu terjadi dan kau melakukannya, Papa pasti menolak. Dia memiliki harga diri yang tinggi apalagi jika menyangkut uang." Jeanita menghela napas. Malik menatapnya dengan prihatin.
***
Seminggu berlalu dengan damai tanpa konflik. Valeria merasa tenang. Ia tetap melanjutkan sekolahnya setiap hari meski agak dilanda mual. Untunglah ujian sudah berakhir April lalu dan sekarang hanya pemantapan untuk skripsi. Valeria belum memiliki cita-cita yang pasti. Selama ini pelajaran yang paling disukainya adalah biologi. Dan yang dibencinya adalah fisika, tapi hampir semua orang membenci fisika sih, itu tidak heran. Ia berpikir untuk menjadi seorang ahli biologi saja nanti, kebetulan ia juga pencinta hewan. Keluarganya menyuruhnya tidak mencari pekerjaan setahun dulu semasih mengandung dan melahirkan. Valeria masih memikirkannya.
"Brengsek! Sean Martadinata benar-benar brengsek!" Andre Winata pulang kantor sambil mengumpat-umpat. Mama sedang pergi arisan. Jeanita sedang duduk di ruang tamu sambil mengutak-ngatik laptopnya.
"Ada apa Pa?" Jeanita bertanya.
"Nirwana cargo mengambil semua langganan dan rekan bisnis kita. Kabarnya ia menawarkan proposal dan harga promosi yang sangat murah." Andre melepas jasnya.
"Kenapa Papa tidak menyainginya dengan harga yang lebih murah saja?"
"Ia menawarkan dengan harga di bawah standar, Jean. Papa dan direksi sudah menghitung total biaya termurah yang bisa didapat dan harga yang ditawarkannya tidak masuk akal. Ia jelas-jelas sengaja merugi untuk menjatuhkan kita."
"Apa?" Jean terhenyak. Ia tidak menduga Sean akan berbuat senekad ini.
"Bukankah kita masih memiliki usaha lain, Pa. Selain cargo kita." Jean berdiri.
"Pemasukan terbesar kita adalah cargo kita, Jean. Sean mengetahuinya. Bahkan ia sudah menjegal kita di usaha lain. Semua juga dihancurkan oleh Martadinata Group. Ia menghancurkan harga pasar. Ini semua benar-benar gila!" Andre menggosok-gosok rambutnya dengan frustasi.
"Biarkan saja dulu, Pa. Belum tentu dia bisa bertahan dengan menjalankan praktek kerugian semacam itu. Kita lihat sampai dimana ia bisa bertahan."
"Kita yang hancur lebih dulu, Jean!" Papa menggeleng-gelengkan kepala. "Martadinata memiliki berbagai bisnis, investasi dan saham dimana-mana. Belum lagi di luar Indonesia. Keluarga mereka memang berpengaruh sejak dahulu. Kita bukan tandingannya"
Jean merasa kebas. Ini benar-benar terjadi. Sean Martadinata membuktikan ancamannya. Mereka benar-benar akan hancur. Si sombong itu....Padahal semua harta kekayaannya adalah warisan, sedangkan Papanya membangun usaha mereka dengan susah payah, mulai dari nol, dengan air mata dan keringat. Tapi Jean juga tidak menampik kemampuan Sean dalam mengelolanya. Sial, bagaimana ini bisa terjadi?
"Jean...Jangan sampai Valeria mengetahui semua ini. Papa akan mengusahakan sesuatu. Ingatlah!"
Benar juga. Jangan sampai adiknya tahu. Ia pasti akan merasa bersalah dan tertekan. Itu tidak baik untuk dirinya apalagi ia sedang mengandung. Jean mengangguk.
Di atas, Valeria yang baru saja akan turun untuk mengambil air minum terduduk gemetar di balkon tangga. Ia mendengar semuanya....dari awal hingga akhir.
***
Siang itu Valeria berkeliling di jalanan. Ia menemukan alamat kantor Sean lewat internet dan sekarang ia berada di depannya. Gedung itu sangat besar. Entah berapa lantai. Valeria memarkir mobilnya dan memasuki gedung dengan canggung. Ia masih mengenakan kemeja dilapisi cardigan kampusnya. Tas gendong pinknya tergantung di punggung. Beberapa orang berlalu lalang masuk keluar kantor. Valeria berjalan menuju resepsionis untuk bertanya.
"Permisi, Mbak. Apa benar Pak Sean Martadinata berada di sini?" Valeria bersuara.
Resepsionis itu seorang wanita yang sangat cantik. Ia memakai baju batik yang sangat serasi di tubuhnya yang ramping dan rambutnya ditata dengan sempurna. "Benar. Ini kantornya. Bisa kami bantu, Kak?" Ia menjawab ramah.
"Bisakah saya menemuinya?" Valeria menggigit bibirnya karena tidak yakin akan diperbolehkan. Tapi ia tetap mencoba.
"Maaf, bisa tahu untuk keperluan apa?"
"Aku... hanya ingin bicara...." Valeria mulai mendesah pasrah.
"Dan Kakak adalah...? Ada hubungan keluarga dengan Pak Sean?" Resepsionis itu kembali bertanya.
"Tidak"
"Maaf, Kak. Kurasa itu sulit kami kabulkan. Saya harap Kakak bisa mengerti. Tidak sembarang orang bisa bertemu dengannya." Nona resepsionis menyatakan dengan sungkan. Valeria mengangguk mengerti. Bahunya terkulai lesu.
"Atau Kakak bisa mengatur janji dengannya jika memang penting. Saya bisa sambungkan dengan sekretaris Pak Sean..."
"Tidak usah, Mbak.Begini saja, bisakah saya meminta tolong untuk memberikan nomor telepon saya padanya dan menyampaikan bahwa saya kemari?"
"Kalau itu tentu saja bisa, Kak." Nona resepsionis itu mengangguk.
Valeria mengambil notes dan pulpennya. Ia agak meringis karena notes-nya bermotif Hello Kitty. Ah, biarlah. Ia menulis namanya dan nomor ponselnya di note itu dan memberikannya pada resepsionis.
***
"Semua ini sampah!! Apa saja yang kalian lakukan selama ini?! Perbaiki semua proposal ini dari awal! Aku tidak mau tahu" Sean melempar berkas-berkas yang diberikan padanya oleh direksinya di meeting sore.
"Maaf, Pak. Akan kami ubah" salah satu senior manager mengumpulkan berkas-berkas yang berhamburan di meja. Semua keluar ruangan meeting dan mendesah pasrah.
"Pak Sean dalam mood yang kurang baik akhir-akhir ini. Kurasa sesempurna apapun kita bekerja, ia tetap akan marah" kata salah satunya
"Tapi sampai kapan akan seperti ini. ia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Bagaimana kita harus menghadapinya?" yang lain kembali menyahut.
"Entah ada apa dengannya. Biasanya ia selalu tenang"
Sean merasa kesal. Kerugian yang ia keluarkan memang tidak berarti, dan ia masih bisa terus melanjutkan semua ini seterusnya, tapi Andre Winata tidak kunjung menelponnya dan mengakui kekalahannya. Apa orang tua keras kepala itu benar-benar ingin bangkrut? Sean memijat-mijat keningnya. Kenapa juga ia harus peduli dengan ini semua?
"Selamat sore Pak, saya ingin menyampaikan janji-janji bapak besok dan..." sekretarisnya memasuki ruangan.
"Tak bisakah kau mengetuk pintu dulu!? Kaupikir siapa dirimu!" Sean membentak tiba-tiba. Sekretarisnya ternganga seketika.
"Ma...maafkan saya Pak"
"Kau kupecat! Mulai besok kau jangan datang lagi!"
"Tangan sang sekretaris mulai bergetar. Ia menatap Sean tak percaya. "Di...dipecat, Pak?"
"Apa kau kurang jelas mendengarnya?" Sean menatapnya tajam.
"Ti.. tidak pak" sekretarisnya menunduk.
"Apa jadwalku, sebaiknya kaukatakan dengan singkat dan cepat" Sean menghempaskan diri di kursinya dan menaikkan kakinya ke meja.
"Hanya bertemu investor Perancis, Mr. Bernard besok saat makan siang."
"Ada lagi?" Sean bertanya dengan malas.
"Tidak Pak. Oiya Pak, sa...saya harap anda tidak memarahi saya karena ini. Saya tahu ini tidak penting, tapi saya hanya menyampaikannya. Ini ada titipan dari resepsionis bawah. Katanya ada seseorang ingin bertemu dengan Bapak tanpa alasan yang jelas dan tentu saja tidak diijinkan dan ia meninggalkan catatan berisi nomor telepon. Namanya Valeria Winata" sekretarisnya tergugup.
Sean terbangun dari kursinya dan berjalan dengan cepat menghampiri sekretarisnya yang ketakutan.
"Berikan padaku" Sean mengambil note kecil itu lalu melihat nomor telepon dan tulisan rapi bertuliskan nama Valeria Winata dan....motif hello kitty. Sean tersenyum. Sekretarisnya menatap keheranan.
"Kau boleh keluar, Lisa. Mulai besok ketuk pintu jika ingin masuk" Sean berbalik santai berjalan kembali ke mejanya.
"Besok?Tapi Pak, bukankah anda sudah memecat saya?"
"Aku berubah pikiran" Sean tersenyum lagi.
***
Ponselnya berbunyi saat Valeria sedang makan malam. Cepat-cepat ia berlari ke taman. Nomor asing,,,,apakah itu....
"Valeria Winata! jangan lari-lari saat kau sedang hamil!!!Anak ini!" mamanya berteriak cemas. Valeria minta maaf dan berjalan menjauh agar percakapannya tak terdengar.
"Ha...Hallo" Valeria menjawab takut-takut
"Valeria?" Terdengar suara yang dikenalnya...Valeria memejamkan mata menguatkan dirinya.
"Iya,ini Valeria.... ini benar...Tuan Sean Martadinata?"Valeria memastikan.
Di saat yang sama di tempat lain. Sean mengernyitkan alisnya. Valeria memanggilnya dengan embel-embel. Gadis aneh.
"Kau mendatangi kantorku siang ini?" Sean melanjutkan.
"Iya, sebenarnya aku ingin bertanya pada anda" Valeria duduk di rumput yang agak basah terkena embun petang. ia mulai mencabut-cabuti rumput karena nervous. "Apakah....Apakah semua yang terjadi yang menyangkut Nirwana Cargo itu ada hubungannya denganku?" akhirnya Valeria mengatakannya.
"Tentu saja. Kau sudah mengerti ternyata"
"Kenapa? Buat apa anda melakukannya? Seharusnya anda merasa senang aku sudah melupakan segalanya. Aku sudah memutuskan akan keluar dari kehidupan anda" Valeria terisak.
"Aku tidak ingin kau keluar dari hidupku." Sean tidak percaya ia mengucapkannya. Itu terdengar seperti pernyataan cinta. Ia merasa mual. "Maksudku kau membawa anakku. Itu milikku. Aku tidak akan mengampunimu jika kau benar-benar lari bersamanya. Akan kubuat hidupmu tak tenang meski kau memilih hidup di kutub selatan sekalipun" Sean melanjutkan.
"Aku..." Valeria tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Jadi semua ini hanya karena ia mengandung anaknya. Yah..Valeria seharusnya juga sudah sadar sejak awal, saat Kak Jeanita pulang dengan menangis dan mengaku bahwa ia mengamuk di kantor Sean. Kak Jean mengatakan ia tidak bisa mengendalikan diri karena Sean tidak mau menikahinya. Valeria juga tidak meminta. Kak Jean yang bersikeras. Bayangan hidup bersama Sean Martadinata saja sudah membuatnya menggigil. Untung saja Sean menolak. Tapi kemudian ia mendapati dirinya hamil. Permainan takdir ini memang sungguh keterlaluan.
"Menikahlah denganku Valeria." terdengar suara Sean. Valeria terpana. Seandainya lamaran ini tidak diucapkan di situasi dan kondisi saat ini, pastilah itu terdengar romantis.
"Dan setelah aku menikah denganmu apa yang akan kaulakukan untuk memperbaiki situasi yang kauciptakan. Perusahaan ayah tetap bangkrut" Valeria tidak memanggilnya 'anda' lagi. Itu terdengar lebih baik.
"Nirwana group akan merger dengan perusahaan ayahmu. Aku memberikannya secara cuma-cuma. Masalah harga promosi dan kerugian itu kutanggung semua. Pokoknya jangan khawatir. Semua itu urusanku."
Valeria terdiam....
"Valeria?"
"Baiklah" Valeria menjawab sambil memejamkan matanya. Dunianya terasa runtuh. Ia benar-benar akan menikah dengan orang yang paling ditakutinya.
"Bagus." Sean bernafas lega. Ia sudah menang. Entah bagaimana pemikiran bahwa ia akan menikah dengan Valeria, memilikinya, membuatnya berbunga-bunga. Berbunga-bunga? Ini gila! Sean menepis perasaannya. Ini pasti hanya perasaan euphoria karena ia sudah menang. Itu saja! "Tapi bagaimana keluargamu akan setuju?"
"Serahkan saja padaku. Aku akan berbicara pada Papa." Valeria menambahkan.
"Baiklah kalau begitu, jadi semua sudah deal bukan? Aku akan mengirimkan jasa EO ke rumahmu. Jadi kau akan segera tahu kapan dan dimana kita akan menikah"
"Tunggu, aku ingin meminta dua persyaratan sebelum kita menikah"
Dua permintaan? Memangnya jin? "Apa itu?"
"Pertama, aku masih bersekolah. Aku tidak ingin pernikahan ini diketahui oleh teman-teman dan kampusku."
Sean mengerti ia pasti merasa malu. "Baiklah itu bisa diatur, lalu permintaan selanjutnya?"
"Yang kedua...." Valeria terdiam sejenak. "Aku...Aku ingin kau tidak menyentuhku selama aku menikah denganmu"
Sean tak percaya yang didengarnya. Tidak menyentuhnya? Valeria memintanya tidak menyentuhnya selama mereka menikah?! Gadis ini benar-benar membuat emosinya melambung dengan cepat. Sedetik tadi ia merasa senang dan sekarang ia sudah merasa marah hingga sampai pada tahap ingin membunuh seseorang...
"Maaf. Aku tidak bisa mengucapkan janji yang tidak bisa kutepati" Sean memutus teleponnya.
Valeria masih terdiam. Nada telepon masih terdengar di telinganya. Tidak bisa mengucapkan janji yang tidak bisa ditepati? Maksudnya...? Valeria merasa darah turun dari wajahnya. Sean akan melakukannya lagi!? Tidak!
Valeria memeluk tubuhnya. Angin malam yang berhembus makin membuatnya menggigil. Tapi wajahnya terasa terbakar kepanasan karena merona. Apa ia bisa bertahan menghadapi semua ini nanti?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro